Fando memicingkan mata dengan antusias yang tak terbendung saat Zavar melontarkan ucapan barusan.“Apa?" serunya dengan suara lantang yang membuat Zavar melirik.Zavar menyeringai licik. “Ada bonus untukmu?” jawab Zavar.“Demi apapun, seriusan?” Fando membulatkan matanya, tetapi ekspresinya sedikit ragu.“Tentu saja! Lihatlah wajahku, adakah kesan berbohong?” Zavar menyunggingkan senyum sombong.“Sejujurnya, ya!” Fando membalas dengan jujur sambil mengendalikan mobilnya dengan mantap menuju rumah.Zavar mengerucutkan bibirnya. “Batal! Tidak jadi aku memberi bonus!”“Apa! Eh, tunggu, jangan gitu dong!” rayu Fando, berusaha memutarbalikkan keputusan Zavar.“Tidak ada, aku sudah cukup tersinggung,” jawab Zavar.Senyum mengembang menghiasi di bibir Sarah kala melihat tingkah antara Zavar dan Fando. Dia tidak bisa menahan tawanya saat melihat kedua pria itu saling beradu argumen seperti anak-anak yang bersitegang karena mainan kesayangan.“Mereka benar-benar deh. Ada saja yang diributkan j
Lena memandang Roy dengan tatapan penuh pertimbangan, bibirnya terkatup rapat sementara pikirannya berputar cepat. Setiap kata dari Roy menusuk ke dalam pikirannya, membuatnya terdiam, meresapi setiap nuansa yang disampaikan.“Tapi, aku sudah tak sabar ingin meresmikan hubungan kita, Roy,” desis Lena, suaranya terdengar penuh dengan keinginan yang sulit dibendung.Roy mengangguk perlahan, matanya menatap Lena dengan penuh pengertian. “Iya, tapi bersabarlah sedikit lagi,” pintanya dengan lembut, mencoba meyakinkan Lena.Wajah Lena memperlihatkan pertarungan batin yang tak tersembunyi. Dia memikirkan kata-kata Roy sambil menimbang-nimbang antara keinginan yang menggebu dan kebijaksanaan yang dianjurkan.“Baiklah, aku akan bersabar,” ucap Lena akhirnya dengan suara yang menunjukkan kesepakatan dalam hatinya, meski terdengar sedikit ragu. Dia merelakan keinginannya sejenak demi kebahagiaan bersama, meskipun dalam hatinya terus berkobar ingin mengumbar kebahagiaan itu sekarang juga.Roy me
“Roy!” panggil Selena pada pengawal berbadan kekar itu saat baru saja tiba di rumah.“Ya, Nona. Ada apa?” tanya Roy. Ia baru saja melangkahkan kaki memasuki rumah, mendengar Selena memanggil, membuat Roy urung melanjutkan langkah kakinya.“Aku sering melihat kamu ke diskotik, bersenang-senang di sana bersama wanita penghibur yang cantik dan seksi,” ucap Selena.“Iya, lantas?”Selena memandang Roy dengan tajam, merasa tidak puas dengan jawabannya. Tatapannya penuh kecurigaan, seolah-olah mencari-cari celah untuk menggali lebih dalam motif di balik kedekatan Roy dengan mamanya yang berumur.“Apa tujuan kamu mendekati mamaku? Bukankah mamaku sudah berumur? Dan sangat jauh dengan wanita-wanita yang biasa bersamamu!” desak Selena, suaranya menusuk tajam di ruangan itu.Roy, dengan santai dan penuh keyakinan, membalas pertanyaan Selena. “Tujuan? Tak ada tujuan, Selena. Kami saling cocok satu sama lain, apakah itu masalah untukmu?” jawabnya sambil tersenyum meyakinkan.Namun, tatapan tajam S
“Terimakasih, Zvar. Kamu selalu ada disampingku, memberikan dukungan,” ucap Sarah dengan suara lembut. Sarah memeluk erat suaminya, merasakan kehangatan yang selalu membuatnya merasa aman dan nyaman. Senyum merekah di wajahnya, seolah-olah dia sedang menikmati momen paling bahagia dalam hidupnya. Matanya berbinar penuh rasa syukur, mencerminkan rasa terima kasih yang mendalam dan tulus kepada suaminya.“Sama-sama, Sarah,” jawab Zavar dengan suara yang penuh kasih sayang, sembari mengusap lembut punggung Sarah, seolah-olah dia sedang mencoba untuk menenangkan istrinya. Matanya penuh kehangatan, mencerminkan rasa cinta dan kasih sayang yang mendalam terhadap istrinya.“Semoga mama segera diberikan kebahagiaan dengan hadirnya cucu,” sela Mama Riska dengan penuh semangat, sambil tersenyum lebar. Senyumnya yang tulus dan hangat itu menambah keceriaan di wajahnya, seolah-olah dia sedang menatap masa depan yang cerah dan penuh harapan.Zavar, mendengar ucapan mamanya, merasa sedikit canggun
Zavar melangkah masuk ke dalam kantor dengan langkah yang tegap dan langkah yang mantap. Namun, ekspresi wajahnya tampak kacau, mencerminkan perasaan tidak senang yang ia alami.Saat tiba di pintu masuk, ia menghentakkan kakinya dengan sedikit geram, menandakan bahwa ia tidak terlalu senang dengan situasi yang harus dihadapinya. “Urusan seperti ini pun harus aku yang turun tangan!” desis Zavar dengan suara yang terdengar cukup lantang, menciptakan getaran ketidaksetujuan yang hampir terabaikan di ruangan itu.Fando, asisten Zavar yang setia, berusaha mengendalikan situasi yang mulai tegang itu. Dengan wajah yang memohon pengertian, dia menyampaikan, “Maafkan aku, Zavar. Relasi kali ini sungguh cerewet, dia hanya mau bertemu denganmu! Dia bahkan tidak bersedia menandatangani kontrak jika kamu mengabaikannya. Kamu tahu sendiri, kita sangat membutuhkan lahan miliknya untuk proyek ini.”Mendengar penjelasan Fando, Zavar merespon dengan menghela nafas panjang yang terdengar begitu berat.
