“Terimakasih, Zvar. Kamu selalu ada disampingku, memberikan dukungan,” ucap Sarah dengan suara lembut. Sarah memeluk erat suaminya, merasakan kehangatan yang selalu membuatnya merasa aman dan nyaman. Senyum merekah di wajahnya, seolah-olah dia sedang menikmati momen paling bahagia dalam hidupnya. Matanya berbinar penuh rasa syukur, mencerminkan rasa terima kasih yang mendalam dan tulus kepada suaminya.“Sama-sama, Sarah,” jawab Zavar dengan suara yang penuh kasih sayang, sembari mengusap lembut punggung Sarah, seolah-olah dia sedang mencoba untuk menenangkan istrinya. Matanya penuh kehangatan, mencerminkan rasa cinta dan kasih sayang yang mendalam terhadap istrinya.“Semoga mama segera diberikan kebahagiaan dengan hadirnya cucu,” sela Mama Riska dengan penuh semangat, sambil tersenyum lebar. Senyumnya yang tulus dan hangat itu menambah keceriaan di wajahnya, seolah-olah dia sedang menatap masa depan yang cerah dan penuh harapan.Zavar, mendengar ucapan mamanya, merasa sedikit canggun
Zavar melangkah masuk ke dalam kantor dengan langkah yang tegap dan langkah yang mantap. Namun, ekspresi wajahnya tampak kacau, mencerminkan perasaan tidak senang yang ia alami.Saat tiba di pintu masuk, ia menghentakkan kakinya dengan sedikit geram, menandakan bahwa ia tidak terlalu senang dengan situasi yang harus dihadapinya. “Urusan seperti ini pun harus aku yang turun tangan!” desis Zavar dengan suara yang terdengar cukup lantang, menciptakan getaran ketidaksetujuan yang hampir terabaikan di ruangan itu.Fando, asisten Zavar yang setia, berusaha mengendalikan situasi yang mulai tegang itu. Dengan wajah yang memohon pengertian, dia menyampaikan, “Maafkan aku, Zavar. Relasi kali ini sungguh cerewet, dia hanya mau bertemu denganmu! Dia bahkan tidak bersedia menandatangani kontrak jika kamu mengabaikannya. Kamu tahu sendiri, kita sangat membutuhkan lahan miliknya untuk proyek ini.”Mendengar penjelasan Fando, Zavar merespon dengan menghela nafas panjang yang terdengar begitu berat.
Dengan tenaga penuh, Zavar memacu mobilnya, sebuah sedan hitam berkilau, melaju cepat menuju butik yang terletak di pusat kota. Mesin mobil berbunyi nyaring, memecah keheningan malam. Lampu jalanan yang berpendar kuning menerangi jalan di depannya, menciptakan bayangan panjang yang bergerak seiring laju mobil.Tak menunggu waktu lama, ia pun telah tiba di tujuan. Saat turun dari mobil, Zavar melirik arlojinya yang terbuat dari emas murni. Ia melihat jarum di sana menunjukkan waktu 02.30, jarum jam bergerak perlahan menandakan waktu yang tak pernah berhenti.“Sudah selesai dengan urusanmu, Zavar?” tanya mama Riska, menghampiri putranya yang baru saja tiba. Suaranya lembut namun penuh kekhawatiran.“Sudah, Mah,” jawab Zavar dengan nada lelah namun lega. Ia mengusap keringat di dahinya, menunjukkan betapa beratnya urusan yang baru saja ia selesaikan.“Ada urusan apa memangnya?” tanya mama Riska, rasa ingin tahunya terpancar dari sorot matanya yang tajam.“Ada relasi yang memaksa ingin be
Sarah menatap layar ponselnya yang berkilau, matanya memandang tajam ke arah nama yang tertera di layar. Jantungnya berdetak lebih cepat, seolah merasakan sesuatu yang tidak biasa. Ia merasa bingung, tidak tahu harus bagaimana.“Selena?” ucap Sarah, bermonolog di dalam hati. Suaranya hampir tidak terdengar, seolah ia sedang berbicara dengan dirinya sendiri. Ia merasa terkejut, tidak menyangka bahwa Selena akan menghubunginya.“Siapa yang menelpon?” tanya Zavar, suaranya penuh kekhawatiran. Ia menatap Sarah, mencoba membaca ekspresi wajah istrinya itu. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang membuat Sarah terlihat bingung.“Selena,” jawab Sarah, suaranya lembut namun jelas. Ia menatap Zavar, matanya penuh kebingungan. Ia merasa tidak yakin, apakah harus menjawab panggilan itu atau tidak.“Tumben dia nelpon kamu, jangan diangkat. Biarkan saja, aku tak suka melihatmu berhubungan dengan orang-orang yang jahat,” ucap Zavar, suaranya tegas. Ia menatap Sarah, matanya penuh kekha
