Bagas mendongak, wajahnya mencerminkan rasa penasaran yang tak tersembunyi.“Itu apa?” tanyanya, mata menyipit seolah mencoba memahami objek yang menjadi fokus pembicaraan.Lena menghela nafas, berusaha menjelaskan dengan ekspresi wajah yang gugup. Otaknya berpikir keras mencari alasan yang logis dan masuk akal sebagai penjelasan.“Itu, anu. Tadi aku minta diurutkan sama asisten kamu di kantor, soalnya leherku sakit banget. Mungkin gara-gara salah bantal,” ujarnya, mencoba mencari alasan di balik ketidaknyamanan yang dialaminya.“Oh,” jawab Bagas singkat, sepertinya belum sepenuhnya terfokus pada pembicaraan. Dengan rasa ingin tahu yang masih membayangi, mencoba memecah keheningan, dan mengalihkan topik. “Iya. Lagian Mas ngapain jam segini belum tidur!” tanyanya, berusaha mengalihkan perhatian Bagas.“Nggak tau, mataku sulit sekali untuk terpejam,” jawab Bagas, menunjukkan bahwa mungkin ada hal lain yang mengganggunya.“Tidurlah, sudah larut. Aku juga sudah mengantuk, esok aku mau ke
Setelah Sarah selesai mandi, dia merasa segar dan siap. Di ruang rias, Ina dengan penuh antusias membantu Sarah untuk merias wajahnya. Ina dengan telaten mengaplikasikan berbagai macam make up, menonjolkan kecantikan alami Sarah tanpa membuatnya terlihat berlebihan. Setiap gerakan kuas dan sentuhan tangan Ina terasa begitu presisi, menambahkan sentuhan glamor yang sesuai dengan gaya Sarah.Ketika semua selesai, sebuah senyuman puas terukir di wajah Ina. “Perfect!” ucapnya dengan bangga melihat hasil akhir dari riasan yang telah dibuatnya. Dengan percaya diri, Sarah memandang cermin. Dia terpesona melihat transformasi wajahnya yang semakin bersinar.“Nona Sarah cantik, Tuan pasti akan terkesima melihat Nona,” ucap Ina dengan penuh keyakinan, memberikan semangat pada Sarah.“Tapi mau ke mana?” tanya Sarah dengan ekspresi bingung yang masih terpancar di wajahnya, mencerminkan ketidakpastian akan acara yang akan dihadiri.Sebelum Ina sempat memberikan jawaban atau Zavar merespon, suara k
Riska, mamanya Zavar wanita berusia 55 tahun, dengan lembut memanggil nama Sarah, yang sedang larut dalam pemikirannya yang mendalam. Suara Riska terdengar lembut namun penuh perhatian, “Sarah, kamu sedang memikirkan apa, Nak?”Mendengar panggilannya, Sarah segera tersadarkan dari dunianya yang abstrak. Matanya perlahan-lahan mengangkat pandangannya dari titik fokus pikirannya, dan dia memandang Riska dengan ekspresi sedikit terkejut.“Ah, nggak ada, Tante,” jawab Sarah dengan cepat, mencoba menyembunyikan fakta bahwa dia benar-benar tenggelam dalam pemikirannya.Namun, Riska bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Sarah. Dengan penuh kelembutan, dia mencoba membuka komunikasi, “Jangan panggil, Tante. Panggil saja mama.”Senyum hangat terukir di wajah Riska, menunjukkan keinginannya untuk menciptakan suasana yang nyaman dan akrab.Sarah merespons senyuman itu dengan canggung namun hangat. Dia merasa dihadapkan pada kehangatan seorang ibu, meskipun panggilan ‘mama’ ter
