Sarah menatap layar ponselnya yang berkilau, matanya memandang tajam ke arah nama yang tertera di layar. Jantungnya berdetak lebih cepat, seolah merasakan sesuatu yang tidak biasa. Ia merasa bingung, tidak tahu harus bagaimana.“Selena?” ucap Sarah, bermonolog di dalam hati. Suaranya hampir tidak terdengar, seolah ia sedang berbicara dengan dirinya sendiri. Ia merasa terkejut, tidak menyangka bahwa Selena akan menghubunginya.“Siapa yang menelpon?” tanya Zavar, suaranya penuh kekhawatiran. Ia menatap Sarah, mencoba membaca ekspresi wajah istrinya itu. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang membuat Sarah terlihat bingung.“Selena,” jawab Sarah, suaranya lembut namun jelas. Ia menatap Zavar, matanya penuh kebingungan. Ia merasa tidak yakin, apakah harus menjawab panggilan itu atau tidak.“Tumben dia nelpon kamu, jangan diangkat. Biarkan saja, aku tak suka melihatmu berhubungan dengan orang-orang yang jahat,” ucap Zavar, suaranya tegas. Ia menatap Sarah, matanya penuh kekha
Lena terdiam sejenak. Ia menatap putrinya, Selena, dengan tatapan yang sulit ditebak. Matanya yang biasanya penuh kehangatan, kini tampak kosong dan jauh. Ia mendengar ucapan Selena yang tiba-tiba muncul dari bibir Selena. Sejenak, Lena merasa seolah waktu berhenti.Bayangan masa lalu yang rumit dan penuh perjuangan sejenak terlintas di pikirannya. Ia merasa seolah berada di dalam labirin memori, memutar kembali kenangan-kenangan yang telah lama ia simpan dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Kenangan-kenangan yang telah usang oleh waktu, namun tetap meninggalkan bekas yang mendalam.Dengan suara yang berat dan penuh penekanan, Lena berbicara kepada putrinya, “Kamu cukup memikirkan hidupmu, Selena. Jangan sibuk mencampuri urusan pribadi mama. Sebab, mama lebih tau daripada kamu!” Ucapannya terdengar tegas, tetapi dibalik itu tersembunyi rasa sakit yang mendalam.Selena yang terkejut dengan ucapan mamanya, mencoba untuk berbicara, “Tapi, Mah!” Namun, sebelum ia sempat melanjutkan, Len
Seketika, mata Bagas yang biasanya berbinar dengan semangat dan kehidupan, kini meneteskan air mata yang jernih. Air mata itu jatuh perlahan, mencerminkan patah hati dan pengkhianatan yang mendalam. Ia tak menyangka, bahwa wanita yang selama ini ia cintai dengan sepenuh hati, wanita yang ia anggap sebagai belahan jiwa, bisa setega itu padanya.Lena, sang istri, berdiri di depannya dengan ekspresi datar. “Jangan menangis, Mas,” ucapnya dengan nada datar, seolah-olah ia sedang membaca berita cuaca, bukan menghancurkan hati suaminya. “Percuma, tak akan mengubah segalanya,” lanjutnya sambil terkekeh. Senyumnya muncul, menyerupai iblis yang menikmati penderitaan orang lain. Senyum itu dingin dan kejam, jauh dari kehangatan dan kasih sayang yang biasanya ia tunjukkan.“Apakah kau menyesal telah menikah denganku?” tanya Lena, suaranya penuh dengan nada mengejek. “Tentu kau sangat menyesalkan setelah tahu? Haha,” lanjutnya, tertawa semakin besar. Tawa itu menggema di ruangan, seperti suara ha
Dunia terasa seakan hanya milik berdua. Lena dan Roy, dua sosok yang tengah larut dalam irama cinta mereka, terus memainkan simfoni kebahagiaan tersebut. Mereka terus menari dalam irama khas yang hanya mereka yang mengerti, tanpa memperdulikan betapa hancurnya perasaan Bagas saat itu. Bagas, yang terpaku di atas ranjangnya, hanya bisa meratapi nasibnya dengan mata yang berkaca-kaca.“Menyesal, aku menikahi wanita ini,” gumam Bagas di dalam hatinya. Dia merenung, mengingat kembali sikap lugu Lena yang dulu sering membuatnya tertawa. Ternyata semua itu hanya kedok, hanya topeng untuk menutupi keburukannya. “Sampai hati kau padaku, Lena!” ucap Bagas dengan suara yang hampir tak terdengar, ditelan oleh amarah dan kesedihan yang mendalam.Siapa sangka, wanita yang selama ini Bagas anggap sebagai wanita baik-baik, ternyata lebih berbisa dari ular yang mematikan. Wanita yang selama ini dia anggap sebagai bunga di taman hidupnya, ternyata adalah duri yang menusuk hatinya. Karena dia, Bagas sa
