Semuanya tercengang. Qasam pun terkejut, tapi bukan terkejut atas penjelasan Sina, melainkan terkejut kenapa Sina berani buka mulut atas kasus itu. ingin sekali Qasam menggantung kepala Sina di pohon durian. Sudah sangat muak atas kelakuan wanita penyihir itu.Sejak awal melihat Qasam sebagai preman yang berpura- pura miskin, wanita itu dengan entengnya menghujat, menghina dan membenci. Sekarang memohon- mohon minta tinggal di rumah bagus dan setelah ditolak, dengan enaknya berusaha menyingkirkan Qizha. Dasar tukang dengki!“Kau bicara apa, huh? Jangan sembarangan bicara kalau tidak mau kepalamu ini ke lempar ke sawah!” tegas Qasam sambil menarik lengan Sina dan menyeretnya. “Keluar kau dari sini!”“Qasam, tunggu! Biarkan dia bicara dulu!” pinta Husein. “Meskipun benalu itu menyebalkan, tapi kita butuh informasi dari dia!” “Apa yang perlu papa dengarkan dari wanita pendusta ini? aku jauh lebih kenal dia, dia ini pembohong, tukang tipu, tukang fitnah!” geram Qasam.“Nyonya,
“Qasam, tunjukkan hasil pemeriksaan milik Qansha pada mama!” pinta Habiba tegas.“Mama tidak percaya padaku? Qansha meninggal bukan karena keracunan. Bagaimana mungkin mama malah mempercayai Sina?” Qasam tampak frustasi, dia sedang berusaha menutupi kenyataan yang sebenarnya. Sejak awal, Qasam berniat akan menyelesaikan masalah Qansha sendirian tanpa campur tangan siapa pun. Ada banyak masalah yang akan muncul bila fakta yang sebenarnya itu terbongkar. Pertama, mamanya pasti akan marah besar mengingat Qasam menyembunyikan masalah besar itu sendirian. Kedua, Qasam kini melindungi Qizha. Jika Habiba sampai tahu kasus yang sebenarnya, Qizha pun pasti akan terancam juga.“Justru sekarang mama ingin melihat hasilnya, berikan saja pada mama!” pinta Habiba.“Papa juga mau lihat! Selama ini hanya kamu sendiri yang mengurus masalah itu. papa percayakan segala urusan kepadamu, jangan sampai malah menjadi masalah. Berikan dokumen itu kepada kami!” tegas Husein yang terkesan mendesak.
“Omong kosong!” gertak Husein kesal. “Papa sudah bisa membaca masalah ini dengan jelas. Kau membela Qizha hanya karena kau jatuh cinta pada pandangan pertama, kau juga sampai rela mengejar Qizha ke kampungnya dan bahkan sampai menyamar jadi preman hanya demi bisa menikahinya. Kegilaan macam apa ini? Memalukan!”Husein marah besar.Qasam tergugu, tak menyangka papanya malah salah paham dan menilai dari sudut pandang yang melenceng jauh dari kenyataan. Qizha pun bingung harus berbuat apa. Pertikaian di hadapannya membuatnya jadi serba salah. Tak berani angkat suara. “Ma, Pa, akulah yang bodoh dalam hal ini,” ucao Qizha. “Aku nggak bisa membaca situasi yang mengancam. Sampai aku harus mempercayai ayahku sendiri, yangbternyata ayahku memperalay dan menjebakku.”“Kau tidak disuruh bicara. Diam kau!” hardik Husein muak sekali.“Papa jangan melakukan kesalahan seperti yang kulakukan, awalnya aku juga tidak percaya pada Qizha, tapi sekarang aku mempercayainya,” ujar Qasam.“Alasan apa