"Maksud Ayah?" tanya Selena, mengernyitkan keningnya, mencermati ekspresi Ayahnya yang tampak serius. Ruangan itu terasa hening, hanya terdengar bisikan ketidak pastian di udara. Ayah Bagas memandang Selena dengan pandangan penuh tanda tanya. "Kamu nggak tau kemana perginya mamamu?" tanya Bagas pada Selena, suaranya penuh rasa ingin tahu.Selena mengerutkan dahinya. "Nggak, Yah. Soalnya kemarin saat Selena pergi, mama masih ada di rumah," jelasnya dengan nada heran. Ruangan itu semakin terasa tegang, seperti kabut misteri yang menyelimuti."Oh, ayah pikir kamu tahu kemana mamamu," ungkap Bagas, mencoba mengurai kebingungan yang terpampang di wajah Selena. Namun, jawabannya tak menghilangkan kegelisahan yang terus tumbuh di dalam hati Bagas.Selena mengangguk, tetapi matanya masih mencermati setiap ekspresi di wajah Ayah tirinya. "Ada yang mau ditanya lagi, Yah?" tanya Selena dengan suara lembut, mencoba meredakan kecemasan yang menguar di ruangan itu.Bagas menggeleng, tetapi terliha
"Benarkah?" tanya Sarah dengan raut wajah yang memerah, matanya mencari kepastian dari Zavar. Perkataan Zavar sebelumnya membuat hatinya berdegup kencang, dan keheningan di antara mereka seolah-olah meminta sebuah jawaban.Zavar tersenyum, mencermati ekspresi malu-malu Sarah. "Apakah aku terlihat berbohong?" balas Zavar, mencoba membaca reaksi di wajah Sarah. Percakapan ini seperti sebuah tarian emosi, di mana kebingungan dan ketidakpastian bergandengan tangan.Sarah merasakan hatinya berdesir, tetapi dia tidak bisa menahan senyuman malu-malu. "Tidak tahu, yang kutahu semua lelaki suka menggombal," jelas Sarah, mencoba menyamarkan ketidaknyamanannya dengan sedikit humor.Zavar terkekeh, dan ekspresi heran tergambar di wajahnya. "Apa? Tidak! Jangan-jangan samakan aku dengan lelaki lain," ucap Zavar dengan sedikit kejutan. Ada keinginan untuk membersihkan nama baiknya dari tuduhan tak berdasar."Mirip lagu dangdut aja," celetuk Sarah dengan nada ringan, mencoba meredakan ketegangan. Sua
“Sepertinya belum tahu, Mah. Ada apa?” tanya Selena ingin tahu sambil menatap mamanya, Lena, dengan rasa penasaran yang menggelayut di mata. Ruangan itu penuh dengan ketegangan, dan Selena merasa bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Lena menarik nafas dalam-dalam sebelum memberikan jawaban. “Kalau bisa, jangan sampai ayah kamu tahu pernikahan Sarah ini,” pinta Lena, suaranya penuh dengan harap dan kekhawatiran. Selena mengangkat alisnya, terkejut dengan permintaan tersebut. “Loh, kenapa Mah? Gimana Ayah nggak tahu. Acaranya diliput di semua stasiun televisi. Mau disembunyikan pun, ayah bakalan tahu dengan sendirinya,” papar Selena, mencoba memahami alasan di balik permintaan mamanya. Lena menggeleng pelan, ekspresinya serius. “Mama nggak mau kalau sampai Mas Bagas kepikiran Sarah lagi. Lihatlah sekarang ini, ayah kamu sedang sakit. Jika kepikiran dengan Sarah, takutnya penyakitnya semakin parah,” ungkap Lena panjang lebar, mencoba menjelaskan alasan di balik keputusannya. Selena m
“Kamu kenapa?” Zavar menyorot ekspresi gugup Sarah dengan tajam, tatapan matanya merayapi setiap rona kekhawatiran yang tergambar di wajahnya.Mendengar suara tegas Zavar, gelombang kejut melanda Sarah, membuatnya berjingkrak kaget seolah tersentak dari dunia mimpinya yang damai. Dadanya naik turun dengan cepat, mencerminkan ketegangan yang meliputi dirinya.“Nggak apa-apa kok,” jawab Sarah dengan cobaan tersenyum, tetapi getaran kecil pada suaranya mengisyaratkan ketidakyakinan yang mendalam. Dengan gemetar, ia berusaha menyembunyikan kecemasannya.“Oh ya, ka-kamu akan tidur di kamar ini?” tanya Sarah, suaranya terputus-putus oleh kegugupan yang semakin terasa. Tatapannya berdesir ragu saat menatap Zavar, mencari jawaban yang mungkin tersirat di balik kata-katanya.Zavar, dengan sikap tenangnya, menjawab dengan anggukan kepala yang mantap. “Iya, kan aku suamimu, sudah lama kita pisah ranjang, saatnya kita tidur bersama,” ucapnya dengan kelembutan, tetapi kepastian dalam suaranya meng
