Seketika, mata Bagas yang biasanya berbinar dengan semangat dan kehidupan, kini meneteskan air mata yang jernih. Air mata itu jatuh perlahan, mencerminkan patah hati dan pengkhianatan yang mendalam. Ia tak menyangka, bahwa wanita yang selama ini ia cintai dengan sepenuh hati, wanita yang ia anggap sebagai belahan jiwa, bisa setega itu padanya.Lena, sang istri, berdiri di depannya dengan ekspresi datar. “Jangan menangis, Mas,” ucapnya dengan nada datar, seolah-olah ia sedang membaca berita cuaca, bukan menghancurkan hati suaminya. “Percuma, tak akan mengubah segalanya,” lanjutnya sambil terkekeh. Senyumnya muncul, menyerupai iblis yang menikmati penderitaan orang lain. Senyum itu dingin dan kejam, jauh dari kehangatan dan kasih sayang yang biasanya ia tunjukkan.“Apakah kau menyesal telah menikah denganku?” tanya Lena, suaranya penuh dengan nada mengejek. “Tentu kau sangat menyesalkan setelah tahu? Haha,” lanjutnya, tertawa semakin besar. Tawa itu menggema di ruangan, seperti suara ha
Dunia terasa seakan hanya milik berdua. Lena dan Roy, dua sosok yang tengah larut dalam irama cinta mereka, terus memainkan simfoni kebahagiaan tersebut. Mereka terus menari dalam irama khas yang hanya mereka yang mengerti, tanpa memperdulikan betapa hancurnya perasaan Bagas saat itu. Bagas, yang terpaku di atas ranjangnya, hanya bisa meratapi nasibnya dengan mata yang berkaca-kaca.“Menyesal, aku menikahi wanita ini,” gumam Bagas di dalam hatinya. Dia merenung, mengingat kembali sikap lugu Lena yang dulu sering membuatnya tertawa. Ternyata semua itu hanya kedok, hanya topeng untuk menutupi keburukannya. “Sampai hati kau padaku, Lena!” ucap Bagas dengan suara yang hampir tak terdengar, ditelan oleh amarah dan kesedihan yang mendalam.Siapa sangka, wanita yang selama ini Bagas anggap sebagai wanita baik-baik, ternyata lebih berbisa dari ular yang mematikan. Wanita yang selama ini dia anggap sebagai bunga di taman hidupnya, ternyata adalah duri yang menusuk hatinya. Karena dia, Bagas sa
“Memikirkan sesuatu?” tanya Sarah, suaranya lembut, seolah menenangkan hati Zavar yang tampaknya sedang dilanda kegelisahan.“Iya, apa itu? Jika sesuatu itu membebani pikiranmu, sebaiknya berceritalah kepada ku. Siapa tahu aku bisa memberikan solusi,” ucap Zavar dengan nada penuh harap. Dia berharap Sarah mau berbagi beban pikirannya, karena dia tahu betapa pentingnya berbagi dalam sebuah hubungan.Sarah terdiam sejenak, menatap Zavar dengan tatapan yang penuh keraguan. Ingin rasanya ia ceritakan bahwa dirinya sedang merindukan sang ayah. Tetapi, mengingat kejadian tadi siang, saat Selena menelpon, Sarah urung. Dia takut, takut kalau Zavar tak memberinya izin untuk menemui ayahnya. Dia takut, takut kalau kebenaran itu akan merusak hubungan mereka.“Tidak ada apa-apa kok, Zavar, eh maksudku… sayang, maaf aku masih terlalu kaku,” jawab Sarah dengan suara yang hampir tak terdengar. Dia berusaha tersenyum, berusaha menunjukkan bahwa dia baik-baik saja, meski di dalam hatinya dia tahu bahw
