Mentari muncul dari ufuk timur, bias cahaya berbelok melewati jendela kaca, memasuki ruangan dari balik gorden yang sedikit terbuka.
Cahaya hangat menyentuh permukaan kulit wajah Akira yang masih bergelung dalam mimpi. Akira tengah berada di lapangan rumput luas, dan tatapannya tertuju ke arah langit yang begitu gelap dan hanya dihiasi oleh satu bintang. Namun tiba-tiba kabut menghiasi daerah sekitarnya. Suasana hijau kini berubah mendung, tertutup dengan kabut yang semakin lama semakin tebal. Membuat pandangannya menjadi buram, jalanan di hadapannya juga tidak terlihat karena tertutup kabut yang sudah seperti awan putih. Akira mencoba untuk mencari jalan keluar sembari memfokuskan pandangannya ke depan. Beberapa kali kakinya tersandung, karena benda keras yang menghalangi jalannya. Kembali dia tersandung, namun kali ini membuat tubuhnya hilang keseimbangan. Akira terjatuh, tangannya meraba pada permukaan rumput yang menjadi alasnya saat ini. Mencoba berdiri kembali, namun tiba-tiba muncul sosok Anggara di hadapannya. Wajah suaminya yang terlihat tampak pucat. Wajah dingin tanpa senyum namun memandangnya sangat tajam. Kini Akira telah berdiri tegak. Ada keinginan untuk menggapai pria dingin yang sangat dirindukan. Namun semakin berjalan mendekat, sosok Anggara semakin berjalan mundur dan menjauh. “Mas Anggara, mau kemana mas. Kemarilah mas, ayo kita pulang!” Ucapnya lirih, namun tak ada jawaban. Dia terus mengejar pria yang terus menatap ke arahnya, namun pria itu terus berjalan mundur. Hingga lama kelamaan sosok Anggara menghilang ditelan kabut tebal. “Mas Aang? Jangan pergi!” Dia masih berusaha untuk mencegah kepergian suaminya. Mencoba berlari-lari tanpa arah, menembus kabut yang semakin tebal. Hingga suasana berubah menjadi sangat gelap. “Mas Anggara, jangan pergi!” Teriak Akira tersengal-sengal. Keringat dingin membasahi pelipis dan sebagian wajahnya. Akira terbangun, tangannya terangkat menggapai udara kosong di depannya. Dia melihat ke sekeliling ruangan namun tak juga menjumpai keberadaan Anggara, seperti dalam mimpi. Akira meringkuk di atas ranjang, perasaan sedih karena kehilangan sosok suami kembali berputar di pikirannya. Tubuhnya yang meringkuk tampak gemetar menahan rasa sakit dan rindu yang mendalam. Hanya suara isak tangis yang terdengar di ruangan yang cukup luas itu. Akira menumpahkan seluruh isi hatinya lewat air mata sendu. Sampai saat ini pun Akira tidak akan rela Anggara meninggalkan dirinya, tanpa pamit. Mengijinkan Anggara untuk pergi ke Jepang demi melakukan perjalanan bisnis, merupakan penyesalan seumur hidupnya. Jika tahu suaminya akan meninggalkannya, Akira tidak akan pernah mengijinkan. Sebuah tangan menepuk bahunya pelan, membuat Akira terlonjak kaget. “Apa kamu mimpi buruk?” Suara Argi terdengar memecah kesunyian. Raut wajah pria itu sarat akan rasa khawatir. Akira tak menjawab dengan ucapan, namun kepalanya mengangguk samar. “Minumlah, sepertinya kamu sedang dalam kondisi buruk.” Argi meraih satu botol air mineral, membuka penutup dan menyerahkannya pada Akira. Akira meraih botol itu dan segera meneguk isinya untuk membasahi tenggorokan yang terasa kering. “Terima kasih.” Ucap Akira singkat, tanpa menoleh ke arah Argi. Matanya menatap kosong ke arah kain selimut yang terbentang menutup sebagian dari tubuhnya. Argi tersenyum tipis, meraih botol minum dari tangan Akira dan meletakkannya di atas nakas. Lalu dia