Suara berdering yang tiba-tiba menggema di sekitar ruangan membuat Zavar tersentak dari lamunannya yang mendalam. Tatapan matanya yang semula terfokus pada Sarah seketika beralih ke arah ponsel yang duduk di seberangnya. “Ponsel kamu berdering tuh!” ujar Sarah dengan suara lantang, memberi tahu untuk mengalihkan perhatian Zavar yang sejak tadi terus menatapnya dalam jarak yang begitu dekat sehingga membuat Sarah berdebar kencang.Dengan refleks cepat, Zavar menoleh ke arah meja nakas tempat ponselnya diletakkan. Langkah-langkahnya tergesa-gesa saat ia bangkit. Matanya menatap layar ponsel yang terangkat, mencari tahu siapa yang sedang menghubunginya.“Siapa sih yang berani menelponku? Mengganggu saja,” gumam Zavar dalam hati, kesal akan gangguan yang merusak fokusnya. Namun, ia tetap meraih ponselnya dengan gerakan cepat, mengabaikan sedikit rasa ketidaknyamanannya.Pandangan Zavar terpaku pada layar ponsel yang menampilkan nama yang tidak terlalu diharapkannya. “Fando? Ngapain dia n
Zavar duduk tegang di ruang tunggu rumah sakit, gelisah menanti kabar mengenai keadaan mertuanya. Setelah beberapa saat yang terasa seperti berjam-jam, dokter yang menangani Bagas akhirnya muncul di hadapannya.“Dokter, bagaimana keadaan mertua saya?” tanya Zavar dengan wajah penuh kekhawatiran.Dokter itu melihat langsung ke mata Zavar sebelum memberikan jawaban, “Masih lemah, Tuan. Tetapi saya senang memberitahu Anda bahwa ada kemajuan sedikit dibanding saat pak Bagas di bawa kemari.”Walaupun Zavar merasa sedikit lega mendengar kabar positif, rasa penasarannya masih belum terpuaskan. “Dokter, bagaimana zat aktif itu bisa masuk ke tubuh mertua saya? Apakah beliau mengkonsumsinya?” tanya Zavar, ingin memahami lebih lanjut.Dokter menjelaskan dengan penuh perhatian, “Menurut kami, tampaknya obat itu memang sengaja diberikan, tujuannya untuk merusak sel-sel tubuh secara perlahan. Melihat kondisi pak Bagas yang sangat memprihatinkan.”Pernyataan dokter membuat Zavar tercengang, tidak bi
Sorak-sorai terdengar memecah keheningan senja di pinggir hutan saat seorang wanita memecahkan keheningan itu dengan serunya saat melintasi jalan sepi di dekat hutan yang setiap hari ia lalui menuju arah pulang dari bekerja.“Ya ampun, Sarah! Iya, ini Sarah!” Wajahnya penuh kekhawatiran ketika dia melintas di jalan, menyusuri lorong gelap yang mengarah pulang menjelang senja.Tiba-tiba, desakan bantuan memecah udara, memotong kesunyian senja. “Tolong!” teriak wanita itu, meminta pertolongan dengan nada yang memilukan. Seruannya segera menarik perhatian beberapa warga yang berada di sekitar lokasi, dan mereka dengan cepat mendekat.Seorang warga, penuh kebaikan hati, bertanya, “Ada apa, Bu?” dengan ekspresi keprihatinan di wajahnya.Wanita itu buru-buru menjelaskan, “Ini, tolong bantu saya membawa wanita ini ke rumah sakit, Pak!” Sorot matanya penuh dengan kegelisahan.“Siapa wanita ini, Bu? Dan kenapa? Apakah wanita ini korban perampokan?” tanya seorang warga lain, mencoba memahami si
