***"Kamu jangan telat makan siang ya, Dan. Habis ini langsung makan."Sambil melangkah menyusuri koridor rumah sakit, Adara mengatakan kalimat tersebut pada Danendra lewat sambungan telepon yang kini terhubung.Hari ketiga pasca Ginanjar sadar, Adara kembali mengunjungi sang Papa untuk menemaninya beberapa saat. Tak bisa menginap, Adara memilih datang pukul delapan pagi—setelah menyuapi Elara sarapan lalu akan pulang sekitar pukul dua atau mungkin pukul empat bersama Danendra.Untuk sore sampai pagi, Adara mempercayakan Ginanjar pada Mbak Lia karena meskipun ada polisi, tetap saja Ginanjar butuh pendamping di dalam ruangan yang bisa membantu pria itu ketika membutuhkan sesuatu saat Adara tak ada di sana.Elara sedang tumbuh gigi, beberapa malam ini balita itu cukup rewel dan tentu saja Adara tak mungkin meninggalkannya ketika malam tiba.Senyaman-nyamannya gendongan pengasuh, bagi seorang anak gendongan terbaik tetaplah gendongan ibunya."Iya, Sayang. Habis pekerjaanku selesai, aku l
***"Bu."Usai menyantap makan siangnya di kantin, Danendra mengangkat tangan untuk memanggil sang ibu warung agar dia bisa membayar semua makanan yang baru saja dia santap.Tak bersama siapa-siapa, Danendra menyantap makan siang sendiri tanpa ditemani siapapun karena semua karyawan di sana pun nampak segan untuk mendekat.Padahal, sebagai atasan, Danendra bisa dibilang cukup humble. Namun, tentu saja humble tersebut akan hilang ketika jam kerja sudah dimulai. Danendra tak suka bermain-main dengan pekerjaan. Begitulah prinsipnya."Sudah makannya, Pak?" tanya Bu Emi ketika dia berdiri persis di samping meja Danendra."Sudah, jadi berapa?""Nasi sama ayam dua, sayur, tahu goreng sama teh manis ya, Pak?""Iya.""Empat puluh ribu, Pak.""Oh oke, sebentar."Danendra mengeluarkan dompet dari saku celananya lalu mengambil selembar uang seratus ribuan dari sana untuk dia berikan pada Bu Emi."Saya ambil kembaliannya dulu ya, Pak.""Enggak usah," kata Danendra. "Kembaliannya buat Ibu aja.""T
***"Pak, apa yang anda minta sudah datang."Membawa Ginanjar turun dari mobil, ucapan tersebut langsung dilontarkan salah satu dari dua anak buah Erlangga yang baru saja tiba setelah menempuh perjalanan dari Jakarta menuju Bogor.Tak dibawa ke gudang kosong atau hutan, Ginanjar dibawa ke villa Erlangga yang bisa dibilang cukup mewah."Lepaskan saya," desis Ginanjar sambil berusaha melepaskan cengkraman anak buah Erlangga pada kedua tangannya.Tak lagi tidur, Ginanjar terbangun ketika di perjalanan. Sebenarnya dia sudah berusaha kabur. Namun, tentu saja tenaganya yang sedang melemah membuat pria lima puluh lima tahun itu kalah."Mana?"Erlangga yang berada di lantai dua lantas berjalan menuju pagar pembatas. Sedikit mencondongkan badannya, dia tersenyum tipis melihat pria yang sangat dia benci ada di depannya."Hai, Ginanjar. Apa kabar?" tanya Erlangga."Jadi kamu biang keroknya?" tanya Ginanjar."Iya, kenapa? Mengejutkan?" tanya Erlangga. Setelahnya dia melangkah menuruni tangga hing
***"Aduh kenapa, Non?"Adara menoleh ketika Mbak Vivi datang menghampirinya ke dapur sesaat setelah dia tak sengaja menjatuhkan gelas hingga pecah dan terburai di lantai."Ini anu, Mbak. Tadi aku enggak sengaja jatuhin gelas," kata Adara."Duh, jangan dibersihin Non. Biar Mbak aja," kata Mbak Vivi."Aku aja, Mbak."Berjongkok, Adara mulai memunguti pecahan gelas tersebut. Namun, sial, kegiatannya