Qizha kini tinggal di sebuah kontrakan. Tidak terlalu besar, juga tidak terlalu kecil. Kembali ke laptop. Setelah sekian lama ia tinggal seatap dengan Qasam, bahkan perasaan mereka sudah saling sayang satu sama lain, kini mereka malah dipisahkan oleh situasi. Jujur saja, Qizha merasa rindu. Ingin bertemu Qasam. Sedang apa suaminya itu sekarang? Qizha menjalani hari- hari sendirian. Masak sendiri dan makan pun sendiri. Meski terpisah dari Qasam, namun ia tetap berusaha semangat. Toh di kantor dia juga masih bisa bertemu dengan suaminya itu. Kadang- kadang, Qizha merasa was- was saat terdengar suara- suara aneh di dekat rumahnya. Bisa jadi ada suara ketukan dan ternyata suara musang berlarian di genting, suara seperti garuk- garuk dinding yang ternyata itu hanya kucing, atau suara- suara lain yang membuat waspada.Bukan takut pada setan, tapi takut ada manusia jahat yang bisa saja berbuat tak jahat kepadanya. Semenjak menikah dengan Qasam, ancaman dari mana bisa saja datang. Bahka
Baiklah, sehubungan suami yang memerintah, Qizha pun naik ke kasur yang hanya muat untuk dua orang itu. Kasur juga tidak empuk, ranjangnya berupa dipan sederhana. Qizha berselimut kain tipis. Kipas angin menyala, suaranya pun berisik sekali. Qasam duduk di pinggir kasur sesaat setelah mematikan lampu, ruangan pun berubah menjadi remang- remang, penerangannya hanya melalui lampu dari luar yang masuk dari ventilasi. Brak brak brak.. gludak.Qizha kembali membuka mata saat mendengar suara berisik itu. Ia melihat Qasam tengah memukuli kipas angin, tak begitu keras memukulinya, hanya sedang berusaha membuat kipas tak bersuara.Qizha menutup mulutnya saat tawa itu meluncur keluar dari mulut, lucu juga melihat Qasam kebingungan mengurus kipas angin. Qasam berhenti memukul kipas saat pandangannya bertemu dengan Qizha, ia yabg berdiri di dekat kipas pun kembali ke kasur. "Kipasnya berisik sekali," ucap Qasam sambil menarik selimut yang dipakai oleh Qizha dan memasukkan tubuhnya menyatu di
Qasam kini berpenampilan seperti preman, sama seperti ketika dia menyamar saat mendatangi kampungnya Qizha. Ia mengenakan kaos ketat hitam dipadu celana jeans yang bagian pahanya sobek. Jaket kulit menggayut di pundak. Ia duduk nangkring di atas motor. Sorot matanya tajam mengarah pada wanita yang berjalan menuju ke arahnya. Tak lain Sina. Wanita itu berjalan dengan langkah cepat, mendekat pada Qasam dengan raut gembira. "Mas Qasam! Kok tumben penampilan balik ke laptop?" Sina sok akrab. Bahkan kini dia sudah berani memanggil Qasam dengan panggilan 'Mas'. Qasam tidak mau memprotes urusan panggilan itu. Tak ada guna. "Sesuai kesepakatan, aku akan kasih uang kepadamu dengan satu syarat!" ucap Qasam."Syarat apa?" Sina tampak senang sekali. "Temui ayahmu, setelah itu baru aku berikan uang untukmu!" "Loh, memangnya kenapa dengan ayah?" Sina mulai tampak berpikir. "Lebih tepatnya pertemukan aku dengan ayahmu." Tak mungkin Qasam langsung minta ketemu dengan Agatha, hal itu tentu ak
Sina duduk menghempas di sisi kursi tempat Bily meneguk minuman dingin, di bengkel. Ayahnya itu bekerja di sana. Pakaiannya kotor oleh oli."Ayah, aku tadi bertemu dengan Qasam dan dia ingin menemuimu. qasam yang ternyata kaya raya itu sudah kukasih tahu kalau Qizha adalah orang yang meracuni Qansha, tapi dia tetap saja tidak mempercayaiku," ucap Sina. Kemarin dia telah menceritakan seluruh kejadian di rumah besar Qasam yang melibatkan perseteruan besar di keluarga itu, yaitu Sina menuduh Qizha pelaku yang telah meracuni Qansha. Agatha senang sekali mendengarnya, sedangkan Bily tampak tak suka dengan cerita itu. Dia sedih putri kandungnya disudutkan terus, bahkan dia pun tak tahu bagaimana nasib putrinya itu sekarang. Namun seperti biasa, dia tidak berani mengambil tindakan apa pun. Dia hanya diam dan diam. Bily kembali meneguk minum tanpa merespon perkataan Sina."Ayah, aku sedang bicara denganmu!" tukas Sina. "Aku sudah selesai bekerja. Pulanglah!" Bily dingin sekali. dia melepa
