“Memikirkan sesuatu?” tanya Sarah, suaranya lembut, seolah menenangkan hati Zavar yang tampaknya sedang dilanda kegelisahan.“Iya, apa itu? Jika sesuatu itu membebani pikiranmu, sebaiknya berceritalah kepada ku. Siapa tahu aku bisa memberikan solusi,” ucap Zavar dengan nada penuh harap. Dia berharap Sarah mau berbagi beban pikirannya, karena dia tahu betapa pentingnya berbagi dalam sebuah hubungan.Sarah terdiam sejenak, menatap Zavar dengan tatapan yang penuh keraguan. Ingin rasanya ia ceritakan bahwa dirinya sedang merindukan sang ayah. Tetapi, mengingat kejadian tadi siang, saat Selena menelpon, Sarah urung. Dia takut, takut kalau Zavar tak memberinya izin untuk menemui ayahnya. Dia takut, takut kalau kebenaran itu akan merusak hubungan mereka.“Tidak ada apa-apa kok, Zavar, eh maksudku… sayang, maaf aku masih terlalu kaku,” jawab Sarah dengan suara yang hampir tak terdengar. Dia berusaha tersenyum, berusaha menunjukkan bahwa dia baik-baik saja, meski di dalam hatinya dia tahu bahw
“Sepertinya Fando sudah tiba. Sayang, aku berangkat dulu,” ucap Zavar dengan suara lembut. Zavar berdiri dari kursi kayu jati yang sudah mulai terkikis oleh waktu, menatap istrinya dengan penuh cinta. Cahaya rembulan yang masuk melalui jendela membuat wajahnya tampak bercahaya.“Iya, hati-hati, Sayang,” balas Sarah dengan senyum manis yang selalu bisa membuat hati Zavar bergetar. Sarah menatap suaminya dengan penuh kebanggaan dan cinta, matanya berbinar-binar seolah-olah dia melihat pahlawan dalam hidupnya. Dengan gerakan lembut dan penuh kasih, dia mencium punggung tangan Zavar, sebuah tanda cinta dan penghargaan yang mendalam.Mereka berdua kemudian beranjak dari ruangan itu, berjalan bersama menuju pintu utama. Langkah kaki keduanya seirama, seolah menunjukkan betapa kuatnya ikatan yang mereka miliki. Suara langkah kaki mereka di lantai marmer menambah kehangatan di waktu itu. Keduanya berjalan perlahan, menikmati setiap detik yang mereka miliki bersama sebelum Zavar harus berangk
Tuan Renol menganggukkan kepala lembut, memperhatikan dengan bangga saat putrinya mendekati kelompok pria yang berdiri di sebelahnya. Dengan sorotan mata penuh kehangatan, dia mengajak Loly untuk berkenalan. “Kemari sayang, perkenalkan dirimu pada tuan-tuan tampan ini,” suaranya penuh kelembutan saat ia memanggil Loly dengan penuh kehangatan. Loly tersenyum manis saat ia merespons panggilan ayahnya, langkahnya yang ringan menuntunnya mendekati kelompok pria tampan yang diacungkan tangan oleh Tuan Renol. Dengan ketegasan namun ramah, Loly menyapa mereka satu per satu, mengenalkan dirinya dengan nama, memancarkan keceriaan dalam setiap kata yang diucapkannya. Loly membalas panggilan ayahnya dengan senyuman yang memancarkan kegembiraan. Langkahnya ringan saat ia melangkah maju, mendekati ayahnya dengan penuh keyakinan. Dengan langkah pasti, dia mengarahkan pandangannya pada setiap pria yang berdiri di depannya. “Dengan senang hati papa, perkenalkan diri saya, Loly,” ucapnya dengan sua
“Ya, Pak. Mari kita pulang,” ujar Sarah dengan suara lembut namun penuh penekanan pada sopirnya. Sopir tersebut adalah seorang pria setengah baya yang telah lama bekerja untuk ZavarPak sopir tampak menautkan kedua alisnya, menciptakan kerutan di dahi yang tampak jelas melalui kaca spion. Ia melihat Sarah yang begitu cepat kembali ke mobil, hampir seolah-olah ia sedang melarikan diri. Tetapi, dengan profesionalisme yang ia miliki, ia memilih untuk tidak banyak bertanya. Ia tahu bahwa privasi adalah hal yang harus dihormati.“Baik, Nona,” jawabnya dengan suara yang berat namun lembut. Ia kemudian menyalakan starter mobil, merasakan getaran mesin yang familiar di ujung jarinya. Dengan gerakan yang terlatih, ia menggenggam setir dan membawa Sarah melesat menjauh dari rumah tersebut, meninggalkan jejak debu di belakang mereka.Sepanjang jalan, Sarah menatap ke luar jendela, matanya menangkap pemandangan yang berlalu dengan cepat. Pikirannya, bagaimanapun, jauh dari pemandangan tersebut. I
