***"Padahal aku bilang enggak usah dijemput."Mobil sedan hitam yang dia naikki baru saja melaju, ucapan itu langsung dilontarkan Danendra pada sang supir yang saat ini terlihat santai mengemudi tanpa menghiraukan ucapan sang adik.Supir sedan hitam itu adalah Aksa. Pukul lima sore, dia sudah datang ke apartemen untuk menjemput Danendra agar adiknya itu benar-benar datang ke rumah karena semuanya sudah disiapkan."Kalau enggak dijemput, takut enggak datang," kata Aksa."Aku bukan orang yang ingkar," kata Danendra sambil menggendong Elara yang terlelap. Usai makan sore, putrinya itu memang sudah terlelap dan jujur saja jika tak ingat dengan ucapan Danish dua hari lalu tentang dirinya yang akan dijodohkan, Danendra tak akan datang.Hari minggunya bisa dibilang cukup buruk karena tak bertemu Adara. Dia yang biasa datang setiap hari untuk menjenguk sang istri, siang ini justru tak bisa bertemu karena sesuatu hal.Petugas yang berjaga di sana berkata jika Adara sedang ada kegiatan di lua
***"Hai, Dan. Apa kabar? Btw, selamat ulang tahun ya. Wish you all the best."Danendra tak langsung menjawab pertanyaan kabar maupun ucapan ulang tahun yang barusaja diucapkan seorang perempuan cantik di depannya.Masih berdiri di dekat pintu, Danendra mengerjap beberapa kali untuk memastikan nyata atau tidaknya apa yang saat ini dia lihat karena tentu saja semuanya terasa seperti mimpi."Dan, kok diam?" Danendra mengerjap lagi lalu berjalan mendekat. Sebelum menghampiri perempuan tersebut, dia lebih dulu menidurkan Elara di bagian tengah kasur."Pastiin tidurnya di tengah. Elara lagi lincah-lincahnya. Takut jatuh," kata perempuan itu lagi."I-iya."Setelah memastikan Elara aman, Danendra berbalik lalu perlahan melangkah menghampiri perempuan cantik berambut hitam yang masih setia berdiri di posisinya."R-Ra." Danendra tergagap sementara tangan kanannya yang tiba-tiba saja mengalami tremor, perlahan terulur dan bermuara di pipi kiri Adara. "I-ini kamu?"Adara.Perempuan yang membuat
***"Dan, udah. Ayo bangun."Sekali lagi Adam mengucapkan kata tersebut ketika sudah hampir sepuluh menit Danendra menenggelamkan kepala diantara kedua pahanya yang dibalut sarung.Pukul enam lebih sepuluh menit, semua anggota keluarga melaksanakan sholat maghrib berjamaan di tempat khusus yang disediakan.Menitipkan anak-anak pada pelayan yang kebetulan sedang berhalangan, sholat berjamaah keluarga besar Adam terasa begitu khusyuk dipimpin oleh Adam sendiri yang menjadi imam.Sholat selesai, orang-orang tak langsung membubarkan diri—khususnya Danendra yang langsung mendekati Adam untuk meminta maaf.Tak pernah merasa gengsi, Danendra dengan segala kerendahan hatinya langsung bersujud di kedua kaki Adam—meminta maaf atas semua yang sudah dia katakan dan lakukan pada sang Papa.Tak lupa Danendra pun berkata jika dia dia menyesal dengan semuanya. Semarah apapun dia pada Adam, tak seharusnya Danendra berperilaku tak sopan."Danendra berdosa sama Papa," lirih Danendra—masih dengan posisin
***"Enjoy ya. Nikmati malam kalian. Anak-anak aman di sini."Berdiri di teras rumah bersama Adam, Teresa terlihat sumringah melihat ketiga mobil di depan rumah yang sudah siap pergi.Tiga mobil tersebut tentu saja berisi ketiga putra dia dan Adam bersama istri masing-masing.Makan malam usai, Teresa memang meminta Danendra, Aksa, juga Danish membawa istri mereka keluar menikmati malam di kota