Lena terdiam sejenak. Ia menatap putrinya, Selena, dengan tatapan yang sulit ditebak. Matanya yang biasanya penuh kehangatan, kini tampak kosong dan jauh. Ia mendengar ucapan Selena yang tiba-tiba muncul dari bibir Selena. Sejenak, Lena merasa seolah waktu berhenti.Bayangan masa lalu yang rumit dan penuh perjuangan sejenak terlintas di pikirannya. Ia merasa seolah berada di dalam labirin memori, memutar kembali kenangan-kenangan yang telah lama ia simpan dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Kenangan-kenangan yang telah usang oleh waktu, namun tetap meninggalkan bekas yang mendalam.Dengan suara yang berat dan penuh penekanan, Lena berbicara kepada putrinya, “Kamu cukup memikirkan hidupmu, Selena. Jangan sibuk mencampuri urusan pribadi mama. Sebab, mama lebih tau daripada kamu!” Ucapannya terdengar tegas, tetapi dibalik itu tersembunyi rasa sakit yang mendalam.Selena yang terkejut dengan ucapan mamanya, mencoba untuk berbicara, “Tapi, Mah!” Namun, sebelum ia sempat melanjutkan, Len
Seketika, mata Bagas yang biasanya berbinar dengan semangat dan kehidupan, kini meneteskan air mata yang jernih. Air mata itu jatuh perlahan, mencerminkan patah hati dan pengkhianatan yang mendalam. Ia tak menyangka, bahwa wanita yang selama ini ia cintai dengan sepenuh hati, wanita yang ia anggap sebagai belahan jiwa, bisa setega itu padanya.Lena, sang istri, berdiri di depannya dengan ekspresi datar. “Jangan menangis, Mas,” ucapnya dengan nada datar, seolah-olah ia sedang membaca berita cuaca, bukan menghancurkan hati suaminya. “Percuma, tak akan mengubah segalanya,” lanjutnya sambil terkekeh. Senyumnya muncul, menyerupai iblis yang menikmati penderitaan orang lain. Senyum itu dingin dan kejam, jauh dari kehangatan dan kasih sayang yang biasanya ia tunjukkan.“Apakah kau menyesal telah menikah denganku?” tanya Lena, suaranya penuh dengan nada mengejek. “Tentu kau sangat menyesalkan setelah tahu? Haha,” lanjutnya, tertawa semakin besar. Tawa itu menggema di ruangan, seperti suara ha
Dunia terasa seakan hanya milik berdua. Lena dan Roy, dua sosok yang tengah larut dalam irama cinta mereka, terus memainkan simfoni kebahagiaan tersebut. Mereka terus menari dalam irama khas yang hanya mereka yang mengerti, tanpa memperdulikan betapa hancurnya perasaan Bagas saat itu. Bagas, yang terpaku di atas ranjangnya, hanya bisa meratapi nasibnya dengan mata yang berkaca-kaca.“Menyesal, aku menikahi wanita ini,” gumam Bagas di dalam hatinya. Dia merenung, mengingat kembali sikap lugu Lena yang dulu sering membuatnya tertawa. Ternyata semua itu hanya kedok, hanya topeng untuk menutupi keburukannya. “Sampai hati kau padaku, Lena!” ucap Bagas dengan suara yang hampir tak terdengar, ditelan oleh amarah dan kesedihan yang mendalam.Siapa sangka, wanita yang selama ini Bagas anggap sebagai wanita baik-baik, ternyata lebih berbisa dari ular yang mematikan. Wanita yang selama ini dia anggap sebagai bunga di taman hidupnya, ternyata adalah duri yang menusuk hatinya. Karena dia, Bagas sa
“Memikirkan sesuatu?” tanya Sarah, suaranya lembut, seolah menenangkan hati Zavar yang tampaknya sedang dilanda kegelisahan.“Iya, apa itu? Jika sesuatu itu membebani pikiranmu, sebaiknya berceritalah kepada ku. Siapa tahu aku bisa memberikan solusi,” ucap Zavar dengan nada penuh harap. Dia berharap Sarah mau berbagi beban pikirannya, karena dia tahu betapa pentingnya berbagi dalam sebuah hubungan.Sarah terdiam sejenak, menatap Zavar dengan tatapan yang penuh keraguan. Ingin rasanya ia ceritakan bahwa dirinya sedang merindukan sang ayah. Tetapi, mengingat kejadian tadi siang, saat Selena menelpon, Sarah urung. Dia takut, takut kalau Zavar tak memberinya izin untuk menemui ayahnya. Dia takut, takut kalau kebenaran itu akan merusak hubungan mereka.“Tidak ada apa-apa kok, Zavar, eh maksudku… sayang, maaf aku masih terlalu kaku,” jawab Sarah dengan suara yang hampir tak terdengar. Dia berusaha tersenyum, berusaha menunjukkan bahwa dia baik-baik saja, meski di dalam hatinya dia tahu bahw