***"Enggak mau nginep lagi aja? Masih kangen El tahu Mama tuh."Sambil menggendong Elara menuju teras, Teresa kembali berkata demikian ketika Danendra dan Adara siang ini berniat pulang kembali ke rumah setelah pagi tadi Aksa juga Danish pun pulang ke rumah mereka masing-masing."Enggak, Ma. Mungkin lain hari," kata Danendra. "Lagian Adara kan belum pulang ke rumah sejak bebas.""Adam," panggil Teresa pada Adam yang ikut mengantar setelah mengambil libur sampai hari ini. "Aku nginep di rumah Danendra ya? Enggak lama kok, dua malam doang.""Silakan," kata Adam. "Mau seminggu atau dua minggu pun silakan."Kedua mata Teresa berbinar. "Seriusan?!" tanyanya antusias. Jauh dari cucu-cucunya membuat Teresa merasa paling dekat dengan Elara karena memang hanya balita itu yang mudah untuk dia temui.Ke Surabaya butuh waktu satu jam lebih begitupun Bandung yang harus ditempuh dua sampai tiga jam perjalanan.Jadi rasanya tak salah Teresa menjadikan Elara cucu kesayangan karena untuk menemui cucun
***"Akhirnya kamu bobo juga, Sayang."Danendra tersenyum merekah ketika Elara yang sejak tadi dia momong akhirnya terpejam tepat pukul sembilan malam. Tak seperti biasanya, balita tersebut malam ini tidur terlambat."Bobo yang nyenyak dan jangan ganggu Papa dulu ya," kata Danendra sambil melangkahkan kakinya pelan menuju box bayi untuk menidurkan putrinya di sana. "Papa kangen Mama."Pelan sekali, Danendra membaringkan Elara di dalam box bayi lalu menyelimutinya dengan selimut. Mematikan lampu kamar, dia menyalakan lampu tidur—membuat suasana remang-remang langsung tercipta."Saatnya nyusul Adara."Sambil mengukir senyum, Danendra keluar dari kamar untuk menghampiri Adara yang sejak tadi duduk di ruang tengah lantai dua untuk menonton televisi karena memang untuk menidurkan Elara, Danendra yang bertanggung jawab."Hai," sapa Danendra.Adara menoleh. "Dan," panggilnya. "Elara mana?""Tidur," kata Danendra. "Seperti yang aku bilang. Aku bisa menjalankan tugas dengan baik dan benar.""G
***"Ra, Papa kenapa?""Papa, Dan. Kata dokter dia ...."Alih-alih mengatakan kabar yang baru saja dia dapat pada Danendra, yang dilakukan Adara sekarang justru terisak kembali lalu sibuk menyeka air matanya—membuat rasa penasaran semakin bertumpuk di hati Danendra."Ra," panggil Danendra. "Bisa tenangin diri kamu dulu?""Papa," lirih Adara."Papa kenapa? Ada apa sama Papa?" tanya Danendra —berusaha bersikap sesabar mungkin. "Apa terjadi sesuatu atau gimana? Coba bilang sama aku."Adara berusaha menghentikan isakkan tangisnya lalu memandang Danendra kembali."Papa, Dan," ucapnya lagi. "Papa sadar.""Sadar?" Wajah Danendra terlihat cukup terkejut dengan apa yang baru saja disampaikan Adara. "Maksud kamu Papa siuman? Papa buka mata? Sadar gitu?"Adara mengangguk. "Iya, Dan," jawabnya. "Dokter bilang Papa sadar setengah jam lalu dan sekarang kondisinya mulai stabil."Mendapat kabar bahagia, kedua kaki Danendra tiba-tiba saja merasa lemas, sampai-sampai tak mampu menopang badannya sendir
***"Bahan-bahan mpasinya ada di kulkas ya, Mbak. Kalau saya agak siangan pulang, bikin aja. Elara enggak boleh makan siang lebih dari jam dua belas.""Siap, Non.""Ya udah saya sama Danendra pergi dulu.""Hati-hati di jalan, Non.""Iya."Pagi ini sekitar pukul delapan, Adara dan Danendra bergegas menuju rumah sakit setelah sebelumnya Adara melaksanakan kewajibannya sebagai seorang ibu—memandikkan juga menyuapi Elara.Tak rewel, Elara cukup anteung ketika ditinggalkan karena asyik bermain bersama asisten rumah tangganya di ruang tengah rumah.Adara beruntung. Selain punya suami sebaik Danendra, dia juga punya putri yang cukup pengertian. Seolah mengerti dengan keadaan sang mama, Elara tak pernah rewel sedikit pun ketika Adara meninggalkannya.Jika bisa, sebenarnya Adara ingin membawa serta Elara ke rumah sakit untuk bertemu Ginanjar. Namun, tentu saja peraturan rumah sakit yang tak memperbolehkan anak di bawah tiga belas tahun berkeliaran di sana, Adara cari aman.Lagipula usia Elara
