***"Gimana, Dokter. Istri saya enggak apa-apa, kan? Enggak ada luka serius juga, kan?"Dokter perempuan yang baru saja memeriksa pasiennya itu mengukir senyum pada seorang pria yang saat ini terlihat begitu cemas dengan keadaan istrinya."Aman, Pak. Istri Bapak pingsan hanya karena syok saja," kata dokter tersebut menenangkan."Syukurlah."Dari sang dokter perhatian pria tampan tersebut beralih pada istrinya yang baru kembali sadar beberapa menit lalu setelah sebelumnya pingsan usai dia dan suaminya itu lolos dari maut yang hampir saja menghampiri."Gimana kondisi kamu sekarang, Ra? Udah enakkan?""Masih sedikit pusing, Dan."Danendra dan Adara. Tentu saja pasangan suami istri yang saat ini berada di ruang pemeriksaan salah satu rumah sakit besar itu adalah mereka.Hampir kehilangan nyawa karena mobil yang mereka tumpangi berhenti di tengah rel juga kereta api yang datang tiba-tiba, Adara dan Danendra masih diberi kesempatan hidup karena akhirnya—meskipun susah payah, keduanya bisa l
***"Kayanya enggak usah diobatin sekarang deh, Ra. Besok aja."Adara yang baru saja duduk di samping Danendra seketika mengerutkan keningnya."Besok gimana? Mau infeksi kamu?" omelnya pada Danendra.Pasalnya luka di dekat siku Danendra tak kecil. Meskipun tak dalam, tetap saja luka tersebut harus dibersihkan agar terhindar dari infeksi."Enggak akan, lukanya pasti besok kering kok," ucap Danendra. Membayangkan bagaimana perihnya alkohol mengenai bagian luka, rasanya Danendra ingin kabur saja.Ini bukan pertama kalinya Danendra mengalami luka karena beberapa bulan lalu dia bahkan mendapat yang lebih parah dari sekarang. Namun, tetap saja rasanya dia takut."Kering sama darah terus nanti infeksi," celetuk Adara sambil membuka kotak p3k yang baru saja dia ambil dari lemari.Di kediaman Alexander, kotak p3k memang berada di setiap kamar karena barang itu bisa dibilang wajib. Tak hanya peralatan untuk mengobati luka seperti alkohol atau betadine, di dalam kotak ajaib tersebut pun terdap
***"Enggak mau nginep lagi aja? Masih kangen El tahu Mama tuh."Sambil menggendong Elara menuju teras, Teresa kembali berkata demikian ketika Danendra dan Adara siang ini berniat pulang kembali ke rumah setelah pagi tadi Aksa juga Danish pun pulang ke rumah mereka masing-masing."Enggak, Ma. Mungkin lain hari," kata Danendra. "Lagian Adara kan belum pulang ke rumah sejak bebas.""Adam," panggil Teresa pada Adam yang ikut mengantar setelah mengambil libur sampai hari ini. "Aku nginep di rumah Danendra ya? Enggak lama kok, dua malam doang.""Silakan," kata Adam. "Mau seminggu atau dua minggu pun silakan."Kedua mata Teresa berbinar. "Seriusan?!" tanyanya antusias. Jauh dari cucu-cucunya membuat Teresa merasa paling dekat dengan Elara karena memang hanya balita itu yang mudah untuk dia temui.Ke Surabaya butuh waktu satu jam lebih begitupun Bandung yang harus ditempuh dua sampai tiga jam perjalanan.Jadi rasanya tak salah Teresa menjadikan Elara cucu kesayangan karena untuk menemui cucun
***"Akhirnya kamu bobo juga, Sayang."Danendra tersenyum merekah ketika Elara yang sejak tadi dia momong akhirnya terpejam tepat pukul sembilan malam. Tak seperti biasanya, balita tersebut malam ini tidur terlambat."Bobo yang nyenyak dan jangan ganggu Papa dulu ya," kata Danendra sambil melangkahkan kakinya pelan menuju box bayi untuk menidurkan putrinya di sana. "Papa kangen Mama."Pelan