mengangkat kursi agar lebih mendekat ke arah ranjang. Keduanya sama-sama terdiam dengan pemikiran masing-masing. Akira dengan kerinduannya, sedangkan Argi tengah memikirkan cara agar wanita itu tidak terlalu larut dalam kesedihan. “Ngomong-ngomong bukankah kamu belum melihat bayimu? Apa kamu ingin melihatnya?” Tanya Argi dengan nada lembut. Mendengar ucapan Argi, sontak Akira memalingkan wajahnya ke arah pria itu. Ya, memang benar setelah melahirkan, Akira tidak pernah melihat bayinya. Ada sedikit binar bahagia dalam wajah muram Akira. “Bolehkah aku melihat bayiku?” Tanya Akira tampak antusias. Hingga dia tak sabar untuk bertemu dengan sang buah hati. Satu-satunya kenangan yang tertinggal dan sekarang menjadi tanggung jawabnya. “Tentu, dia sangat cantik seperti ibunya.” Ucap Argi mengulas senyum. Senyum yang dulu menjadi ciri khasnya menaklukan hati para gadis, kecuali Akira. Dia merasa gagal menaklukan hati gadis itu, namun dia memiliki cinta yang tulus. Akira tidak sabar untuk melihat sang buah hati, hingga dia berusaha untuk menuruni ranjang. “Tunggu sebentar, sepertinya kita perlu kursi roda. Kamu tunggu dulu, aku akan mengambilkannya untukmu.” Ucap Argi menahan Akira agar tetap pada posisinya. Dia kemudian berjalan menuju sudut ruangan, mengambil kursi roda yang sudah disiapkan sebelumnya. Mendorongnya hingga di sisi ranjang, lalu beralih membantu Akira untuk berpindah posisi dengan cara menggendongnya. “Aku bisa sendiri, Gi. Gak usah dibantu!” Ucap Akira menolak, dia merasa tidak enak hati jika harus berdekatan dengan pria yang pernah dia sakiti. Akira berusaha bangun dan menuruni ranjang, namun karena tubuhnya yang sangat lemah, hingga akhirnya usaha membuatnya hampir terjatuh. Argi dengan sigap menangkap tubuh Akira sebelum terjatuh di lantai. Tanpa meminta ijin, Argi membopong tubuh Akira menuju kursi roda. Kini wajah mereka sangat dekat hanya berjarak beberapa senti. Bahkan Akira bisa merasakan hembusan nafas Argi di permukaan pipinya. Akira sangat tahu jika ia tengah di pandang oleh Argi, namun berusaha untuk menjaga jarak dengan menundukkan pandangannya. Argi meletakkan tubuh Akira dengan sangat hati-hati, seperti sedang menaruh barang yang mudah pecah. Dia tidak ingin pergerakannya menyakiti tubuh Akira yang belum betul-betul pulih. Argi berjongkok di hadapan Akira untuk memasangkan alas kaki. Lalu segera bangkit melangkah menuju belakang kursi roda. Mendorong kursi roda keluar dari ruangan. Untungnya dia sudah pernah mengunjungi bayi itu, sehingga Argi tidak perlu bertanya pada suster lagi. Ada seorang suster yang berjaga di depan pintu. “Sus, aku mau melihat bayiku. Apa ada di dalam?” Tanya Akira dengan antusias. “Maaf nyonya, dokter masih memeriksa di dalam. Bayinya belum bisa dijenguk.” Ucap suster memberitahu. Namun tatapan tajam Argi membuatnya takut. Tatapan itu seakan mengisyaratkan jika menyuruhnya untuk mengikuti permintaan Akira. “Hum, baiklah nyonya saya akan antarkan ke dalam.” Seketika suster meralat ucapannya. Sungguh dia tidak ingin membuat dirinya terancam. Mengapa dia terlambat menyadari kehadiran bos Argi di sana? Pintu terbuka, dan benar di dalam ada seorang dokter wanita yang tengah memeriksa keadaan bayi mungil. Tak kuasa Akira menahan air mata yang kembali muncul di pelupuk mata. Perjumpaan pertama dengan sang buah hati begitu membuat hatinya terharu. “Maaf dokter, nyonya Akira datang ingin melihat bayinya.” Ucap