Argi terus menunggu di luar ruangan operasi dengan raut wajah penuh kecemasan. Dia memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana panjang. Berjalan mondar-mandir di depan pintu yang masih tertutup.
“Sialan, jika hal buruk terjadi pada Akira. Aku akan menuntut kalian semua!” Ujar Argi bermonolog. Beberapa kali ponselnya berbunyi, namun Argi enggan untuk menjawab panggilan yang entah dari siapa. Dia tak peduli, yang ada dipikirannya hanya Akira. Bahkan selama di rumah sakit, Argi tak sempat menjenguk bayi Akira yang masih berada di ruangan khusus bayi prematur. Nafasnya tersengal, sudah satu jam berlalu namun pintu tak kunjung terbuka. Hingga dia memutuskan untuk duduk dengan tatapan yang tak beralih sedetikpun pada pintu kamar operasi. Tak lama, pintu terbuka dan dokter wanita tadi muncul dari ambang pintu. Argi segera bangkit menghampiri. “Bagaimana? Apa dia baik-baik saja?” Tanya Argi tak sabar mendengar jawaban dari sang dokter. Dokter mengangguk dan tersenyum, meski senyumnya terhalang oleh masker. Namun Argi dapat menangkap ekspresi wajah dokter wanita itu. “Semua berjalan baik, tuan. Kami sudah mengatasinya. Kami pastikan kondisi nyonya akan membaik. Tolong bantu kami agar nyonya tidak memikirkan hal yang sedih, karena akan mempengaruhi kesembuhannya. Jika nyonya nanti ingin melihat kondisi bayinya, kami mengijinkan untuk tuan membawa nyonya ke ruangan bayi.” Jelas dokter itu, yang disambut anggukan Argi. “Kapan saya boleh melihatnya?” “Secepatnya, kami akan pindahkan nyonya Akira ke kamarnya.” Dokter itu kembali masuk ke dalam ruangan operasi. Argi melirik ke jam tangan mewah yang bertengger di pergelangan tangan. Masih tengah malam, dan tiba-tiba dia ingin melihat kondisi bayi prematur itu. Sembari menunggu Akira dipindahkan ke ruangan rawat, Argi melangkah mencari tahu tentang keberadaan bayi Akira. Seorang suster mengantarnya hingga berada di ruangan khusus, dimana hanya ada satu bayi yang berada di inkubator. “Ini bayi nyonya Akira, tuan.” Ucap suster itu memberitahu, lalu melangkah mundur untuk memberi ruang bagi Argi, agar bisa melihat lebih dekat. Namun Argi tak bergeming dari posisinya. Matanya menatap lurus pada keberadaan bayi yang tengah tertidur. Tubuhnya sangat kecil dan warnanya merah. Nafasnya terlihat lebih cepat dari nafas bayi normal pada umumnya. Argi tertegun memandang ke wajah bayi yang memiliki kemiripan dengan ayah kandungnya. Ya, bayi itu sangat mirip dengan Anggara. Hidungnya, bentuk bibirnya. Bahkan Argi seperti tengah melihat Anggara dalam versi perempuan. Mendadak hatinya diliputi rasa cemburu, kekecewaan yang selama ini dia pendam kembali menyeruak dalam pikirannya. Argi tidak pernah bisa melupakan pengkhianatan yang dilakukan Anggara padanya. Meski kejadian itu sudah berlangsung sangat lama, namun dia belum mampu mengubur rasa sakit itu. Argi memutar tubuhnya dan berjalan keluar dari ruangan itu, membuat suster yang berada di belakangnya terlihat bingung. Namun suster itu tidak berani bertanya, karena dia sangat tahu akan sosok pria dingin itu. Jika nantinya ia salah berucap, maka karirnya yang dipertaruhkan. Argi tak memperdulikan waktu yang sudah sangat larut. Dia berniat akan menjernihkan pikirannya sejenak. Mencari tempat sepi untuk dirinya menyendiri. Tempat yang terletak tak jauh dari kawasan rumah sakit. Duduk di bangku kayu yang terdapat di suatu taman, tempat itu dipenuhi oleh rumput hijau yang dipangkas