“Sayang, kamu sudah pulang?” tanya Sarah dengan suara lembut, melihat suaminya, Zavar, yang baru saja melangkah masuk ke kamar mereka. Cahaya lampu kamar yang hangat menerangi wajahnya yang tampak lelah.“Iya, sudah selesai acara makan malamnya,” jelas Zavar dengan nada berat, sambil mulai membuka dasi dan kemeja yang tampak sempurna di lehernya. Suara kancing kemeja yang terbuka satu per satu terdengar jelas di ruangan itu.“Cepet ya, apa selesai makan langsung pulang?” tanya Sara pada Zavar, mencoba menyembunyikan kekecewaannya. “Untung aku pulang cepat,” ucap Sarah bermonolog di dalam hati, sambil mengelus pelan dadanya, merasakan detak jantungnya yang berpacu.“Iya,” jawabnya singkat, sambil melepas kemeja yang terakhir dan melemparnya ke kursi di sudut kamar.“Kenapa? Apa tidak berbasa basi membahas bisnis atau sejenisnya?” tanya Sarah, mencoba memahami alasan suaminya. Matanya menatap Zavar dengan penuh tanya.“Nggak, disana membosankan,” jawab Zavar dengan nada datar setelah me
Sarah mengernyitkan dahi saat Zavar menyingkirkan desain yang sedang dikerjakannya. Matanya terpaku pada kertas yang belum juga terwujud menjadi impian visualnya.“Sayang, aku belum selesai dengan desainku?” desisnya dengan suara lembut.Zavar menatapnya serius, senyum samar terukir di bibirnya. “Nanti saja itu, ada hal yang lebih penting lagi,” ujar Zavar mantap, matanya penuh keyakinan.Namun, keinginan Sarah tak terbendung. “Tapi…”“Tidak ada kata ‘tapi’,” potong Zavar dengan tegas. Tanpa menunggu lagi, ia meraih tubuh Sarah menariknya berbaring di ranjang. Dengannya, ia menyampaikan pesan tanpa kata-kata, ada momen yang tak bisa ditunda.Kedua insan itu berpindah dari pembicaraan tentang desain ke sebuah bahasa tubuh yang penuh makna. Sarah terdiam, terbawa oleh sentuhan dan kehangatan Zavar. Namun, dalam keheningan itu, suara pelan Zavar menggema di telinganya.“Aku mau anak dua belas, sayang,” bisik Zavar dengan lembut, seakan merangkul impian yang belum terucap secara gamblang
“Kamu tunggu di sini, biar aku masuk ke dalam untuk memeriksa!” ucap Zavar dengan tegas. Suaranya bergetar dengan keberanian dan determinasi, mata coklatnya menatap Sarah dengan penuh keyakinan. Dia berdiri tegak di depan pintu rumah mereka yang terbuka, siap untuk menghadapi apa pun yang mungkin ada di dalam.“Tapi bagaimana jika ada maling di dalam, nanti kamu kenapa-napa!” ucap Sarah dengan suara gemetar. Kekhawatirannya tergambar jelas di wajahnya yang pucat. Dia menahan tangan Zavar, mencoba mencegahnya untuk masuk. Matanya yang lebar penuh dengan kecemasan, dan suaranya hampir tidak keluar karena ketakutan.“Terima kasih sudah mengkhawatirkan aku sayang,” balas Zavar, meremas tangan Sarah dengan lembut. Dia memberikan senyum yang penuh dengan kehangatan dan kasih sayang, berusaha menenangkan istrinya. “Tetapi tenang saja, jangan khawatirkan aku. Aku akan berhati-hati.”Dia kemudian menambahkan, “Tetapi, jika terjadi sesuatu padaku, segera telpon Fando!” Fando adalah sahabat baik
