Share

Bab 4 Melihat Bayi Prematur

Argi terus menunggu di luar ruangan operasi dengan raut wajah penuh kecemasan. Dia memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana panjang. Berjalan mondar-mandir di depan pintu yang masih tertutup.

“Sialan, jika hal buruk terjadi pada Akira. Aku akan menuntut kalian semua!” Ujar Argi bermonolog.

Beberapa kali ponselnya berbunyi, namun Argi enggan untuk menjawab panggilan yang entah dari siapa. Dia tak peduli, yang ada dipikirannya hanya Akira. Bahkan selama di rumah sakit, Argi tak sempat menjenguk bayi Akira yang masih berada di ruangan khusus bayi prematur.

Nafasnya tersengal, sudah satu jam berlalu namun pintu tak kunjung terbuka. Hingga dia memutuskan untuk duduk dengan tatapan yang tak beralih sedetikpun pada pintu kamar operasi.

Tak lama, pintu terbuka dan dokter wanita tadi muncul dari ambang pintu. Argi segera bangkit menghampiri.

“Bagaimana? Apa dia baik-baik saja?” Tanya Argi tak sabar mendengar jawaban dari sang dokter.

Dokter mengangguk dan tersenyum, meski senyumnya terhalang oleh masker. Namun Argi dapat menangkap ekspresi wajah dokter wanita itu.

“Semua berjalan baik, tuan. Kami sudah mengatasinya. Kami pastikan kondisi nyonya akan membaik. Tolong bantu kami agar nyonya tidak memikirkan hal yang sedih, karena akan mempengaruhi kesembuhannya. Jika nyonya nanti ingin melihat kondisi bayinya, kami mengijinkan untuk tuan membawa nyonya ke ruangan bayi.” Jelas dokter itu, yang disambut anggukan Argi.

“Kapan saya boleh melihatnya?”

“Secepatnya, kami akan pindahkan nyonya Akira ke kamarnya.” Dokter itu kembali masuk ke dalam ruangan operasi.

Argi melirik ke jam tangan mewah yang bertengger di pergelangan tangan. Masih tengah malam, dan tiba-tiba dia ingin melihat kondisi bayi prematur itu.

Sembari menunggu Akira dipindahkan ke ruangan rawat, Argi melangkah mencari tahu tentang keberadaan bayi Akira.

Seorang suster mengantarnya hingga berada di ruangan khusus, dimana hanya ada satu bayi yang berada di inkubator.

“Ini bayi nyonya Akira, tuan.” Ucap suster itu memberitahu, lalu melangkah mundur untuk memberi ruang bagi Argi, agar bisa melihat lebih dekat.

Namun Argi tak bergeming dari posisinya. Matanya menatap lurus pada keberadaan bayi yang tengah tertidur. Tubuhnya sangat kecil dan warnanya merah. Nafasnya terlihat lebih cepat dari nafas bayi normal pada umumnya.

Argi tertegun memandang ke wajah bayi yang memiliki kemiripan dengan ayah kandungnya.

Ya, bayi itu sangat mirip dengan Anggara. Hidungnya, bentuk bibirnya. Bahkan Argi seperti tengah melihat Anggara dalam versi perempuan.

Mendadak hatinya diliputi rasa cemburu, kekecewaan yang selama ini dia pendam kembali menyeruak dalam pikirannya.

Argi tidak pernah bisa melupakan pengkhianatan yang dilakukan Anggara padanya. Meski kejadian itu sudah berlangsung sangat lama, namun dia belum mampu mengubur rasa sakit itu.

Argi memutar tubuhnya dan berjalan keluar dari ruangan itu, membuat suster yang berada di belakangnya terlihat bingung.

Namun suster itu tidak berani bertanya, karena dia sangat tahu akan sosok pria dingin itu. Jika nantinya ia salah berucap, maka karirnya yang dipertaruhkan.

Argi tak memperdulikan waktu yang sudah sangat larut. Dia berniat akan menjernihkan pikirannya sejenak.

Mencari tempat sepi untuk dirinya menyendiri. Tempat yang terletak tak jauh dari kawasan rumah sakit.

Duduk di bangku kayu yang terdapat di suatu taman, tempat itu dipenuhi oleh rumput hijau yang dipangkas rapi.

Meraih kotak rokok dari saku jasnya, menyalakannya sebatang. Asap mengepul ke udara, seirama dengan nafasnya yang terhembus dengan berat.

Tatapannya mengarah ke langit malam yang dipenuhi oleh bintang malam. Tampak indah namun tak menghapus suasana hatinya yang sedang mendung.

‘Aku akan menghapus kenanganmu bersama Anggara. Aku pastikan kau tidak akan lagi memikirkan pria itu. Hanya aku yang akan ada di pikiranmu mulai saat ini, Akira.' Ucap Argi dalam hati.

Dia bangkit berdiri dan membuang puntung rokok di tempat sampah yang tersedia. Lalu kembali melangkah menuju rumah sakit.

Tujuannya tak lain adalah ruang rawat Akira, dirinya tidak sabar untuk bisa melihat keadaan wanita yang dicintainya.

Seorang suster menunggu di samping ranjang, lalu segera bangkit berdiri ketika melihat kemunculan Argi dari ambang pintu.

“Nyonya masih istirahat—” ucapannya dihentikan oleh Argi. Jari telunjuknya terangkat ke arah suster, mengisyaratkan untuk diam. Dia tidak butuh penjelasan yang menurutnya tidak penting dan hanya mengganggu waktunya.

“Keluarlah!” Ucap Argi memerintah setengah memaksa. Raut wajahnya begitu dingin, membuat sang suster menunduk karena takut.

Suster segera melangkah dengan cepat meninggalkan ruangan itu. Dan hatinya lega ketika sudah berada di luar ruangan.

“Tampan sih, tapi kok serem ya. Galak banget.” Ucap suster itu dengan suara kecil, tentunya dia berbicara dengan dirinya sendiri.

Setelah seharian ini dia mendapat tugas khusus dari sang pemilik rumah sakit, untuk melayani pria yang tak lain adalah pemilik saham setengah lebih dari rumah sakit elit itu.

Baru kali ini melihat secara langsung pada bos yang dikiranya sudah tua, namun kenyataanya adalah pria muda berusia 24 tahun. Pria yang tampan tapi terlihat arogan, hingga hampir semua petugas rumah sakit begitu takut jika tengah berhadapan langsung.

***

Argi melihat pada wajah Akira yang terlihat pucat, namun begitu cantik di penglihatannya. Tangannya menggenggam erat jemari Akira yang terkulai di atas ranjang. Membawa tangan lemah itu menuju bibirnya. Mencium dengan durasi cukup lama.

“Akira, kamu tidak akan pernah merasa hidup sendiri. Aku sudah datang untukmu. Hidup kita akan bahagia. Bahkan lebih bahagia dibanding dengan hidupmu bersama Anggara.” Senyum kaku terukir di sudut bibir Argi. Senyum yang memiliki maksud dan tujuan tertentu. Hanya dia yang tahu.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status