terhenti ketika bagian pecahan yang tajam tak sengaja melukai telunjuknya."Aw!""Tuh kan, Non. Udah sama Mbak aja.""Enggak apa-apa?""Enggak apa-apa, Non.""Ya udah maaf ya, Mbak.""Iya enggak apa-apa," kata Mbak Vivi.Adara beranjak kemudian berjalan menuju wastafel untuk mencuci jari telunjuknya yang berdarah. Setelah merasa lebih baik, dia kemudian berjalan meninggalkan dapur untuk menghampiri Elara yang saat ini sedang bersama Teresa di kamar."Ra, tadi bunyi apa?" tanya Teresa saat Adara datang. "Kaya ada yang pecah.""Iya itu gelas, Ma. Enggak sengaja tadi kesenggol," ucap Adara."O
***"Lapar?"Danendra tersenyum ketika melihat Adara begitu lahap menyantap nasi juga lauk pauk di piring yang baru saja dipesan beberapa menit lalu di kantin rumah sakit."Iya. Banget," jawab Adara dengan mulut yang penuh. "Tadi aku belum sempat makan.""Ya udah makan yang banyak," ucap Danendra. "Kalau habis, pesan lagi.""Satu porsi aja cukup."Setelah kedatangannya lima belas menit lalu, Adara langsung memastikan kondisi Danendra yang ternyata mengalami luka tak terlalu parah karena bagian tubuh yang tertembak adalah lengan.Hanya memerlukan berapa jahitan lalu perban yang dililitkan di sana, Danendra sudah kembali seperti semula dan tentu saja diizinkan untuk pulang tanpa harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit."Tau enggak? Aku khawatir banget," kata Adara ketika nasi di piringnya sisa sedikit."Khawatir kenapa?""Khawatir kamu kenapa-kenapalah, Dan," ucap Adara. "Luka tembak. Peluru masuk badan. Bayangin aja separah apa lukanya.""Kenyataannya aku enggak apa-apa.""Ta
***"Ra, udah siap?""Sebentar, Dan. Sedikit lagi.""Ya udah aku tunggu di depan ya.""Iya."Usai menjawab ucapan Danendra, Adara kembali merapikan pakaian yang dia kenakan hari ini. Setelahnya Adara menyisir lalu memilih untuk mengikat rambutnya agar lebih simple.Selesai.Adara tak langsung bergegas menghampiri Danendra juga Elara yang sudah selesai bersiap-siap sejak tadi. Untuk beberapa menit dia berdiri sambil memandangi pantulan wajahnya di cermin."Bisa. Kamu pasti bisa. Keputusannyannya pasti yang terbaik," ucap Adara. Setelah itu dia mengangkat tangannya. "Adara semangat!"Setelah merasa yakin, dia bergegas mengambil tasnya lalu melangkah keluar dari kamar untuk segera menyusul Danendra.Di dekat tangga, Adara bertemu Mbak Vivi yang baru saja keluar dari dapur."Non mau berangkat sekarang?""Iya, Mbak. Doain ya.""Pasti Non," ucap Mbak Vivi. "Mbak pasti doain yang terbaik buat Non Dara.""Makasih, Bi," ucap Adara tersenyum. "Berangkat dulu ya.""Hati-hati di jalan, Non.""Sia
***"Berapa hari sih, Dan. Di sana? Aku lupa."Danendra yang sedang asyik mengajak Elara bermain di kasur, mengalihkan perhatiannya pada Adara yang saat ini berdiri di depan lemari untuk mempersiapkan perlengkapan menuju Paris, besok.Tak akan berangkat dari rumah, rencananya malam ini Adara dan Danendra akan bergegas menuju rumah Adam agar besok bisa berangkat bersama dari sana menuju bandara."Enggak tau, lupa. Kayanya seminggu," ucap Danendra."Waw.""Kenapa?""Lama juga," kata Adara."Enggak apa-apa, udah lama juga enggak liburan," ucap Danendra. "Bukan lama lagi sih, tapi emang semenjak nikah kita kan belum sempat ke luar negeri. Iya, kan?""Iya," ucap Adara."Bawa aja punyaku satu koper, punya kamu satu koper," ucap Danendra. "Punya Elara satu koper juga cukup enggak? Barang bawaan dia kayanya