“Sepertinya Fando sudah tiba. Sayang, aku berangkat dulu,” ucap Zavar dengan suara lembut. Zavar berdiri dari kursi kayu jati yang sudah mulai terkikis oleh waktu, menatap istrinya dengan penuh cinta. Cahaya rembulan yang masuk melalui jendela membuat wajahnya tampak bercahaya.“Iya, hati-hati, Sayang,” balas Sarah dengan senyum manis yang selalu bisa membuat hati Zavar bergetar. Sarah menatap suaminya dengan penuh kebanggaan dan cinta, matanya berbinar-binar seolah-olah dia melihat pahlawan dalam hidupnya. Dengan gerakan lembut dan penuh kasih, dia mencium punggung tangan Zavar, sebuah tanda cinta dan penghargaan yang mendalam.Mereka berdua kemudian beranjak dari ruangan itu, berjalan bersama menuju pintu utama. Langkah kaki keduanya seirama, seolah menunjukkan betapa kuatnya ikatan yang mereka miliki. Suara langkah kaki mereka di lantai marmer menambah kehangatan di waktu itu. Keduanya berjalan perlahan, menikmati setiap detik yang mereka miliki bersama sebelum Zavar harus berangk
Tuan Renol menganggukkan kepala lembut, memperhatikan dengan bangga saat putrinya mendekati kelompok pria yang berdiri di sebelahnya. Dengan sorotan mata penuh kehangatan, dia mengajak Loly untuk berkenalan. “Kemari sayang, perkenalkan dirimu pada tuan-tuan tampan ini,” suaranya penuh kelembutan saat ia memanggil Loly dengan penuh kehangatan. Loly tersenyum manis saat ia merespons panggilan ayahnya, langkahnya yang ringan menuntunnya mendekati kelompok pria tampan yang diacungkan tangan oleh Tuan Renol. Dengan ketegasan namun ramah, Loly menyapa mereka satu per satu, mengenalkan dirinya dengan nama, memancarkan keceriaan dalam setiap kata yang diucapkannya. Loly membalas panggilan ayahnya dengan senyuman yang memancarkan kegembiraan. Langkahnya ringan saat ia melangkah maju, mendekati ayahnya dengan penuh keyakinan. Dengan langkah pasti, dia mengarahkan pandangannya pada setiap pria yang berdiri di depannya. “Dengan senang hati papa, perkenalkan diri saya, Loly,” ucapnya dengan sua
“Ya, Pak. Mari kita pulang,” ujar Sarah dengan suara lembut namun penuh penekanan pada sopirnya. Sopir tersebut adalah seorang pria setengah baya yang telah lama bekerja untuk ZavarPak sopir tampak menautkan kedua alisnya, menciptakan kerutan di dahi yang tampak jelas melalui kaca spion. Ia melihat Sarah yang begitu cepat kembali ke mobil, hampir seolah-olah ia sedang melarikan diri. Tetapi, dengan profesionalisme yang ia miliki, ia memilih untuk tidak banyak bertanya. Ia tahu bahwa privasi adalah hal yang harus dihormati.“Baik, Nona,” jawabnya dengan suara yang berat namun lembut. Ia kemudian menyalakan starter mobil, merasakan getaran mesin yang familiar di ujung jarinya. Dengan gerakan yang terlatih, ia menggenggam setir dan membawa Sarah melesat menjauh dari rumah tersebut, meninggalkan jejak debu di belakang mereka.Sepanjang jalan, Sarah menatap ke luar jendela, matanya menangkap pemandangan yang berlalu dengan cepat. Pikirannya, bagaimanapun, jauh dari pemandangan tersebut. I
Arloji mewah yang melingkar di pergelangan tangan Zavar menunjukkan angka 08.50. Waktu berjalan terasa begitu lambat, seolah-olah setiap detik berlalu dengan berat. Suasana yang seharusnya hangat dan menyenangkan malah terasa sangat membosankan bagi Zavar. Namun, bagi Zavar, itu lebih seperti sebuah penantian yang tak berujung. Sangat membosankan.“Tuan Renol, maaf, kami harus undur diri,” ucap Zavar, akhirnya ia bersuara setelah beberapa menit membisu. Suaranya terdengar tenang dan mantap, namun ada sedikit nada kelegaan di dalamnya. Ia berdiri dari kursinya, menatap tuan Renol dengan tatapan yang penuh hormat namun tegas.“Loh, kenapa tuan Zavar? Kenapa cepat sekali, ini masih awal loh,” ucap tuan Renol dengan nada terkejut. Ia berusaha menahan Zavar dan Fando agar lebih lama lagi, seolah-olah ia tidak ingin acara ini berakhir. Namun, Zavar tampaknya sudah membuat keputusannya.“Saya ada urusan lain di luar,” jelas Zavar dengan nada yang tegas. Ia tidak memberikan detail lebih lanju
