Share

Bab 3 Pertemuan Kembali dengan Argi

“Argi?”

Mata Akira membola, melihat sosok pria yang sedang tersenyum ke arahnya. Tidak mungkin ia melupakan pria itu, meskipun sudah enam tahun lamanya tidak bertemu.

“Hay, bagaimana keadaanmu? Apa ada yang sakit? Aku akan panggilkan dokter, tunggu sebentar.” Ucap Argi, lalu segera meraih interkom yang berada di atas nakas. Menghubungi dokter untuk meminta datang ke kamar.

Akira hanya terdiam tak menjawab. Mengapa di saat-saat seperti ini, justru Argi hadir kembali dalam hidupnya? Apakah ini sesuatu yang baik atau yang buruk? Akira sendiri tidak mengerti dengan jalan hidupnya.

Tangan Akira meraba perutnya yang tampak mengempis, kembali matanya membulat.

“Bayiku? Kemana bayiku?” Teriak Akira tak terkendali. Dia mencoba bangkit dari posisinya dan hendak menuruni ranjang. Namun tangan Argi menahan langkahnya.

“Bayimu baik-baik saja. Kini masih dipantau oleh dokter, karena bayimu lahir prematur. Jika keadaanmu sudah lebih baik, aku akan membantumu untuk melihat bayimu.” Argi berusaha mencegah agar Akira tidak menuruni ranjang. Tangan kirinya berada di belakang kaki Akira, sementara yang kanan berada di bawah punggung Akira. Mengangkat tubuh lemah itu untuk berbaring kembali.

Akira tidak mampu melawan, karena dia sendiri masih merasa sangat lemah. Jahitan di perutnya pun terasa sakit, karena pergerakannya tadi.

Akira kembali terisak, dia begitu sedih karena yang menemaninya bukanlah Anggara. Dia teringat akan kejadian terakhir yang terjadi sebelum dirinya tak sadarkan diri.

Bukankah seharusnya dia berada di ruangan mayat itu? Dia belum melihat seutuhnya tubuh suaminya.

“Aku ingin menemui suamiku. Argi, bisakah kau membawaku pada suamiku?” Suara Akira terdengar lirih, menahan rasa nyeri pada bekas sayatan operasi yang masih basah. Terlebih rasa perih di hatinya yang teringat kembali akan kenyataan pahit.

“Anggara sudah dimakamkan tadi siang, sesuai permintaan kedua orang tuanya.” Tatapan Argi kembali dingin. Entah dia merasa tidak suka jika Akira justru mengkhawatirkan suaminya yang telah tiada itu.

“Kenapa tidak menungguku? Aku istrinya! Aku berhak berada di sisinya!” Tangis Akira semakin menjadi-jadi. Dia sudah tidak memperdulikan rasa sakit pada bekas sayatan operasi. Kini dadanya semakin sesak, seakan orang di sekelilingnya tidak menghargai keberadaannya. Bahkan dia tidak menjumpai kedua mertuanya selama dia sadar.

“Kondisinya tidak memungkinkan, Akira. Lihatlah keadaanmu sekarang, lebih baik ikhlaskan kepergian suamimu.” Ucap Argi mencoba menenangkan.

“Tidak! Suamiku masih hidup! Mas Anggara masih hidup!” Teriak Akira. Bahkan dia berusaha untuk kembali bangkit dari tidurnya. Dia ingin berkunjung ke makam suaminya. Hanya itu yang bisa dia lakukan saat ini.

Namun Argi berusaha menahan pergerakannya dengan sebuah pelukan.

“Janganlah seperti ini! Perhatikan juga kesehatanmu! Aku juga merasa sedih, Anggara adalah temanku, sahabatku. Cepatlah pulih, nanti aku akan mengantarmu ke makamnya.” Argi memeluk tubuh Akira dengan lembut, tangannya membelai punggung Akira.

Namun Akira semakin berontak, tanpa sadar ia telah memukul dada Argi bertubi-tubi. Tak ada yang bisa menghalanginya untuk bertemu dengan Anggara.

“Tolong lepaskan aku! Aku hanya ingin mengunjungi makam suamiku! Salahkah aku?” Akira terus meronta dalam pelukan Argi, hingga pergerakannya menyebabkan bekas operasi itu terbuka lagi. Darah merembes hingga keluar dari selimut putih yang membalut setengah tubuhnya.

Argi yang melihatnya sontak panik, hingga dia merutuki dokter yang tak kunjung datang.

“Dimana dokter itu, sial. Akira lihatlah jangan terlalu banyak bergerak! Lukamu kembali terbuka. Kau justru akan menyakiti dirimu sendiri! Pikirkanlah putrimu? Anggara sudah tenang di surga, tapi putrimu masih membutuhkan ibunya.” Argi berusaha untuk menenangkan hati Akira.

Hingga tepat saat itu, pintu ruangan terbuka. Seorang dokter datang memasuki ruangan bersama dengan suster.

“Kenapa kalian lama sekali? Lihat saja jika terjadi hal yang buruk padanya, tak segan-segan aku akan memberi kalian hukuman!” Ucap Argi dengan sedikit menekan intonasi, pada dokter wanita yang tampak menunduk takut.

“Maafkan saya tuan, saya akan segera menangani nyonya Akira.” Ucap dokter itu, lalu segera menyuntik obat penenang lewat infus yang terhubung di pergelangan tangan Akira.

Posisi Argi masih terus menahan pergerakan Akira, hingga tak lama gerakan itu mulai melemah. Akira kini terkulai dan kembali tertidur. Argi mulai membaringkan tubuh wanita itu pada posisi nyaman.

“Apa yang terjadi tuan?” Pertanyaan dari dokter justru memantik amarah Argi.

“Kenapa kau bertanya? Bukankah kau seorang dokter?” Tatapan tajam Argi membungkam mulut dokter wanita itu.

“Maafkan saya, ijinkan saya memeriksanya terlebih dahulu.” Sepertinya pria dingin itu menyalahartikan pertanyaannya. Tadinya dokter hanya berniat menanyakan hal yang terjadi ketika melihat banyak darah yang merembes keluar di bagian perut.

“Lakukanlah! Itu sudah menjadi tugas kalian!” Hardik Argi dengan tatapan tajam.

Dia tidak berniat untuk keluar dari ruangan sebelum memastikan keadaan Akira membaik. Dan dokter juga tidak ingin mencari masalah, dia enggan untuk meminta pria itu keluar dari ruangan.

Dokter menyuruh suster untuk membuka selimut yang menutupi tubuh Akira. Ternyata darah yang keluar cukup banyak, hingga perban yang menutup bekas luka operasi berubah merah. Hingga membanjiri celana dalam juga paha Akira.

“Maaf tuan, sepertinya nyonya Akira harus kembali ke ruangan operasi.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status