Bily terus melangkahkan kaki, ia berhenti di sebuah warung kecil. Lalu memesan makan, sepiring batagor saja ditemani segelas air mineral. Murah meriah. Dia hanya mengeluarkan uang sepuluh ribu saja untuk sepiring batagor dan segelas air mineral.Sesekali ia celingukan keluar area warung, memastikan tidak diikuti oleh Qasam. Tangannya gemetar saat menyuapkan nasi ke mulut. Dia tidak menggunakan sendok, melainkan makan menggunakan jari tangan. Air matanya berjatuhan, bahkan menetes ke nasi. Namun dia tetap terus makan meski dengan tangan gemetaran.Lagi, ia menoleh ke belakang, melihat ke area luar warung. Tidak ada tanda- tanda Qasam mengikutinya. Kalau pun mengikuti, pastilah Qasam akan jengah menunggunya di sana. Bily tak mau diikuti oleh Qasam hingga menantunya itu mengetahui tempat tinggalnya. Bily mengusap air mata dengan lengan bajunya, lalu membayar dan berlalu pergi dari warung. Dengan menarik topi di kepala untuk menutupi sebagian wajah, Bily melangkahkan kaki menyusuri gan
Qizha bermain dengan Zein di ruang main yang sengaja di desain khusus untuk anak bermain. Di sana lengkap ada berbagai macam jenis mainan, muali dari mobil-mobilan, bola, tempat mandi bola, perosotan, bahkan permainan untuk lompat-lompatan pun ada.Qizha mengawasi dari jarak beberapa meter, duduk sambil minum jus. Di sisinya ada Arini yang selalu stand by, memberikan apa saja keperluan Qizha.Si kecil mandi bila bersana dengan baby sitter yang tak pernah lepas dari posisi Zein kemana pun pergi. Qizha menatap layar ponselnya yang menunjuk tanggal dua belas, artinya tiga hari lagi Qasam pulang. Lama sekali rasanya menghitung hari. Serindu itu ternyata Qizha pada Qasam? Qizha malu jika mengingat dirinya yang nyaris seperti orang kasmaran dan jatuh cinta. Benda pipih itu kemudian berdering, nama Qasam tertera di layar. Qasam menelepon? Qizha tersenyum senang. Ia langsung menjawab telepon dan mengucap salam.“Kenapa sudah meneleponku? Kangen?” tanya Qizha.“Ha haa… tidak. Aku sama seka
Sudah tiga minggu Qasam pergi ke Jepang sejak terakhir kali Qizha mengantarnya ke bandara, pria itu belum kembali. Kemarin mengaku hanya akan perhi selama dua minggu, tapi ternyata sudah tiga minggu berlalu, Qasam belum kembali.Qizha mengerjakan aktivitas seperti biasanya, menghabiskan waktu dengan bermain bersama Zein, putra semata wayangnya. Kini, Zein sudah tumbuh makin besar. Usianya satu tahun. Di usia sembilan bulan, Zein sudah bisa berjalan. Sekarang, bocah itu sudah bisa berlari meski belum kencang.Qizha merindukan Qasam. Pria itu memang ngangenin. Sebentar tak ketemu, rasa rindu sudah sampai ke ubun- ubun. Sikap Qasam yang setahun belakangan terlihat memuliakan wanita, membuat Qizha merasa kalau Qasam itu seperti candu. Bayangkan saja, setiap saat, Qizha selalu saja mendapat kelembutan dan perhatian khusus dari suaminya. Lalu beberapa minggu, ia harus berpisah. Tentu saja ia rindu. Qizha baru saja meletakkan tubuh Zein ke kasur tidur khusus balita, berdekatan dengan kas
