Share

Bab 6 Kembali Berharap

Melihat tatapan tak bersahabat, dokter kembali menunduk. Sepertinya dia sudah salah bersikap. Dan mencoba untuk tidak terlalu banyak bicara. Meskipun banyak pertanyaan dalam hatinya tentang kemiripan wajah bayi itu dengan ayahnya.

Dokter hanya mengetahui, jika wanita itu adalah istri dari sang bos. Memang dari awal berada di rumah sakit, Argi hanya mengatakan jika Akira adalah calon istrinya.

Namun karirnya lebih penting dibandingkan rasa penasaran. Dokter segera mengambil peralatan dan berniat untuk pamit dari ruangan.

“Sus, nanti tolong letakkan bayi ini ke dalam inkubator. Pastikan jika keadaan bayi ini dalam posisi yang benar.” Ucap dokter memberi perintah pada asistennya. Lalu pamit untuk keluar ruangan.

Rasanya tidak puas Akira memeluk putri kecilnya, bahkan waktu sudah berjalan 30 menit. Namun sepertinya Akira harus meninggalkan putrinya, agar bisa kembali beristirahat dalam inkubator.

“Jika nyonya ingin menjenguknya lagi, silahkan datang kemari. Mohon maaf untuk sementara bayinya belum bisa bersama nyonya dalam satu ruangan. Namun saya akan menjaganya dengan baik. Nyonya tidak perlu khawatir.” Suster mencoba menenangkan hati Akira, yang terlihat murung ketika bayinya kembali diletakkan ke inkubator.

“Tidak masalah sus, setiap hari saya akan datang kemari menjenguknya. Saya titip putri saya.” Akira menghapus air matanya lalu segera meminta Argi untuk mendorongnya kembali ke kamar.

***

Sesampainya di kamar, Argi kembali menggendong Akira menuju ranjang. Bahkan dia sengaja menghentikan kursi roda di ambang pintu. Agar waktu terasa lebih lama, bisa merasakan hangatnya tubuh Akira.

Wanita itu hanya pasrah dan tidak protes sedikitpun. Sebenarnya Akira merasa nyeri di sekitar perut, namun dia tidak enak hati untuk mengatakannya ke orang lain.

Argi menangkap wajah Akira yang terlihat meringis menahan sakit.

“Akira, apa ada yang sakit? Apa perlu aku panggilkan dokter?” Tanya Argi tampak khawatir.

Akira hanya mengangguk lemah, nyeri itu semakin tak tertahankan. Hingga wajahnya terlihat pucat dan meringis.

Argi dengan sigap segera melangkah keluar, mencari keberadaan dokter. Dia sengaja tidak menggunakan telepon dalam ruangan, karena takut jika dokter itu datang lebih lama, sama seperti kemarin.

Hingga tak lama datang dokter wanita dan seorang suster yang membawakan nampan berisi sarapan dan obat.

“Selamat pagi nyonya Akira. Ijinkan saya memeriksa kondisi nyonya.” Ucap dokter itu ramah, disambut anggukan oleh Akira.

Dokter segera melaksanakan tugasnya, membuka sebagian baju Akira untuk melihat ke dalam luka bekas operasi.

“Sejauh ini keadaannya baik. Mohon jangan terlalu banyak bergerak. Jika butuh sesuatu tolong hubungi suster. Saya akan memberi obat antibiotik dan juga pereda nyeri. Obat ini diminum setelah makan.” Dokter menutup kembali baju Akira dan melapisinya dengan selimut.

Kemudian dia pamit untuk keluar dari ruangan. Meninggalkan satu suster yang masih menyuntikkan obat antibiotik dalam infus.

“Baiklah, kini saatnya nyonya sarapan. Apa saya perlu membantu nyonya?” Tanya suster itu setelah menyelesaikan tugasnya.

“Biarkan saja sus, keluarlah! Saya yang akan mengurusnya.” Ucap Argi yang terdengar seperti perintah. Membuat Akira merasa tidak enak hati.

Suster menundukkan diri, lalu segera keluar dari ruangan.

Kini tinggal mereka berdua yang sama-sama terdiam. Suasana berubah jadi kaku. Akira pun tidak mengerti akan pikiran Argi, mengapa justru pria itu bersikap sangat baik. Padahal dulunya Akira pernah membuatnya patah hati.

Argi menghembuskan nafasnya dengan berat, sebelum melangkah untuk duduk di kursi samping ranjang. Tangannya meraih pada mangkuk yang berisi bubur.

“Baiklah, kamu harus makan sebelum minum obat. Aku akan membantumu.” Ucap Argi mengulas senyum. Menyendok bubur itu dan mengarahkannya pada bibir Akira.

“Aku bisa makan sendiri.” Akira menolak suapan itu. Dan berusaha untuk duduk bersandar. Namun perutnya masih terasa nyeri.

“Sudahlah, aku akan membantumu. Tidak perlu sungkan.” Ucap Argi seakan mengerti dengan kondisi Akira.

Akira hanya terdiam tak menjawab, namun dia membuka mulutnya ketika sendok itu kembali diarahkan.

Sampai semangkuk bubur itu habis, Argi kembali menyodorkan satu butir obat untuk diminum. Lalu membantu Akira untuk kembali berbaring.

Akira terus mengamati setiap tindakan yang dilakukan pria itu. Sungguh dia sendiri merasa aneh dengan sikap Argi. Apakah pria itu tidak merasa sakit hati atas perlakuannya dulu? Padahal hingga saat ini belum ada ucapan permintaan maaf dari mulut Akira, namun seakan Argi telah melupakan peristiwa itu.

“Apa kamu sudah tidak marah?” ucap Akira dengan hati-hati. Dia ingin menanyakan langsung karena sangat penasaran.

“Untuk apa aku marah?” Argi justru membalik pertanyaannya. Ditatapnya wanita itu dengan tatapan lembut, membuat Akira merasa tak kuat untuk membalas tatapannya. Kembali Akira menundukkan pandangan.

“Argi, aku meminta maaf karena sudah membuatmu sakit hati.” ucap Akira, tangannya memilin ujung selimut untuk meredakan perasaan bersalah.

“Aku sudah lama melupakannya, dan perlu kamu tahu jika kamu tidak bersalah. Justru akulah yang terlalu berharap.” suara Argi terdengar begitu hangat, hingga membuang sedikit rasa bersalah dalam hati Akira.

Akira bernafas lega, setelah sekian lama memendam rasa bersalahnya kini Argi sudah memaafkannya.

“Tapi bolehkah aku kembali berharap?” Ucapan Argi, membuat Akira menoleh ke arahnya dengan bola mata melebar.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status