***"Bahan-bahan mpasinya ada di kulkas ya, Mbak. Kalau saya agak siangan pulang, bikin aja. Elara enggak boleh makan siang lebih dari jam dua belas.""Siap, Non.""Ya udah saya sama Danendra pergi dulu.""Hati-hati di jalan, Non.""Iya."Pagi ini sekitar pukul delapan, Adara dan Danendra bergegas menuju rumah sakit setelah sebelumnya Adara melaksanakan kewajibannya sebagai seorang ibu—memandikkan juga menyuapi Elara.Tak rewel, Elara cukup anteung ketika ditinggalkan karena asyik bermain bersama asisten rumah tangganya di ruang tengah rumah.Adara beruntung. Selain punya suami sebaik Danendra, dia juga punya putri yang cukup pengertian. Seolah mengerti dengan keadaan sang mama, Elara tak pernah rewel sedikit pun ketika Adara meninggalkannya.Jika bisa, sebenarnya Adara ingin membawa serta Elara ke rumah sakit untuk bertemu Ginanjar. Namun, tentu saja peraturan rumah sakit yang tak memperbolehkan anak di bawah tiga belas tahun berkeliaran di sana, Adara cari aman.Lagipula usia Elara
***"Diabetes gestasional? Penyakit macam apa itu, Dokter?"Felicya mendapat vonis penyakit diebetes gestasional, pertanyaan tersebut langsung diucapkan Rafly pada dokter Kiran untuk tahu lebih jelas jenis penyakit apa yang diidap istrinya sekarang.Melakukan pemeriksaan kehamilan seperti biasa, kali ini kondisi Felicya ternyata tak sepenuhnya baik karena setelah gula darahnya dinyatakan tak normal, Felicya langsung diharuskan melakukan tes darah untuk mengetahui apa yang terjadi."Diabetes gestasional adalah salah satu komplikasi penyakit yang biasanya terjadi pada ibu hamil di mana kadar gula lebih tinggi dari seharusnya, Pak," ungkap dokter Kiran."Bahaya?" Bukan Rafly, kali ini pertanyaan tersebut terlontar dari mulut Felicya."Bisa dibilang cukup berbahaya," kata dokter Kiran. "Kondisi ini bisa meningkatkan resiko tekanan darah tinggi bahkan preeklampsia yang mengakibatkan bayi lahir dengan ukuran lebih besar, lahir cacat, prematur, dan berbagai kemungkinan lainnya."Felicya terd
***"Dara, dua orang polisi ini namanya Pak Erlan dan Pak Gunawan. Mulai sekarang, mereka berdua akan menjaga Papa kamu di sini sampai nanti beliau sembuh."Kembali ke rumah sakit siang ini, Adam datang bersama dua orang polisi yang diutus pihak kepolisian untuk menjaga Ginanjar setelah pagi tadi Adam memergoki orang mencurigakan di depan kamar rawat sang besan.Tak mau terjadi sesuatu dengan Ginanjar, pagi tadi—setelah gagal menangkap orang mencurigakan di depan kamar rawat Ginanjar, Adam memang langsung mengajukan perlindungan saksi dan karena koneksi yang dia punya, semua proses berjalan dengan lancar."Oh oke, Pa," kata Adara. "Makasih banyak."Tak di dalam ruangan, mereka berbincang di depan karena Ginanjar saat ini harus beristirahat setelah makan siang dan meminum obat beberapa menit lalu."Sama-sama," ucap Adam. "Perihal kasus kamu, meskipun Papa kamu udah ngomong yang sebenarnya, proses sidang akan tetap berlangsung karena berkas sudah masuk ke kejaksaan dan menurut informasi
***"Kamu jangan telat makan siang ya, Dan. Habis ini langsung makan."Sambil melangkah menyusuri koridor rumah sakit, Adara mengatakan kalimat tersebut pada Danendra lewat sambungan telepon yang kini terhubung.Hari ketiga pasca Ginanjar sadar, Adara kembali mengunjungi sang Papa untuk menemaninya beberapa saat. Tak bisa menginap, Adara memilih datang pukul delapan pagi—setelah menyuapi Elara sarapan lalu akan pulang sekitar pukul dua atau mungkin pukul empat bersama Danendra.Untuk sore sampai pagi, Adara mempercayakan Ginanjar pada Mbak Lia karena meskipun ada polisi, tetap saja Ginanjar butuh pendamping di dalam ruangan yang bisa membantu pria itu ketika membutuhkan sesuatu saat Adara tak ada di sana.Elara sedang tumbuh gigi, beberapa malam ini balita itu cukup rewel dan tentu saja Adara tak mungkin meninggalkannya ketika malam tiba.Senyaman-nyamannya gendongan pengasuh, bagi seorang anak gendongan terbaik tetaplah gendongan ibunya."Iya, Sayang. Habis pekerjaanku selesai, aku