Mentari muncul dari ufuk timur, bias cahaya berbelok melewati jendela kaca, memasuki ruangan dari balik gorden yang sedikit terbuka.
Cahaya hangat menyentuh permukaan kulit wajah Akira yang masih bergelung dalam mimpi. Akira tengah berada di lapangan rumput luas, dan tatapannya tertuju ke arah langit yang begitu gelap dan hanya dihiasi oleh satu bintang. Namun tiba-tiba kabut menghiasi daerah sekitarnya. Suasana hijau kini berubah mendung, tertutup dengan kabut yang semakin lama semakin tebal. Membuat pandangannya menjadi buram, jalanan di hadapannya juga tidak terlihat karena tertutup kabut yang sudah seperti awan putih. Akira mencoba untuk mencari jalan keluar sembari memfokuskan pandangannya ke depan. Beberapa kali kakinya tersandung, karena benda keras yang menghalangi jalannya. Kembali dia tersandung, namun kali ini membuat tubuhnya hilang keseimbangan. Akira terjatuh, tangannya meraba pada permukaan rumput yang menjadi alasnya saat ini. Mencoba berdiri kembali, namun tiba-tiba muncul sosok Anggara di hadapannya. Wajah suaminya yang terlihat tampak pucat. Wajah dingin tanpa senyum namun memandangnya sangat tajam. Kini Akira telah berdiri tegak. Ada keinginan untuk menggapai pria dingin yang sangat dirindukan. Namun semakin berjalan mendekat, sosok Anggara semakin berjalan mundur dan menjauh. “Mas Anggara, mau kemana mas. Kemarilah mas, ayo kita pulang!” Ucapnya lirih, namun tak ada jawaban. Dia terus mengejar pria yang terus menatap ke arahnya, namun pria itu terus berjalan mundur. Hingga lama kelamaan sosok Anggara menghilang ditelan kabut tebal. “Mas Aang? Jangan pergi!” Dia masih berusaha untuk mencegah kepergian suaminya. Mencoba berlari-lari tanpa arah, menembus kabut yang semakin tebal. Hingga suasana berubah menjadi sangat gelap. “Mas Anggara, jangan pergi!” Teriak Akira tersengal-sengal. Keringat dingin membasahi pelipis dan sebagian wajahnya. Akira terbangun, tangannya terangkat menggapai udara kosong di depannya. Dia melihat ke sekeliling ruangan namun tak juga menjumpai keberadaan Anggara, seperti dalam mimpi. Akira meringkuk di atas ranjang, perasaan sedih karena kehilangan sosok suami kembali berputar di pikirannya. Tubuhnya yang meringkuk tampak gemetar menahan rasa sakit dan rindu yang mendalam. Hanya suara isak tangis yang terdengar di ruangan yang cukup luas itu. Akira menumpahkan seluruh isi hatinya lewat air mata sendu. Sampai saat ini pun Akira tidak akan rela Anggara meninggalkan dirinya, tanpa pamit. Mengijinkan Anggara untuk pergi ke Jepang demi melakukan perjalanan bisnis, merupakan penyesalan seumur hidupnya. Jika tahu suaminya akan meninggalkannya, Akira tidak akan pernah mengijinkan. Sebuah tangan menepuk bahunya pelan, membuat Akira terlonjak kaget. “Apa kamu mimpi buruk?” Suara Argi terdengar memecah kesunyian. Raut wajah pria itu sarat akan rasa khawatir. Akira tak menjawab dengan ucapan, namun kepalanya mengangguk samar. “Minumlah, sepertinya kamu sedang dalam kondisi buruk.” Argi meraih satu botol air mineral, membuka penutup dan menyerahkannya pada Akira. Akira meraih botol itu dan segera meneguk isinya untuk membasahi tenggorokan yang terasa kering. “Terima kasih.” Ucap Akira singkat, tanpa menoleh ke arah Argi. Matanya menatap kosong ke arah kain selimut