Jakarta.Refreshing. Begitulah ucapan Teresa pada ketiga putra mereka—terutama Danendra yang jelas harus mengajak Adara berjalan-jalan setelah dua minggu di dalam sel tahanan."Titip anak-anak ya, Ma," kata Ananta."Siap.""Kalau Adeeva sama Aretha rewel, Mama telepon aku aja ya," kata Ayuma."Enggak akan, cucu Oma baik-baik," ucap Teresa."Ma," panggil Adara—membuat perhatian Teresa beralih."Ya?""Makasih, ya," ucap Adara."Enggak bosen bilang itu terus?" tanya Teresa."Enggak.""Ck, kamu tuh," kata Teresa. "Udah sana berangkat sebelum malam, mau nonton film kan kalian tuh?" tanya Adam."Iya,
***"Terima kasih."Menerima enam buah tiket, Aksa tersenyum tipis sebelum akhirnya kembali menghampiri saudaranya yang sudah menunggu di dekat bangku."Nih tiketnya," kata Aksa sambil membagikan tiket bioskop satu-persatu. "Studio lima, lima menit lagi.""Oh oke, thank you, Kak," kata Danendra."Makasih Kak Aksa," ucap Adara."Harus dibayar enggak nih?" tanya Danish."Bayar," kata Aksa. "Lima juta pertiket.""Dih, mahal banget," kata Danish."Suruh siapa nanya?" tanya Aksa. "Udah jelas-jelas enggak usah dibayar.""Kan kali aja," ucap Danish."Udah enggak usah berantem," kata Ananta. "Mendingan kita ke studionya sekarang terus nunggu film mulai di sana.""Nah mendingan gitu," ucap Ayuma setuju."Ya udah ayo."Setelahnya—bak remaja pubertas yang sedang menjalani triple data, Aksa, Danendra, juga Danish berjalan beriringan menuju studio tempat mereka akan menonton film.Dan tentu saja ketiga pasangan keluarga Alexander itu tak luput dari perhatian para pengunjung bioskop lain—terutama k
***"Lho, kok cuman berempat? Danendra sama Adara mana?"Teresa yang tengah berjalan menuruni tangga lantas berhenti lalu memperhatikan putra juga menantunya satu persatu setelah merasa ada yang kurang diantara mereka.Dan yang tak ada ternyata putra kesayangannya."Danendra belum pulang," kata Aksa. "Dia sama Dara katanya mau belanja bulanan dulu.""Oh gitu ya?" tanya Teresa. "Kira-kira masih di supermatket enggak ya? Mama mau nitip sesuatu. Nyuruh Mbak lupa terus."Danish mengedikkan bahu. "Mana Danish tahu," jawabnya. "Telepon aja Danendranya. Tanyain masih di mana.""Mau nitip apa sih Ma, emangnya?" tanya Aksa."Gula rendah kalori buat Papa. Stoknya habis, Mama lupa cek," kata Teresa."Mau Aksa beliin?""Enggak usah, Mama telepon Danendra aja," kata Teresa."Oh ya, Ma. Anak-anak di mana?" tanya Ananta. "Ngerepotin enggak tadi?""Anak-anak aman," kata Teresa. "Ketujuhnya udah tepar semua sama Papa. Sekarang di kamar tamu. Mereka tidur di bawah.""Syukurlah," kata Ayuma."Ya udah ka
***"Kalau ada apa-apa, panggil aku aja. Aku di ruang tengah, mau nonton tv.""Iya siap, Mas."Danish tersenyum lalu setelah itu dia meninggalkan Ayuma yang saat ini sudah berbaring di kasur bersama sang putra.Rasa kantuk yang belum datang melanda, Danish memutuskan untuk menonton televisi karena malam-malam begini biasanya ada tayangan berita atau semacamnya."Jam sepuluh malam," gumam Danish ketika dia melirik jam dinding berukuran besar di ruang tengah lantai dua.Duduk di sofa, Danish sengaja mengangkat kedua kakinya ke atas meja lalu bersandar sementara tangannya yang memegang remot, bergerak menekan tombol power."Oke kita cari taya-""Lagi apa?"Danish menoleh lalu mendongak dan yang dia dapati adalah Aksa."Kak.""Belum tidur?" tanya Aksa sambil mendudukkan dirinya di sofa sebelah kanan."Belum," kata