Terdengar suara keras di hadapan Selena, membuatnya terkejut. Ia segera menyadari bahwa itu adalah hardikan dari mamanya. Tatapan kesal dan raut wajah yang kesal segera meliputi wajah Selena. Tanpa sepatah kata pun, ia berbalik dan melangkah menuju kamarnya dengan langkah cepat, langkahnya penuh dengan kekesalan.Setibanya di kamarnya, pintu ditutup dengan keras. Selena melemparkan tubuhnya di ranjang dan menatap langit-langit kamar dengan ekspresi campuran antara kesal dan sedih. Bibirnya bergetar, menahan emosi yang mulai meluap. “Menyalahkan aku, padahal dia sendiri melakukan hal yang lebih parah dari itu,” desis Selena dengan suara penuh amarah. Ia meraih bantal dari ranjangnya dan menggenggamnya erat-erat, mencoba menenangkan diri.Tubuhnya ia benamkan di atas kasur dengan gerakan yang agak kasar, memberi ruang bagi kemarahan yang masih menyala di dalam dirinya. Ia merasakan kelelahan menyergap, membebani setiap gerakan dan pikiran yang mengalir.Ranjang itu menjadi tempat diman
Dalam tiga hari terakhir, Zavar dan Sarah telah merasakan betapa cepatnya waktu berlalu di Malaysia.Sarah mengatur barang-barangnya dengan hati-hati, memastikan tidak ada yang tertinggal di kamar hotel. Sambil memasukkan baju ke dalam koper, dia menghadapi Zavar yang masih terdiam.“Akhirnya kita pulang juga,” ucap Sarah dengan senyum simpul, memberi isyarat bahwa waktunya sudah tiba.Zavar menatapnya dengan serius, “Kenapa? Apakah kamu masih ingin disini?” tanyanya. “Sudah cukup, aku rindu dengan butik. Dan kamu, pasti sangat rindu dengan perusahaanmu bukan?” balas Sarah dengan mantap, menggambarkan kerinduan akan pekerjaan yang sudah menanti. “Iya, tetapi jika kamu ingin lebih lama lagi juga tidak masalah, aku bisa mengubah jadwal kepulangan kita,” jawab Zavar dengan tegas, mencoba memberi pilihan pada Sarah. “Tidak, kita pulang hari ini saja,” jawab Sarah.“Okey!” kata Zavar. Meski tidak lama, tetapi mereka berdua menyempatkan diri menjelajahi setiap sudut negeri ini, merasaka
Fando memicingkan mata dengan antusias yang tak terbendung saat Zavar melontarkan ucapan barusan.“Apa?" serunya dengan suara lantang yang membuat Zavar melirik.Zavar menyeringai licik. “Ada bonus untukmu?” jawab Zavar.“Demi apapun, seriusan?” Fando membulatkan matanya, tetapi ekspresinya sedikit ragu.“Tentu saja! Lihatlah wajahku, adakah kesan berbohong?” Zavar menyunggingkan senyum sombong.“Sejujurnya, ya!” Fando membalas dengan jujur sambil mengendalikan mobilnya dengan mantap menuju rumah.Zavar mengerucutkan bibirnya. “Batal! Tidak jadi aku memberi bonus!”“Apa! Eh, tunggu, jangan gitu dong!” rayu Fando, berusaha memutarbalikkan keputusan Zavar.“Tidak ada, aku sudah cukup tersinggung,” jawab Zavar.Senyum mengembang menghiasi di bibir Sarah kala melihat tingkah antara Zavar dan Fando. Dia tidak bisa menahan tawanya saat melihat kedua pria itu saling beradu argumen seperti anak-anak yang bersitegang karena mainan kesayangan.“Mereka benar-benar deh. Ada saja yang diributkan j
Lena memandang Roy dengan tatapan penuh pertimbangan, bibirnya terkatup rapat sementara pikirannya berputar cepat. Setiap kata dari Roy menusuk ke dalam pikirannya, membuatnya terdiam, meresapi setiap nuansa yang disampaikan.“Tapi, aku sudah tak sabar ingin meresmikan hubungan kita, Roy,” desis Lena, suaranya terdengar penuh dengan keinginan yang sulit dibendung.Roy mengangguk perlahan, matanya menatap Lena dengan penuh pengertian. “Iya, tapi bersabarlah sedikit lagi,” pintanya dengan lembut, mencoba meyakinkan Lena.Wajah Lena memperlihatkan pertarungan batin yang tak tersembunyi. Dia memikirkan kata-kata Roy sambil menimbang-nimbang antara keinginan yang menggebu dan kebijaksanaan yang dianjurkan.“Baiklah, aku akan bersabar,” ucap Lena akhirnya dengan suara yang menunjukkan kesepakatan dalam hatinya, meski terdengar sedikit ragu. Dia merelakan keinginannya sejenak demi kebahagiaan bersama, meskipun dalam hatinya terus berkobar ingin mengumbar kebahagiaan itu sekarang juga.Roy me