Dengan tenaga penuh, Zavar memacu mobilnya, sebuah sedan hitam berkilau, melaju cepat menuju butik yang terletak di pusat kota. Mesin mobil berbunyi nyaring, memecah keheningan malam. Lampu jalanan yang berpendar kuning menerangi jalan di depannya, menciptakan bayangan panjang yang bergerak seiring laju mobil.Tak menunggu waktu lama, ia pun telah tiba di tujuan. Saat turun dari mobil, Zavar melirik arlojinya yang terbuat dari emas murni. Ia melihat jarum di sana menunjukkan waktu 02.30, jarum jam bergerak perlahan menandakan waktu yang tak pernah berhenti.“Sudah selesai dengan urusanmu, Zavar?” tanya mama Riska, menghampiri putranya yang baru saja tiba. Suaranya lembut namun penuh kekhawatiran.“Sudah, Mah,” jawab Zavar dengan nada lelah namun lega. Ia mengusap keringat di dahinya, menunjukkan betapa beratnya urusan yang baru saja ia selesaikan.“Ada urusan apa memangnya?” tanya mama Riska, rasa ingin tahunya terpancar dari sorot matanya yang tajam.“Ada relasi yang memaksa ingin be
Sarah menatap layar ponselnya yang berkilau, matanya memandang tajam ke arah nama yang tertera di layar. Jantungnya berdetak lebih cepat, seolah merasakan sesuatu yang tidak biasa. Ia merasa bingung, tidak tahu harus bagaimana.“Selena?” ucap Sarah, bermonolog di dalam hati. Suaranya hampir tidak terdengar, seolah ia sedang berbicara dengan dirinya sendiri. Ia merasa terkejut, tidak menyangka bahwa Selena akan menghubunginya.“Siapa yang menelpon?” tanya Zavar, suaranya penuh kekhawatiran. Ia menatap Sarah, mencoba membaca ekspresi wajah istrinya itu. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang membuat Sarah terlihat bingung.“Selena,” jawab Sarah, suaranya lembut namun jelas. Ia menatap Zavar, matanya penuh kebingungan. Ia merasa tidak yakin, apakah harus menjawab panggilan itu atau tidak.“Tumben dia nelpon kamu, jangan diangkat. Biarkan saja, aku tak suka melihatmu berhubungan dengan orang-orang yang jahat,” ucap Zavar, suaranya tegas. Ia menatap Sarah, matanya penuh kekha
Lena terdiam sejenak. Ia menatap putrinya, Selena, dengan tatapan yang sulit ditebak. Matanya yang biasanya penuh kehangatan, kini tampak kosong dan jauh. Ia mendengar ucapan Selena yang tiba-tiba muncul dari bibir Selena. Sejenak, Lena merasa seolah waktu berhenti.Bayangan masa lalu yang rumit dan penuh perjuangan sejenak terlintas di pikirannya. Ia merasa seolah berada di dalam labirin memori, memutar kembali kenangan-kenangan yang telah lama ia simpan dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Kenangan-kenangan yang telah usang oleh waktu, namun tetap meninggalkan bekas yang mendalam.Dengan suara yang berat dan penuh penekanan, Lena berbicara kepada putrinya, “Kamu cukup memikirkan hidupmu, Selena. Jangan sibuk mencampuri urusan pribadi mama. Sebab, mama lebih tau daripada kamu!” Ucapannya terdengar tegas, tetapi dibalik itu tersembunyi rasa sakit yang mendalam.Selena yang terkejut dengan ucapan mamanya, mencoba untuk berbicara, “Tapi, Mah!” Namun, sebelum ia sempat melanjutkan, Len