Danish. "Enggak ngantuk.""Sama," kata Aksa."Ya udah sini aja nonton tv, jam segini biasanya ada berita seru," kata Danish."Ya udah," ucap Aksa.Sama seperti Danish, Aksa iku
***"Gimana, Dokter. Istri saya enggak apa-apa, kan? Enggak ada luka serius juga, kan?"Dokter perempuan yang baru saja memeriksa pasiennya itu mengukir senyum pada seorang pria yang saat ini terlihat begitu cemas dengan keadaan istrinya."Aman, Pak. Istri Bapak pingsan hanya karena syok saja," kata dokter tersebut menenangkan."Syukurlah."Dari sang dokter perhatian pria tampan tersebut beralih pada istrinya yang baru kembali sadar beberapa menit lalu setelah sebelumnya pingsan usai dia dan suaminya itu lolos dari maut yang hampir saja menghampiri."Gimana kondisi kamu sekarang, Ra? Udah enakkan?""Masih sedikit pusing, Dan."Danendra dan Adara. Tentu saja pasangan suami istri yang saat ini berada di ruang pemeriksaan salah satu rumah sakit besar itu adalah mereka.Hampir kehilangan nyawa karena mobil yang mereka tumpangi berhenti di tengah rel juga kereta api yang datang tiba-tiba, Adara dan Danendra masih diberi kesempatan hidup karena akhirnya—meskipun susah payah, keduanya bisa l
*** "Onty, Reano mana. Kok enggak kelihatan dari tadi?" Adara yang sedang menyapa para tamu seketika menoleh saat sebuah pertanyaan diucapkan seorang laki-laki muda yang malam ini tampan dengan kemeja navy bluenya. Danial. Yang baru saja bertanya pada Adara adalah Danial. "Eh, Nial. Rean kayanya masih di jalan." "Lho, enggak bareng?" "Mana maulah bareng sama Onty," kata Adara. "Dia kan jemput pacarnya." "Masih sama Lula?" "Masih." Danial tersenyum. "Awet juga ya, enggak kaya kakaknya." "Haha iya." "Ya udah, Nial gabung dulu sama yang lain ya Onty." "Iya, Nial." Malam ini adalah malam yang cukup membahagiakan bagi keluarga besar Alexander—khususnya keluarga Adam karena sebuah pesta tengah digelar di ballroom hotel berbintang di kota Jakarta. Bukan pertunangan atau pernikahan, pesta yang dirancang oleh anak-anak juga para menantu Adam itu adalah sebuah perayaan aniversary pernikahan Adam dan Teresa yang ke lima puluh delapan tahun. Cukup lama Adam menjalin
***"Duh siapa sih?"Masih dengan kedua mata terpejam, Alula mengulurkan tangannya—meraba-raba meja nakas di samping kasur untuk mencari ponsel yang saat ini berdering cukup nyaring.Entah siala yang menelepon, yang jelas Alula merasa sangat terganggu oleh bunyi dering ponselnya tersebut."Ketemu," gumam Alula ketika akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya.Mengambil ponsel tersebut, perlahan Alula membuka matanya dan yang dia temukan di layar adalah nama Reano."Reano. Ngapain sih?"Beringsut, Alula mengubah posisinya menjadi duduk sebelum akhirnya menjawab panggilan dari Reano."Halo, Rean. Kenapa?" tanya Alula parau."Baru bangun?""Iya.""Dih, belum sholat dong?" tanya Reano."Emang ini jam berapa?" tanya Alula yang memang belum sempat melihat jam baik itu di ponsel mau pun di dinding kamar."Jam lima pagi," kata Reano. "Ke air gih sana, cuci muka, wudhu, terus sholat.""Iya.""Nanti jam enam aku ke kamar kamu," ungkap Reano—membuat Alula seketika mengerutkan keningnya."Mau nga
***"Jaga diri baik-baik di sana, awas jangan macam-macam.""Iya, Ma. Siap."Pukul delapan pagi, Reano sudah siap dengan penampilannya yang bisa dibilang cukup rapi. Membawa koper berwarna hitam berisi pakaian ganti, remaja yang