yang terbentang menutup sebagian dari tubuhnya. Argi tersenyum tipis, meraih botol minum dari tangan Akira dan meletakkannya di atas nakas. Lalu dia mengangkat kursi agar lebih mendekat ke arah ranjang. Keduanya sama-sama terdiam dengan pemikiran masing-masing. Akira dengan kerinduannya, sedangkan Argi tengah memikirkan cara agar wanita itu tidak terlalu larut dalam kesedihan. “Ngomong-ngomong bukankah kamu belum melihat bayimu? Apa kamu ingin melihatnya?” Tanya Argi dengan nada lembut. Mendengar ucapan Argi, sontak Akira memalingkan wajahnya ke arah pria itu. Ya, memang benar setelah melahirkan, Akira tidak pernah melihat bayinya. Ada sedikit binar bahagia dalam wajah muram Akira. “Bolehkah aku melihat bayiku?” Tanya Akira tampak antusias. Hingga dia tak sabar untuk bertemu dengan sang buah hati. Satu-satunya kenangan yang tertinggal dan sekarang menjadi tanggung jawabnya. “Tentu, dia sangat cantik seperti ibunya.” Ucap Argi mengulas senyum. Senyum yang dulu menjadi ciri khasnya menaklukan hati para gadis, kecuali Akira. Dia merasa gagal menaklukan hati gadis itu, namun dia memiliki cinta yang tulus. Akira tidak sabar untuk melihat sang buah hati, hingga dia berusaha untuk menuruni ranjang. “Tunggu sebentar, sepertinya kita perlu kursi roda. Kamu tunggu dulu, aku akan mengambilkannya untukmu.” Ucap Argi menahan Akira agar tetap pada posisinya. Dia kemudian berjalan menuju sudut ruangan, mengambil kursi roda yang sudah disiapkan sebelumnya. Mendorongnya hingga di sisi ranjang, lalu beralih membantu Akira untuk berpindah posisi dengan cara menggendongnya. “Aku bisa sendiri, Gi. Gak usah dibantu!” Ucap Akira menolak, dia merasa tidak enak hati jika harus berdekatan dengan pria yang pernah dia sakiti. Akira berusaha bangun dan menuruni ranjang, namun karena tubuhnya yang sangat lemah, hingga akhirnya usaha membuatnya hampir terjatuh. Argi dengan sigap menangkap tubuh Akira sebelum terjatuh di lantai. Tanpa meminta ijin, Argi membopong tubuh Akira menuju kursi roda. Kini wajah mereka sangat dekat hanya berjarak beberapa senti. Bahkan Akira bisa merasakan hembusan nafas Argi di permukaan pipinya. Akira sangat tahu jika ia tengah di pandang oleh Argi, namun berusaha untuk menjaga jarak dengan menundukkan pandangannya. Argi meletakkan tubuh Akira dengan sangat hati-hati, seperti sedang menaruh barang yang mudah pecah. Dia tidak ingin pergerakannya menyakiti tubuh Akira yang belum betul-betul pulih. Argi berjongkok di hadapan Akira untuk memasangkan alas kaki. Lalu segera bangkit melangkah menuju belakang kursi roda. Mendorong kursi roda keluar dari ruangan. Untungnya dia sudah pernah mengunjungi bayi itu, sehingga Argi tidak perlu bertanya pada suster lagi. Ada seorang suster yang berjaga di depan pintu. “Sus, aku mau melihat bayiku. Apa ada di dalam?” Tanya Akira dengan antusias. “Maaf nyonya, dokter masih memeriksa di dalam. Bayinya belum bisa dijenguk.” Ucap suster memberitahu. Namun tatapan tajam Argi membuatnya takut. Tatapan itu seakan mengisyaratkan jika menyuruhnya untuk mengikuti permintaan Akira. “Hum, baiklah nyonya saya akan antarkan ke dalam.” Seketika suster meralat ucapannya. Sungguh dia tidak ingin membuat dirinya terancam. Mengapa dia terlambat menyadari kehadiran bos Argi di