Papanya Viola berdiri tegak, matanya menatap tajam ke arah Alex. “Pergi kamu dari sini dan jangan pernah menampakkan wajahmu di hadapanku!” ucapnya dengan suara lantang yang menggema di seluruh ruangan. Dia menunjuk pintu keluar dengan jari telunjuknya, wajahnya penuh dengan kemarahan. Alex tampak terkejut, dia menatap papanya Viola dengan ekspresi terkejut. “Om, dengarkan penjelasan saya, wanita tadi berbohong!” jelasnya dengan suara gemetar. Dia mencoba menjelaskan situasinya, berharap papanya Viola akan memahami. Alex kemudian menoleh ke arah Viola, matanya memandang penuh harap. “Viola, apa semudah itu kau ingin berpisah dariku?” tanyanya dengan suara lembut, penuh dengan rasa penyesalan. Viola tampak terdiam sejenak, matanya menatap Alex dengan ekspresi kosong. Beberapa saat kemudian, dia akhirnya membuka mulutnya. “Lebih baik kita putus, Alex,” jawabnya dengan suara yang hampir tidak terdengar. Dia kemudian berlari masuk ke dalam rumah, meninggalkan Alex sendirian di luar. Al
Dengan mata yang memerah dan suara yang bergetar, Alex merengek pada Lena, “Saya mohon, jangan penjarakan saya, Tante!” Dia mencoba meraih belas kasihan Lena dengan tatapan yang memelas.Namun Lena, dengan wajah yang teguh dan mata yang tajam, menjawab tanpa ragu, “Tidak bisa! Kamu harus mempertanggung jawabkan perbuatan kamu!” Suaranya bergema di ruangan itu, menunjukkan ketegasannya.Alex, dengan suara yang semakin lemah, kembali merengek, “Ampunkan saya, Tante.” Dia berharap kata-katanya bisa meluluhkan hati Lena.Namun Lena tetap pada pendiriannya. Dia menoleh ke Roy dan memberi perintah, “Roy, bawa dia ke gudang, beri dia pelajaran, kalau perlu hajar dia sampai babak belur, setelah itu baru seret dia ke penjara!” Suaranya tegas, menunjukkan bahwa Lena tidak akan berubah pikiran.Dengan wajah yang serius, Roy menjawab singkat, “Baik!” Dia siap menjalankan perintah Lena.Alex, yang mendengar perintah itu, berteriak dengan putus asa, “Tante, jangan! Ampuun!” Alex berusaha sekuat ten
Lena duduk di kursi kerjanya, menatap layar ponselnya dengan alis yang mengerut dalam kebingungan. Dia baru saja menerima panggilan dari Mbok, pembantu rumah tangganya. “Kenapa Mbok menelepon saat ini?” pikir Lena, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dia merasa jantungnya berdebar-debar, seolah-olah ada firasat buruk yang menghantui pikirannya.Lena mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum mengangkat telepon. “Halo, Mbok,” sapa Lena dengan suara yang berusaha tetap tenang. Namun, dibalik suaranya yang tenang, ada rasa cemas yang tidak bisa dia sembunyikan.Mbok, di ujung telepon, terdengar ketakutan. “Buk, tolong! Non Selena mau bunuh diri,” ucapnya dengan suara yang penuh kepanikan. Kata-kata itu seperti petir di siang bolong bagi Lena. Dia merasa dunianya runtuh seketika.“Apa! Duh anak itu, bener-bener deh!” ucap Lena, merasa frustasi dan takut pada saat yang sama. Dia tahu Selena sedang mengalami masa-masa sulit, tetapi dia tidak pernah menyangka bahwa si