suster memberitahu. Dia tidak ingin dokter itu memarahinya, namun lebih takut jika sang bos besar memecatnya. Meski bagaimanapun dia memulai karirnya dengan usaha keras. Dokter wanita itu menoleh ke arah pintu, namun ketika mendapati keberadaan Argi, senyum ramah tersungging di bibirnya. “Maaf nyonya Akira, saya akan melakukan pemeriksaan. Bisakah menunggu hingga 5 menit?” Tanya dokter itu ramah, melirik sekilas ke pria yang berdiri di belakang Akira, tengah menatapnya dengan sorot mata tajam. “Baik dok, saya akan menunggu di sini. Terima kasih sudah merawat anak saya.” Ucap Akira terdengar tulus. Dokter tersenyum, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya. Akira melihat dari jauh pada bayi mungilnya yang tampak menggapai-gapai udara dengan tangannya yang mungil. Suara tangisannya terdengar sangat kecil. Namun mampu membuat jiwa keibuan Akira muncul. Tak terasa dia kembali terisak, karena perasaan haru yang muncul ketika menyadari dirinya telah menjadi seorang ibu. Tak lama dokter itu menyelesaikan tugasnya, dan kembali menoleh ke arah Akira. “Apa nyonya ingin memeluknya? Mungkin dengan pelukan hangat seorang ibu akan merangsang pertumbuhannya.” Akira langsung mengangguk penuh antusias, meskipun dia merasakan perih di bagian perutnya namun dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Argi mendorong kursi roda agar lebih mendekat. Dokter itu segera mengangkat tubuh mungil itu dan menyerahkan pada ibunya. Dia menyuruh asistennya untuk membuka kancing baju Akira paling atas, agar nantinya bayi itu bisa langsung bersentuhan dengan permukaan kulit sang ibu. Akira sedikit merasa sungkan, karena kehadiran Argi yang berada di sana. Namun dia tak sempat melarang karena memang benar bayinya butuh kehangatan. Akira memandang haru pada tubuh kecil yang terasa nyaman dalam pelukannya, bahkan tangisan bayi itu menghilang ketika berada di dekat ibunya. Kini dia bisa melihat dengan jarak dekat wajah putri kecilnya. Wajah yang selalu mengingatkannya pada Anggara. “Putri nyonya sangat cantik, seperti ibunya.” Ucap dokter itu. “Tidak dok, dia lebih mirip ayahnya.” Jawaban Akira membuat dokter dan suster menatap ke arah Argi, seakan ingin memastikan ucapan Akira. Dan mereka tak mendapati kemiripan wajah bayi itu dengan Argi. ***Melihat tatapan tak bersahabat, dokter kembali menunduk. Sepertinya dia sudah salah bersikap. Dan mencoba untuk tidak terlalu banyak bicara. Meskipun banyak pertanyaan dalam hatinya tentang kemiripan wajah bayi itu dengan ayahnya. Dokter hanya mengetahui, jika wanita itu adalah istri dari sang bos. Memang dari awal berada di rumah sakit, Argi hanya mengatakan jika Akira adalah calon istrinya. Namun karirnya lebih penting dibandingkan rasa penasaran. Dokter segera mengambil peralatan dan berniat untuk pamit dari ruangan. “Sus, nanti tolong letakkan bayi ini ke dalam inkubator. Pastikan jika keadaan bayi ini dalam posisi yang benar.” Ucap dokter memberi perintah pada asistennya. Lalu pamit untuk keluar ruangan. Rasanya tidak puas Akira memeluk putri kecilnya, bahkan waktu sudah berjalan 30 menit. Namun sepertinya Akira harus meninggalkan putrinya, agar bisa kembali beristirahat dalam inkubator. “Jika nyonya ingin menjenguknya lagi, silahkan datang kemari. Mohon maaf untuk seme