Setelah melaju dengan kecepatan tinggi di jalanan raya yang luas, mobil hitam milik Zavar akhirnya tiba di suatu tempat yang tampaknya sudah dikenal sebelumnya. Dengan hati-hati, Zavar menepikan mobilnya ke sisi jalan, mematikan mesin, dan membuka pintu. Mereka berdua, Zavar dan Sarah, segera turun dari mobil, merasakan udara segar malam yang menyegarkan.“Ke Cafe resto?” tanya Sarah dengan nada bingung, matanya memandang sekeliling, mencoba mencari petunjuk.“Iya, aku lapar. Ayo,” ajak Zavar dengan senyum lebar. Dia meraih tangan Sarah dan membawanya menuju cafe tersebut.Sarah mengikuti langkah kaki suaminya, Zavar, merasa penasaran dan bingung pada saat yang sama. Mereka berjalan melewati pintu cafe, disambut oleh aroma kopi yang hangat dan musik jazz yang lembut.Setelah memilih meja di sudut yang nyaman, mereka duduk berhadapan satu sama lain. Seorang pelayan datang dan mereka pun langsung memesan makanan, memilih beberapa hidangan favorit mereka.“Kamu ingat cafe ini?” tanya Zav
Selena merasa heran ketika mendengar suara wanita yang mengangkat telepon Alex. Ia tidak mengenal suara itu sama sekali. Seketika membuat hati Selena terasa panas karena terbakar cemburu.“Kamu siapa?” tanyanya dengan nada penasaran. Ia ingin tahu siapa wanita yang berani mengganggu hubungannya dengan Alex.Wanita itu terdengar tidak senang dengan pertanyaan Selena. Ia merasa tersinggung dan marah.“Aku kekasihnya Alex, kamu yang siapa?” tanyanya balik dengan nada tajam. Ia merasa yakin bahwa gadis yang menelpon Alex pasti ada sesuatu. Ia ingin tau lebih jauh.Selena tidak percaya dengan jawaban wanita itu. Ia merasa bahwa wanita itu sedang berbohong dan berusaha mengacaukan hubungannya dengan Alex.“Hei, jangan sembarangan bicara ya kamu!” ucap Selena dengan nada keras. Ia ingin menegaskan bahwa ia adalah tunangan Alex dan tidak ada orang lain yang berhak mengklaim Alex.Wanita itu semakin kesal dengan ucapan Selena. Ia merasa bahwa Selena adalah orang yang ngasal dan tidak tahu apa-
“Alex, sialan!” teriak Selena dengan suara parau, menggema di seluruh ruangan. Dia berdiri di tengah kamarnya, rasa sakit dan pengkhianatan memenuhi setiap inci tubuhnya, membuat jantungnya terasa seperti pecahan kaca tajam.Dia meremas bantal di tempat tidurnya, mencoba menahan air mata yang menggenang di matanya. “Tidak, aku tidak boleh menangis begini,” gumamnya pada dirinya sendiri, berusaha keras untuk menenangkan diri. Dengan tangan gemetar, dia mengusap air mata yang jatuh di pipinya, mencoba menghapus jejak kesedihan yang begitu dalam.“Aku harus menemukan Alex, memberikan pelajaran padanya!” ucap Selena dengan nada penuh kemarahan. Dia bisa merasakan amarahnya membara di dalam dada, mendorongnya untuk bertindak. Dia tidak bisa membiarkan Alex pergi begitu saja setelah apa yang telah dia lakukan.Dengan tekad yang baru, Selena meraih tasnya yang tergeletak di lantai. Dia merogoh isi tasnya, mencari kunci mobilnya. Setelah menemukannya, dia menggenggamnya erat, merasakan dingin
Selena menatap Alex dengan tatapan tajam dan penuh kemarahan. Dia tidak percaya bahwa Alex, tunangannya itu, telah mengkhianatinya. Tidak hanya itu, Alex juga telah memakai uangnya dalam jumlah besar, semakin menambah rasa sakit hati di hati Selena.“Apa maksudmu?” tanya Alex pura-pura tak tahu. Dia berusaha menenangkan Selena yang sudah histeris.“Jangan berpura-pura kau Alex. Cctv di kantor mamaku akan menjadi bukti untuk menjebloskan kamu ke penjara jika tidak mengembalikan uangku!” teriak Selena. Dia menunjuk ke arah wajah Alex dengan berapi-api.“Dan kamu, aku relakan Alex untukmu. Kalian memang pantas!” ucap Selena sambil menoleh ke arah Viola yang berdiri di belakang Alex. Viola tampak ketakutan dan menunduk. Dia tidak berani menatap Selena yang sudah menganggapnya sebagai musuh.Selena merasa tidak ada lagi yang bisa dia lakukan di rumah mewah itu. Dia merasa telah kehilangan segalanya. Dia pun berbalik dan berlari menuju pintu keluar. Dia tidak peduli dengan tatapan heran dan
