Setelah hampir setengah hari menghabiskan waktu di bank, Alex akhirnya tiba di rumah dengan langkah yang terhuyung-huyung. Tatapan lelah dan frustasi melintas di wajahnya yang kusut. Ia segera melemparkan tasnya ke sofa, melepaskan jaket dengan gerakan kasar, dan menyeret dirinya ke kursi dengan hembusan nafas yang panjang. “Sialan memang rentenir itu,” desisnya, suaranya penuh dengan kekesalan yang belum surut. Merenung sejenak, ia meraba-raba kantong celananya, wajahnya semakin mengerut saat menemukan struk transaksi terakhir. “Sudah menguras rekening ku, menguras waktuku pula!” ucapnya dengan nada yang penuh dengan kekecewaan dan sedikit kemarahan. Mata Alex meremang saat ia mencoba mengingat kembali proses panjang yang baru saja dijalani di bank. Ia masih merasakan kelelahan dari menunggu dalam antrian yang tak kunjung bergerak, mendengarkan lagu monoton dari pengeras suara, dan berurusan dengan petugas yang tampaknya tidak terlalu peduli dengan urusannya. Tapi, di tengah semu
“Iya, aku yang menata semuanya,” ucap Sarah sambil sibuk mengatur setiap detail. Dengan telaten, ia menyusun segala hal dengan presisi yang sempurna. Tiba-tiba, ia menoleh ke arah Zavar, tatapan penuh harap dalam matanya.“Kenapa? Apakah terlihat tidak bagus?” tanya Sarah mencari tanggapan dari Zavar.Zavar tersenyum lembut, matanya memandang sekeliling ruangan yang telah disusun dengan cermat oleh Sarah.“Bagus, aku suka melihatnya,” puji Zavar dengan tulus. Dia melangkah mendekati salah satu bagian yang baru saja dikerjakan oleh Sarah, memperhatikan detail-detail kecil yang telah dirapikan dengan apik.“Terima kasih atas pujianmu,” ucap Sarah dengan senyum manis yang menghiasi wajahnya, sambil melirik Zavar dengan rasa syukur yang jelas terpancar dari matanya.“Sama-sama, aku tau kamu pasti sangat ahli dalam bidang ini, kalau begitu ayo kita pulang,” ajak Zavar dengan ramah, menunjukkan keinginannya untuk melanjutkan kegiatan selanjutnya.Sarah mengangguk mantap sebagai tanggapan at
Zavar memasuki ruangan dengan langkah mantap, melihat Sarah yang sibuk memasukkan pakaian ke dalam kopernya. Dengan senyum ramah, ia bertanya, “Barang-barangmu sudah siap semua?”Sarah mengangguk cepat. “Sudah.”Zavar mengangguk puas. “Bagus. Kalau begitu, ayo segera. Fando sudah menunggu untuk mengantar kita ke bandara,” ujarnya, matanya melirik jam di dinding yang menunjukkan waktu yang semakin mendesak.Mereka bergegas menyelesaikan persiapan terakhir sebelum perjalanan mereka dimulai. Dengan cepat, Sarah menutup koper dan menarik pegangannya, memastikan semuanya tertata dengan rapi di dalamnya. “Siap,” ucapnya sambil tersenyum pada Zavar.“Tidak sabar untuk melanjutkan petualangan kita,” kata Zavar semangat, mengambil kunci mobil yang sudah disiapkan sebelumnya.Mereka berjalan keluar menuju mobil, di mana Fando sudah menunggu dengan sabar. “Hai, Sarah! Siap untuk perjalanan?” sapa Fando dengan ramah sambil membuka pintu mobil.Dengan wajah masam, Zavar berucap. “Hanya Sarah yang
Zavar menatap Sarah dengan senyum misterius di wajahnya. “Tidak ada masalah kok,” ucapnya, senyumnya mengisyaratkan bahwa semuanya baik-baik saja. Namun, mata Sarah tidak bisa dipungkiri, mereka merasa ada yang disembunyikan.“Hm, aku pikir ada masalah yang serius,” kata Sarah dengan nada khawatir. Ia tidak bisa mengabaikan instingnya yang memberi sinyal bahwa ada yang salah.Zavar tersenyum tipis, lalu dengan santainya menjawab, “Sebenarnya ada.” Tatapannya intens pada Sarah menandakan bahwa ini bukanlah bercandaan.“Apa?” Sarah menatap suaminya dengan pandangan penuh tanda tanya. Ia merasa sedikit gugup dengan kejutan yang disampaikan oleh Zavar.Tanpa banyak kata, Zavar mengambil tangan Sarah dengan lembut, mengajaknya untuk duduk di sampingnya. Sarah mematuhi permintaan suaminya, duduk dengan penuh keingintahuan, matanya tidak bisa melepaskan pandangan dari wajah Zavar.Mereka saling menatap. Sarah menunggu dengan sabar, ingin tahu apa yang sedang mengganggu pikiran Zavar. Namun,