lebih banyak.""Cukup deh kayanya, biar nanti selimut sama yang lain disimpan di luar koper aja," kata Adara."Nah bisa juga.""Oke deh, aku kemas-kemas dulu," kata Adara. "Oh ya, bajunya
***"Felicya mana?""Masih di ruangannya, Pak.""Oh oke, makasih."Tanpa permisi, Rafly melangkahkan kakinya memasuki butik lebih dalam lalu menuju ruangan kerja Felicya.Tak mengetuk dulu, Rafly membuka pintu dengan sedikit kasar dan di dalam sana yang dia dapati adalah; Felicya masih sibuk memasang payetan pada sebuah gaun yang terpasang pada manekin."Masuk ketuk dulu kal-"Felicya menghentikan ucapannya setelah dia tahu jika Raflylah yang baru saja masuk ke ruangannya tanpa permisi."Kamu," panggil Felicya. "Udah pulang dari kantor? Katanya lembur sampe malam?""Kenapa, enggak suka aku pulang awal?" tanya Rafly. Dia yang semula berdiri di ambang pintu lantas melangkah masuk lalu duduk bersandar di sofa.Hari ini seharusnya Rafly memang lembur dan pulang pukul delapan malam. Namun, karena kesalahan teknis, dia pulang seperti biasa pukul lima sore.Biasanya ketika pulang sekitar pukul setengah enam, Felicya sudah ada di rumah karena memang sejak satu bulan lalu Rafly meminta istriny
*** "Onty, Reano mana. Kok enggak kelihatan dari tadi?" Adara yang sedang menyapa para tamu seketika menoleh saat sebuah pertanyaan diucapkan seorang laki-laki muda yang malam ini tampan dengan kemeja navy bluenya. Danial. Yang baru saja bertanya pada Adara adalah Danial. "Eh, Nial. Rean kayanya masih di jalan." "Lho, enggak bareng?" "Mana maulah bareng sama Onty," kata Adara. "Dia kan jemput pacarnya." "Masih sama Lula?" "Masih." Danial tersenyum. "Awet juga ya, enggak kaya kakaknya." "Haha iya." "Ya udah, Nial gabung dulu sama yang lain ya Onty." "Iya, Nial." Malam ini adalah malam yang cukup membahagiakan bagi keluarga besar Alexander—khususnya keluarga Adam karena sebuah pesta tengah digelar di ballroom hotel berbintang di kota Jakarta. Bukan pertunangan atau pernikahan, pesta yang dirancang oleh anak-anak juga para menantu Adam itu adalah sebuah perayaan aniversary pernikahan Adam dan Teresa yang ke lima puluh delapan tahun. Cukup lama Adam menjalin
***"Duh siapa sih?"Masih dengan kedua mata terpejam, Alula mengulurkan tangannya—meraba-raba meja nakas di samping kasur untuk mencari ponsel yang saat ini berdering cukup nyaring.Entah siala yang menelepon, yang jelas Alula merasa sangat terganggu oleh bunyi dering ponselnya tersebut."Ketemu," gumam Alula ketika akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya.Mengambil ponsel tersebut, perlahan Alula membuka matanya dan yang dia temukan di layar adalah nama Reano."Reano. Ngapain sih?"Beringsut, Alula mengubah posisinya menjadi duduk sebelum akhirnya menjawab panggilan dari Reano."Halo, Rean. Kenapa?" tanya Alula parau."Baru bangun?""Iya.""Dih, belum sholat dong?" tanya Reano."Emang ini jam berapa?" tanya Alula yang memang belum sempat melihat jam baik itu di ponsel mau pun di dinding kamar."Jam lima pagi," kata Reano. "Ke air gih sana, cuci muka, wudhu, terus sholat.""Iya.""Nanti jam enam aku ke kamar kamu," ungkap Reano—membuat Alula seketika mengerutkan keningnya."Mau nga
***"Jaga diri baik-baik di sana, awas jangan macam-macam.""Iya, Ma. Siap."Pukul delapan pagi, Reano sudah siap dengan penampilannya yang bisa dibilang cukup rapi. Membawa koper berwarna hitam berisi pakaian ganti, remaja