Zavar terlihat sibuk menandatangani berkas yang disodorkan oleh Fando.“Ada lagi, Fan?” tanyanya seraya menjepit pulpen di antara jari telunjuk dan jari tengah, matanya menatap fokus pada Fando yang berdiri di hadapannya.“Sudah selesai untuk hari ini, Zavar,” tukas Fando sopan, namun wajahnya nampak datar.Zavar mengangguk singkat. Ia gegas bangkit berdiri, berjalan mendekati sang asisten pribadi. “Rekaman CCTV sudah ada di tangan kamu?” tanyanya seraya berjalan melewati Fando.Fando yang ditanya, gegas menyusul di belakang. “Sudah, kamu akan terkejut melihat hasilnya,” tukasnya, merogoh saku jas, kemudian menyerahkan sebuah flashdisk berisi copy rekaman CCTV ke samping kanan Zavar.Zavar menerimanya, menggenggamnya erat tanpa menghentikan langkahnya. Keduanya berjalan beriringan tanpa sepatah katapun menuju pintu keluar.Zavar gegas masuk ke dalam mobil yang telah menunggunya di depan lobi, begitu Fando membukakan pintu penumpang, menutupnya perlahan, kemudian gegas berlari memutar,
“Gak! Itu gak benar, Sarah! Itu semuanya fitnah!” Selena bersikeras. Wajahnya bahkan terlihat berusaha serius, nampak meyakinkan. Namun Sarah yang sudah tahu akal busuk saudara tirinya itu, tidak serta Merta percaya.“Heleh! Jangan berkilah kamu, Selena! Aku yakin banget, kalo kamu lah pelakunya!” tuding Sarah berapi-api seraya menunjuk-nunjuk ke arah wajah Selena.“Aku berani bersumpah, Sarah. Bahwasanya aku tidak pernah melakukan hal bodoh seperti itu!” Selena masih berusaha membuat Sarah terpedaya.“Gak usah ngelak lagi kamu! Mending kamu ngaku aja dengan jujur, apa maksud kamu ngasih kopi itu sama suami aku? Ingat Selena, Zavar itu suami aku, iparmu sendiri. Jadi kamu jangan berpikiran picik dengan berusaha merebut dia dari tanganku! Atau jangan-jangan kamu yang berusaha mengadu domba aku dan Zavar dengan berpura-pura mengaku menjadi mantan kekasihnya!”pekik Sarah murka. Wajahnya bahkan terlihat merah padam.“Sudah aku bilang, kalo aku gak pernah ngelakuin itu! Kamu itu bego atau
Zavar menatap Fando dengan ekspresi serius, memecahkan keheningan dengan kata-kata yang membuat atmosfer ruangan semakin tegang. “Ada orang yang menjebak aku, sengaja memberikan minuman perangsang,” ungkapnya tegas, matanya mencari kepastian di wajah Fando.Terdengar desahan kaget dari Fando. Ia langsung menanggapi, “Astaga, siapa?” Rasa penasarannya terpancar jelas dari setiap kata yang terucap.Zavar mengangguk, memberikan penjelasan lebih lanjut, “Nggak tau, aku tadi kan meeting. Segera kamu periksa CCTV, aku ingin tau siapa pelakunya.” Suaranya penuh desakan, menunjukkan urgensi untuk mengungkap kebenaran di balik insiden yang menimpanya.Fando mengangguk serius, “Mungkinkah itu Lolly?” Ia mencoba menghubungkan benang merah dari kejadian itu dengan sosok yang mungkin terlibat.Zavar merenung sejenak sebelum menjawab, “Entah, aku tak tau.” Ungkapannya penuh dengan ketidakpastian, membuat situasi semakin misterius.Tak lama kemudian, Fando melanjutkan serangkaian pertanyaannya, “La