Arloji mewah yang melingkar di pergelangan tangan Zavar menunjukkan angka 08.50. Waktu berjalan terasa begitu lambat, seolah-olah setiap detik berlalu dengan berat. Suasana yang seharusnya hangat dan menyenangkan malah terasa sangat membosankan bagi Zavar. Namun, bagi Zavar, itu lebih seperti sebuah penantian yang tak berujung. Sangat membosankan.“Tuan Renol, maaf, kami harus undur diri,” ucap Zavar, akhirnya ia bersuara setelah beberapa menit membisu. Suaranya terdengar tenang dan mantap, namun ada sedikit nada kelegaan di dalamnya. Ia berdiri dari kursinya, menatap tuan Renol dengan tatapan yang penuh hormat namun tegas.“Loh, kenapa tuan Zavar? Kenapa cepat sekali, ini masih awal loh,” ucap tuan Renol dengan nada terkejut. Ia berusaha menahan Zavar dan Fando agar lebih lama lagi, seolah-olah ia tidak ingin acara ini berakhir. Namun, Zavar tampaknya sudah membuat keputusannya.“Saya ada urusan lain di luar,” jelas Zavar dengan nada yang tegas. Ia tidak memberikan detail lebih lanju
Sejak Sarah meninggalkan rumah, Ina, pembantu setia di rumah tersebut, merasa gelisah. Ia mondar-mandir di teras, berjalan bolak-balik dengan langkah yang tidak menentu, menunggu kedatangan Sarah. Setiap kali ia mendengar suara mobil atau langkah kaki, hatinya berdebar-debar, berharap itu adalah Sarah yang telah pulang.“Kemana perginya nona Sarah,” ucap Ina khawatir.Ketika akhirnya ia melihat sosok Sarah yang dikenalnya, Ina merasa sangat lega. Seolah-olah beban yang selama ini ia rasakan telah hilang, digantikan oleh rasa syukur yang mendalam. “Alhamdulillah, akhirnya nona Sarah pulang,” ucap Ina dengan perasaan lega. Suaranya terdengar lembut namun penuh harap, seolah-olah ia telah menunggu momen ini sejak lama.Tanpa membuang waktu lagi, Ina pun segera berlari keluar, membukakan pagar yang menghalangi jalan mobil yang digunakan Sarah. Ia bergerak dengan cepat dan lincah, seolah-olah ia tak sabar untuk menyambut kedatangan nyonya di rumah ia bekerja.Namun, ketika Sarah tiba, waj
“Sayang, kamu sudah pulang?” tanya Sarah dengan suara lembut, melihat suaminya, Zavar, yang baru saja melangkah masuk ke kamar mereka. Cahaya lampu kamar yang hangat menerangi wajahnya yang tampak lelah.“Iya, sudah selesai acara makan malamnya,” jelas Zavar dengan nada berat, sambil mulai membuka dasi dan kemeja yang tampak sempurna di lehernya. Suara kancing kemeja yang terbuka satu per satu terdengar jelas di ruangan itu.“Cepet ya, apa selesai makan langsung pulang?” tanya Sara pada Zavar, mencoba menyembunyikan kekecewaannya. “Untung aku pulang cepat,” ucap Sarah bermonolog di dalam hati, sambil mengelus pelan dadanya, merasakan detak jantungnya yang berpacu.“Iya,” jawabnya singkat, sambil melepas kemeja yang terakhir dan melemparnya ke kursi di sudut kamar.“Kenapa? Apa tidak berbasa basi membahas bisnis atau sejenisnya?” tanya Sarah, mencoba memahami alasan suaminya. Matanya menatap Zavar dengan penuh tanya.“Nggak, disana membosankan,” jawab Zavar dengan nada datar setelah me
Sarah mengernyitkan dahi saat Zavar menyingkirkan desain yang sedang dikerjakannya. Matanya terpaku pada kertas yang belum juga terwujud menjadi impian visualnya.“Sayang, aku belum selesai dengan desainku?” desisnya dengan suara lembut.Zavar menatapnya serius, senyum samar terukir di bibirnya. “Nanti saja itu, ada hal yang lebih penting lagi,” ujar Zavar mantap, matanya penuh keyakinan.Namun, keinginan Sarah tak terbendung. “Tapi…”“Tidak ada kata ‘tapi’,” potong Zavar dengan tegas. Tanpa menunggu lagi, ia meraih tubuh Sarah menariknya berbaring di ranjang. Dengannya, ia menyampaikan pesan tanpa kata-kata, ada momen yang tak bisa ditunda.Kedua insan itu berpindah dari pembicaraan tentang desain ke sebuah bahasa tubuh yang penuh makna. Sarah terdiam, terbawa oleh sentuhan dan kehangatan Zavar. Namun, dalam keheningan itu, suara pelan Zavar menggema di telinganya.“Aku mau anak dua belas, sayang,” bisik Zavar dengan lembut, seakan merangkul impian yang belum terucap secara gamblang