satu bulan lalu baru saja genap delapan pelas tahun itu sudah tiba di bandara, diantar Adara juga Danendra.Tujuannya? Tentu saja Jerman. Memanfaatkan libur panjang sebelum masuk kuliah, Reano memang meminta izin pada kedua orang tuanya untuk pergi ke Jerman menemui Nara.Tak sendiri, Reano pergi bersama Alula yang memang ingin menghabiskan waktu liburan di luar negeri.Berhubung kedua orang tuanya sibuk, Alula memutuskan untuk ikut bersama Reano yang sejauh ini bisa dipercaya menjaga putri bungsu seorang Arkananta itu."Jangan macam-macam kalian di sana. Ingat, pisah kamar," kata Aludra memperingatkan."Iya, Mama. Masa satu kamar?" tanya Alula. "Lagian uncle Danen kan udah pesenin dua kamar buat aku sama Reano.""Tenang aja, Ra. Aku udah pesenin kamar yang be
***'Hati-hati di jalan.'Elara yang baru saja memasukkan beberapa baju ke dalam tas seketika mengukir senyumannya ketika sebuah pesan yang bisa dibilang cukup romantis masuk ke ponselnya—membuat dia terbang ke angkasa dengan perasaan yang berbunga-bunga.Bukan dari orang sembarangan, pesan tersebut berasal dari Regan yang memberikan peringatan pada Elara karena sore ini gadis itu akan berangkat menuju Bandung untuk menginap di rumah Aksa selama dua malam.Alasannya? Tentu saja Elara ingin menemui Regan yang satu minggu lalu resmi menjadi pacarnya.Dicomblangkan oleh Respati lalu saling mengenal via virtual selama sebulan lebih, Elara dan Regan sepertinya memiliki banyak kecocokan lalu pada akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan setelah Regan menyatakan cintanya lebih dulu seminggu yang lalu.Regan memang jarang bicara bahkan terkesan dingin, tapi di dekat orang yang membuatnya nyaman, Regan kadang berubah seratus delapan puluh derajat dan bagi Elara, Regan ternyata cukup menyena
***"Oke, istirahat dulu aja ya.""Siap, Kak!"Menyimpan semua peralatan yang ada, para siswa juga siswi yang siang ini memakai pakaian olahraga lantas membubarkan diri lalu berjalan ke pinggir lapangan pun dengan siswi yang kini melangkah untuk menghampiri seseorang di bangku pinggir lapangan."Kamu kalau bosen, pulang aja."Istirahat dari latihannya, Alula langsung menghampiri Reano yang sejak tadi setia menunggu sambil bersandar pada tembok.Sejak masuk di SMA yang sama Alula dan Reano bisa dibilang cukup dekat—lebih tepatnya sengaja didekatkan oleh Adara yang memang menginginkan Reano lupa dengan perasaannya pada Nara.Setiap pagi juga siang setelah pulang sekolah, Reano diwajibkan menjemput dan mengantar Alula ke rumahnya bersama supir karena memang usia yang belum tujuh belas tahun membuat Reano belum diizinkan memakai kendaraan sendiri.Reano sebenarnya sudah beberapa kali menolak karena memang didekatkan paksa seperti ini membuatnya tak nyaman.Namun, sederet ancaman penyitaan
***"Reres, kamu ngapain ke sini?"Keluar dari pintu gerbang sekolah, Elara mengerutkan kening ketika mendapati seorang siswa laki-laki dengan seragam yang berbeda dengannya tengah berdiri sambil mengukir senyuman.Respati.Bukan pacar atau gebetan, siswa laki-laki yang kini tengah bersandar di pintu mobil sedan hitam adalah sepupu Elara—anak dari saudara Danendra."Hai, Kak El," sapa Respati sambil mengangkat telapak tangannya. "Apa kabar?""Baik," kata Elara apa adanya. "Kamu apa kabar?""Baik juga," ucap Respati."Kamu ngapain ke sekolahan aku? Ada urusan apa gimana?" tanya Elara."Iya ada urusan