sekali, Danendra membaringkan Elara di dalam box bayi lalu menyelimutinya dengan selimut. Mematikan lampu kamar, dia menyalakan lampu tidur—membuat suasana remang-remang langsung tercipta."Saatnya nyusul Adara."Sambil mengukir senyum, Danendra keluar dari kamar untuk menghampiri Adara yang sejak tadi duduk di ruang tengah lantai dua untuk menonton televisi karena memang untuk menidurkan Elara, Danendra yang bertanggung jawab."Hai," sapa Danendra.Adara menoleh. "Dan," panggilnya. "Elara mana?""Tidur," kata Danendra. "Seperti yang aku bilang. Aku bisa menjalankan tugas dengan baik dan benar.""G
***"Ra, Papa kenapa?""Papa, Dan. Kata dokter dia ...."Alih-alih mengatakan kabar yang baru saja dia dapat pada Danendra, yang dilakukan Adara sekarang justru terisak kembali lalu sibuk menyeka air matanya—membuat rasa penasaran semakin bertumpuk di hati Danendra."Ra," panggil Danendra. "Bisa tenangin diri kamu dulu?""Papa," lirih Adara."Papa kenapa? Ada apa sama Papa?" tanya Danendra —berusaha bersikap sesabar mungkin. "Apa terjadi sesuatu atau gimana? Coba bilang sama aku."Adara berusaha menghentikan isakkan tangisnya lalu memandang Danendra kembali."Papa, Dan," ucapnya lagi. "Papa sadar.""Sadar?" Wajah Danendra terlihat cukup terkejut dengan apa yang baru saja disampaikan Adara. "Maksud kamu Papa siuman? Papa buka mata? Sadar gitu?"Adara mengangguk. "Iya, Dan," jawabnya. "Dokter bilang Papa sadar setengah jam lalu dan sekarang kondisinya mulai stabil."Mendapat kabar bahagia, kedua kaki Danendra tiba-tiba saja merasa lemas, sampai-sampai tak mampu menopang badannya sendir
***"Bahan-bahan mpasinya ada di kulkas ya, Mbak. Kalau saya agak siangan pulang, bikin aja. Elara enggak boleh makan siang lebih dari jam dua belas.""Siap, Non.""Ya udah saya sama Danendra pergi dulu.""Hati-hati di jalan, Non.""Iya."Pagi ini sekitar pukul delapan, Adara dan Danendra bergegas menuju rumah sakit setelah sebelumnya Adara melaksanakan kewajibannya sebagai seorang ibu—memandikkan juga menyuapi Elara.Tak rewel, Elara cukup anteung ketika ditinggalkan karena asyik bermain bersama asisten rumah tangganya di ruang tengah rumah.Adara beruntung. Selain punya suami sebaik Danendra, dia juga punya putri yang cukup pengertian. Seolah mengerti dengan keadaan sang mama, Elara tak pernah rewel sedikit pun ketika Adara meninggalkannya.Jika bisa, sebenarnya Adara ingin membawa serta Elara ke rumah sakit untuk bertemu Ginanjar. Namun, tentu saja peraturan rumah sakit yang tak memperbolehkan anak di bawah tiga belas tahun berkeliaran di sana, Adara cari aman.Lagipula usia Elara
***"Diabetes gestasional? Penyakit macam apa itu, Dokter?"Felicya mendapat vonis penyakit diebetes gestasional, pertanyaan tersebut langsung diucapkan Rafly pada dokter Kiran untuk tahu lebih jelas jenis penyakit apa yang diidap istrinya sekarang.Melakukan pemeriksaan kehamilan seperti biasa, kali ini kondisi Felicya ternyata tak sepenuhnya baik karena setelah gula darahnya dinyatakan tak normal, Felicya langsung diharuskan melakukan tes darah untuk mengetahui apa yang terjadi."Diabetes gestasional adalah salah satu komplikasi penyakit yang biasanya terjadi pada ibu hamil di mana kadar gula lebih tinggi dari seharusnya, Pak," ungkap dokter Kiran."Bahaya?" Bukan Rafly, kali ini pertanyaan tersebut terlontar dari mulut Felicya."Bisa dibilang cukup berbahaya," kata dokter Kiran. "Kondisi ini