Baby sitter terlihat terampil ketika memandikan Zein, bayi yang baru berusia dua minggu. Qizha mengawasi di samping baby sitter. Selama ini, Qizha sendiri yang memandikan bayinya. Baru kali ini ia mengijinkan baby sitter memandikan bayinya, itu pun diawasi olehnya.“Kamu keliahtan terbiasa memandikan bayi,” komentar Qizha.“Iya, Non. Soalnya saya khusus mengurus bayi merah kan dulu sewaktu dip anti asuhan. Dan setelah masuk yayasan, saya juga jadi baby sitter,” sahut wanita yang usianya sekitar empat puluh limaan tahun itu.“Pantesan cekatan. Sini, biar aku yang pakaikan bajunya. Baju dan peralatan untuk si kecil sudah disiapkan?” Qizha mengambil alih bayinya setelah diangkat dari bak mandi.“Sudah, Non.” Qizha melangkah keluar dan segera memasang baju bayi yang sudah disediakan. Termasuk minyak kayu putih dan bedak juga sudah disediakan. Di kamar bayi itu, aroma minyam telon menguar, harum. Arini mendampingi Qizha. Dia bertugas untuk melayani Qizha. Sedangkan baby sit
Qasam membawa air hangat kuku dari pemanas air di sudut kamar sesuai permintaan Qizha dan menyerahkannya kepada istrinya itu. “Ayo minum!”Qasam membantu mendekatkan gelas ke bibir Qizha.“Aku bisa sendiri, Mas,” ucap Qizha dan mengambil alih gelas tersebut lalu meminumnya “Terima kasih, Mas.”Pandangan Qasam kemudian tertuju ke bayi kecil yang ada di samping Qizha. Pipinya tebem, kulitnya putih kemerahan. Hidungnya mancung. Menggemaskan dan lucu sekali. Ini adalah hari pertama Qizha dibawa pulang ke rumah setelah menjalani perawatan selama tiga hari di rumah sakit. Padahal sebenarnya di hari kedua Qizha sudah diijinkan pulang karena kondisinya sehat dan baik-baik saja, namun seperti biasa, Qasam melarang Qizha pulang dan dia diminta untuk dirawat di rumah sakit dengan pantauan dokter. Rumah sakit milik ayahnya, jadi mudah saja baginya mengatur kondisi di rumah sakit.Bahkan, kini Qasam meminta dokter keluarga untuk mengecek kondisi ibu dan bayi ke rumah di tiga hari perta
“Pinggangku sakit banget, Mas!” ucap Qizha sambil memegangi pinggang. Mulutnya meringis. Sebenarnya sudah sejak di perjalanan tadi Qizha merasakan ngilu, namun ia menahannya karena rasa ngilu itu datang dan hilang begitu saja. dia mengira hal itu biasa terjadi seiring kehamilannya yang semakin membesar.Namun, kini rasa ngilu itu makin parah, hampir setiap lima belas menit sekali muncul dan rasanya melilit sampai ke perut bagian bawah. Habiba memegang perut Qizha, rasanya keras menggumpal ke satu titik. Kemudian gumpalan keras itu bergerak menuju ke titik lain. Begitu seterusnya.“Ini Qizha sudah mau melahirkan. Ayo cepat bawa ke rumah sakit,” seru Habiba, membuat Qasam langsung gerak cepat menggendong tubuh Qizha dan membawanya ke mobil.Supir menyetir dnegan kelajuan tinggi mendengar suara ritihan Qizha di belakang. Qasam menggenggam tangan Qizha sambil terus mengatakan kata-kata motifasi.Qizha berkeringat, mukanya makin memucat, lemas sekali. Sesekali meringis menahan s
Semenjak Qizha tahu kalau Sina rujuk dengan Arsen, ia menjadi jauh lebih lega. Kini adiknya itu sudah ada yang menanggung jawabi. Hidupnya tidak lagi mengenaskan, Qizha pun tak perlu mencemaskan keadaannya lagi. Sina kini tinggal bersama sang suami. Setelah balitanya keluar dari rumah sakit, Sina mengunjungi rumah Qasam, menemui Qizha dan Qasam untuk mengucapkan rasa terima kasih. Arsen pun menunjukkan sikap layaknya sebagai saudara ipar. Qizha memberikan beberapa helai pakaian dan jilbab baru kepada Sina seperti yang dia janjikan. Qasam pun mulai membuka hati pada Sina. Dia tidak ketus lagi melihat sikap Sina yang jelas sudah jauh berubah. Penampilan Sina pun sudah tidak lusuh lagi seperti saat dia menjanda. Sepeninggalan Sina dan Arsen, tinggal lah Qizha dan Qasam yang duduk di ruang tamu berdua. “Mas, kamu udah nggak benci lagi sama Sina, kan?” tanya Qizha sambil.memegang tangan suaminya.“Tidak.” Tatapan Qasam tertuju pada mata bulat istrinya yang menggemaskan. “Dia seperti