Sejak Sarah meninggalkan rumah, Ina, pembantu setia di rumah tersebut, merasa gelisah. Ia mondar-mandir di teras, berjalan bolak-balik dengan langkah yang tidak menentu, menunggu kedatangan Sarah. Setiap kali ia mendengar suara mobil atau langkah kaki, hatinya berdebar-debar, berharap itu adalah Sarah yang telah pulang.“Kemana perginya nona Sarah,” ucap Ina khawatir.Ketika akhirnya ia melihat sosok Sarah yang dikenalnya, Ina merasa sangat lega. Seolah-olah beban yang selama ini ia rasakan telah hilang, digantikan oleh rasa syukur yang mendalam. “Alhamdulillah, akhirnya nona Sarah pulang,” ucap Ina dengan perasaan lega. Suaranya terdengar lembut namun penuh harap, seolah-olah ia telah menunggu momen ini sejak lama.Tanpa membuang waktu lagi, Ina pun segera berlari keluar, membukakan pagar yang menghalangi jalan mobil yang digunakan Sarah. Ia bergerak dengan cepat dan lincah, seolah-olah ia tak sabar untuk menyambut kedatangan nyonya di rumah ia bekerja.Namun, ketika Sarah tiba, waj
Zavar duduk tegang di ruang tunggu rumah sakit, gelisah menanti kabar mengenai keadaan mertuanya. Setelah beberapa saat yang terasa seperti berjam-jam, dokter yang menangani Bagas akhirnya muncul di hadapannya.“Dokter, bagaimana keadaan mertua saya?” tanya Zavar dengan wajah penuh kekhawatiran.Dokter itu melihat langsung ke mata Zavar sebelum memberikan jawaban, “Masih lemah, Tuan. Tetapi saya senang memberitahu Anda bahwa ada kemajuan sedikit dibanding saat pak Bagas di bawa kemari.”Walaupun Zavar merasa sedikit lega mendengar kabar positif, rasa penasarannya masih belum terpuaskan. “Dokter, bagaimana zat aktif itu bisa masuk ke tubuh mertua saya? Apakah beliau mengkonsumsinya?” tanya Zavar, ingin memahami lebih lanjut.Dokter menjelaskan dengan penuh perhatian, “Menurut kami, tampaknya obat itu memang sengaja diberikan, tujuannya untuk merusak sel-sel tubuh secara perlahan. Melihat kondisi pak Bagas yang sangat memprihatinkan.”Pernyataan dokter membuat Zavar tercengang, tidak bi
Sorak-sorai terdengar memecah keheningan senja di pinggir hutan saat seorang wanita memecahkan keheningan itu dengan serunya saat melintasi jalan sepi di dekat hutan yang setiap hari ia lalui menuju arah pulang dari bekerja.“Ya ampun, Sarah! Iya, ini Sarah!” Wajahnya penuh kekhawatiran ketika dia melintas di jalan, menyusuri lorong gelap yang mengarah pulang menjelang senja.Tiba-tiba, desakan bantuan memecah udara, memotong kesunyian senja. “Tolong!” teriak wanita itu, meminta pertolongan dengan nada yang memilukan. Seruannya segera menarik perhatian beberapa warga yang berada di sekitar lokasi, dan mereka dengan cepat mendekat.Seorang warga, penuh kebaikan hati, bertanya, “Ada apa, Bu?” dengan ekspresi keprihatinan di wajahnya.Wanita itu buru-buru menjelaskan, “Ini, tolong bantu saya membawa wanita ini ke rumah sakit, Pak!” Sorot matanya penuh dengan kegelisahan.“Siapa wanita ini, Bu? Dan kenapa? Apakah wanita ini korban perampokan?” tanya seorang warga lain, mencoba memahami si