Wajah Akira tampak tegang mendengar ucapan Argi di luar dari dugaan. Dia tidak menyangka jika Argi kembali ingin mengejar cintanya. “Aku rasa, cintaku padamu sangatlah besar, hingga aku tidak bisa melupakanmu. Meski aku terus berusaha, namun sepertinya aku tidak berdaya.” Wajah Argi begitu menyiratkan harapan, menatap Akira dengan tatapan lembut penuh cinta. Namun Akira tidak ingin mengecewakan Argi untuk kedua kalinya. Dulunya dia bersikap tidak enakan, namun kini dia sudah dewasa. Dia harus bersikap lebih tegas agar tidak menyakiti hati Argi. “Maafkan aku, Gi. Aku tidak bisa, kamu tahu aku sudah punya suami? Dan aku adalah seorang ibu.” Ucap Akira mencari alasan. Dia tidak ingin memberi harapan palsu pada pria itu. “Apa kau lupa, jika Anggara sudah pergi? Aku bahkan sudah siap untuk menggantikan posisi Anggara. Aku akan menjadi bagian hidupmu. Bayimu butuh seorang ayah, dan aku sanggup menyayanginya seperti anakku sendiri. Ketahuilah Akira, aku akan membalut lukamu. Ijinkanlah k
Malam itu Akira harus bisa melewati kesepiannya sendiri. Berada di ranjang dengan suasana hening, tanpa ada Argi yang dari kemarin malam selalu menemani.Tatapannya mengarah pada langit-langit kamar dengan warna putih yang mendominasi.‘Mas Anggara, apa kamu baik-baik saja di sana? Mengapa aku tidak percaya engkau telah tiada? Anak kita sudah lahir, bayi mungil kita. Aku akan menjaga dan menyayanginya seumur hidupku. Ashley, ya aku akan menamai putri kita Ashley Widjaja Anggara seperti yang engkau inginkan. Datanglah malam ini mas Aang. Aku begitu merindukanmu. Apakah kau tidak merindukanku? Aku berjanji akan mengunjungimu setelah aku pulih.’ batin Akira miris.Dia terus menangis sesenggukan sambil memeluk bantal putih. Akira begitu merindukan pelukan Anggara, kehangatan yang selalu Anggara berikan. Hingga tak lama dia pun tertidur karena lelah menangis, menyelam dalam mimpi.Hari sudah sangat malam, dia tengah berada di teras rumah, menunggu sosok suami yang begitu dirindukan. Tatapa
Argi sengaja memesan satu kamar yang berada di sebelah kamar Akira. Dia sudah membersihkan diri dan mengganti kostum dengan baju santai.Namun selama semalaman, matanya sulit untuk tertutup. Hingga Argi memutuskan untuk menjaga Akira di depan pintu kamarnya. Tatapannya tidak pernah beralih pada pintu kaca. Di sana dia bisa melihat langsung ke arah Akira yang terlihat tidak nyaman dalam tidurnya.Bahkan Argi mendengar mulut Akira yang terus berteriak memanggil nama suaminya, meskipun mata Akira terpejam.Argi sudah menduga jika wanita itu tengah mengalami mimpi buruk. Dia sangat ingin masuk agar bisa memeluk Akira, untuk sedikit menenangkannya. Namun Argi berusaha menahan diri dari keinginannya itu.Tangannya meraih ponsel yang tersimpan dari saku celana, dan segera menghubungi seseorang.“Saya minta kirim satu suster terbaik untuk segera datang ke sini!” Ucap Argi singkat, lalu segera memutus panggilan tanpa menunggu jawaban dari orang yang ditelepon.Tak lama seorang suster wanita da
“Septian Anggara menjadi salah satu korban tewas dalam penerbangan pesawat Japan Airlines, saya meminta keluarga untuk datang mengidentifikasi mayatnya. Kini jasadnya sudah berada di Rumah Sakit Medika Utama.” Ucap seseorang yang melakukan panggilan telepon. Mata Akira membulat karena terkejut. Tangannya gemetar hingga benda pipih berbentuk persegi itu terlepas dari genggamannya. Tubuhnya luruh, bertumpu pada kedua lutut. Isak tangis mulai terdengar ke seluruh penjuru rumah. Bagaimana seorang istri bisa kuat menghadapi berita tentang kematian suaminya? Hati Akira begitu sesak, terasa sakit seperti dikoyak ribuan pisau. Mendengar berita yang sangat mengejutkan, layaknya mendengar suara petir di siang bolong, tak ayal membuat dirinya merasa sangat syok. Kabar itu begitu menyakiti hatinya. Akira belum siap untuk menerima kenyataan pahit ini. Anggara adalah suaminya, satu-satunya orang yang menemani semenjak dirinya hidup sebatang kara. Jika memang berita itu adalah sebuah kenyat
