Share

Bab 2 Operasi Caesar

Argi Rinega membopong tubuh wanita itu menuju ke salah satu ruang rawat. Seorang suster mengikuti langkahnya dari belakang.

Dia sengaja memilih satu ruangan VIP sebagai tempat istirahat Akira, selama dilakukannya tindakan pertolongan pertama.

Dengan sangat hati-hati, tubuh rapuh itu ia letakkan di atas ranjang.

“Tolong periksa wanita ini!” Ucapnya dengan wajah dingin tanpa ekspresi.

Suster terlihat mengangguk, lalu mengeluarkan semua peralatan untuk memeriksa kondisi pasien.

Sementara Argi hanya memandang setiap tindakan yang dilakukan suster itu pada Akira. Matanya terlihat fokus menatap wajah wanita yang terbaring tak sadarkan diri.

Wajah yang begitu cantik meskipun dalam keadaan tertidur, tanpa riasan yang mencolok namun terlihat cantik natural.

Tubuhnya terlihat kurus untuk ukuran seorang wanita yang tengah mengandung. Hingga tatapan Argi beralih pada perut Akira yang terlihat buncit.

“Berapa usia kandungannya?” Suara bariton itu menggema di ruangan yang sepi.

“Saya prediksi kehamilan nyonya sekitar 7 bulan, tuan.” Jawab sang suster yang kini tengah memasang jarum infus di pergelangan tangan Akira.

Meskipun jarum menusuk tangannya, namun tubuh wanita itu masih terdiam. Seakan kesakitan fisik tak sebanding dengan kesakitan batinnya.

“Bagaimana kondisinya?” Tanya Argi lagi, dengan tatapan yang tak beralih dari Akira.

“Kita harus memantau dulu untuk kondisi nyonya Akira. Saya akan memberikan obat penguat kandungan. Sepertinya kandungannya agak sedikit bermasalah, tuan.” Ucap suster, memasang alat pendeteksi detak jantung di perut Akira yang sengaja dibuka. Suster itu sempat mengira jika yang berdiri di sisi ranjang, tak lain adalah suami dari pasien.

“Detak jantung bayi di bawah normal, tuan. Ada kemungkinan jika bayi ini harus dikeluarkan sebelum waktunya.” Lanjut suster, dia melihat pada monitor kecil yang menghubungkan pada detak jantung bayi dalam kandungan Akira.

“Lakukanlah apapun yang terbaik. Aku akan membayar rumah sakit ini dua kali lipat, jika kalian bisa menyelamatkan bayi itu juga ibunya.” Ucap Argi dengan penuh keyakinan.

Suster memandang pada pria dingin itu, dia pun merasa sedikit penasaran karena pria itu tidak melakukan kontak fisik pada istrinya. Yang dia tahu seorang suami tentu akan memeluk dan selalu membelai istrinya dalam keadaan seperti ini. Namun beda halnya dengan pria dingin itu, yang hanya memandang dan sengaja menjaga jarak.

“Baiklah tuan, nanti akan saya persiapkan operasi caesar untuk nyonya.” Suster segera merapikan peralatannya dan pamit undur diri dari ruangan.

Argi masih terdiam di tempat, dengan satu tangan yang dimasukkan dalam saku celananya. Sementara tangan yang lain meraba sisi ranjang.

Tanpa kesadaran penuh, tangan itu bergerak mengusap perut Akira dari balik kain selimut yang menutupi setengah dari tubuh Akira.

Perasaan hangat mengaliri hati Argi, yang telah lama beku. Rasa cinta yang dari dulu tidak pernah menghilang pada sosok wanita di hadapannya. Bahkan setelah sekian lama tidak bertemu, kini semakin bersemi.

Akira adalah cinta pertamanya dulu dari masa SMA. Dia telah memberikan seluruh hatinya hanya untuk mencintai Akira Magdalena.

Namun mengingat kenyataan bahwa gadis itu lebih memilih mencintai sahabatnya sendiri, membuat Argi kembali menarik tangannya.

Ada gurat kekecewaan yang tergambar pada pemilik wajah tegas itu. Selama ini dia sudah melewati hari-harinya yang berat, hanya untuk mengikhlaskan Akira. Mencoba mengubur rasa cintanya, namun perasaan itu terlalu kuat untuk dienyahkan.

