“Selena! Kamu bikin kaget mama saja,” ucap Lena pada putrinya dengan nada terkejut sembari menunduk memunguti kembali obat-obatan yang terjatuh dari tangannya. Untung isinya tak sampai berhamburan sebab botolnya plastik. Lena merasa lega, ia tak ingin putrinya tahu apa yang sebenarnya ia lakukan.“Mama aneh, kenapa sampai kaget segala. Padahal Selena cuma mau duduk di sini. Mama ngapain emangnya?” tanya Selena pada mamanya dengan rasa penasaran sembari meletakkan bokongnya di ranjang. Ia melihat mamanya dengan tatapan curiga, ada sesuatu yang aneh dengan sikapnya.“Nggak ngapa-ngapain, mama cuma kaget tiba-tiba ada kamu. Kayak hantu, datang tiba-tiba,” kilah Lena, sengaja tak memberi tahu yang sebenarnya pada putrinya.Lena berusaha menutupi rasa bersalahnya dengan tersenyum tipis. Ia ingat betapa liciknya dirinya saat menjebak Sarah dan Zavar pada waktu itu, semua berjalan lancar tanpa ada yang mengetahui selain dirinya sendiri serta orang suruhannya.Lantas, tak mungkin ia memberita
“Fando! Bikin kaget saja,” ucap Zavar dengan nada terkejut, matanya melebar dan jantungnya berdetak kencang saat dia menoleh ke asal suara. Entah sejak kapan Fando berdiri di samping mobilnya, bayangan tubuhnya tampak jelas di permukaan mobil yang mengkilap.“Kamu ngintip apa sih? Kayak perempuan lagi mata-matain kekasihnya,” papar Fando dengan nada menggoda, diselingi tawanya yang renyah dan penuh keceriaan.“Nggak, bukan apa-apa,” jawab Zavar dengan nada datar, kemudian turun dari mobilnya dengan gerakan yang tenang dan terkontrol. Dia menutup pintu mobil dengan hati-hati, lalu memandang Fando dengan tatapan yang sulit ditebak. “Bagaimana keadaan kantor selama aku tak masuk?” tanya Zavar, suaranya penuh keingintahuan dan sedikit kekhawatiran.“Semua baik-baik saja, selama aku yang mengendalikan,” jawab Fando dengan bangga, dadanya terangkat sedikit dan senyumnya semakin lebar. Dia menunjukkan rasa percaya diri yang kuat dan keyakinan bahwa dia bisa mengendalikan segalanya dengan bai
Setelah hampir setengah hari menghabiskan waktu di bank, Alex akhirnya tiba di rumah dengan langkah yang terhuyung-huyung. Tatapan lelah dan frustasi melintas di wajahnya yang kusut. Ia segera melemparkan tasnya ke sofa, melepaskan jaket dengan gerakan kasar, dan menyeret dirinya ke kursi dengan hembusan nafas yang panjang. “Sialan memang rentenir itu,” desisnya, suaranya penuh dengan kekesalan yang belum surut. Merenung sejenak, ia meraba-raba kantong celananya, wajahnya semakin mengerut saat menemukan struk transaksi terakhir. “Sudah menguras rekening ku, menguras waktuku pula!” ucapnya dengan nada yang penuh dengan kekecewaan dan sedikit kemarahan. Mata Alex meremang saat ia mencoba mengingat kembali proses panjang yang baru saja dijalani di bank. Ia masih merasakan kelelahan dari menunggu dalam antrian yang tak kunjung bergerak, mendengarkan lagu monoton dari pengeras suara, dan berurusan dengan petugas yang tampaknya tidak terlalu peduli dengan urusannya. Tapi, di tengah semu
“Iya, aku yang menata semuanya,” ucap Sarah sambil sibuk mengatur setiap detail. Dengan telaten, ia menyusun segala hal dengan presisi yang sempurna. Tiba-tiba, ia menoleh ke arah Zavar, tatapan penuh harap dalam matanya.“Kenapa? Apakah terlihat tidak bagus?” tanya Sarah mencari tanggapan dari Zavar.Zavar tersenyum lembut, matanya memandang sekeliling ruangan yang telah disusun dengan cermat oleh Sarah.“Bagus, aku suka melihatnya,” puji Zavar dengan tulus. Dia melangkah mendekati salah satu bagian yang baru saja dikerjakan oleh Sarah, memperhatikan detail-detail kecil yang telah dirapikan dengan apik.“Terima kasih atas pujianmu,” ucap Sarah dengan senyum manis yang menghiasi wajahnya, sambil melirik Zavar dengan rasa syukur yang jelas terpancar dari matanya.“Sama-sama, aku tau kamu pasti sangat ahli dalam bidang ini, kalau begitu ayo kita pulang,” ajak Zavar dengan ramah, menunjukkan keinginannya untuk melanjutkan kegiatan selanjutnya.Sarah mengangguk mantap sebagai tanggapan at
