Dengan langkah gesit dan hati yang berdebar, Lena membuka pintu kamar dengan cepat, merasa penasaran dengan siapa yang tadi mungkin saja mendengarkan pembicaraannya. Langsung ia memeriksa setiap sudut ruangan, tetapi tak ada tanda-tanda keberadaan orang lain. Namun, di lantai terlihat vas bunga terjatuh, memberikan bukti bahwa ada yang benar-benar mendengarkan. Tapi siapa?“Selena, mungkin?” bisiknya, bibirnya bergerak tanpa suara ketika ia menutup pintu kamarnya perlahan, berusaha memendam perasaan keheranan. Bergegas Lena melangkah ke arah kamar mandi, merasa lengket dan ingin segera membersihkan diri, tanpa mempedulikan ekspresi kesal yang terpancar dari wajah Bagas, yang tampaknya kesal padanya.“Kesalahan besar kalau itu Selena! Menguping-nguping urusan orang tua,” gumam Lena sambil menyalakan keran air dingin untuk mencuci tubuhnya yang terasa lengket, mencoba untuk mengalihkan perhatian dari ekspresi kesal Bagas yang semakin menunjukkan kecurigaannya.“Sial, Bagas semakin curig
Selena menghembuskan napas panjang, kecewa dengan reaksi mamanya yang dingin. “Mah!” teriaknya dengan suara penuh keputusasaan. Lena menoleh dengan tatapan tegas, “Apa lagi sekarang?” Dengan suara penuh kekhawatiran, Selena mencoba menjelaskan kembali, “Kenapa Mama menolak membantu Alex? Dia benar-benar butuh bantuan, Mah. Perusahaannya sedang mengalami kesulitan keuangan dan dia membutuhkan suntikan dana.” Lena menggeleng, “Itu urusan dia sendiri. Kenapa aku harus repot-repot terlibat dalam masalahnya?” “Ma, Alex itu bukan sembarang orang. Dia calon suami Selena, calon menantu Mama juga. Seharusnya Mama bangga memiliki calon menantu sekelas CEO seperti Alex. Dia satu-satunya pewaris bisnis keluarga, Mah! Jika Mama membantu dia, kita semua akan merasakan manfaatnya di masa depan setelah kami menikah,” Selena berusaha meyakinkan mamanya. Lena masih mempertahankan pendiriannya, “Tapi apakah Alex benar-benar mampu menjalankan bisnis ayahnya? Jika dia terus seperti ini, perusahaan yan
Zavar mengeluarkan perintah dengan sikap tegas, “Buka dong,” suaranya terdengar lugas saat ia memberi instruksi kepada Sarah yang memperlihatkan senyum manis sejak tadi. Membuat suasana menjadi tegang namun hangat.Dengan ekspresi yang penuh keceriaan, Sarah menatap Zavar, ingin memastikan arah yang benar, “Sekarang?” tanyanya sambil berusaha memperjelas petunjuk yang diberikan.“Iya,” sahut Zavar dengan tegas, tidak menyisakan keraguan sedikit pun, disertai dengan anggukan kepala yang meyakinkan.Tanpa ragu, Sarah pun membuka kotak tersebut sesuai dengan instruksi yang telah diberikan. Saat tutup kotak terbuka, alisnya sedikit terangkat, menandakan keheranan melihat isi di dalamnya yang tidak sesuai dengan ekspektasinya.“Kunci? Kunci apa ini?” tanya Sarah dengan rasa penasaran yang memenuhi setiap kata yang terucap dari bibirnya.Zavar menoleh ke arah sebuah bangunan butik tak jauh dari tempat mobilnya diparkirkan, “Itu kunci untuk bangunan itu, hadiah kecilku untuk istriku tercinta
“Sarah!” seru seseorang, memaksa Sarah menghentikan langkahnya yang tak lain adalah dari Selena. Sarah membalas dengan tatapan heran saat melihat sosok yang berdiri tidak jauh darinya. “Apa kabar, Sarah?” tanya Selena pada saudara tirinya dengan keingintahuan yang jelas terpancar dari mata wanita itu. Sikapnya yang acuk tak acuk pada Sarah seketika berubah menjadi manis. “Waw, ada apa ini?” batin Sarah merasa janggal melihat sikap Selena yang beramah tama padanya. Sampai-sampai menanyakan kabar segala. “Apa karena rekaman waktu itu?” lanjutnya menerka-nerka. Sarah menjawab dengan tenang, “Aku baik-baik saja.” “Oh, baguslah,” ucap Selena dengan senyum yang terdengar canggung. “Tentu saja kamu akan baik-baik saja setelah menikah dengan Zavar. Aku nggak nyangka kalau suami kamu ini ternyata bukan orang sembarangan,” lanjut Selena, mencoba menyembunyikan ketidaknyamanannya. Sarah menangkap ketegangan di udara. “Kenapa? Apa tak sesuai dengan yang kamu harapkan, Selena?” balas Sarah de