rapi. Meraih kotak rokok dari saku jasnya, menyalakannya sebatang. Asap mengepul ke udara, seirama dengan nafasnya yang terhembus dengan berat. Tatapannya mengarah ke langit malam yang dipenuhi oleh bintang malam. Tampak indah namun tak menghapus suasana hatinya yang sedang mendung. ‘Aku akan menghapus kenanganmu bersama Anggara. Aku pastikan kau tidak akan lagi memikirkan pria itu. Hanya aku yang akan ada di pikiranmu mulai saat ini, Akira.' Ucap Argi dalam hati. Dia bangkit berdiri dan membuang puntung rokok di tempat sampah yang tersedia. Lalu kembali melangkah menuju rumah sakit. Tujuannya tak lain adalah ruang rawat Akira, dirinya tidak sabar untuk bisa melihat keadaan wanita yang dicintainya. Seorang suster menunggu di samping ranjang, lalu segera bangkit berdiri ketika melihat kemunculan Argi dari ambang pintu. “Nyonya masih istirahat—” ucapannya dihentikan oleh Argi. Jari telunjuknya terangkat ke arah suster, mengisyaratkan untuk diam. Dia tidak butuh penjelasan yang menurutnya tidak penting dan hanya mengganggu waktunya. “Keluarlah!” Ucap Argi memerintah setengah memaksa. Raut wajahnya begitu dingin, membuat sang suster menunduk karena takut. Suster segera melangkah dengan cepat meninggalkan ruangan itu. Dan hatinya lega ketika sudah berada di luar ruangan. “Tampan sih, tapi kok serem ya. Galak banget.” Ucap suster itu dengan suara kecil, tentunya dia berbicara dengan dirinya sendiri. Setelah seharian ini dia mendapat tugas khusus dari sang pemilik rumah sakit, untuk melayani pria yang tak lain adalah pemilik saham setengah lebih dari rumah sakit elit itu. Baru kali ini melihat secara langsung pada bos yang dikiranya sudah tua, namun kenyataanya adalah pria muda berusia 24 tahun. Pria yang tampan tapi terlihat arogan, hingga hampir semua petugas rumah sakit begitu takut jika tengah berhadapan langsung. *** Argi melihat pada wajah Akira yang terlihat pucat, namun begitu cantik di penglihatannya. Tangannya menggenggam erat jemari Akira yang terkulai di atas ranjang. Membawa tangan lemah itu menuju bibirnya. Mencium dengan durasi cukup lama. “Akira, kamu tidak akan pernah merasa hidup sendiri. Aku sudah datang untukmu. Hidup kita akan bahagia. Bahkan lebih bahagia dibanding dengan hidupmu bersama Anggara.” Senyum kaku terukir di sudut bibir Argi. Senyum yang memiliki maksud dan tujuan tertentu. Hanya dia yang tahu. ***Mentari muncul dari ufuk timur, bias cahaya berbelok melewati jendela kaca, memasuki ruangan dari balik gorden yang sedikit terbuka. Cahaya hangat menyentuh permukaan kulit wajah Akira yang masih bergelung dalam mimpi. Akira tengah berada di lapangan rumput luas, dan tatapannya tertuju ke arah langit yang begitu gelap dan hanya dihiasi oleh satu bintang. Namun tiba-tiba kabut menghiasi daerah sekitarnya. Suasana hijau kini berubah mendung, tertutup dengan kabut yang semakin lama semakin tebal. Membuat pandangannya menjadi buram, jalanan di hadapannya juga tidak terlihat karena tertutup kabut yang sudah seperti awan putih. Akira mencoba untuk mencari jalan keluar sembari memfokuskan pandangannya ke depan. Beberapa kali kakinya tersandung, karena benda keras yang menghalangi jalannya. Kembali dia tersandung, namun kali ini membuat tubuhnya hilang keseimbangan. Akira terjatuh, tangannya meraba pada permukaan rumput yang menjadi alasnya saat ini. Mencoba berdiri kembali, nam