sana? Pintu terbuka, dan benar di dalam ada seorang dokter wanita yang tengah memeriksa keadaan bayi mungil. Tak kuasa Akira menahan air mata yang kembali muncul di pelupuk mata. Perjumpaan pertama dengan sang buah hati begitu membuat hatinya terharu. “Maaf dokter, nyonya Akira datang ingin melihat bayinya.” Ucap suster memberitahu. Dia tidak ingin dokter itu memarahinya, namun lebih takut jika sang bos besar memecatnya. Meski bagaimanapun dia memulai karirnya dengan usaha keras. Dokter wanita itu menoleh ke arah pintu, namun ketika mendapati keberadaan Argi, senyum ramah tersungging di bibirnya. “Maaf nyonya Akira, saya akan melakukan pemeriksaan. Bisakah menunggu hingga 5 menit?” Tanya dokter itu ramah, melirik sekilas ke pria yang berdiri di belakang Akira, tengah menatapnya dengan sorot mata tajam. “Baik dok, saya akan menunggu di sini. Terima kasih sudah merawat anak saya.” Ucap Akira terdengar tulus. Dokter tersenyum, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya. Akira melihat dari jauh pada bayi mungilnya yang tampak menggapai-gapai udara dengan tangannya yang mungil. Suara tangisannya terdengar sangat kecil. Namun mampu membuat jiwa keibuan Akira muncul. Tak terasa dia kembali terisak, karena perasaan haru yang muncul ketika menyadari dirinya telah menjadi seorang ibu. Tak lama dokter itu menyelesaikan tugasnya, dan kembali menoleh ke arah Akira. “Apa nyonya ingin memeluknya? Mungkin dengan pelukan hangat seorang ibu akan merangsang pertumbuhannya.” Akira langsung mengangguk penuh antusias, meskipun dia merasakan perih di bagian perutnya namun dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Argi mendorong kursi roda agar lebih mendekat. Dokter itu segera mengangkat tubuh mungil itu dan menyerahkan pada ibunya. Dia menyuruh asistennya untuk membuka kancing baju Akira paling atas, agar nantinya bayi itu bisa langsung bersentuhan dengan permukaan kulit sang ibu. Akira sedikit merasa sungkan, karena kehadiran Argi yang berada di sana. Namun dia tak sempat melarang karena memang benar bayinya butuh kehangatan. Akira memandang haru pada tubuh kecil yang terasa nyaman dalam pelukannya, bahkan tangisan bayi itu menghilang ketika berada di dekat ibunya. Kini dia bisa melihat dengan jarak dekat wajah putri kecilnya. Wajah yang selalu mengingatkannya pada Anggara. “Putri nyonya sangat cantik, seperti ibunya.” Ucap dokter itu. “Tidak dok, dia lebih mirip ayahnya.” Jawaban Akira membuat dokter dan suster menatap ke arah Argi, seakan ingin memastikan ucapan Akira. Dan mereka tak mendapati kemiripan wajah bayi itu dengan Argi. ***Melihat tatapan tak bersahabat, dokter kembali menunduk. Sepertinya dia sudah salah bersikap. Dan mencoba untuk tidak terlalu banyak bicara. Meskipun banyak pertanyaan dalam hatinya tentang kemiripan wajah bayi itu dengan ayahnya. Dokter hanya mengetahui, jika wanita itu adalah istri dari sang bos. Memang dari awal berada di rumah sakit, Argi hanya mengatakan jika Akira adalah calon istrinya. Namun karirnya lebih penting dibandingkan rasa penasaran. Dokter segera mengambil peralatan dan berniat untuk pamit dari ruangan. “Sus, nanti tolong letakkan bayi ini ke dalam inkubator. Pastikan jika keadaan bayi ini dalam posisi yang benar.” Ucap dokter memberi perintah pada asistennya. Lalu pamit untuk keluar ruangan. Rasanya tidak puas Akira memeluk putri kecilnya, bahkan waktu sudah berjalan 30 menit. Namun sepertinya Akira harus meninggalkan putrinya, agar bisa kembali beristirahat dalam inkubator. “Jika nyonya ingin menjenguknya lagi, silahkan datang kemari. Mohon maaf untuk seme