bisa meningkatkan resiko tekanan darah tinggi bahkan preeklampsia yang mengakibatkan bayi lahir dengan ukuran lebih besar, lahir cacat, prematur, dan berbagai kemungkinan lainnya."Felicya terd
***"Dara, dua orang polisi ini namanya Pak Erlan dan Pak Gunawan. Mulai sekarang, mereka berdua akan menjaga Papa kamu di sini sampai nanti beliau sembuh."Kembali ke rumah sakit siang ini, Adam datang bersama dua orang polisi yang diutus pihak kepolisian untuk menjaga Ginanjar setelah pagi tadi Adam memergoki orang mencurigakan di depan kamar rawat sang besan.Tak mau terjadi sesuatu dengan Ginanjar, pagi tadi—setelah gagal menangkap orang mencurigakan di depan kamar rawat Ginanjar, Adam memang langsung mengajukan perlindungan saksi dan karena koneksi yang dia punya, semua proses berjalan dengan lancar."Oh oke, Pa," kata Adara. "Makasih banyak."Tak di dalam ruangan, mereka berbincang di depan karena Ginanjar saat ini harus beristirahat setelah makan siang dan meminum obat beberapa menit lalu."Sama-sama," ucap Adam. "Perihal kasus kamu, meskipun Papa kamu udah ngomong yang sebenarnya, proses sidang akan tetap berlangsung karena berkas sudah masuk ke kejaksaan dan menurut informasi
*** "Onty, Reano mana. Kok enggak kelihatan dari tadi?" Adara yang sedang menyapa para tamu seketika menoleh saat sebuah pertanyaan diucapkan seorang laki-laki muda yang malam ini tampan dengan kemeja navy bluenya. Danial. Yang baru saja bertanya pada Adara adalah Danial. "Eh, Nial. Rean kayanya masih di jalan." "Lho, enggak bareng?" "Mana maulah bareng sama Onty," kata Adara. "Dia kan jemput pacarnya." "Masih sama Lula?" "Masih." Danial tersenyum. "Awet juga ya, enggak kaya kakaknya." "Haha iya." "Ya udah, Nial gabung dulu sama yang lain ya Onty." "Iya, Nial." Malam ini adalah malam yang cukup membahagiakan bagi keluarga besar Alexander—khususnya keluarga Adam karena sebuah pesta tengah digelar di ballroom hotel berbintang di kota Jakarta. Bukan pertunangan atau pernikahan, pesta yang dirancang oleh anak-anak juga para menantu Adam itu adalah sebuah perayaan aniversary pernikahan Adam dan Teresa yang ke lima puluh delapan tahun. Cukup lama Adam menjalin
***"Duh siapa sih?"Masih dengan kedua mata terpejam, Alula mengulurkan tangannya—meraba-raba meja nakas di samping kasur untuk mencari ponsel yang saat ini berdering cukup nyaring.Entah siala yang menelepon, yang jelas Alula merasa sangat terganggu oleh bunyi dering ponselnya tersebut."Ketemu," gumam Alula ketika akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya.Mengambil ponsel tersebut, perlahan Alula membuka matanya dan yang dia temukan di layar adalah nama Reano."Reano. Ngapain sih?"Beringsut, Alula mengubah posisinya menjadi duduk sebelum akhirnya menjawab panggilan dari Reano."Halo, Rean. Kenapa?" tanya Alula parau."Baru bangun?""Iya.""Dih, belum sholat dong?" tanya Reano."Emang ini jam berapa?" tanya Alula yang memang belum sempat melihat jam baik itu di ponsel mau pun di dinding kamar."Jam lima pagi," kata Reano. "Ke air gih sana, cuci muka, wudhu, terus sholat.""Iya.""Nanti jam enam aku ke kamar kamu," ungkap Reano—membuat Alula seketika mengerutkan keningnya."Mau nga
***"Jaga diri baik-baik di sana, awas jangan macam-macam.""Iya, Ma. Siap."Pukul delapan pagi, Reano sudah siap dengan penampilannya yang bisa dibilang cukup rapi. Membawa koper berwarna hitam berisi pakaian ganti, remaja