Melihat tatapan tak bersahabat, dokter kembali menunduk. Sepertinya dia sudah salah bersikap. Dan mencoba untuk tidak terlalu banyak bicara. Meskipun banyak pertanyaan dalam hatinya tentang kemiripan wajah bayi itu dengan ayahnya. Dokter hanya mengetahui, jika wanita itu adalah istri dari sang bos. Memang dari awal berada di rumah sakit, Argi hanya mengatakan jika Akira adalah calon istrinya. Namun karirnya lebih penting dibandingkan rasa penasaran. Dokter segera mengambil peralatan dan berniat untuk pamit dari ruangan. “Sus, nanti tolong letakkan bayi ini ke dalam inkubator. Pastikan jika keadaan bayi ini dalam posisi yang benar.” Ucap dokter memberi perintah pada asistennya. Lalu pamit untuk keluar ruangan. Rasanya tidak puas Akira memeluk putri kecilnya, bahkan waktu sudah berjalan 30 menit. Namun sepertinya Akira harus meninggalkan putrinya, agar bisa kembali beristirahat dalam inkubator. “Jika nyonya ingin menjenguknya lagi, silahkan datang kemari. Mohon maaf untuk seme
Wajah Akira tampak tegang mendengar ucapan Argi di luar dari dugaan. Dia tidak menyangka jika Argi kembali ingin mengejar cintanya. “Aku rasa, cintaku padamu sangatlah besar, hingga aku tidak bisa melupakanmu. Meski aku terus berusaha, namun sepertinya aku tidak berdaya.” Wajah Argi begitu menyiratkan harapan, menatap Akira dengan tatapan lembut penuh cinta. Namun Akira tidak ingin mengecewakan Argi untuk kedua kalinya. Dulunya dia bersikap tidak enakan, namun kini dia sudah dewasa. Dia harus bersikap lebih tegas agar tidak menyakiti hati Argi. “Maafkan aku, Gi. Aku tidak bisa, kamu tahu aku sudah punya suami? Dan aku adalah seorang ibu.” Ucap Akira mencari alasan. Dia tidak ingin memberi harapan palsu pada pria itu. “Apa kau lupa, jika Anggara sudah pergi? Aku bahkan sudah siap untuk menggantikan posisi Anggara. Aku akan menjadi bagian hidupmu. Bayimu butuh seorang ayah, dan aku sanggup menyayanginya seperti anakku sendiri. Ketahuilah Akira, aku akan membalut lukamu. Ijinkanlah k
Malam itu Akira harus bisa melewati kesepiannya sendiri. Berada di ranjang dengan suasana hening, tanpa ada Argi yang dari kemarin malam selalu menemani.Tatapannya mengarah pada langit-langit kamar dengan warna putih yang mendominasi.‘Mas Anggara, apa kamu baik-baik saja di sana? Mengapa aku tidak percaya engkau telah tiada? Anak kita sudah lahir, bayi mungil kita. Aku akan menjaga dan menyayanginya seumur hidupku. Ashley, ya aku akan menamai putri kita Ashley Widjaja Anggara seperti yang engkau inginkan. Datanglah malam ini mas Aang. Aku begitu merindukanmu. Apakah kau tidak merindukanku? Aku berjanji akan mengunjungimu setelah aku pulih.’ batin Akira miris.Dia terus menangis sesenggukan sambil memeluk bantal putih. Akira begitu merindukan pelukan Anggara, kehangatan yang selalu Anggara berikan. Hingga tak lama dia pun tertidur karena lelah menangis, menyelam dalam mimpi.Hari sudah sangat malam, dia tengah berada di teras rumah, menunggu sosok suami yang begitu dirindukan. Tatapa
Argi sengaja memesan satu kamar yang berada di sebelah kamar Akira. Dia sudah membersihkan diri dan mengganti kostum dengan baju santai.Namun selama semalaman, matanya sulit untuk tertutup. Hingga Argi memutuskan untuk menjaga Akira di depan pintu kamarnya. Tatapannya tidak pernah beralih pada pintu kaca. Di sana dia bisa melihat langsung ke arah Akira yang terlihat tidak nyaman dalam tidurnya.Bahkan Argi mendengar mulut Akira yang terus berteriak memanggil nama suaminya, meskipun mata Akira terpejam.Argi sudah menduga jika wanita itu tengah mengalami mimpi buruk. Dia sangat ingin masuk agar bisa memeluk Akira, untuk sedikit menenangkannya. Namun Argi berusaha menahan diri dari keinginannya itu.Tangannya meraih ponsel yang tersimpan dari saku celana, dan segera menghubungi seseorang.“Saya minta kirim satu suster terbaik untuk segera datang ke sini!” Ucap Argi singkat, lalu segera memutus panggilan tanpa menunggu jawaban dari orang yang ditelepon.Tak lama seorang suster wanita da