***"Diabetes gestasional? Penyakit macam apa itu, Dokter?"Felicya mendapat vonis penyakit diebetes gestasional, pertanyaan tersebut langsung diucapkan Rafly pada dokter Kiran untuk tahu lebih jelas jenis penyakit apa yang diidap istrinya sekarang.Melakukan pemeriksaan kehamilan seperti biasa, kali ini kondisi Felicya ternyata tak sepenuhnya baik karena setelah gula darahnya dinyatakan tak normal, Felicya langsung diharuskan melakukan tes darah untuk mengetahui apa yang terjadi."Diabetes gestasional adalah salah satu komplikasi penyakit yang biasanya terjadi pada ibu hamil di mana kadar gula lebih tinggi dari seharusnya, Pak," ungkap dokter Kiran."Bahaya?" Bukan Rafly, kali ini pertanyaan tersebut terlontar dari mulut Felicya."Bisa dibilang cukup berbahaya," kata dokter Kiran. "Kondisi ini bisa meningkatkan resiko tekanan darah tinggi bahkan preeklampsia yang mengakibatkan bayi lahir dengan ukuran lebih besar, lahir cacat, prematur, dan berbagai kemungkinan lainnya."Felicya terd
***"Dara, dua orang polisi ini namanya Pak Erlan dan Pak Gunawan. Mulai sekarang, mereka berdua akan menjaga Papa kamu di sini sampai nanti beliau sembuh."Kembali ke rumah sakit siang ini, Adam datang bersama dua orang polisi yang diutus pihak kepolisian untuk menjaga Ginanjar setelah pagi tadi Adam memergoki orang mencurigakan di depan kamar rawat sang besan.Tak mau terjadi sesuatu dengan Ginanjar, pagi tadi—setelah gagal menangkap orang mencurigakan di depan kamar rawat Ginanjar, Adam memang langsung mengajukan perlindungan saksi dan karena koneksi yang dia punya, semua proses berjalan dengan lancar."Oh oke, Pa," kata Adara. "Makasih banyak."Tak di dalam ruangan, mereka berbincang di depan karena Ginanjar saat ini harus beristirahat setelah makan siang dan meminum obat beberapa menit lalu."Sama-sama," ucap Adam. "Perihal kasus kamu, meskipun Papa kamu udah ngomong yang sebenarnya, proses sidang akan tetap berlangsung karena berkas sudah masuk ke kejaksaan dan menurut informasi
***"Kamu jangan telat makan siang ya, Dan. Habis ini langsung makan."Sambil melangkah menyusuri koridor rumah sakit, Adara mengatakan kalimat tersebut pada Danendra lewat sambungan telepon yang kini terhubung.Hari ketiga pasca Ginanjar sadar, Adara kembali mengunjungi sang Papa untuk menemaninya beberapa saat. Tak bisa menginap, Adara memilih datang pukul delapan pagi—setelah menyuapi Elara sarapan lalu akan pulang sekitar pukul dua atau mungkin pukul empat bersama Danendra.Untuk sore sampai pagi, Adara mempercayakan Ginanjar pada Mbak Lia karena meskipun ada polisi, tetap saja Ginanjar butuh pendamping di dalam ruangan yang bisa membantu pria itu ketika membutuhkan sesuatu saat Adara tak ada di sana.Elara sedang tumbuh gigi, beberapa malam ini balita itu cukup rewel dan tentu saja Adara tak mungkin meninggalkannya ketika malam tiba.Senyaman-nyamannya gendongan pengasuh, bagi seorang anak gendongan terbaik tetaplah gendongan ibunya."Iya, Sayang. Habis pekerjaanku selesai, aku l
***"Bu."Usai menyantap makan siangnya di kantin, Danendra mengangkat tangan untuk memanggil sang ibu warung agar dia bisa membayar semua makanan yang baru saja dia santap.Tak bersama siapa-siapa, Danendra menyantap makan siang sendiri tanpa ditemani siapapun karena semua karyawan di sana pun nampak segan untuk mendekat.Padahal, sebagai atasan, Danendra bisa dibilang cukup humble. Namun, tentu saja humble tersebut akan hilang ketika jam kerja sudah dimulai. Danendra tak suka bermain-main dengan pekerjaan. Begitulah prinsipnya."Sudah makannya, Pak?" tanya Bu Emi ketika dia berdiri persis di samping meja Danendra."Sudah, jadi berapa?""Nasi sama ayam dua, sayur, tahu goreng sama teh manis ya, Pak?""Iya.""Empat puluh ribu, Pak.""Oh oke, sebentar."Danendra mengeluarkan dompet dari saku celananya lalu mengambil selembar uang seratus ribuan dari sana untuk dia berikan pada Bu Emi."Saya ambil kembaliannya dulu ya, Pak.""Enggak usah," kata Danendra. "Kembaliannya buat Ibu aja.""T