yang satu bulan lalu baru saja genap delapan pelas tahun itu sudah tiba di bandara, diantar Adara juga Danendra.Tujuannya? Tentu saja Jerman. Memanfaatkan libur panjang sebelum masuk kuliah, Reano memang meminta izin pada kedua orang tuanya untuk pergi ke Jerman menemui Nara.Tak sendiri, Reano pergi bersama Alula yang memang ingin menghabiskan waktu liburan di luar negeri.Berhubung kedua orang tuanya sibuk, Alula memutuskan untuk ikut bersama Reano yang sejauh ini bisa dipercaya menjaga putri bungsu seorang Arkananta itu."Jangan macam-macam kalian di sana. Ingat, pisah kamar," kata Aludra memperingatkan."Iya, Mama. Masa satu kamar?" tanya Alula. "Lagian uncle Danen kan udah pesenin dua kamar buat aku sama Reano.""Tenang aja, Ra. Aku udah pesenin kamar yang be
***'Hati-hati di jalan.'Elara yang baru saja memasukkan beberapa baju ke dalam tas seketika mengukir senyumannya ketika sebuah pesan yang bisa dibilang cukup romantis masuk ke ponselnya—membuat dia terbang ke angkasa dengan perasaan yang berbunga-bunga.Bukan dari orang sembarangan, pesan tersebut berasal dari Regan yang memberikan peringatan pada Elara karena sore ini gadis itu akan berangkat menuju Bandung untuk menginap di rumah Aksa selama dua malam.Alasannya? Tentu saja Elara ingin menemui Regan yang satu minggu lalu resmi menjadi pacarnya.Dicomblangkan oleh Respati lalu saling mengenal via virtual selama sebulan lebih, Elara dan Regan sepertinya memiliki banyak kecocokan lalu pada akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan setelah Regan menyatakan cintanya lebih dulu seminggu yang lalu.Regan memang jarang bicara bahkan terkesan dingin, tapi di dekat orang yang membuatnya nyaman, Regan kadang berubah seratus delapan puluh derajat dan bagi Elara, Regan ternyata cukup menyena
***"Oke, istirahat dulu aja ya.""Siap, Kak!"Menyimpan semua peralatan yang ada, para siswa juga siswi yang siang ini memakai pakaian olahraga lantas membubarkan diri lalu berjalan ke pinggir lapangan pun dengan siswi yang kini melangkah untuk menghampiri seseorang di bangku pinggir lapangan."Kamu kalau bosen, pulang aja."Istirahat dari latihannya, Alula langsung menghampiri Reano yang sejak tadi setia menunggu sambil bersandar pada tembok.Sejak masuk di SMA yang sama Alula dan Reano bisa dibilang cukup dekat—lebih tepatnya sengaja didekatkan oleh Adara yang memang menginginkan Reano lupa dengan perasaannya pada Nara.Setiap pagi juga siang setelah pulang sekolah, Reano diwajibkan menjemput dan mengantar Alula ke rumahnya bersama supir karena memang usia yang belum tujuh belas tahun membuat Reano belum diizinkan memakai kendaraan sendiri.Reano sebenarnya sudah beberapa kali menolak karena memang didekatkan paksa seperti ini membuatnya tak nyaman.Namun, sederet ancaman penyitaan
***"Reres, kamu ngapain ke sini?"Keluar dari pintu gerbang sekolah, Elara mengerutkan kening ketika mendapati seorang siswa laki-laki dengan seragam yang berbeda dengannya tengah berdiri sambil mengukir senyuman.Respati.Bukan pacar atau gebetan, siswa laki-laki yang kini tengah bersandar di pintu mobil sedan hitam adalah sepupu Elara—anak dari saudara Danendra."Hai, Kak El," sapa Respati sambil mengangkat telapak tangannya. "Apa kabar?""Baik," kata Elara apa adanya. "Kamu apa kabar?""Baik juga," ucap Respati."Kamu ngapain ke sekolahan aku? Ada urusan apa gimana?" tanya Elara."Iya ada urusan