Papanya Viola berdiri tegak, matanya menatap tajam ke arah Alex. “Pergi kamu dari sini dan jangan pernah menampakkan wajahmu di hadapanku!” ucapnya dengan suara lantang yang menggema di seluruh ruangan. Dia menunjuk pintu keluar dengan jari telunjuknya, wajahnya penuh dengan kemarahan. Alex tampak terkejut, dia menatap papanya Viola dengan ekspresi terkejut. “Om, dengarkan penjelasan saya, wanita tadi berbohong!” jelasnya dengan suara gemetar. Dia mencoba menjelaskan situasinya, berharap papanya Viola akan memahami. Alex kemudian menoleh ke arah Viola, matanya memandang penuh harap. “Viola, apa semudah itu kau ingin berpisah dariku?” tanyanya dengan suara lembut, penuh dengan rasa penyesalan. Viola tampak terdiam sejenak, matanya menatap Alex dengan ekspresi kosong. Beberapa saat kemudian, dia akhirnya membuka mulutnya. “Lebih baik kita putus, Alex,” jawabnya dengan suara yang hampir tidak terdengar. Dia kemudian berlari masuk ke dalam rumah, meninggalkan Alex sendirian di luar. Al
Zavar duduk tegang di ruang tunggu rumah sakit, gelisah menanti kabar mengenai keadaan mertuanya. Setelah beberapa saat yang terasa seperti berjam-jam, dokter yang menangani Bagas akhirnya muncul di hadapannya.“Dokter, bagaimana keadaan mertua saya?” tanya Zavar dengan wajah penuh kekhawatiran.Dokter itu melihat langsung ke mata Zavar sebelum memberikan jawaban, “Masih lemah, Tuan. Tetapi saya senang memberitahu Anda bahwa ada kemajuan sedikit dibanding saat pak Bagas di bawa kemari.”Walaupun Zavar merasa sedikit lega mendengar kabar positif, rasa penasarannya masih belum terpuaskan. “Dokter, bagaimana zat aktif itu bisa masuk ke tubuh mertua saya? Apakah beliau mengkonsumsinya?” tanya Zavar, ingin memahami lebih lanjut.Dokter menjelaskan dengan penuh perhatian, “Menurut kami, tampaknya obat itu memang sengaja diberikan, tujuannya untuk merusak sel-sel tubuh secara perlahan. Melihat kondisi pak Bagas yang sangat memprihatinkan.”Pernyataan dokter membuat Zavar tercengang, tidak bi
Sorak-sorai terdengar memecah keheningan senja di pinggir hutan saat seorang wanita memecahkan keheningan itu dengan serunya saat melintasi jalan sepi di dekat hutan yang setiap hari ia lalui menuju arah pulang dari bekerja.“Ya ampun, Sarah! Iya, ini Sarah!” Wajahnya penuh kekhawatiran ketika dia melintas di jalan, menyusuri lorong gelap yang mengarah pulang menjelang senja.Tiba-tiba, desakan bantuan memecah udara, memotong kesunyian senja. “Tolong!” teriak wanita itu, meminta pertolongan dengan nada yang memilukan. Seruannya segera menarik perhatian beberapa warga yang berada di sekitar lokasi, dan mereka dengan cepat mendekat.Seorang warga, penuh kebaikan hati, bertanya, “Ada apa, Bu?” dengan ekspresi keprihatinan di wajahnya.Wanita itu buru-buru menjelaskan, “Ini, tolong bantu saya membawa wanita ini ke rumah sakit, Pak!” Sorot matanya penuh dengan kegelisahan.“Siapa wanita ini, Bu? Dan kenapa? Apakah wanita ini korban perampokan?” tanya seorang warga lain, mencoba memahami si