“Roy!” panggil Selena pada pengawal berbadan kekar itu saat baru saja tiba di rumah.“Ya, Nona. Ada apa?” tanya Roy. Ia baru saja melangkahkan kaki memasuki rumah, mendengar Selena memanggil, membuat Roy urung melanjutkan langkah kakinya.“Aku sering melihat kamu ke diskotik, bersenang-senang di sana bersama wanita penghibur yang cantik dan seksi,” ucap Selena.“Iya, lantas?”Selena memandang Roy dengan tajam, merasa tidak puas dengan jawabannya. Tatapannya penuh kecurigaan, seolah-olah mencari-cari celah untuk menggali lebih dalam motif di balik kedekatan Roy dengan mamanya yang berumur.“Apa tujuan kamu mendekati mamaku? Bukankah mamaku sudah berumur? Dan sangat jauh dengan wanita-wanita yang biasa bersamamu!” desak Selena, suaranya menusuk tajam di ruangan itu.Roy, dengan santai dan penuh keyakinan, membalas pertanyaan Selena. “Tujuan? Tak ada tujuan, Selena. Kami saling cocok satu sama lain, apakah itu masalah untukmu?” jawabnya sambil tersenyum meyakinkan.Namun, tatapan tajam S
“Terimakasih, Zvar. Kamu selalu ada disampingku, memberikan dukungan,” ucap Sarah dengan suara lembut. Sarah memeluk erat suaminya, merasakan kehangatan yang selalu membuatnya merasa aman dan nyaman. Senyum merekah di wajahnya, seolah-olah dia sedang menikmati momen paling bahagia dalam hidupnya. Matanya berbinar penuh rasa syukur, mencerminkan rasa terima kasih yang mendalam dan tulus kepada suaminya.“Sama-sama, Sarah,” jawab Zavar dengan suara yang penuh kasih sayang, sembari mengusap lembut punggung Sarah, seolah-olah dia sedang mencoba untuk menenangkan istrinya. Matanya penuh kehangatan, mencerminkan rasa cinta dan kasih sayang yang mendalam terhadap istrinya.“Semoga mama segera diberikan kebahagiaan dengan hadirnya cucu,” sela Mama Riska dengan penuh semangat, sambil tersenyum lebar. Senyumnya yang tulus dan hangat itu menambah keceriaan di wajahnya, seolah-olah dia sedang menatap masa depan yang cerah dan penuh harapan.Zavar, mendengar ucapan mamanya, merasa sedikit canggun
Zavar melangkah masuk ke dalam kantor dengan langkah yang tegap dan langkah yang mantap. Namun, ekspresi wajahnya tampak kacau, mencerminkan perasaan tidak senang yang ia alami.Saat tiba di pintu masuk, ia menghentakkan kakinya dengan sedikit geram, menandakan bahwa ia tidak terlalu senang dengan situasi yang harus dihadapinya. “Urusan seperti ini pun harus aku yang turun tangan!” desis Zavar dengan suara yang terdengar cukup lantang, menciptakan getaran ketidaksetujuan yang hampir terabaikan di ruangan itu.Fando, asisten Zavar yang setia, berusaha mengendalikan situasi yang mulai tegang itu. Dengan wajah yang memohon pengertian, dia menyampaikan, “Maafkan aku, Zavar. Relasi kali ini sungguh cerewet, dia hanya mau bertemu denganmu! Dia bahkan tidak bersedia menandatangani kontrak jika kamu mengabaikannya. Kamu tahu sendiri, kita sangat membutuhkan lahan miliknya untuk proyek ini.”Mendengar penjelasan Fando, Zavar merespon dengan menghela nafas panjang yang terdengar begitu berat.
Dengan tenaga penuh, Zavar memacu mobilnya, sebuah sedan hitam berkilau, melaju cepat menuju butik yang terletak di pusat kota. Mesin mobil berbunyi nyaring, memecah keheningan malam. Lampu jalanan yang berpendar kuning menerangi jalan di depannya, menciptakan bayangan panjang yang bergerak seiring laju mobil.Tak menunggu waktu lama, ia pun telah tiba di tujuan. Saat turun dari mobil, Zavar melirik arlojinya yang terbuat dari emas murni. Ia melihat jarum di sana menunjukkan waktu 02.30, jarum jam bergerak perlahan menandakan waktu yang tak pernah berhenti.“Sudah selesai dengan urusanmu, Zavar?” tanya mama Riska, menghampiri putranya yang baru saja tiba. Suaranya lembut namun penuh kekhawatiran.“Sudah, Mah,” jawab Zavar dengan nada lelah namun lega. Ia mengusap keringat di dahinya, menunjukkan betapa beratnya urusan yang baru saja ia selesaikan.“Ada urusan apa memangnya?” tanya mama Riska, rasa ingin tahunya terpancar dari sorot matanya yang tajam.“Ada relasi yang memaksa ingin be