“Memikirkan sesuatu?” tanya Sarah, suaranya lembut, seolah menenangkan hati Zavar yang tampaknya sedang dilanda kegelisahan.“Iya, apa itu? Jika sesuatu itu membebani pikiranmu, sebaiknya berceritalah kepada ku. Siapa tahu aku bisa memberikan solusi,” ucap Zavar dengan nada penuh harap. Dia berharap Sarah mau berbagi beban pikirannya, karena dia tahu betapa pentingnya berbagi dalam sebuah hubungan.Sarah terdiam sejenak, menatap Zavar dengan tatapan yang penuh keraguan. Ingin rasanya ia ceritakan bahwa dirinya sedang merindukan sang ayah. Tetapi, mengingat kejadian tadi siang, saat Selena menelpon, Sarah urung. Dia takut, takut kalau Zavar tak memberinya izin untuk menemui ayahnya. Dia takut, takut kalau kebenaran itu akan merusak hubungan mereka.“Tidak ada apa-apa kok, Zavar, eh maksudku… sayang, maaf aku masih terlalu kaku,” jawab Sarah dengan suara yang hampir tak terdengar. Dia berusaha tersenyum, berusaha menunjukkan bahwa dia baik-baik saja, meski di dalam hatinya dia tahu bahw
“Sepertinya Fando sudah tiba. Sayang, aku berangkat dulu,” ucap Zavar dengan suara lembut. Zavar berdiri dari kursi kayu jati yang sudah mulai terkikis oleh waktu, menatap istrinya dengan penuh cinta. Cahaya rembulan yang masuk melalui jendela membuat wajahnya tampak bercahaya.“Iya, hati-hati, Sayang,” balas Sarah dengan senyum manis yang selalu bisa membuat hati Zavar bergetar. Sarah menatap suaminya dengan penuh kebanggaan dan cinta, matanya berbinar-binar seolah-olah dia melihat pahlawan dalam hidupnya. Dengan gerakan lembut dan penuh kasih, dia mencium punggung tangan Zavar, sebuah tanda cinta dan penghargaan yang mendalam.Mereka berdua kemudian beranjak dari ruangan itu, berjalan bersama menuju pintu utama. Langkah kaki keduanya seirama, seolah menunjukkan betapa kuatnya ikatan yang mereka miliki. Suara langkah kaki mereka di lantai marmer menambah kehangatan di waktu itu. Keduanya berjalan perlahan, menikmati setiap detik yang mereka miliki bersama sebelum Zavar harus berangk
Tuan Renol menganggukkan kepala lembut, memperhatikan dengan bangga saat putrinya mendekati kelompok pria yang berdiri di sebelahnya. Dengan sorotan mata penuh kehangatan, dia mengajak Loly untuk berkenalan. “Kemari sayang, perkenalkan dirimu pada tuan-tuan tampan ini,” suaranya penuh kelembutan saat ia memanggil Loly dengan penuh kehangatan. Loly tersenyum manis saat ia merespons panggilan ayahnya, langkahnya yang ringan menuntunnya mendekati kelompok pria tampan yang diacungkan tangan oleh Tuan Renol. Dengan ketegasan namun ramah, Loly menyapa mereka satu per satu, mengenalkan dirinya dengan nama, memancarkan keceriaan dalam setiap kata yang diucapkannya. Loly membalas panggilan ayahnya dengan senyuman yang memancarkan kegembiraan. Langkahnya ringan saat ia melangkah maju, mendekati ayahnya dengan penuh keyakinan. Dengan langkah pasti, dia mengarahkan pandangannya pada setiap pria yang berdiri di depannya. “Dengan senang hati papa, perkenalkan diri saya, Loly,” ucapnya dengan sua
“Ya, Pak. Mari kita pulang,” ujar Sarah dengan suara lembut namun penuh penekanan pada sopirnya. Sopir tersebut adalah seorang pria setengah baya yang telah lama bekerja untuk ZavarPak sopir tampak menautkan kedua alisnya, menciptakan kerutan di dahi yang tampak jelas melalui kaca spion. Ia melihat Sarah yang begitu cepat kembali ke mobil, hampir seolah-olah ia sedang melarikan diri. Tetapi, dengan profesionalisme yang ia miliki, ia memilih untuk tidak banyak bertanya. Ia tahu bahwa privasi adalah hal yang harus dihormati.“Baik, Nona,” jawabnya dengan suara yang berat namun lembut. Ia kemudian menyalakan starter mobil, merasakan getaran mesin yang familiar di ujung jarinya. Dengan gerakan yang terlatih, ia menggenggam setir dan membawa Sarah melesat menjauh dari rumah tersebut, meninggalkan jejak debu di belakang mereka.Sepanjang jalan, Sarah menatap ke luar jendela, matanya menangkap pemandangan yang berlalu dengan cepat. Pikirannya, bagaimanapun, jauh dari pemandangan tersebut. I