Zavar memasuki ruangan dengan langkah mantap, melihat Sarah yang sibuk memasukkan pakaian ke dalam kopernya. Dengan senyum ramah, ia bertanya, “Barang-barangmu sudah siap semua?”Sarah mengangguk cepat. “Sudah.”Zavar mengangguk puas. “Bagus. Kalau begitu, ayo segera. Fando sudah menunggu untuk mengantar kita ke bandara,” ujarnya, matanya melirik jam di dinding yang menunjukkan waktu yang semakin mendesak.Mereka bergegas menyelesaikan persiapan terakhir sebelum perjalanan mereka dimulai. Dengan cepat, Sarah menutup koper dan menarik pegangannya, memastikan semuanya tertata dengan rapi di dalamnya. “Siap,” ucapnya sambil tersenyum pada Zavar.“Tidak sabar untuk melanjutkan petualangan kita,” kata Zavar semangat, mengambil kunci mobil yang sudah disiapkan sebelumnya.Mereka berjalan keluar menuju mobil, di mana Fando sudah menunggu dengan sabar. “Hai, Sarah! Siap untuk perjalanan?” sapa Fando dengan ramah sambil membuka pintu mobil.Dengan wajah masam, Zavar berucap. “Hanya Sarah yang
Zavar menatap Sarah dengan senyum misterius di wajahnya. “Tidak ada masalah kok,” ucapnya, senyumnya mengisyaratkan bahwa semuanya baik-baik saja. Namun, mata Sarah tidak bisa dipungkiri, mereka merasa ada yang disembunyikan.“Hm, aku pikir ada masalah yang serius,” kata Sarah dengan nada khawatir. Ia tidak bisa mengabaikan instingnya yang memberi sinyal bahwa ada yang salah.Zavar tersenyum tipis, lalu dengan santainya menjawab, “Sebenarnya ada.” Tatapannya intens pada Sarah menandakan bahwa ini bukanlah bercandaan.“Apa?” Sarah menatap suaminya dengan pandangan penuh tanda tanya. Ia merasa sedikit gugup dengan kejutan yang disampaikan oleh Zavar.Tanpa banyak kata, Zavar mengambil tangan Sarah dengan lembut, mengajaknya untuk duduk di sampingnya. Sarah mematuhi permintaan suaminya, duduk dengan penuh keingintahuan, matanya tidak bisa melepaskan pandangan dari wajah Zavar.Mereka saling menatap. Sarah menunggu dengan sabar, ingin tahu apa yang sedang mengganggu pikiran Zavar. Namun,
Jam menunjukkan pukul 08.00 di Malaysia, sinar mentari perlahan menyapa kota, menciptakan atmosfer pagi yang segar. Sarah, dengan mata yang baru saja terbuka, merasakan pegal di seluruh tubuhnya. Kelelahan itu adalah hasil dari aktivitas berkeringat bersama suaminya sepanjang waktu kemarin. Alih-alih ingin mengabulkan keinginan mama dan papanya yang ingin segera punya cucu, dengan tegas Zavar tak memberi ruang pada Sarah untuk keluar dari kamar sejak kedatangan mereka kemarin.Dengan gerakan yang agak terbatas karena tubuh yang terasa kaku, Sarah memindai sekeliling ruangan dengan harapan menemukan sosok Zavar yang mungkin sedang sibuk dengan sesuatu. Namun, sayangnya, ruangan itu kosong tanpa keberadaan sang suami.“Kemana dia?” desis Sarah dengan suara pelan, sambil menyibak selimut yang hangat menutupi tubuh rampingnya. Pencariannya yang singkat di kamar tidak menghasilkan apa-apa, membuatnya semakin penasaran.Sambil mencoba mengendurkan kekakuan tubuhnya, Sarah meraih ponsel yan
Terdengar suara keras di hadapan Selena, membuatnya terkejut. Ia segera menyadari bahwa itu adalah hardikan dari mamanya. Tatapan kesal dan raut wajah yang kesal segera meliputi wajah Selena. Tanpa sepatah kata pun, ia berbalik dan melangkah menuju kamarnya dengan langkah cepat, langkahnya penuh dengan kekesalan.Setibanya di kamarnya, pintu ditutup dengan keras. Selena melemparkan tubuhnya di ranjang dan menatap langit-langit kamar dengan ekspresi campuran antara kesal dan sedih. Bibirnya bergetar, menahan emosi yang mulai meluap. “Menyalahkan aku, padahal dia sendiri melakukan hal yang lebih parah dari itu,” desis Selena dengan suara penuh amarah. Ia meraih bantal dari ranjangnya dan menggenggamnya erat-erat, mencoba menenangkan diri.Tubuhnya ia benamkan di atas kasur dengan gerakan yang agak kasar, memberi ruang bagi kemarahan yang masih menyala di dalam dirinya. Ia merasakan kelelahan menyergap, membebani setiap gerakan dan pikiran yang mengalir.Ranjang itu menjadi tempat diman