Zavar terlihat sibuk menandatangani berkas yang disodorkan oleh Fando.“Ada lagi, Fan?” tanyanya seraya menjepit pulpen di antara jari telunjuk dan jari tengah, matanya menatap fokus pada Fando yang berdiri di hadapannya.“Sudah selesai untuk hari ini, Zavar,” tukas Fando sopan, namun wajahnya nampak datar.Zavar mengangguk singkat. Ia gegas bangkit berdiri, berjalan mendekati sang asisten pribadi. “Rekaman CCTV sudah ada di tangan kamu?” tanyanya seraya berjalan melewati Fando.Fando yang ditanya, gegas menyusul di belakang. “Sudah, kamu akan terkejut melihat hasilnya,” tukasnya, merogoh saku jas, kemudian menyerahkan sebuah flashdisk berisi copy rekaman CCTV ke samping kanan Zavar.Zavar menerimanya, menggenggamnya erat tanpa menghentikan langkahnya. Keduanya berjalan beriringan tanpa sepatah katapun menuju pintu keluar.Zavar gegas masuk ke dalam mobil yang telah menunggunya di depan lobi, begitu Fando membukakan pintu penumpang, menutupnya perlahan, kemudian gegas berlari memutar,
“Gak! Itu gak benar, Sarah! Itu semuanya fitnah!” Selena bersikeras. Wajahnya bahkan terlihat berusaha serius, nampak meyakinkan. Namun Sarah yang sudah tahu akal busuk saudara tirinya itu, tidak serta Merta percaya.“Heleh! Jangan berkilah kamu, Selena! Aku yakin banget, kalo kamu lah pelakunya!” tuding Sarah berapi-api seraya menunjuk-nunjuk ke arah wajah Selena.“Aku berani bersumpah, Sarah. Bahwasanya aku tidak pernah melakukan hal bodoh seperti itu!” Selena masih berusaha membuat Sarah terpedaya.“Gak usah ngelak lagi kamu! Mending kamu ngaku aja dengan jujur, apa maksud kamu ngasih kopi itu sama suami aku? Ingat Selena, Zavar itu suami aku, iparmu sendiri. Jadi kamu jangan berpikiran picik dengan berusaha merebut dia dari tanganku! Atau jangan-jangan kamu yang berusaha mengadu domba aku dan Zavar dengan berpura-pura mengaku menjadi mantan kekasihnya!”pekik Sarah murka. Wajahnya bahkan terlihat merah padam.“Sudah aku bilang, kalo aku gak pernah ngelakuin itu! Kamu itu bego atau
Zavar menatap Fando dengan ekspresi serius, memecahkan keheningan dengan kata-kata yang membuat atmosfer ruangan semakin tegang. “Ada orang yang menjebak aku, sengaja memberikan minuman perangsang,” ungkapnya tegas, matanya mencari kepastian di wajah Fando.Terdengar desahan kaget dari Fando. Ia langsung menanggapi, “Astaga, siapa?” Rasa penasarannya terpancar jelas dari setiap kata yang terucap.Zavar mengangguk, memberikan penjelasan lebih lanjut, “Nggak tau, aku tadi kan meeting. Segera kamu periksa CCTV, aku ingin tau siapa pelakunya.” Suaranya penuh desakan, menunjukkan urgensi untuk mengungkap kebenaran di balik insiden yang menimpanya.Fando mengangguk serius, “Mungkinkah itu Lolly?” Ia mencoba menghubungkan benang merah dari kejadian itu dengan sosok yang mungkin terlibat.Zavar merenung sejenak sebelum menjawab, “Entah, aku tak tau.” Ungkapannya penuh dengan ketidakpastian, membuat situasi semakin misterius.Tak lama kemudian, Fando melanjutkan serangkaian pertanyaannya, “La
Suasana di ruangan itu menjadi tegang ketika Sarah melihat gelisah yang meliputi wajah suaminya, Zavar. Dengan rasa concern, ia tak bisa menahan diri untuk bertanya, “Sayang kamu kenapa?” Suara lembutnya memecah keheningan, memperlihatkan kekhawatiran yang mendalam terhadap suami tercintanya.Meski Sarah masih curiga terhadap Zavar, tetapi itu tak mengubah sikapnya pada pria tampan itu.Zavar, yang tampaknya merasa gelisah dan waspada, segera memberikan instruksi pada Sarah, “Sayang, tutup pintunya, katakan pada sekretaris jangan ada yang mengganggu.” Permintaan tersebut disampaikan dengan suara serius dan penuh perhatian. Sarah, tanpa ragu dan dengan penuh ketaatan, segera melangkah ke pintu dan menguncinya rapat, memastikan keamanan ruangan dari mata orang asing.Namun, ketegangan semakin terasa ketika Sarah kembali mendekati Zavar, mencoba memahami penyebab sikap gelisah yang merayap di dalam hati suaminya. “Ada apa?” tanya Sarah dengan suara lembut, mencoba membuka pintu percaka