Argi memutar tubuhnya, dan melangkah meninggalkan Akira yang masih tak sadarkan diri.

***

Operasi itu dilakukan pada siang hari, dan sampai saat ini Akira belum sadarkan diri. Hingga kondisi bayi dalam kandungannya semakin lemah. Denyut jantungnya menurun dengan cepat, bahkan kondisi Akira sama halnya dengan kondisi bayi dalam perutnya.

Seakan keduanya tidak ingin berada di dunia, kalau harus menghadapi kenyataan hidup jika mereka nantinya akan hidup tanpa sosok suami dan ayah.

Namun dokter yang menangani Akira terus berusaha untuk menyelamatkan nyawa keduanya. Argi sudah membayar dua kali lipat pada pihak rumah sakit, dan berjanji akan menambahkan bonus jika mereka berhasil menyelamatkan Akira dan bayinya.

Operasi dilakukan selama lebih dari satu jam, hingga akhirnya seorang suster keluar untuk memberitahu pada keluarga pasien tentang kondisi di dalam.

“Keluarga atas nama pasien nyonya Akira?” Ucap suster yang masih mengenakan seragam operasi berwarna hijau, juga penutup kepala dengan warna senada.

“Ya, saya keluarganya.” Argi beranjak dari tempat duduknya menghampiri suster.

“Bayi nyonya Akira sudah berhasil keluar dan kini masih dalam observasi. Mungkin membutuhkan waktu cukup lama, karena beratnya masih di bawah dua kilogram. Kini bayi anda sudah berada di inkubator, di ruangan khusus yang sudah anda pesan.” Jelas suster itu dengan ramah.

“Lalu bagaimana keadaan ibunya?” Tanya Argi dengan wajah tanpa ekspresi.

“Maaf, tuan. Kondisi nyonya Akira belum stabil. Selama masa operasi, nyonya begitu banyak kehilangan darah. Namun kami sudah melakukan penanganan, semoga keadaan istri tuan cepat membaik.”

“Lakukanlah apapun untuk kebaikannya. Ingat, aku tidak ingin mendengar kabar apapun, kecuali kabar baik!” ucapan Argi terdengar seperti sebuah perintah yang tidak ingin dibantah.

“Baik tuan. Akan kami usahakan.” Ucap suster sembari menunduk, entah mengapa dia merasa ngeri mendengar suara tajam dari pria dingin itu.

“Kapan aku boleh melihatnya?”

“Mohon ditunggu hingga pasien dipindahkan ke ruang rawat.” Jelas suster lalu pamit untuk kembali memasuki ruangan operasi.

Argi kembali duduk di kursi yang tersedia di depan ruangan. Menunggu dengan rasa cemas, seperti seorang suami yang tengah menunggu istrinya pulih dari melahirkan.

***

Kini Akira sudah dipindahkan di ruang rawat, masih dalam keadaan tak sadar. Sebuah monitor terpasang di sisi ranjang, dengan selang yang terhubung di tubuhnya yang lemah.

Kedua matanya terpejam rapat, dan belum ada tanda-tanda untuk terbuka. Dadanya naik turun dengan nafas yang teratur.

Sementara di samping tempat tidur, Argi masih duduk mengawasi Akira dengan tatapannya yang tajam. Meskipun tanpa ekspresi, dalam hatinya merasa sedikit cemas. Dan berharap wanita itu segera bangun.

Hingga pada tengah malam, jari jemari Akira bergerak perlahan. Argi menangkap gerakan itu, hingga dia beranjak dari tempat duduknya. Berdiri sembari mengusap lembut puncak kepala Akira.

“Akira? Kamu sudah sadar?” Tatapan tajamnya berubah menjadi tatapan lembut penuh perhatian.

Di setengah kesadarannya, Akira mendengar suara itu. Suara yang tampak asing dalam pendengarannya. Dia berusaha untuk membuka matanya yang terasa begitu berat.

Sebuah bayangan yang terlihat kabur dalam pandangan, namun Akira masih berusaha menyesuaikan pandangannya dengan cahaya ruangan.

Hingga sosok seorang pria itu terlihat nyata di penglihatannya.

“Argi?”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status