Share

Bab 5 Bayi Mungil Mirip Ayahnya

Mentari muncul dari ufuk timur, bias cahaya berbelok melewati jendela kaca, memasuki ruangan dari balik gorden yang sedikit terbuka.

Cahaya hangat menyentuh permukaan kulit wajah Akira yang masih bergelung dalam mimpi.

Akira tengah berada di lapangan rumput luas, dan tatapannya tertuju ke arah langit yang begitu gelap dan hanya dihiasi oleh satu bintang.

Namun tiba-tiba kabut menghiasi daerah sekitarnya. Suasana hijau kini berubah mendung, tertutup dengan kabut yang semakin lama semakin tebal. Membuat pandangannya menjadi buram, jalanan di hadapannya juga tidak terlihat karena tertutup kabut yang sudah seperti awan putih.

Akira mencoba untuk mencari jalan keluar sembari memfokuskan pandangannya ke depan. Beberapa kali kakinya tersandung, karena benda keras yang menghalangi jalannya.

Kembali dia tersandung, namun kali ini membuat tubuhnya hilang keseimbangan. Akira terjatuh, tangannya meraba pada permukaan rumput yang menjadi alasnya saat ini.

Mencoba berdiri kembali, namun tiba-tiba muncul sosok Anggara di hadapannya. Wajah suaminya yang terlihat tampak pucat. Wajah dingin tanpa senyum namun memandangnya sangat tajam.

Kini Akira telah berdiri tegak. Ada keinginan untuk menggapai pria dingin yang sangat dirindukan. Namun semakin berjalan mendekat, sosok Anggara semakin berjalan mundur dan menjauh.

“Mas Anggara, mau kemana mas. Kemarilah mas, ayo kita pulang!” Ucapnya lirih, namun tak ada jawaban. Dia terus mengejar pria yang terus menatap ke arahnya, namun pria itu terus berjalan mundur. Hingga lama kelamaan sosok Anggara menghilang ditelan kabut tebal.

“Mas Aang? Jangan pergi!” Dia masih berusaha untuk mencegah kepergian suaminya. Mencoba berlari-lari tanpa arah, menembus kabut yang semakin tebal. Hingga suasana berubah menjadi sangat gelap.

“Mas Anggara, jangan pergi!” Teriak Akira tersengal-sengal. Keringat dingin membasahi pelipis dan sebagian wajahnya.

Akira terbangun, tangannya terangkat menggapai udara kosong di depannya. Dia melihat ke sekeliling ruangan namun tak juga menjumpai keberadaan Anggara, seperti dalam mimpi.

Akira meringkuk di atas ranjang, perasaan sedih karena kehilangan sosok suami kembali berputar di pikirannya.

Tubuhnya yang meringkuk tampak gemetar menahan rasa sakit dan rindu yang mendalam. Hanya suara isak tangis yang terdengar di ruangan yang cukup luas itu. Akira menumpahkan seluruh isi hatinya lewat air mata sendu.

Sampai saat ini pun Akira tidak akan rela Anggara meninggalkan dirinya, tanpa pamit. Mengijinkan Anggara untuk pergi ke Jepang demi melakukan perjalanan bisnis, merupakan penyesalan seumur hidupnya. Jika tahu suaminya akan meninggalkannya, Akira tidak akan pernah mengijinkan.

Sebuah tangan menepuk bahunya pelan, membuat Akira terlonjak kaget.

“Apa kamu mimpi buruk?” Suara Argi terdengar memecah kesunyian. Raut wajah pria itu sarat akan rasa khawatir.

Akira tak menjawab dengan ucapan, namun kepalanya mengangguk samar.

“Minumlah, sepertinya kamu sedang dalam kondisi buruk.” Argi meraih satu botol air mineral, membuka penutup dan menyerahkannya pada Akira.

Akira meraih botol itu dan segera meneguk isinya untuk membasahi tenggorokan yang terasa kering.

“Terima kasih.” Ucap Akira singkat, tanpa menoleh ke arah Argi. Matanya menatap kosong ke arah kain selimut yang terbentang menutup sebagian dari tubuhnya.

Argi tersenyum tipis, meraih botol minum dari tangan Akira dan meletakkannya di atas nakas. Lalu dia mengangkat kursi agar lebih mendekat ke arah ranjang.

Keduanya sama-sama terdiam dengan pemikiran masing-masing. Akira dengan kerinduannya, sedangkan Argi tengah memikirkan cara agar wanita itu tidak terlalu larut dalam kesedihan.

“Ngomong-ngomong bukankah kamu belum melihat bayimu? Apa kamu ingin melihatnya?” Tanya Argi dengan nada lembut.

Mendengar ucapan Argi, sontak Akira memalingkan wajahnya ke arah pria itu.

Ya, memang benar setelah melahirkan, Akira tidak pernah melihat bayinya. Ada sedikit binar bahagia dalam wajah muram Akira.

“Bolehkah aku melihat bayiku?” Tanya Akira tampak antusias. Hingga dia tak sabar untuk bertemu dengan sang buah hati. Satu-satunya kenangan yang tertinggal dan sekarang menjadi tanggung jawabnya.

“Tentu, dia sangat cantik seperti ibunya.” Ucap Argi mengulas senyum. Senyum yang dulu menjadi ciri khasnya menaklukan hati para gadis, kecuali Akira. Dia merasa gagal menaklukan hati gadis itu, namun dia memiliki cinta yang tulus.

Akira tidak sabar untuk melihat sang buah hati, hingga dia berusaha untuk menuruni ranjang.