Zavar terlihat sibuk menandatangani berkas yang disodorkan oleh Fando.“Ada lagi, Fan?” tanyanya seraya menjepit pulpen di antara jari telunjuk dan jari tengah, matanya menatap fokus pada Fando yang berdiri di hadapannya.“Sudah selesai untuk hari ini, Zavar,” tukas Fando sopan, namun wajahnya nampak datar.Zavar mengangguk singkat. Ia gegas bangkit berdiri, berjalan mendekati sang asisten pribadi. “Rekaman CCTV sudah ada di tangan kamu?” tanyanya seraya berjalan melewati Fando.Fando yang ditanya, gegas menyusul di belakang. “Sudah, kamu akan terkejut melihat hasilnya,” tukasnya, merogoh saku jas, kemudian menyerahkan sebuah flashdisk berisi copy rekaman CCTV ke samping kanan Zavar.Zavar menerimanya, menggenggamnya erat tanpa menghentikan langkahnya. Keduanya berjalan beriringan tanpa sepatah katapun menuju pintu keluar.Zavar gegas masuk ke dalam mobil yang telah menunggunya di depan lobi, begitu Fando membukakan pintu penumpang, menutupnya perlahan, kemudian gegas berlari memutar,
“Gak! Itu gak benar, Sarah! Itu semuanya fitnah!” Selena bersikeras. Wajahnya bahkan terlihat berusaha serius, nampak meyakinkan. Namun Sarah yang sudah tahu akal busuk saudara tirinya itu, tidak serta Merta percaya.“Heleh! Jangan berkilah kamu, Selena! Aku yakin banget, kalo kamu lah pelakunya!” tuding Sarah berapi-api seraya menunjuk-nunjuk ke arah wajah Selena.“Aku berani bersumpah, Sarah. Bahwasanya aku tidak pernah melakukan hal bodoh seperti itu!” Selena masih berusaha membuat Sarah terpedaya.“Gak usah ngelak lagi kamu! Mending kamu ngaku aja dengan jujur, apa maksud kamu ngasih kopi itu sama suami aku? Ingat Selena, Zavar itu suami aku, iparmu sendiri. Jadi kamu jangan berpikiran picik dengan berusaha merebut dia dari tanganku! Atau jangan-jangan kamu yang berusaha mengadu domba aku dan Zavar dengan berpura-pura mengaku menjadi mantan kekasihnya!”pekik Sarah murka. Wajahnya bahkan terlihat merah padam.“Sudah aku bilang, kalo aku gak pernah ngelakuin itu! Kamu itu bego atau
Zavar menatap Fando dengan ekspresi serius, memecahkan keheningan dengan kata-kata yang membuat atmosfer ruangan semakin tegang. “Ada orang yang menjebak aku, sengaja memberikan minuman perangsang,” ungkapnya tegas, matanya mencari kepastian di wajah Fando.Terdengar desahan kaget dari Fando. Ia langsung menanggapi, “Astaga, siapa?” Rasa penasarannya terpancar jelas dari setiap kata yang terucap.Zavar mengangguk, memberikan penjelasan lebih lanjut, “Nggak tau, aku tadi kan meeting. Segera kamu periksa CCTV, aku ingin tau siapa pelakunya.” Suaranya penuh desakan, menunjukkan urgensi untuk mengungkap kebenaran di balik insiden yang menimpanya.Fando mengangguk serius, “Mungkinkah itu Lolly?” Ia mencoba menghubungkan benang merah dari kejadian itu dengan sosok yang mungkin terlibat.Zavar merenung sejenak sebelum menjawab, “Entah, aku tak tau.” Ungkapannya penuh dengan ketidakpastian, membuat situasi semakin misterius.Tak lama kemudian, Fando melanjutkan serangkaian pertanyaannya, “La
Suasana di ruangan itu menjadi tegang ketika Sarah melihat gelisah yang meliputi wajah suaminya, Zavar. Dengan rasa concern, ia tak bisa menahan diri untuk bertanya, “Sayang kamu kenapa?” Suara lembutnya memecah keheningan, memperlihatkan kekhawatiran yang mendalam terhadap suami tercintanya.Meski Sarah masih curiga terhadap Zavar, tetapi itu tak mengubah sikapnya pada pria tampan itu.Zavar, yang tampaknya merasa gelisah dan waspada, segera memberikan instruksi pada Sarah, “Sayang, tutup pintunya, katakan pada sekretaris jangan ada yang mengganggu.” Permintaan tersebut disampaikan dengan suara serius dan penuh perhatian. Sarah, tanpa ragu dan dengan penuh ketaatan, segera melangkah ke pintu dan menguncinya rapat, memastikan keamanan ruangan dari mata orang asing.Namun, ketegangan semakin terasa ketika Sarah kembali mendekati Zavar, mencoba memahami penyebab sikap gelisah yang merayap di dalam hati suaminya. “Ada apa?” tanya Sarah dengan suara lembut, mencoba membuka pintu percaka