Wajah Akira tampak tegang mendengar ucapan Argi di luar dari dugaan. Dia tidak menyangka jika Argi kembali ingin mengejar cintanya. “Aku rasa, cintaku padamu sangatlah besar, hingga aku tidak bisa melupakanmu. Meski aku terus berusaha, namun sepertinya aku tidak berdaya.” Wajah Argi begitu menyiratkan harapan, menatap Akira dengan tatapan lembut penuh cinta. Namun Akira tidak ingin mengecewakan Argi untuk kedua kalinya. Dulunya dia bersikap tidak enakan, namun kini dia sudah dewasa. Dia harus bersikap lebih tegas agar tidak menyakiti hati Argi. “Maafkan aku, Gi. Aku tidak bisa, kamu tahu aku sudah punya suami? Dan aku adalah seorang ibu.” Ucap Akira mencari alasan. Dia tidak ingin memberi harapan palsu pada pria itu. “Apa kau lupa, jika Anggara sudah pergi? Aku bahkan sudah siap untuk menggantikan posisi Anggara. Aku akan menjadi bagian hidupmu. Bayimu butuh seorang ayah, dan aku sanggup menyayanginya seperti anakku sendiri. Ketahuilah Akira, aku akan membalut lukamu. Ijinkanlah k
Malam itu Akira harus bisa melewati kesepiannya sendiri. Berada di ranjang dengan suasana hening, tanpa ada Argi yang dari kemarin malam selalu menemani.Tatapannya mengarah pada langit-langit kamar dengan warna putih yang mendominasi.‘Mas Anggara, apa kamu baik-baik saja di sana? Mengapa aku tidak percaya engkau telah tiada? Anak kita sudah lahir, bayi mungil kita. Aku akan menjaga dan menyayanginya seumur hidupku. Ashley, ya aku akan menamai putri kita Ashley Widjaja Anggara seperti yang engkau inginkan. Datanglah malam ini mas Aang. Aku begitu merindukanmu. Apakah kau tidak merindukanku? Aku berjanji akan mengunjungimu setelah aku pulih.’ batin Akira miris.Dia terus menangis sesenggukan sambil memeluk bantal putih. Akira begitu merindukan pelukan Anggara, kehangatan yang selalu Anggara berikan. Hingga tak lama dia pun tertidur karena lelah menangis, menyelam dalam mimpi.Hari sudah sangat malam, dia tengah berada di teras rumah, menunggu sosok suami yang begitu dirindukan. Tatapa
Argi sengaja memesan satu kamar yang berada di sebelah kamar Akira. Dia sudah membersihkan diri dan mengganti kostum dengan baju santai.Namun selama semalaman, matanya sulit untuk tertutup. Hingga Argi memutuskan untuk menjaga Akira di depan pintu kamarnya. Tatapannya tidak pernah beralih pada pintu kaca. Di sana dia bisa melihat langsung ke arah Akira yang terlihat tidak nyaman dalam tidurnya.Bahkan Argi mendengar mulut Akira yang terus berteriak memanggil nama suaminya, meskipun mata Akira terpejam.Argi sudah menduga jika wanita itu tengah mengalami mimpi buruk. Dia sangat ingin masuk agar bisa memeluk Akira, untuk sedikit menenangkannya. Namun Argi berusaha menahan diri dari keinginannya itu.Tangannya meraih ponsel yang tersimpan dari saku celana, dan segera menghubungi seseorang.“Saya minta kirim satu suster terbaik untuk segera datang ke sini!” Ucap Argi singkat, lalu segera memutus panggilan tanpa menunggu jawaban dari orang yang ditelepon.Tak lama seorang suster wanita da