“Tunggu sebentar, sepertinya kita perlu kursi roda. Kamu tunggu dulu, aku akan mengambilkannya untukmu.” Ucap Argi menahan Akira agar tetap pada posisinya.

Dia kemudian berjalan menuju sudut ruangan, mengambil kursi roda yang sudah disiapkan sebelumnya.

Mendorongnya hingga di sisi ranjang, lalu beralih membantu Akira untuk berpindah posisi dengan cara menggendongnya.

“Aku bisa sendiri, Gi. Gak usah dibantu!” Ucap Akira menolak, dia merasa tidak enak hati jika harus berdekatan dengan pria yang pernah dia sakiti.

Akira berusaha bangun dan menuruni ranjang, namun karena tubuhnya yang sangat lemah, hingga akhirnya usaha membuatnya hampir terjatuh.

Argi dengan sigap menangkap tubuh Akira sebelum terjatuh di lantai. Tanpa meminta ijin, Argi membopong tubuh Akira menuju kursi roda.

Kini wajah mereka sangat dekat hanya berjarak beberapa senti. Bahkan Akira bisa merasakan hembusan nafas Argi di permukaan pipinya.

Akira sangat tahu jika ia tengah di pandang oleh Argi, namun berusaha untuk menjaga jarak dengan menundukkan pandangannya.

Argi meletakkan tubuh Akira dengan sangat hati-hati, seperti sedang menaruh barang yang mudah pecah. Dia tidak ingin pergerakannya menyakiti tubuh Akira yang belum betul-betul pulih. Argi berjongkok di hadapan Akira untuk memasangkan alas kaki.

Lalu segera bangkit melangkah menuju belakang kursi roda. Mendorong kursi roda keluar dari ruangan. Untungnya dia sudah pernah mengunjungi bayi itu, sehingga Argi tidak perlu bertanya pada suster lagi.

Ada seorang suster yang berjaga di depan pintu.

“Sus, aku mau melihat bayiku. Apa ada di dalam?” Tanya Akira dengan antusias.

“Maaf nyonya, dokter masih memeriksa di dalam. Bayinya belum bisa dijenguk.” Ucap suster memberitahu. Namun tatapan tajam Argi membuatnya takut. Tatapan itu seakan mengisyaratkan jika menyuruhnya untuk mengikuti permintaan Akira.

“Hum, baiklah nyonya saya akan antarkan ke dalam.” Seketika suster meralat ucapannya. Sungguh dia tidak ingin membuat dirinya terancam. Mengapa dia terlambat menyadari kehadiran bos Argi di sana?

Pintu terbuka, dan benar di dalam ada seorang dokter wanita yang tengah memeriksa keadaan bayi mungil.

Tak kuasa Akira menahan air mata yang kembali muncul di pelupuk mata. Perjumpaan pertama dengan sang buah hati begitu membuat hatinya terharu.

“Maaf dokter, nyonya Akira datang ingin melihat bayinya.” Ucap suster memberitahu. Dia tidak ingin dokter itu memarahinya, namun lebih takut jika sang bos besar memecatnya. Meski bagaimanapun dia memulai karirnya dengan usaha keras.

Dokter wanita itu menoleh ke arah pintu, namun ketika mendapati keberadaan Argi, senyum ramah tersungging di bibirnya.

“Maaf nyonya Akira, saya akan melakukan pemeriksaan. Bisakah menunggu hingga 5 menit?” Tanya dokter itu ramah, melirik sekilas ke pria yang berdiri di belakang Akira, tengah menatapnya dengan sorot mata tajam.

“Baik dok, saya akan menunggu di sini. Terima kasih sudah merawat anak saya.” Ucap Akira terdengar tulus. Dokter tersenyum, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya.

Akira melihat dari jauh pada bayi mungilnya yang tampak menggapai-gapai udara dengan tangannya yang mungil. Suara tangisannya terdengar sangat kecil. Namun mampu membuat jiwa keibuan Akira muncul. Tak terasa dia kembali terisak, karena perasaan haru yang muncul ketika menyadari dirinya telah menjadi seorang ibu.

Tak lama dokter itu menyelesaikan tugasnya, dan kembali menoleh ke arah Akira.

“Apa nyonya ingin memeluknya? Mungkin dengan pelukan hangat seorang ibu akan merangsang pertumbuhannya.”

Akira langsung mengangguk penuh antusias, meskipun dia merasakan perih di bagian perutnya namun dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.

Argi mendorong kursi roda agar lebih mendekat.

Dokter itu segera mengangkat tubuh mungil itu dan menyerahkan pada ibunya. Dia menyuruh asistennya untuk membuka kancing baju Akira paling atas, agar nantinya bayi itu bisa langsung bersentuhan dengan permukaan kulit sang ibu.

Akira sedikit merasa sungkan, karena kehadiran Argi yang berada di sana. Namun dia tak sempat melarang karena memang benar bayinya butuh kehangatan.

Akira memandang haru pada tubuh kecil yang terasa nyaman dalam pelukannya, bahkan tangisan bayi itu menghilang ketika berada di dekat ibunya.

Kini dia bisa melihat dengan jarak dekat wajah putri kecilnya. Wajah yang selalu mengingatkannya pada Anggara.

“Putri nyonya sangat cantik, seperti ibunya.” Ucap dokter itu.

“Tidak dok, dia lebih mirip ayahnya.” Jawaban Akira membuat dokter dan suster menatap ke arah Argi, seakan ingin memastikan ucapan Akira. Dan mereka tak mendapati kemiripan wajah bayi itu dengan Argi.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status