Dengan raut wajah yang penuh kecemasan, Lena merespons dengan keras pada penggalan kalimat itu. “Benar! Seolah dunia hanya dihuni oleh satu lelaki bernama Alex. Tapi sebenarnya, masih banyak lelaki diluar sana yang jauh lebih dari sekadar Alex!” serunya, sorot matanya penuh dengan amarah dengan pikiran singkat putrinya.Namun, setelah berbagai rayuan dan usaha meyakinkan, akhirnya Selena menyerah. Keteguhan hatinya terkikis, lalu tubuhnya perlahan berputar, tidak lagi berniat melompat dari balkon tinggi itu.Si Mbok yang telah membujuk dan menunggu sejak tadi, segera melangkah mendekati Selena. Dengan penuh kelembutan, ia merangkul gadis itu. Lena, yang telah menahan nafasnya sepanjang kejadian, merasakan lega melihat anak tunggalnya tidak mengambil langkah tragis untuk mengakhiri hidupnya.“Hufft! Syukurlah,” desah Lena dengan suara lirih yang penuh rasa lega, tangannya mengelus dada dengan penuh ketenangan. Dalam hatinya, ia bersyukur bahwa keputusasaan telah berakhir dan putrinya m
“Sebenarnya apa?” tanya Zavar, matanya menyiratkan rasa ingin tahu yang tak tersembunyi.Sarah menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian. “Sebenarnya, aku... diam-diam sudah ke sana,” ucapnya perlahan, suaranya hampir hilang di antara getar kecemasan.Pandangan tajam Zavar menembus Sarah, membuatnya merasa gemetar. Ia takut Zavar akan meledak dalam kemarahan. Namun, dengan langkah berani, Sarah melanjutkan, “Menemui ayahku,” tambahnya, mencoba mengungkapkan semuanya dengan jujur.Zavar menatapnya dengan intensitas yang membuat Sarah hampir terdiam dalam ketegangan. “Kapan?” tanyanya, suaranya seolah menafsirkan keseluruhan situasi.Sarah menggigit bibirnya, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. “Waktu kamu pergi makan malam bersama relasimu,” jawabnya pelan, berusaha menjelaskan tanpa memunculkan kepanikan lebih lanjut.Detik-detak waktu terasa sangat lambat dalam keheningan mereka. Zavar mencerna setiap kata yang baru saja diungkapkan Sarah.Sarah merasa jantungnya berdegup k
Lolly duduk tegak di ujung ranjangnya, matanya menerawang ke jendela yang memancarkan cahaya senja yang redup. Dalam genggaman, ia memutar-mutar selembar kertas kecil yang menyimpan nomor ponsel—sebuah nomor yang bisa menjadi kunci bagi rencana mendatangnya. “Sebaiknya aku menunggu rencana papa saja,” gumamnya pelan, suara seraknya terbawa angin malam yang menyelinap masuk ke dalam kamarnya.Lolly merasakan getaran ringan di dalam kantungnya, namun belum saatnya. Lolly mengembalikan kertas itu ke tempat semula dengan hati-hati, seolah menyimpan rahasia besar dalam genggamannya. Kembali terbujur di atas ranjangnya, dia merenung, membenamkan diri dalam dunianya yang penuh tanda tanya.Pikirannya terhanyut pada Zavar—wajahnya yang tampan, mata yang menatap dengan tajam namun penuh misteri. Zavar telah merasuki setiap relung hatinya, menggetarkan apa yang tadinya terkunci rapat. Lolly merasakan denyutan getar yang tidak biasa melintasi dadanya, seperti arus listrik yang mengalir tanpa he
Beberapa waktu kemudian, sambil menatap layar laptopnya, Selena mendapati sebuah pesan masuk yang membuat hatinya berdebar kencang. “Mama! Aku diterima di perusahaan Zavar!” teriaknya semangat, suaranya memenuhi ruangan dengan kegembiraan yang tak terbendung.Lena yang sedang sibuk membaca berita di ruang tengah, mendengar teriakan itu dan segera berlari ke ruangan Selena. “Diterima di mana, sayang?” Lena bertanya dengan tatapan penasaran, mencoba memahami informasi yang baru saja didengarnya.“Mama lupa, di perusahaan Zavar! Aku lulus, Ma!” Selena menjelaskan dengan wajah bersemangat, tak sabar untuk berbagi kabar gembira itu.Lena memeluk Selena erat. “Kamu luar biasa, sayang! Aku tahu kamu bisa melakukannya,” serunya sambil memeluknya erat. Mereka berdua terhanyut dalam kebahagiaan. Selena menghela napas lega, merasakan beratnya beban yang akhirnya terangkat dari pundaknya.“Aku nggak nyangka bisa lolos masuk perusahaan itu, Mah!”Lena tersenyum lebar, matanya berbinar. “Tentu saj