“Mama?” Akira begitu senang melihat wanita yang tak lain adalah ibu mertuanya. Senyum menghiasi bibirnya, tatkala melihat Ruth berjalan menghampiri.“Maafkan mama nak, datang sangat terlambat.” Ruth memeluk tubuh menantunya dengan perasaan bersalah.Akira membalas pelukan hangat itu dengan lengan terbuka. Kini dia memiliki seorang yang bisa dijadikan teman untuk melalui hari-hari yang berat tanpa seorang suami.“Maaf, mama harus menjaga papa.” Ruth mengurai pelukannya, ditatapnya Akira dengan penuh haru. Bahkan kini ia menyadari jika perut menantunya terlihat mengempis.“Bagaimana keadaan papa, ma? Apa keadaan beliau baik?” Mendadak Akira merasa khawatir akan kondisi papa mertua yang memiliki riwayat penyakit jantung.“Papamu masih dirawat, kondisi jantungnya sangat menurun. Maafkan mama jika terlambat datang, nak. Apa kamu sudah melahirkan?” Tanya Ruth dengan raut penasaran.Akira mengangguk, tersenyum samar dan menjawab, “Maafkan Akira ma, bayi Akira sudah lahir sebelum waktunya.”
Akira hanya menatap kepergian Ruth dengan rasa khawatir. Mengapa di saat seperti ini, ia justru tak berdaya? Ada keinginan dalam hati untuk bisa menjenguk sang mertua, namun keadaannya masih belum pulih. Bahkan sampai hari ini keinginan untuk ke makam suaminya belum terpenuhi.Akira memejamkan mata, menghirup nafas dalam-dalam. Udara pagi yang begitu sejuk, mengisi rongga paru-paru. Mampu mengusir sedikit sesak dalam hati.Seorang suster sudah diperintah oleh Ruth untuk mendampingi Akira di taman, tentunya sebelum dirinya keluar dari rumah sakit.Namun ketika langkah suster itu hampir mencapai taman, Argi segera menahan.“Pergilah! Biar aku yang menjaga istriku!” Suara Argi terdengar seperti setengah berbisik, namun mampu membuat suster itu terdiam di tempat.Suster memutar tubuhnya dengan pandangan menunduk.“Baik, tuan. Jika ada—” belum selesai suster berucap, Argi mengangkat jari telunjuknya di depan bibir, sebagai isyarat diam.“Aku menyuruhmu pergi!” ucap Argi dengan raut dingin.
“Aku hanya ingin membetulkan selimutmu.” jelas Argi, niatnya memang hanya membenarkan posisi selimut.Dalam pandangan Akira, dia seperti melihat sosok suaminya berada tepat di atas wajahnya. Hingga tanpa sadar ia memandang wajah pria itu dengan tatapan penuh cinta. Senyum terlukis di bibir Akira. Senyum manis yang hanya diperlihatkan untuk Anggara. Membuat Argi diam terpaku dengan tangan masih berada di ujung selimut.Hal ini mengingatkannya pada awal perjumpaan dengan Akira dulu. Wajah cantik yang tak pernah berubah, kini terlihat lebih mempesona di usianya yang matang. Membuat Argi tak kuasa menahan keinginannya untuk mempertemukan bibirnya dengan bibir wanita pujaannya. Pertemuan singkat namun membuat dada Argi bergejolak. Permukaan bibirnya merasakan kelembutan bibir Akira yang sedikit kering.Akira belum sadar akan apa yang terjadi. Dalam benak dan khayalannya, Anggara yang tengah menciumnya. Sehingga ketika Argi melepaskan tautan bibir mereka, Akira segera mengulurkan tangan un