l
***"Bu."Usai menyantap makan siangnya di kantin, Danendra mengangkat tangan untuk memanggil sang ibu warung agar dia bisa membayar semua makanan yang baru saja dia santap.Tak bersama siapa-siapa, Danendra menyantap makan siang sendiri tanpa ditemani siapapun karena semua karyawan di sana pun nampak segan untuk mendekat.Padahal, sebagai atasan, Danendra bisa dibilang cukup humble. Namun, tentu saja humble tersebut akan hilang ketika jam kerja sudah dimulai. Danendra tak suka bermain-main dengan pekerjaan. Begitulah prinsipnya."Sudah makannya, Pak?" tanya Bu Emi ketika dia berdiri persis di samping meja Danendra."Sudah, jadi berapa?""Nasi sama ayam dua, sayur, tahu goreng sama teh manis ya, Pak?""Iya.""Empat puluh ribu, Pak.""Oh oke, sebentar."Danendra mengeluarkan dompet dari saku celananya lalu mengambil selembar uang seratus ribuan dari sana untuk dia berikan pada Bu Emi."Saya ambil kembaliannya dulu ya, Pak.""Enggak usah," kata Danendra. "Kembaliannya buat Ibu aja.""T
***"Pak, apa yang anda minta sudah datang."Membawa Ginanjar turun dari mobil, ucapan tersebut langsung dilontarkan salah satu dari dua anak buah Erlangga yang baru saja tiba setelah menempuh perjalanan dari Jakarta menuju Bogor.Tak dibawa ke gudang kosong atau hutan, Ginanjar dibawa ke villa Erlangga yang bisa dibilang cukup mewah."Lepaskan saya," desis Ginanjar sambil berusaha melepaskan cengkraman anak buah Erlangga pada kedua tangannya.Tak lagi tidur, Ginanjar terbangun ketika di perjalanan. Sebenarnya dia sudah berusaha kabur. Namun, tentu saja tenaganya yang sedang melemah membuat pria lima puluh lima tahun itu kalah."Mana?"Erlangga yang berada di lantai dua lantas berjalan menuju pagar pembatas. Sedikit mencondongkan badannya, dia tersenyum tipis melihat pria yang sangat dia benci ada di depannya."Hai, Ginanjar. Apa kabar?" tanya Erlangga."Jadi kamu biang keroknya?" tanya Ginanjar."Iya, kenapa? Mengejutkan?" tanya Erlangga. Setelahnya dia melangkah menuruni tangga hing
***"Aduh kenapa, Non?"Adara menoleh ketika Mbak Vivi datang menghampirinya ke dapur sesaat setelah dia tak sengaja menjatuhkan gelas hingga pecah dan terburai di lantai."Ini anu, Mbak. Tadi aku enggak sengaja jatuhin gelas," kata Adara."Duh, jangan dibersihin Non. Biar Mbak aja," kata Mbak Vivi."Aku aja, Mbak."Berjongkok, Adara mulai memunguti pecahan gelas tersebut. Namun, sial, kegiatannya terhenti ketika bagian pecahan yang tajam tak sengaja melukai telunjuknya."Aw!""Tuh kan, Non. Udah sama Mbak aja.""Enggak apa-apa?""Enggak apa-apa, Non.""Ya udah maaf ya, Mbak.""Iya enggak apa-apa," kata Mbak Vivi.Adara beranjak kemudian berjalan menuju wastafel untuk mencuci jari telunjuknya yang berdarah. Setelah merasa lebih baik, dia kemudian berjalan meninggalkan dapur untuk menghampiri Elara yang saat ini sedang bersama Teresa di kamar."Ra, tadi bunyi apa?" tanya Teresa saat Adara datang. "Kaya ada yang pecah.""Iya itu gelas, Ma. Enggak sengaja tadi kesenggol," ucap Adara."O
***"Lapar?"Danendra tersenyum ketika melihat Adara begitu lahap menyantap nasi juga lauk pauk di piring yang baru saja dipesan beberapa menit lalu di kantin rumah sakit."Iya. Banget," jawab Adara dengan mulut yang penuh. "Tadi aku belum sempat makan.""Ya udah makan yang banyak," ucap Danendra. "Kalau habis, pesan lagi.""Satu porsi aja cukup."Setelah kedatangannya lima belas menit lalu, Adara langsung memastikan kondisi Danendra yang ternyata mengalami luka tak terlalu parah karena bagian tubuh yang tertembak adalah lengan.Hanya memerlukan berapa jahitan lalu perban yang dililitkan di sana, Danendra sudah kembali seperti semula dan tentu saja diizinkan untuk pulang tanpa harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit."Tau enggak? Aku khawatir banget," kata Adara ketika nasi di piringnya sisa sedikit."Khawatir kenapa?""Khawatir kamu kenapa-kenapalah, Dan," ucap Adara. "Luka tembak. Peluru masuk badan. Bayangin aja separah apa lukanya.""Kenyataannya aku enggak apa-apa.""Ta