“Apa yang aneh, Fando?” tanya Zavar, suaranya penuh kekaguman, mencerminkan rasa penasaran yang melingkupinya. Sambil memperhatikan setiap ekspresi wajah asistennya, Zavar mencoba mencari jawaban atas kejadian yang terasa tak lazim ini. “Eh, Zavar. Tumben kamu datang lebih awal?” ucap Fando, dengan nada heran yang mencuat dalam suaranya. Kedatangan Zavar memang luar biasa, mengingat biasanya ia lebih suka mengatur waktu dengan santai.Zavar mengangguk, mencoba mencari rincian lebih lanjut dari Fando yang tampak penuh misteri. “Itu, tadi ada Lolly hendak masuk ke ruangan kamu, bukankah itu aneh? Ngapain dia datang kemari pagi-pagi, dan belum ada janji temu padamu,” jelas Fando, sambil merinci kejadian yang membuatnya bingung.Mendengar penjelasan itu, Zavar mengerutkan keningnya, memberi kesan bahwa ia tengah menyusun teka-teki dalam benaknya.“Lolly? Mau apa dia,” ucap Zavar, suaranya merendah, menciptakan aura misteri di antara mereka. Tiba-tiba, ruangan itu terasa penuh dengan ke
Zavar duduk tegang di ruang tunggu rumah sakit, gelisah menanti kabar mengenai keadaan mertuanya. Setelah beberapa saat yang terasa seperti berjam-jam, dokter yang menangani Bagas akhirnya muncul di hadapannya.“Dokter, bagaimana keadaan mertua saya?” tanya Zavar dengan wajah penuh kekhawatiran.Dokter itu melihat langsung ke mata Zavar sebelum memberikan jawaban, “Masih lemah, Tuan. Tetapi saya senang memberitahu Anda bahwa ada kemajuan sedikit dibanding saat pak Bagas di bawa kemari.”Walaupun Zavar merasa sedikit lega mendengar kabar positif, rasa penasarannya masih belum terpuaskan. “Dokter, bagaimana zat aktif itu bisa masuk ke tubuh mertua saya? Apakah beliau mengkonsumsinya?” tanya Zavar, ingin memahami lebih lanjut.Dokter menjelaskan dengan penuh perhatian, “Menurut kami, tampaknya obat itu memang sengaja diberikan, tujuannya untuk merusak sel-sel tubuh secara perlahan. Melihat kondisi pak Bagas yang sangat memprihatinkan.”Pernyataan dokter membuat Zavar tercengang, tidak bi
Sorak-sorai terdengar memecah keheningan senja di pinggir hutan saat seorang wanita memecahkan keheningan itu dengan serunya saat melintasi jalan sepi di dekat hutan yang setiap hari ia lalui menuju arah pulang dari bekerja.“Ya ampun, Sarah! Iya, ini Sarah!” Wajahnya penuh kekhawatiran ketika dia melintas di jalan, menyusuri lorong gelap yang mengarah pulang menjelang senja.Tiba-tiba, desakan bantuan memecah udara, memotong kesunyian senja. “Tolong!” teriak wanita itu, meminta pertolongan dengan nada yang memilukan. Seruannya segera menarik perhatian beberapa warga yang berada di sekitar lokasi, dan mereka dengan cepat mendekat.Seorang warga, penuh kebaikan hati, bertanya, “Ada apa, Bu?” dengan ekspresi keprihatinan di wajahnya.Wanita itu buru-buru menjelaskan, “Ini, tolong bantu saya membawa wanita ini ke rumah sakit, Pak!” Sorot matanya penuh dengan kegelisahan.“Siapa wanita ini, Bu? Dan kenapa? Apakah wanita ini korban perampokan?” tanya seorang warga lain, mencoba memahami si