“Septian Anggara menjadi salah satu korban tewas dalam penerbangan pesawat Japan Airlines, saya meminta keluarga untuk datang mengidentifikasi mayatnya. Kini jasadnya sudah berada di Rumah Sakit Medika Utama.” Ucap seseorang yang melakukan panggilan telepon. Mata Akira membulat karena terkejut. Tangannya gemetar hingga benda pipih berbentuk persegi itu terlepas dari genggamannya. Tubuhnya luruh, bertumpu pada kedua lutut. Isak tangis mulai terdengar ke seluruh penjuru rumah. Bagaimana seorang istri bisa kuat menghadapi berita tentang kematian suaminya? Hati Akira begitu sesak, terasa sakit seperti dikoyak ribuan pisau. Mendengar berita yang sangat mengejutkan, layaknya mendengar suara petir di siang bolong, tak ayal membuat dirinya merasa sangat syok. Kabar itu begitu menyakiti hatinya. Akira belum siap untuk menerima kenyataan pahit ini. Anggara adalah suaminya, satu-satunya orang yang menemani semenjak dirinya hidup sebatang kara. Jika memang berita itu adalah sebuah kenyat
Argi Rinega membopong tubuh wanita itu menuju ke salah satu ruang rawat. Seorang suster mengikuti langkahnya dari belakang. Dia sengaja memilih satu ruangan VIP sebagai tempat istirahat Akira, selama dilakukannya tindakan pertolongan pertama. Dengan sangat hati-hati, tubuh rapuh itu ia letakkan di atas ranjang. “Tolong periksa wanita ini!” Ucapnya dengan wajah dingin tanpa ekspresi. Suster terlihat mengangguk, lalu mengeluarkan semua peralatan untuk memeriksa kondisi pasien. Sementara Argi hanya memandang setiap tindakan yang dilakukan suster itu pada Akira. Matanya terlihat fokus menatap wajah wanita yang terbaring tak sadarkan diri. Wajah yang begitu cantik meskipun dalam keadaan tertidur, tanpa riasan yang mencolok namun terlihat cantik natural. Tubuhnya terlihat kurus untuk ukuran seorang wanita yang tengah mengandung. Hingga tatapan Argi beralih pada perut Akira yang terlihat buncit. “Berapa usia kandungannya?” Suara bariton itu menggema di ruangan yang sepi. “
“Argi?” Mata Akira membola, melihat sosok pria yang sedang tersenyum ke arahnya. Tidak mungkin ia melupakan pria itu, meskipun sudah enam tahun lamanya tidak bertemu. “Hay, bagaimana keadaanmu? Apa ada yang sakit? Aku akan panggilkan dokter, tunggu sebentar.” Ucap Argi, lalu segera meraih interkom yang berada di atas nakas. Menghubungi dokter untuk meminta datang ke kamar. Akira hanya terdiam tak menjawab. Mengapa di saat-saat seperti ini, justru Argi hadir kembali dalam hidupnya? Apakah ini sesuatu yang baik atau yang buruk? Akira sendiri tidak mengerti dengan jalan hidupnya. Tangan Akira meraba perutnya yang tampak mengempis, kembali matanya membulat. “Bayiku? Kemana bayiku?” Teriak Akira tak terkendali. Dia mencoba bangkit dari posisinya dan hendak menuruni ranjang. Namun tangan Argi menahan langkahnya. “Bayimu baik-baik saja. Kini masih dipantau oleh dokter, karena bayimu lahir prematur. Jika keadaanmu sudah lebih baik, aku akan membantumu untuk melihat bayimu.” Argi b