Argi Rinega membopong tubuh wanita itu menuju ke salah satu ruang rawat. Seorang suster mengikuti langkahnya dari belakang. Dia sengaja memilih satu ruangan VIP sebagai tempat istirahat Akira, selama dilakukannya tindakan pertolongan pertama. Dengan sangat hati-hati, tubuh rapuh itu ia letakkan di atas ranjang. “Tolong periksa wanita ini!” Ucapnya dengan wajah dingin tanpa ekspresi. Suster terlihat mengangguk, lalu mengeluarkan semua peralatan untuk memeriksa kondisi pasien. Sementara Argi hanya memandang setiap tindakan yang dilakukan suster itu pada Akira. Matanya terlihat fokus menatap wajah wanita yang terbaring tak sadarkan diri. Wajah yang begitu cantik meskipun dalam keadaan tertidur, tanpa riasan yang mencolok namun terlihat cantik natural. Tubuhnya terlihat kurus untuk ukuran seorang wanita yang tengah mengandung. Hingga tatapan Argi beralih pada perut Akira yang terlihat buncit. “Berapa usia kandungannya?” Suara bariton itu menggema di ruangan yang sepi. “
“Argi?” Mata Akira membola, melihat sosok pria yang sedang tersenyum ke arahnya. Tidak mungkin ia melupakan pria itu, meskipun sudah enam tahun lamanya tidak bertemu. “Hay, bagaimana keadaanmu? Apa ada yang sakit? Aku akan panggilkan dokter, tunggu sebentar.” Ucap Argi, lalu segera meraih interkom yang berada di atas nakas. Menghubungi dokter untuk meminta datang ke kamar. Akira hanya terdiam tak menjawab. Mengapa di saat-saat seperti ini, justru Argi hadir kembali dalam hidupnya? Apakah ini sesuatu yang baik atau yang buruk? Akira sendiri tidak mengerti dengan jalan hidupnya. Tangan Akira meraba perutnya yang tampak mengempis, kembali matanya membulat. “Bayiku? Kemana bayiku?” Teriak Akira tak terkendali. Dia mencoba bangkit dari posisinya dan hendak menuruni ranjang. Namun tangan Argi menahan langkahnya. “Bayimu baik-baik saja. Kini masih dipantau oleh dokter, karena bayimu lahir prematur. Jika keadaanmu sudah lebih baik, aku akan membantumu untuk melihat bayimu.” Argi b
Argi terus menunggu di luar ruangan operasi dengan raut wajah penuh kecemasan. Dia memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana panjang. Berjalan mondar-mandir di depan pintu yang masih tertutup. “Sialan, jika hal buruk terjadi pada Akira. Aku akan menuntut kalian semua!” Ujar Argi bermonolog. Beberapa kali ponselnya berbunyi, namun Argi enggan untuk menjawab panggilan yang entah dari siapa. Dia tak peduli, yang ada dipikirannya hanya Akira. Bahkan selama di rumah sakit, Argi tak sempat menjenguk bayi Akira yang masih berada di ruangan khusus bayi prematur. Nafasnya tersengal, sudah satu jam berlalu namun pintu tak kunjung terbuka. Hingga dia memutuskan untuk duduk dengan tatapan yang tak beralih sedetikpun pada pintu kamar operasi. Tak lama, pintu terbuka dan dokter wanita tadi muncul dari ambang pintu. Argi segera bangkit menghampiri. “Bagaimana? Apa dia baik-baik saja?” Tanya Argi tak sabar mendengar jawaban dari sang dokter. Dokter mengangguk dan tersenyum, meski sen