Qizha menatap ekspresi wajah adik tirinya yang tak pernah dia lihat selama ini, wajah itu tampak jajh lebih menyedihkan, penuh penyesalan, dan tatapan iba. Ini adalah pemandangan pertama kalinya. Wajah Sina benar-benar tampak sangat mengenaskan. Bahkan tampilannya pun berbada, dia memakai kerudung untuk menutup auratnya. Apakah ini adalah awal bagi Sina untuk taubat? Dari mata adiknya, Qizha tidak melihat dendam dan tatapan kebencian seperti dulu. Setiap manusia memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri.Qizha meraih pundak Sina. “Bawa anakmu ke rumah sakit sekarang. Aku akan mengantarmu.”Sina mengangguk dengan senyum dan air matanya langsung berurai. “Iya, Kak. Makasih.”***Di rumah sakit itu, Qizha dan Sina duduk di depan balita yang terbujur dengan selang infus menusuk di kaki. Si kecil tidur pulas. Qizha didampingi oleh Arini, asisten rumah tangga yang satu itu tak diijinkan jauh dari Qizha. Selalu diminta Qasam untuk mendampingi Qizha. Wajah Sina yang tadinya murung, kini
“Mas, becandanya nggak lucu. Masak ngintip sih?” tanya Qizha yang tak terima suaminya mengucapkan kata-kata konyol tadi. “Ya, kalau aku lagi nganu sama kamu kan itu kepala bawah lagi ngintip ke dalam. He hee…” Qasam makin konyol. Ia kembali mengelus permukaan perut Qizha. Ia merasakan sensasi saat janin di dalam bergerak-gerak. “Dia bergerak. Setiap kali aku memancing dengan elusan, pasti dia bergerak-gerak.” Qasam tersenyum.“Iya, kalau ada pancingan dari luar, bayi kita pasti merespon. Dia tahu ada yang perhatian kepadanya.”“Tendangannya makin hari makin kuat.”“Namanya juga sudah sembilan bulan. Tinggal menunggu hari, ya tentu makin kuat dong.”“Hah? Sudah sembilan bulan?” Qasam kaget. “Cepat sekali rasanya? Aku bakalam punya anak nih sebentar lagi?”Qizha tersenyum. “Kamu kok jam segini udah pulang, Mas? Biasanya pulangnya agak malam atau lebih sore. Ini baru jam tiga sore loh.”“Aku kangen sama kamu, makanya cepet- cepet pulang.”“Sekarang sudah mulai bisa gombalin ya? Receh l
Tujuh bulan sudah berlalu. Kini Qizha menghabiskan waktu di rumah saja, menikmati kehamilannya yang sudah membuncit. Dia menghabsikan waktu dengan berjalan santai di sekitar rumah. Pemandangan di sekitar rumah besar yang dikelilingi pagar beton setinggi dua meter itu sangat asri. Ada banyak tanaman hijau yang menyejukkan mata, pancuran air pun ada. Qizha ditemani asisten rumah tangga yang setia mengikutinya. Menyediakan apa saja keperluannya. Ah, Qizha benar-benar merasa speerti ratu. Iya, diratukan oleh suaminya.Saat bosan, Qizha pergi ke salon. Menikmati creambath dan berbagai jenis perawatan lainnya.Qizha juga sesekali jalan-jalan ke mall untuk melihat-lihat suasana baru. Dikawal oleh asisten rumah tangga yang ditugaskan menemani. Namanya Arini, asisten rumah tangga yang sopan dan ramah. Dia melayani Qizha mulai dari A sampai Z. dia hafal kapan Qizha harus makan, minum susu, makan buah, dan minum jus. Dia juga mengambilkan handuk saat Qizha mau mandi, menyiapkan p