“Pak, tolong ke pemakaman Heaven Memorial Park.” Ujar Akira pada supir taksi. “Baik nyonya.” Ya, seperti janjinya, Akira berniat akan mengunjungi makam Anggara setelah keadaanya pulih. Dia sudah mencari tahu dimana suaminya di makamkan, tentunya atas petunjuk dari Argi.Akira menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan hatinya yang mendadak sesak. Kenyataan ini begitu memilukan, hingga terkadang membuatnya ingin mengakhiri hidup. Jikalau Akira tidak mengingat masih ada putri mereka yang harus diperjuangkan. Akira terdiam dalam lamunan, melihat pada jalanan dari balik jendela. Pandangannya terlihat kabur karena air mata yang mulai membasahi. Entah sampai kapan dia bisa bertahan melawan rasa sedih ini? Tak ada satu orang keluarga yang menemaninya. Yang tersisa hanya dirinya dan Ashley kecil.“Nyonya kita sudah sampai di pemakaman.” Ujar sopir taksi membuyarkan lamunan Akira.Akira segera menghapus air mata menggunakan punggung tangannya. Lalu keluar dari mobil, menghampiri salah satu
Argi Rinega menerima hukuman pidana penjara selama dua belas tahun. Itulah keputusan dari hakim yang menangani kasusnya.Tentu hal ini membuat orang tua Argi kecewa. Putra semata wayangnya harus menjalani hukuman berat.Meskipun pihak dari pengacara yang disewa oleh Raditya meminta pengajuan banding untuk meringankan hukuman. Namun dengan tegas putranya malah menolak.“Biarkan aku menjalani hukumanku. Mungkin dengan ini putraku akan memaafkan kesalahanku,” ucapnya sembari memeluk ibunya yang tengah terisak.Hati Lina hancur. Ibu mana yang tidak merasa sedih jika harus hidup terpisah dengan putranya.“Kami sudah tua nak, dua belas tahun itu bukan waktu yang sebentar. Biarkan pengacara papa untuk kali ini membantumu. Setidaknya untuk memotong masa hukumanmu,” ucap Lina sembari terisak.Argi bergeming, tangannya mengusap pelan punggung wanita yang telah melahirkannya.“Maaf, aku sudah mengecewakan kalian dengan perbuatanku,” hanya itu yang mampu terucap di mulut Argi. Hingga salah beber
Akira segera menjalani perawatan di sebuah klinik. Hal ini karena Anggara hanya menemukan klinik yang terdekat dengan lokasi pemakaman.“Dari kalian, siapa yang menjadi suami pasien?” tanya seorang petugas nakes yang bertugas. Melihat pada dua pria tampan yang mengantar satu wanita, tentu petugas tampak bingung.Anggara sedikit terkejut mendengar pertanyaan suster, sedari tadi dia tidak menyadari keberadaan Argi yang ternyata mengikutinya hingga klinik.“Saya suami pasien,” jawab Anggara setelah menoleh sekilas ke belakang.“Baik, ikuti saya. Dokter ingin berbicara dengan anda,” ucap suster, lalu membuka pintu ruangan lebih lebar.Anggara segera memasuki ruangan, sementara suster mencegah Argi yang hendak masuk.“Maaf, hanya suami pasien. Anda bisa menunggu di luar.”Suster segera menutup pintu ruangan. Lalu mengantar Anggara untuk menghampiri dokter.Sekilas Anggara melihat pada Akira yang tengah berbaring di atas ranjang pasien. Kondisinya masih memprihatinkan, kedua matanya masih t