yang satu bulan lalu baru saja genap delapan pelas tahun itu sudah tiba di bandara, diantar Adara juga Danendra.Tujuannya? Tentu saja Jerman. Memanfaatkan libur panjang sebelum masuk kuliah, Reano memang meminta izin pada kedua orang tuanya untuk pergi ke Jerman menemui Nara.Tak sendiri, Reano pergi bersama Alula yang memang ingin menghabiskan waktu liburan di luar negeri.Berhubung kedua orang tuanya sibuk, Alula memutuskan untuk ikut bersama Reano yang sejauh ini bisa dipercaya menjaga putri bungsu seorang Arkananta itu."Jangan macam-macam kalian di sana. Ingat, pisah kamar," kata Aludra memperingatkan."Iya, Mama. Masa satu kamar?" tanya Alula. "Lagian uncle Danen kan udah pesenin dua kamar buat aku sama Reano.""Tenang aja, Ra. Aku udah pesenin kamar yang be
***'Hati-hati di jalan.'Elara yang baru saja memasukkan beberapa baju ke dalam tas seketika mengukir senyumannya ketika sebuah pesan yang bisa dibilang cukup romantis masuk ke ponselnya—membuat dia terbang ke angkasa dengan perasaan yang berbunga-bunga.Bukan dari orang sembarangan, pesan tersebut berasal dari Regan yang memberikan peringatan pada Elara karena sore ini gadis itu akan berangkat menuju Bandung untuk menginap di rumah Aksa selama dua malam.Alasannya? Tentu saja Elara ingin menemui Regan yang satu minggu lalu resmi menjadi pacarnya.Dicomblangkan oleh Respati lalu saling mengenal via virtual selama sebulan lebih, Elara dan Regan sepertinya memiliki banyak kecocokan lalu pada akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan setelah Regan menyatakan cintanya lebih dulu seminggu yang lalu.Regan memang jarang bicara bahkan terkesan dingin, tapi di dekat orang yang membuatnya nyaman, Regan kadang berubah seratus delapan puluh derajat dan bagi Elara, Regan ternyata cukup menyena
***"Oke, istirahat dulu aja ya.""Siap, Kak!"Menyimpan semua peralatan yang ada, para siswa juga siswi yang siang ini memakai pakaian olahraga lantas membubarkan diri lalu berjalan ke pinggir lapangan pun dengan siswi yang kini melangkah untuk menghampiri seseorang di bangku pinggir lapangan."Kamu kalau bosen, pulang aja."Istirahat dari latihannya, Alula langsung menghampiri Reano yang sejak tadi setia menunggu sambil bersandar pada tembok.Sejak masuk di SMA yang sama Alula dan Reano bisa dibilang cukup dekat—lebih tepatnya sengaja didekatkan oleh Adara yang memang menginginkan Reano lupa dengan perasaannya pada Nara.Setiap pagi juga siang setelah pulang sekolah, Reano diwajibkan menjemput dan mengantar Alula ke rumahnya bersama supir karena memang usia yang belum tujuh belas tahun membuat Reano belum diizinkan memakai kendaraan sendiri.Reano sebenarnya sudah beberapa kali menolak karena memang didekatkan paksa seperti ini membuatnya tak nyaman.Namun, sederet ancaman penyitaan
***"Reres, kamu ngapain ke sini?"Keluar dari pintu gerbang sekolah, Elara mengerutkan kening ketika mendapati seorang siswa laki-laki dengan seragam yang berbeda dengannya tengah berdiri sambil mengukir senyuman.Respati.Bukan pacar atau gebetan, siswa laki-laki yang kini tengah bersandar di pintu mobil sedan hitam adalah sepupu Elara—anak dari saudara Danendra."Hai, Kak El," sapa Respati sambil mengangkat telapak tangannya. "Apa kabar?""Baik," kata Elara apa adanya. "Kamu apa kabar?""Baik juga," ucap Respati."Kamu ngapain ke sekolahan aku? Ada urusan apa gimana?" tanya Elara."Iya ada urusan