sama Kak El," ucap Respati—membuat Elara seketika mengerutkan keningnya."Urusan apa?""Hm." Respati bergumam pelan, sementara wajahnya terlihat menunjukkan sebuah keraguan. "Mau minta bantuan sih, Kak?""Bantuan apa?"Respati menggaruk tengkuknya yang bahkan tak gatal sama sekali."Res?""Ah iya, Kak. Bantuan apa sih?" tanya Elara. "Ngomong aja. Enggak usah ragu.""Hm, nanti malam Kakak s
***"Baik-baik di sekolah. Jangan banyak tingkah."Sambil mengoleskan selai ke roti, ucapan tersebut dilontarkan Adara pada Reano yang saat ini baru saja duduk di meja makan.Setelah dua minggu liburan berlangsung, tahun ajaran baru akhirnya tiba dan hari ini Reano akan memulai kegiatan sekolahnya di SMA.Sesuai perintah, mau tak mau Reano menurut untuk bersekolah di SMAN 8. Padahal, sudah sejak jauh-jauh hari remaja itu menginginkan sekolah di SMAN 34 karena memang hampir semua teman dekatnya bersekolah di sana."Mau joged di tengah lapangan," celetuk Reano."Apaan sih? Kalau dikasih tahu itu jawab yang benar. Bukan kaya gitu."Elara yang baru saja siap, lantas menoyor kepala adiknya itu dengan tangan kanan sementara tangan kirinya menarik kursi untuk duduk."Kamu juga apaan? Kepala itu sensitif. Enggak usah pake noyor," ketus Reano tak suka.Berbeda dengan kebanyakan siswa yang biasanya bahagia ketika masuk di sekolah baru, Reano justru sebaliknya.Selain karena sekolah yang dia tem
***"Kamu kenapa?"Menghampiri Adara di pinggir kolam, Danendra langsung mengucapkan pertanyaan tersebut setelah beberapa menit lalu terus memperhatikan sang istri yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu."Dan. Kamu di sini.""Orang-orang di dalam, kamu kok di luar?" tanya Danendra. "Lagi mikirin apa sih, hm?""Reano," kata Adara.Danendra mengerutkan keningnya. Dia yang datang membawa segelas air putih lantas menarik kursi lalu duduk di depan Adara."Apa yang kamu pikirkan tentang Reano?" tanya Danendra."Kamu lupa sama apa yang dia omongin tadi di mobil?" tanya Adara. "Reano bilang dia cinta sama Nara, Dan.""Terus masalahnya di mana?""Kok kamu nanya gitu, Danen?" tanya Adara tak suka. "Ya enggak bolehlah! Reano sama Nara itu saudara. Mereka enggak boleh saling mencintai lebih dari sekadar saudara.""Tapi kan bukan kandung," ucap Danendra. "Dalam segi agama ataupun negara, mereka sah-sah aja kalau mau punya hubungan.""Enggak!" pungkas Adara. "Sampai kapan pun aku enggak akan res
***"Males ikut, Ma."Mendengar ucapan tersebut, Adara menoleh seketika lalu memandang putranya sambil menaikkan sebelah alis."Males ikut apa?""Rean malas ikut ke Bandung."Pagi ini—seminggu setelah kepergian Nara ke Jerman, keluarga Adara akan bertolak menuju Bandung, menghadiri undangan yang diberikan keluarga Aksa.Bukan pesta besar, di Bandung sana Aksa hanya merayakan syukuran atas kelulusan putri angkatnya Aileen di salah satu universitas terbaik di kota Bandung dengan nilai yang juga tentunya sangat baik.Tak hanya Danendra dan keluarga, nantinya Adam juga Teresa pun akan datang bersama supir lalu Danish juga terbang dari Surabaya bersama keluarganya."Kenapa?" tanya Adara.Tak tahu tentang yang terjadi pada Nara, Adara memang mulai bersikap biasa kembali. Perempuan itu mencoba menghibur diri dari rasa sedih kehilangan Nara karena tentunya dia berpikir sang putri tak akan lama pergi.Berbeda dengan Adara yang berusaha menghibur diri, Reano justru seperti orang tak bersemangat