Zavar terlihat sibuk menandatangani berkas yang disodorkan oleh Fando.“Ada lagi, Fan?” tanyanya seraya menjepit pulpen di antara jari telunjuk dan jari tengah, matanya menatap fokus pada Fando yang berdiri di hadapannya.“Sudah selesai untuk hari ini, Zavar,” tukas Fando sopan, namun wajahnya nampak datar.Zavar mengangguk singkat. Ia gegas bangkit berdiri, berjalan mendekati sang asisten pribadi. “Rekaman CCTV sudah ada di tangan kamu?” tanyanya seraya berjalan melewati Fando.Fando yang ditanya, gegas menyusul di belakang. “Sudah, kamu akan terkejut melihat hasilnya,” tukasnya, merogoh saku jas, kemudian menyerahkan sebuah flashdisk berisi copy rekaman CCTV ke samping kanan Zavar.Zavar menerimanya, menggenggamnya erat tanpa menghentikan langkahnya. Keduanya berjalan beriringan tanpa sepatah katapun menuju pintu keluar.Zavar gegas masuk ke dalam mobil yang telah menunggunya di depan lobi, begitu Fando membukakan pintu penumpang, menutupnya perlahan, kemudian gegas berlari memutar,
“Gak! Itu gak benar, Sarah! Itu semuanya fitnah!” Selena bersikeras. Wajahnya bahkan terlihat berusaha serius, nampak meyakinkan. Namun Sarah yang sudah tahu akal busuk saudara tirinya itu, tidak serta Merta percaya.“Heleh! Jangan berkilah kamu, Selena! Aku yakin banget, kalo kamu lah pelakunya!” tuding Sarah berapi-api seraya menunjuk-nunjuk ke arah wajah Selena.“Aku berani bersumpah, Sarah. Bahwasanya aku tidak pernah melakukan hal bodoh seperti itu!” Selena masih berusaha membuat Sarah terpedaya.“Gak usah ngelak lagi kamu! Mending kamu ngaku aja dengan jujur, apa maksud kamu ngasih kopi itu sama suami aku? Ingat Selena, Zavar itu suami aku, iparmu sendiri. Jadi kamu jangan berpikiran picik dengan berusaha merebut dia dari tanganku! Atau jangan-jangan kamu yang berusaha mengadu domba aku dan Zavar dengan berpura-pura mengaku menjadi mantan kekasihnya!”pekik Sarah murka. Wajahnya bahkan terlihat merah padam.“Sudah aku bilang, kalo aku gak pernah ngelakuin itu! Kamu itu bego atau
Zavar menatap Fando dengan ekspresi serius, memecahkan keheningan dengan kata-kata yang membuat atmosfer ruangan semakin tegang. “Ada orang yang menjebak aku, sengaja memberikan minuman perangsang,” ungkapnya tegas, matanya mencari kepastian di wajah Fando.Terdengar desahan kaget dari Fando. Ia langsung menanggapi, “Astaga, siapa?” Rasa penasarannya terpancar jelas dari setiap kata yang terucap.Zavar mengangguk, memberikan penjelasan lebih lanjut, “Nggak tau, aku tadi kan meeting. Segera kamu periksa CCTV, aku ingin tau siapa pelakunya.” Suaranya penuh desakan, menunjukkan urgensi untuk mengungkap kebenaran di balik insiden yang menimpanya.Fando mengangguk serius, “Mungkinkah itu Lolly?” Ia mencoba menghubungkan benang merah dari kejadian itu dengan sosok yang mungkin terlibat.Zavar merenung sejenak sebelum menjawab, “Entah, aku tak tau.” Ungkapannya penuh dengan ketidakpastian, membuat situasi semakin misterius.Tak lama kemudian, Fando melanjutkan serangkaian pertanyaannya, “La
Suasana di ruangan itu menjadi tegang ketika Sarah melihat gelisah yang meliputi wajah suaminya, Zavar. Dengan rasa concern, ia tak bisa menahan diri untuk bertanya, “Sayang kamu kenapa?” Suara lembutnya memecah keheningan, memperlihatkan kekhawatiran yang mendalam terhadap suami tercintanya.Meski Sarah masih curiga terhadap Zavar, tetapi itu tak mengubah sikapnya pada pria tampan itu.Zavar, yang tampaknya merasa gelisah dan waspada, segera memberikan instruksi pada Sarah, “Sayang, tutup pintunya, katakan pada sekretaris jangan ada yang mengganggu.” Permintaan tersebut disampaikan dengan suara serius dan penuh perhatian. Sarah, tanpa ragu dan dengan penuh ketaatan, segera melangkah ke pintu dan menguncinya rapat, memastikan keamanan ruangan dari mata orang asing.Namun, ketegangan semakin terasa ketika Sarah kembali mendekati Zavar, mencoba memahami penyebab sikap gelisah yang merayap di dalam hati suaminya. “Ada apa?” tanya Sarah dengan suara lembut, mencoba membuka pintu percaka