sama Kak El," ucap Respati—membuat Elara seketika mengerutkan keningnya."Urusan apa?""Hm." Respati bergumam pelan, sementara wajahnya terlihat menunjukkan sebuah keraguan. "Mau minta bantuan sih, Kak?""Bantuan apa?"Respati menggaruk tengkuknya yang bahkan tak gatal sama sekali."Res?""Ah iya, Kak. Bantuan apa sih?" tanya Elara. "Ngomong aja. Enggak usah ragu.""Hm, nanti malam Kakak s
***"Baik-baik di sekolah. Jangan banyak tingkah."Sambil mengoleskan selai ke roti, ucapan tersebut dilontarkan Adara pada Reano yang saat ini baru saja duduk di meja makan.Setelah dua minggu liburan berlangsung, tahun ajaran baru akhirnya tiba dan hari ini Reano akan memulai kegiatan sekolahnya di SMA.Sesuai perintah, mau tak mau Reano menurut untuk bersekolah di SMAN 8. Padahal, sudah sejak jauh-jauh hari remaja itu menginginkan sekolah di SMAN 34 karena memang hampir semua teman dekatnya bersekolah di sana."Mau joged di tengah lapangan," celetuk Reano."Apaan sih? Kalau dikasih tahu itu jawab yang benar. Bukan kaya gitu."Elara yang baru saja siap, lantas menoyor kepala adiknya itu dengan tangan kanan sementara tangan kirinya menarik kursi untuk duduk."Kamu juga apaan? Kepala itu sensitif. Enggak usah pake noyor," ketus Reano tak suka.Berbeda dengan kebanyakan siswa yang biasanya bahagia ketika masuk di sekolah baru, Reano justru sebaliknya.Selain karena sekolah yang dia tem
***"Kamu kenapa?"Menghampiri Adara di pinggir kolam, Danendra langsung mengucapkan pertanyaan tersebut setelah beberapa menit lalu terus memperhatikan sang istri yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu."Dan. Kamu di sini.""Orang-orang di dalam, kamu kok di luar?" tanya Danendra. "Lagi mikirin apa sih, hm?""Reano," kata Adara.Danendra mengerutkan keningnya. Dia yang datang membawa segelas air putih lantas menarik kursi lalu duduk di depan Adara."Apa yang kamu pikirkan tentang Reano?" tanya Danendra."Kamu lupa sama apa yang dia omongin tadi di mobil?" tanya Adara. "Reano bilang dia cinta sama Nara, Dan.""Terus masalahnya di mana?""Kok kamu nanya gitu, Danen?" tanya Adara tak suka. "Ya enggak bolehlah! Reano sama Nara itu saudara. Mereka enggak boleh saling mencintai lebih dari sekadar saudara.""Tapi kan bukan kandung," ucap Danendra. "Dalam segi agama ataupun negara, mereka sah-sah aja kalau mau punya hubungan.""Enggak!" pungkas Adara. "Sampai kapan pun aku enggak akan res
***"Males ikut, Ma."Mendengar ucapan tersebut, Adara menoleh seketika lalu memandang putranya sambil menaikkan sebelah alis."Males ikut apa?""Rean malas ikut ke Bandung."Pagi ini—seminggu setelah kepergian Nara ke Jerman, keluarga Adara akan bertolak menuju Bandung, menghadiri undangan yang diberikan keluarga Aksa.Bukan pesta besar, di Bandung sana Aksa hanya merayakan syukuran atas kelulusan putri angkatnya Aileen di salah satu universitas terbaik di kota Bandung dengan nilai yang juga tentunya sangat baik.Tak hanya Danendra dan keluarga, nantinya Adam juga Teresa pun akan datang bersama supir lalu Danish juga terbang dari Surabaya bersama keluarganya."Kenapa?" tanya Adara.Tak tahu tentang yang terjadi pada Nara, Adara memang mulai bersikap biasa kembali. Perempuan itu mencoba menghibur diri dari rasa sedih kehilangan Nara karena tentunya dia berpikir sang putri tak akan lama pergi.Berbeda dengan Adara yang berusaha menghibur diri, Reano justru seperti orang tak bersemangat