“Selena! Kamu bikin kaget mama saja,” ucap Lena pada putrinya dengan nada terkejut sembari menunduk memunguti kembali obat-obatan yang terjatuh dari tangannya. Untung isinya tak sampai berhamburan sebab botolnya plastik. Lena merasa lega, ia tak ingin putrinya tahu apa yang sebenarnya ia lakukan.“Mama aneh, kenapa sampai kaget segala. Padahal Selena cuma mau duduk di sini. Mama ngapain emangnya?” tanya Selena pada mamanya dengan rasa penasaran sembari meletakkan bokongnya di ranjang. Ia melihat mamanya dengan tatapan curiga, ada sesuatu yang aneh dengan sikapnya.“Nggak ngapa-ngapain, mama cuma kaget tiba-tiba ada kamu. Kayak hantu, datang tiba-tiba,” kilah Lena, sengaja tak memberi tahu yang sebenarnya pada putrinya.Lena berusaha menutupi rasa bersalahnya dengan tersenyum tipis. Ia ingat betapa liciknya dirinya saat menjebak Sarah dan Zavar pada waktu itu, semua berjalan lancar tanpa ada yang mengetahui selain dirinya sendiri serta orang suruhannya.Lantas, tak mungkin ia memberita
“Fando! Bikin kaget saja,” ucap Zavar dengan nada terkejut, matanya melebar dan jantungnya berdetak kencang saat dia menoleh ke asal suara. Entah sejak kapan Fando berdiri di samping mobilnya, bayangan tubuhnya tampak jelas di permukaan mobil yang mengkilap.“Kamu ngintip apa sih? Kayak perempuan lagi mata-matain kekasihnya,” papar Fando dengan nada menggoda, diselingi tawanya yang renyah dan penuh keceriaan.“Nggak, bukan apa-apa,” jawab Zavar dengan nada datar, kemudian turun dari mobilnya dengan gerakan yang tenang dan terkontrol. Dia menutup pintu mobil dengan hati-hati, lalu memandang Fando dengan tatapan yang sulit ditebak. “Bagaimana keadaan kantor selama aku tak masuk?” tanya Zavar, suaranya penuh keingintahuan dan sedikit kekhawatiran.“Semua baik-baik saja, selama aku yang mengendalikan,” jawab Fando dengan bangga, dadanya terangkat sedikit dan senyumnya semakin lebar. Dia menunjukkan rasa percaya diri yang kuat dan keyakinan bahwa dia bisa mengendalikan segalanya dengan bai
Setelah hampir setengah hari menghabiskan waktu di bank, Alex akhirnya tiba di rumah dengan langkah yang terhuyung-huyung. Tatapan lelah dan frustasi melintas di wajahnya yang kusut. Ia segera melemparkan tasnya ke sofa, melepaskan jaket dengan gerakan kasar, dan menyeret dirinya ke kursi dengan hembusan nafas yang panjang. “Sialan memang rentenir itu,” desisnya, suaranya penuh dengan kekesalan yang belum surut. Merenung sejenak, ia meraba-raba kantong celananya, wajahnya semakin mengerut saat menemukan struk transaksi terakhir. “Sudah menguras rekening ku, menguras waktuku pula!” ucapnya dengan nada yang penuh dengan kekecewaan dan sedikit kemarahan. Mata Alex meremang saat ia mencoba mengingat kembali proses panjang yang baru saja dijalani di bank. Ia masih merasakan kelelahan dari menunggu dalam antrian yang tak kunjung bergerak, mendengarkan lagu monoton dari pengeras suara, dan berurusan dengan petugas yang tampaknya tidak terlalu peduli dengan urusannya. Tapi, di tengah semu
“Iya, aku yang menata semuanya,” ucap Sarah sambil sibuk mengatur setiap detail. Dengan telaten, ia menyusun segala hal dengan presisi yang sempurna. Tiba-tiba, ia menoleh ke arah Zavar, tatapan penuh harap dalam matanya.“Kenapa? Apakah terlihat tidak bagus?” tanya Sarah mencari tanggapan dari Zavar.Zavar tersenyum lembut, matanya memandang sekeliling ruangan yang telah disusun dengan cermat oleh Sarah.“Bagus, aku suka melihatnya,” puji Zavar dengan tulus. Dia melangkah mendekati salah satu bagian yang baru saja dikerjakan oleh Sarah, memperhatikan detail-detail kecil yang telah dirapikan dengan apik.“Terima kasih atas pujianmu,” ucap Sarah dengan senyum manis yang menghiasi wajahnya, sambil melirik Zavar dengan rasa syukur yang jelas terpancar dari matanya.“Sama-sama, aku tau kamu pasti sangat ahli dalam bidang ini, kalau begitu ayo kita pulang,” ajak Zavar dengan ramah, menunjukkan keinginannya untuk melanjutkan kegiatan selanjutnya.Sarah mengangguk mantap sebagai tanggapan at