Selama di perjalanan, mobil Anggara terus mengikuti mobil milik Argi yang berada di depannya.Perjalanan menuju ke suatu tempat yang entah kemana.“Mas, aku takut,” ucap Akira yang entah mengapa hatinya mendadak diliputi rasa khawatir dan ketakutan. Padahal Argi akan mengantarkan mereka untuk bertemu putranya.Namun mengapa justru Akira merasakan dadanya terasa sakit tanpa sebab. Air mata terus jatuh bercucuran. Apakah karena kerinduan yang mendalam pada putranya?Anggara menggenggam tangan Akira dengan tatapan fokus ke depan. Dia tidak ingin kehilangan jejak Argi, tentu Anggara sedikit merasa was-was akan ajakan Argi.Mungkinkah Argi semudah itu menyerah untuk memberikan putranya pada Akira?Atau apakah ini sebuah jebakan?“Bersabarlah, kita akan segera bertemu dengan putra kita. Tidak perlu takut, sayang. Ada aku!” ucap Anggara menenangkan hati istrinya.Anggara dibuat terkejut tatkala mobil mereka terhenti di sebuah pemakaman umum. Kedua alisnya saling bertaut, wajahnya terlihat me
Anggara mulai mengorek informasi dari media berita yang kini dia telusuri. Dan memang benar ucapan Bayu, sudah seminggu berlalu perusahaan itu di tutup.Lalu kemana perginya Argi? Mengapa di saat seperti ini justru dia menghilang? Apakah ini sebuah kesengajaan yang merupakan cara Argi untuk menghindar dari hukumannya?Tapi mengapa dia meminta pengacaranya untuk menolak gugatan cerai?Anggara mengalami jalan buntu, berhari-hari mencari keberadaan Argi namun hasilnya nihil. Hingga hari itu dia mendapatkan kabar dari anak buahnya.“Bos Anggara, kami sudah mengecek di bandara, jika sepuluh hari yang lalu ada penumpang atas nama Argi Rinega, serta Raditya Rinega dan istrinya melakukan penerbangan ke luar negeri,” ucap Dewa dari seberang telepon.“Kemana tujuan mereka?”“Singapura.”Anggara kembali terdiam. Haruskah dia mencari putra Akira hingga ke negeri Singa?Selama persidangan cerai belum usai, maka dia tidak bisa berbuat apapun untuk merebut putra Akira. Tentu hal asuh harus jatuh ke
“Baiklah, karena berkas sudah lengkap, nanti saya akan segera mengurusnya,” ucap pengacara Kim pada Anggara dan Akira, yang saat itu berkunjung ke kantornya.“Kapan persidangan pertama akan dilakukan, Kim?” tanya Anggara memastikan.“Nanti akan saya kabari, pak Anggara. Kemungkinan besar satu hingga dua Minggu ke depan, tergantung dari pihak pengadilan yang memberi jadwal. Mungkin dua hari ke depan kita akan mengirim surat gugatan cerai kepada yang bersangkutan. Jika pihak yang digugat menyetujuinya, maka proses akan semakin cepat,” jelas Kim.Tentu hal itu tidak mungkin terjadi, Anggara tahu betul bagaimana ucapan terakhir Argi. Dia tidak akan semudah itu melepaskan Akira. Namun apapun yang terjadi, Anggara akan mengusahakan untuk gugatan cerai itu diterima.“Tolong hubungi aku tentang perkembangan prosesnya nanti,” ucap Anggara akhirnya, sebelum memutuskan obrolan.***Hari berlalu sangat cepat, pihak kepolisian sudah berhasil membuktikan kesalahan pria yang melakukan penculikan, me
“Auwhhh! Apa kalian tidak bisa bekerja dengan benar?” sentak Argi pada suster yang tengah mengobati luka di wajahnya.“Maaf tuan, saya tidak sengaja,” suster menunduk dengan tangan gemetar karena ketakutan.“Pergilah! Dasar tidak becus!” Argi mengibas tangannya untuk mengusir suster yang merawatnya.Bayu yang berdiri tak jauh dari sana, tak heran dengan sikap arogan Argi. Namun dia ikut merasa prihatin atas apa yang menimpa teman sekaligus bosnya itu.Dia tidak menyangka akan terjadi keributan seperti tadi. Dua temannya saling berkelahi. Tentu menurut pandangan Bayu, Argi adalah pihak yang salah. Bagaimana tidak, jika Argi memukul lebih dulu saat kondisi Anggara tidak fokus. Jadi wajar jika Anggara memberinya pelajaran.“Hey, apa kau sudah menghubungi para investor? Bagaimana? Apa mereka mau menerima tawaran kita?” pertanyaan yang ditujukan pada asistennya.“Hasilnya nihil, tidak ada satupun yang mau menginvestasi ke perusahaan kita. Mungkin kamu harus memulihkan nama baikmu dulu, bar