sama Kak El," ucap Respati—membuat Elara seketika mengerutkan keningnya."Urusan apa?""Hm." Respati bergumam pelan, sementara wajahnya terlihat menunjukkan sebuah keraguan. "Mau minta bantuan sih, Kak?""Bantuan apa?"Respati menggaruk tengkuknya yang bahkan tak gatal sama sekali."Res?""Ah iya, Kak. Bantuan apa sih?" tanya Elara. "Ngomong aja. Enggak usah ragu.""Hm, nanti malam Kakak s
***"Baik-baik di sekolah. Jangan banyak tingkah."Sambil mengoleskan selai ke roti, ucapan tersebut dilontarkan Adara pada Reano yang saat ini baru saja duduk di meja makan.Setelah dua minggu liburan berlangsung, tahun ajaran baru akhirnya tiba dan hari ini Reano akan memulai kegiatan sekolahnya di SMA.Sesuai perintah, mau tak mau Reano menurut untuk bersekolah di SMAN 8. Padahal, sudah sejak jauh-jauh hari remaja itu menginginkan sekolah di SMAN 34 karena memang hampir semua teman dekatnya bersekolah di sana."Mau joged di tengah lapangan," celetuk Reano."Apaan sih? Kalau dikasih tahu itu jawab yang benar. Bukan kaya gitu."Elara yang baru saja siap, lantas menoyor kepala adiknya itu dengan tangan kanan sementara tangan kirinya menarik kursi untuk duduk."Kamu juga apaan? Kepala itu sensitif. Enggak usah pake noyor," ketus Reano tak suka.Berbeda dengan kebanyakan siswa yang biasanya bahagia ketika masuk di sekolah baru, Reano justru sebaliknya.Selain karena sekolah yang dia tem
***"Kamu kenapa?"Menghampiri Adara di pinggir kolam, Danendra langsung mengucapkan pertanyaan tersebut setelah beberapa menit lalu terus memperhatikan sang istri yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu."Dan. Kamu di sini.""Orang-orang di dalam, kamu kok di luar?" tanya Danendra. "Lagi mikirin apa sih, hm?""Reano," kata Adara.Danendra mengerutkan keningnya. Dia yang datang membawa segelas air putih lantas menarik kursi lalu duduk di depan Adara."Apa yang kamu pikirkan tentang Reano?" tanya Danendra."Kamu lupa sama apa yang dia omongin tadi di mobil?" tanya Adara. "Reano bilang dia cinta sama Nara, Dan.""Terus masalahnya di mana?""Kok kamu nanya gitu, Danen?" tanya Adara tak suka. "Ya enggak bolehlah! Reano sama Nara itu saudara. Mereka enggak boleh saling mencintai lebih dari sekadar saudara.""Tapi kan bukan kandung," ucap Danendra. "Dalam segi agama ataupun negara, mereka sah-sah aja kalau mau punya hubungan.""Enggak!" pungkas Adara. "Sampai kapan pun aku enggak akan res
***"Males ikut, Ma."Mendengar ucapan tersebut, Adara menoleh seketika lalu memandang putranya sambil menaikkan sebelah alis."Males ikut apa?""Rean malas ikut ke Bandung."Pagi ini—seminggu setelah kepergian Nara ke Jerman, keluarga Adara akan bertolak menuju Bandung, menghadiri undangan yang diberikan keluarga Aksa.Bukan pesta besar, di Bandung sana Aksa hanya merayakan syukuran atas kelulusan putri angkatnya Aileen di salah satu universitas terbaik di kota Bandung dengan nilai yang juga tentunya sangat baik.Tak hanya Danendra dan keluarga, nantinya Adam juga Teresa pun akan datang bersama supir lalu Danish juga terbang dari Surabaya bersama keluarganya."Kenapa?" tanya Adara.Tak tahu tentang yang terjadi pada Nara, Adara memang mulai bersikap biasa kembali. Perempuan itu mencoba menghibur diri dari rasa sedih kehilangan Nara karena tentunya dia berpikir sang putri tak akan lama pergi.Berbeda dengan Adara yang berusaha menghibur diri, Reano justru seperti orang tak bersemangat