Langkah kaki Zavar terdengar semakin dekat, seiring dengan detak jantung Sarah yang semakin cepat.Meja di hadapannya menjadi semakin jelas dalam pandangannya, dan ketegangan terasa begitu nyata di udara. Sarah merasakan debaran kencang di dadanya, seperti serangan kecil dari rasa was-was yang merayap dalam benaknya.Langkah kaki Zavar menghasilkan suara yang berat, menciptakan dentuman yang membuat saraf Sarah merespon dengan cepat. Kletak. Kletak. Setiap langkah mengisyaratkan kedatangan sosok yang mungkin membawa segala macam kejutan.“Aduh, gimana ini?” bisik hati Sarah, ketidakpastian memenuhi pikirannya. Kedua kata itu menjadi sepasang mantra yang terus berputar di benaknya. Sementara langkah kaki Zavar semakin mendekat, ruangan itu seakan-akan mengecil, menyisakan ruang sempit bagi ketegangan untuk berkembang.Dalam ketidakpastian yang mencekam, suara langkah kaki Zavar menggema di dalam ruangan, menciptakan atmosfer yang begitu tegang sehingga bahkan udara tampaknya menahan na
Esok pagi tiba dengan udara yang sejuk dan langit yang cerah, menciptakan suasana yang kontras dengan kegelapan yang menyelimuti hati Sarah.Mendekati jam makan siang, diam-diam Sarah datang ke kantor, hatinya dipenuhi kegelisahan yang sulit diungkapkan. Dengan langkah-langkah hati-hati, Sarah memutuskan untuk mengungkap misteri yang merayapi pikirannya.Seiring langkahnya yang mantap, Sarah melangkah menuju kantor suaminya yang berlokasi di pusat kota. Dia memutuskan untuk memilih jalur taksi sebagai sarana transportasinya, berharap dapat mengurangi waktu tempuh dan mempertahankan keberadaannya yang rahasia. Saat taksi itu tiba, dia dengan hati-hati menuruni tangga, memastikan bahwa tidak ada yang memperhatikan langkah-langkahnya yang tersembunyi.“Bismillah. Semoga aku menemukan kebenarannya di sini,” bisik Sarah dalam hati sambil menyesap napasnya yang teratur. “Ini pak, uangnya, kembaliannya ambil bapak saja,” ujar Sarah dengan tegas kepada sopir taksi ketika sampai di tujuan. De
Lena membuka pintu rumah dengan senyuman, melihat putrinya, Selena, yang tampak begitu bersemangat.“Kamu kenapa sayang? Kok girang banget?” tanya Lena dengan senyum penasaran saat baru tiba di rumah mereka.“Mama baru pulang? Aku lagi senang mah,” kata Selena sambil tersenyum cerah.“Senang kenapa?” tanya Lena, menunjukkan rasa penasaran yang sama.“Sebab, rencana kita berjalan lancar, Mah,” kata Selena dengan antusias.“Lancar?” Lena semakin penasaran.“Iya, Mah. Tadi Selena berhasil mengambil foto yang bagus, lalu mengirim pada Sarah. Tau nggak Mah, Sarah langsung nelpon setelah Selena kirim foto itu,pasti dia sakit hati,” cerita Selena sembari membagi cerita dengan penuh semangat.“Dia tidak kenal suara kamu?” tanya Lena dengan nada penasaran.“Nggak, Mah. Sudah Selena filter, jadi nggak akan Sarah kenal,” jelas Selena sambil menjelaskan dengan penuh semangat.Lena menggelengkan kepala, meresapi kata-kata putrinya dengan ekspresi serius. “Baguslah, kalau mama malah nggak berhasil