Anggara membawa Clara menuju rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan medis. Wajah Clara terlihat pucat dengan beberapa bekas tamparan yang masih membekas di pipinya. “Apa anda suaminya?” tanya dokter yang menangani Clara. “Bukan, aku hanya menolong,” balas Anggara singkat. “Apa yang terjadi dengan nona ini?” tanya dokter lagi. Sebelum memberikan tindakan, tentu dia harus mengetahui kronologi yang terjadi sehingga pasien seperti ini. “Beberapa orang menculiknya, dan aku berhasil menemukannya. Sepertinya dia mendapatkan perlakuan kasar, dan wanita ini sedang hamil,” jelas Anggara. Mata dokter melebar mendengar penjelasan Anggara. “Baiklah saya akan memberikan tindakan pertolongan, dan memeriksa kondisi janinnya. Apa anda bisa menghubungi keluarga nona ini?” tanya dokter lagi. “Akan saya usahakan,” jawab Anggara, meskipun dia tidak tahu perihal tentang Clara. Anggara pun digiring keluar ruangan, saat dokter mulai memeriksa keadaan pasien. Mungkin saat ini istrinya sedang kebi
“Permisi, Pa. Apa ada mas Anggara di dalam?” ucap Akira sembari mengetuk pintu ruang kerja ayah mertuanya. Meskipun pintu ruangan itu sedikit terbuka, namun Akira tidak langsung masuk. Karena takut mengganggu pembicaraan Baskoro dengan suaminya. Yang dia tahu Anggara berada di dalam.“Masuklah, Akira!” suara Baskoro terdengar dari dalam. Akira segera membuka pintu lebih lebar. Tatapannya merotasi ke sekeliling ruangan. Namun tak melihat keberadaan suaminya di sana.“Dimana mas Anggara, pa?” tanya Akira penasaran.“Aang masih ada urusan sebentar. Kamu tidak perlu khawatir,” jawab Baskoro dengan mimik datar. Sesuai dengan permintaan putranya, dia tidak akan memberitahu Akira.“Kemana, pa? Kok tumben mas Anggara gak ijin ke aku?” tanya Akira lagi dengan kedua alis saling bertaut, wajahnya masih terlihat cemas.Baskoro menghela nafas, memandang pada menantunya dari balik kacamatanya.“Tadi suamimu buru-buru, sepertinya ini mengenai perusahaan. Kamu tidak perlu khawatir, secepatnya suamim
Sementara itu, setelah mendengar kabar jika anak buahnya sudah mendapatkan wanita yang diminta, Argi segera memacu kendaraan roda empatnya menuju lokasi persembunyian.“Kita mau kemana?” tanya Bayu yang duduk di samping Argi. Terlihat bingung karena secara tiba-tiba bosnya mengajak keluar.“Kita akan menemui Clara,” jawab Argi tanpa menoleh ke samping. Tatapannya fokus ke jalanan, menyalip setiap kendaraan yang menghalangi jalannya.“Apa mereka sudah menemukannya?” tanya Bayu lagi. Sebenarnya Bayu masih bingung, kenapa dia diikutsertakan dalam urusan yang dia sendiri tidak terlibat.“Apa kau bodoh? Untuk apa aku pergi jika anak buahku belum menemukan wanita murahan itu!” jawab Argi dengan amarah. Entahlah, semenjak berita tentang dirinya menyebar, sikap Argi menjadi sangat sensitif. Hampir setiap waktu dia melampiaskan amarahnya pada orang terdekat.Bayu terdiam, dengan dada bergemuruh. Dia masih tak mengerti maksud temannya. Sifat Argi sangat berubah, tidak seperti dulu lagi. Namun