Langkah kaki Zavar terdengar semakin dekat, seiring dengan detak jantung Sarah yang semakin cepat.Meja di hadapannya menjadi semakin jelas dalam pandangannya, dan ketegangan terasa begitu nyata di udara. Sarah merasakan debaran kencang di dadanya, seperti serangan kecil dari rasa was-was yang merayap dalam benaknya.Langkah kaki Zavar menghasilkan suara yang berat, menciptakan dentuman yang membuat saraf Sarah merespon dengan cepat. Kletak. Kletak. Setiap langkah mengisyaratkan kedatangan sosok yang mungkin membawa segala macam kejutan.“Aduh, gimana ini?” bisik hati Sarah, ketidakpastian memenuhi pikirannya. Kedua kata itu menjadi sepasang mantra yang terus berputar di benaknya. Sementara langkah kaki Zavar semakin mendekat, ruangan itu seakan-akan mengecil, menyisakan ruang sempit bagi ketegangan untuk berkembang.Dalam ketidakpastian yang mencekam, suara langkah kaki Zavar menggema di dalam ruangan, menciptakan atmosfer yang begitu tegang sehingga bahkan udara tampaknya menahan na
Esok pagi tiba dengan udara yang sejuk dan langit yang cerah, menciptakan suasana yang kontras dengan kegelapan yang menyelimuti hati Sarah.Mendekati jam makan siang, diam-diam Sarah datang ke kantor, hatinya dipenuhi kegelisahan yang sulit diungkapkan. Dengan langkah-langkah hati-hati, Sarah memutuskan untuk mengungkap misteri yang merayapi pikirannya.Seiring langkahnya yang mantap, Sarah melangkah menuju kantor suaminya yang berlokasi di pusat kota. Dia memutuskan untuk memilih jalur taksi sebagai sarana transportasinya, berharap dapat mengurangi waktu tempuh dan mempertahankan keberadaannya yang rahasia. Saat taksi itu tiba, dia dengan hati-hati menuruni tangga, memastikan bahwa tidak ada yang memperhatikan langkah-langkahnya yang tersembunyi.“Bismillah. Semoga aku menemukan kebenarannya di sini,” bisik Sarah dalam hati sambil menyesap napasnya yang teratur. “Ini pak, uangnya, kembaliannya ambil bapak saja,” ujar Sarah dengan tegas kepada sopir taksi ketika sampai di tujuan. De
Lena membuka pintu rumah dengan senyuman, melihat putrinya, Selena, yang tampak begitu bersemangat.“Kamu kenapa sayang? Kok girang banget?” tanya Lena dengan senyum penasaran saat baru tiba di rumah mereka.“Mama baru pulang? Aku lagi senang mah,” kata Selena sambil tersenyum cerah.“Senang kenapa?” tanya Lena, menunjukkan rasa penasaran yang sama.“Sebab, rencana kita berjalan lancar, Mah,” kata Selena dengan antusias.“Lancar?” Lena semakin penasaran.“Iya, Mah. Tadi Selena berhasil mengambil foto yang bagus, lalu mengirim pada Sarah. Tau nggak Mah, Sarah langsung nelpon setelah Selena kirim foto itu,pasti dia sakit hati,” cerita Selena sembari membagi cerita dengan penuh semangat.“Dia tidak kenal suara kamu?” tanya Lena dengan nada penasaran.“Nggak, Mah. Sudah Selena filter, jadi nggak akan Sarah kenal,” jelas Selena sambil menjelaskan dengan penuh semangat.Lena menggelengkan kepala, meresapi kata-kata putrinya dengan ekspresi serius. “Baguslah, kalau mama malah nggak berhasil