Langkah kaki Zavar terdengar semakin dekat, seiring dengan detak jantung Sarah yang semakin cepat.Meja di hadapannya menjadi semakin jelas dalam pandangannya, dan ketegangan terasa begitu nyata di udara. Sarah merasakan debaran kencang di dadanya, seperti serangan kecil dari rasa was-was yang merayap dalam benaknya.Langkah kaki Zavar menghasilkan suara yang berat, menciptakan dentuman yang membuat saraf Sarah merespon dengan cepat. Kletak. Kletak. Setiap langkah mengisyaratkan kedatangan sosok yang mungkin membawa segala macam kejutan.“Aduh, gimana ini?” bisik hati Sarah, ketidakpastian memenuhi pikirannya. Kedua kata itu menjadi sepasang mantra yang terus berputar di benaknya. Sementara langkah kaki Zavar semakin mendekat, ruangan itu seakan-akan mengecil, menyisakan ruang sempit bagi ketegangan untuk berkembang.Dalam ketidakpastian yang mencekam, suara langkah kaki Zavar menggema di dalam ruangan, menciptakan atmosfer yang begitu tegang sehingga bahkan udara tampaknya menahan na
Esok pagi tiba dengan udara yang sejuk dan langit yang cerah, menciptakan suasana yang kontras dengan kegelapan yang menyelimuti hati Sarah.Mendekati jam makan siang, diam-diam Sarah datang ke kantor, hatinya dipenuhi kegelisahan yang sulit diungkapkan. Dengan langkah-langkah hati-hati, Sarah memutuskan untuk mengungkap misteri yang merayapi pikirannya.Seiring langkahnya yang mantap, Sarah melangkah menuju kantor suaminya yang berlokasi di pusat kota. Dia memutuskan untuk memilih jalur taksi sebagai sarana transportasinya, berharap dapat mengurangi waktu tempuh dan mempertahankan keberadaannya yang rahasia. Saat taksi itu tiba, dia dengan hati-hati menuruni tangga, memastikan bahwa tidak ada yang memperhatikan langkah-langkahnya yang tersembunyi.“Bismillah. Semoga aku menemukan kebenarannya di sini,” bisik Sarah dalam hati sambil menyesap napasnya yang teratur. “Ini pak, uangnya, kembaliannya ambil bapak saja,” ujar Sarah dengan tegas kepada sopir taksi ketika sampai di tujuan. De
Lena membuka pintu rumah dengan senyuman, melihat putrinya, Selena, yang tampak begitu bersemangat.“Kamu kenapa sayang? Kok girang banget?” tanya Lena dengan senyum penasaran saat baru tiba di rumah mereka.“Mama baru pulang? Aku lagi senang mah,” kata Selena sambil tersenyum cerah.“Senang kenapa?” tanya Lena, menunjukkan rasa penasaran yang sama.“Sebab, rencana kita berjalan lancar, Mah,” kata Selena dengan antusias.“Lancar?” Lena semakin penasaran.“Iya, Mah. Tadi Selena berhasil mengambil foto yang bagus, lalu mengirim pada Sarah. Tau nggak Mah, Sarah langsung nelpon setelah Selena kirim foto itu,pasti dia sakit hati,” cerita Selena sembari membagi cerita dengan penuh semangat.“Dia tidak kenal suara kamu?” tanya Lena dengan nada penasaran.“Nggak, Mah. Sudah Selena filter, jadi nggak akan Sarah kenal,” jelas Selena sambil menjelaskan dengan penuh semangat.Lena menggelengkan kepala, meresapi kata-kata putrinya dengan ekspresi serius. “Baguslah, kalau mama malah nggak berhasil