Jam menunjukkan pukul 08.00 di Malaysia, sinar mentari perlahan menyapa kota, menciptakan atmosfer pagi yang segar. Sarah, dengan mata yang baru saja terbuka, merasakan pegal di seluruh tubuhnya. Kelelahan itu adalah hasil dari aktivitas berkeringat bersama suaminya sepanjang waktu kemarin. Alih-alih ingin mengabulkan keinginan mama dan papanya yang ingin segera punya cucu, dengan tegas Zavar tak memberi ruang pada Sarah untuk keluar dari kamar sejak kedatangan mereka kemarin.Dengan gerakan yang agak terbatas karena tubuh yang terasa kaku, Sarah memindai sekeliling ruangan dengan harapan menemukan sosok Zavar yang mungkin sedang sibuk dengan sesuatu. Namun, sayangnya, ruangan itu kosong tanpa keberadaan sang suami.“Kemana dia?” desis Sarah dengan suara pelan, sambil menyibak selimut yang hangat menutupi tubuh rampingnya. Pencariannya yang singkat di kamar tidak menghasilkan apa-apa, membuatnya semakin penasaran.Sambil mencoba mengendurkan kekakuan tubuhnya, Sarah meraih ponsel yan
Terdengar suara keras di hadapan Selena, membuatnya terkejut. Ia segera menyadari bahwa itu adalah hardikan dari mamanya. Tatapan kesal dan raut wajah yang kesal segera meliputi wajah Selena. Tanpa sepatah kata pun, ia berbalik dan melangkah menuju kamarnya dengan langkah cepat, langkahnya penuh dengan kekesalan.Setibanya di kamarnya, pintu ditutup dengan keras. Selena melemparkan tubuhnya di ranjang dan menatap langit-langit kamar dengan ekspresi campuran antara kesal dan sedih. Bibirnya bergetar, menahan emosi yang mulai meluap. “Menyalahkan aku, padahal dia sendiri melakukan hal yang lebih parah dari itu,” desis Selena dengan suara penuh amarah. Ia meraih bantal dari ranjangnya dan menggenggamnya erat-erat, mencoba menenangkan diri.Tubuhnya ia benamkan di atas kasur dengan gerakan yang agak kasar, memberi ruang bagi kemarahan yang masih menyala di dalam dirinya. Ia merasakan kelelahan menyergap, membebani setiap gerakan dan pikiran yang mengalir.Ranjang itu menjadi tempat diman
Dalam tiga hari terakhir, Zavar dan Sarah telah merasakan betapa cepatnya waktu berlalu di Malaysia.Sarah mengatur barang-barangnya dengan hati-hati, memastikan tidak ada yang tertinggal di kamar hotel. Sambil memasukkan baju ke dalam koper, dia menghadapi Zavar yang masih terdiam.“Akhirnya kita pulang juga,” ucap Sarah dengan senyum simpul, memberi isyarat bahwa waktunya sudah tiba.Zavar menatapnya dengan serius, “Kenapa? Apakah kamu masih ingin disini?” tanyanya. “Sudah cukup, aku rindu dengan butik. Dan kamu, pasti sangat rindu dengan perusahaanmu bukan?” balas Sarah dengan mantap, menggambarkan kerinduan akan pekerjaan yang sudah menanti. “Iya, tetapi jika kamu ingin lebih lama lagi juga tidak masalah, aku bisa mengubah jadwal kepulangan kita,” jawab Zavar dengan tegas, mencoba memberi pilihan pada Sarah. “Tidak, kita pulang hari ini saja,” jawab Sarah.“Okey!” kata Zavar. Meski tidak lama, tetapi mereka berdua menyempatkan diri menjelajahi setiap sudut negeri ini, merasaka
Fando memicingkan mata dengan antusias yang tak terbendung saat Zavar melontarkan ucapan barusan.“Apa?" serunya dengan suara lantang yang membuat Zavar melirik.Zavar menyeringai licik. “Ada bonus untukmu?” jawab Zavar.“Demi apapun, seriusan?” Fando membulatkan matanya, tetapi ekspresinya sedikit ragu.“Tentu saja! Lihatlah wajahku, adakah kesan berbohong?” Zavar menyunggingkan senyum sombong.“Sejujurnya, ya!” Fando membalas dengan jujur sambil mengendalikan mobilnya dengan mantap menuju rumah.Zavar mengerucutkan bibirnya. “Batal! Tidak jadi aku memberi bonus!”“Apa! Eh, tunggu, jangan gitu dong!” rayu Fando, berusaha memutarbalikkan keputusan Zavar.“Tidak ada, aku sudah cukup tersinggung,” jawab Zavar.Senyum mengembang menghiasi di bibir Sarah kala melihat tingkah antara Zavar dan Fando. Dia tidak bisa menahan tawanya saat melihat kedua pria itu saling beradu argumen seperti anak-anak yang bersitegang karena mainan kesayangan.“Mereka benar-benar deh. Ada saja yang diributkan j