Suasana di ruangan itu menjadi tegang ketika Sarah melihat gelisah yang meliputi wajah suaminya, Zavar. Dengan rasa concern, ia tak bisa menahan diri untuk bertanya, “Sayang kamu kenapa?” Suara lembutnya memecah keheningan, memperlihatkan kekhawatiran yang mendalam terhadap suami tercintanya.Meski Sarah masih curiga terhadap Zavar, tetapi itu tak mengubah sikapnya pada pria tampan itu.Zavar, yang tampaknya merasa gelisah dan waspada, segera memberikan instruksi pada Sarah, “Sayang, tutup pintunya, katakan pada sekretaris jangan ada yang mengganggu.” Permintaan tersebut disampaikan dengan suara serius dan penuh perhatian. Sarah, tanpa ragu dan dengan penuh ketaatan, segera melangkah ke pintu dan menguncinya rapat, memastikan keamanan ruangan dari mata orang asing.Namun, ketegangan semakin terasa ketika Sarah kembali mendekati Zavar, mencoba memahami penyebab sikap gelisah yang merayap di dalam hati suaminya. “Ada apa?” tanya Sarah dengan suara lembut, mencoba membuka pintu percaka
Langkah kaki Zavar terdengar semakin dekat, seiring dengan detak jantung Sarah yang semakin cepat.Meja di hadapannya menjadi semakin jelas dalam pandangannya, dan ketegangan terasa begitu nyata di udara. Sarah merasakan debaran kencang di dadanya, seperti serangan kecil dari rasa was-was yang merayap dalam benaknya.Langkah kaki Zavar menghasilkan suara yang berat, menciptakan dentuman yang membuat saraf Sarah merespon dengan cepat. Kletak. Kletak. Setiap langkah mengisyaratkan kedatangan sosok yang mungkin membawa segala macam kejutan.“Aduh, gimana ini?” bisik hati Sarah, ketidakpastian memenuhi pikirannya. Kedua kata itu menjadi sepasang mantra yang terus berputar di benaknya. Sementara langkah kaki Zavar semakin mendekat, ruangan itu seakan-akan mengecil, menyisakan ruang sempit bagi ketegangan untuk berkembang.Dalam ketidakpastian yang mencekam, suara langkah kaki Zavar menggema di dalam ruangan, menciptakan atmosfer yang begitu tegang sehingga bahkan udara tampaknya menahan na
Esok pagi tiba dengan udara yang sejuk dan langit yang cerah, menciptakan suasana yang kontras dengan kegelapan yang menyelimuti hati Sarah.Mendekati jam makan siang, diam-diam Sarah datang ke kantor, hatinya dipenuhi kegelisahan yang sulit diungkapkan. Dengan langkah-langkah hati-hati, Sarah memutuskan untuk mengungkap misteri yang merayapi pikirannya.Seiring langkahnya yang mantap, Sarah melangkah menuju kantor suaminya yang berlokasi di pusat kota. Dia memutuskan untuk memilih jalur taksi sebagai sarana transportasinya, berharap dapat mengurangi waktu tempuh dan mempertahankan keberadaannya yang rahasia. Saat taksi itu tiba, dia dengan hati-hati menuruni tangga, memastikan bahwa tidak ada yang memperhatikan langkah-langkahnya yang tersembunyi.“Bismillah. Semoga aku menemukan kebenarannya di sini,” bisik Sarah dalam hati sambil menyesap napasnya yang teratur. “Ini pak, uangnya, kembaliannya ambil bapak saja,” ujar Sarah dengan tegas kepada sopir taksi ketika sampai di tujuan. De
Lena membuka pintu rumah dengan senyuman, melihat putrinya, Selena, yang tampak begitu bersemangat.“Kamu kenapa sayang? Kok girang banget?” tanya Lena dengan senyum penasaran saat baru tiba di rumah mereka.“Mama baru pulang? Aku lagi senang mah,” kata Selena sambil tersenyum cerah.“Senang kenapa?” tanya Lena, menunjukkan rasa penasaran yang sama.“Sebab, rencana kita berjalan lancar, Mah,” kata Selena dengan antusias.“Lancar?” Lena semakin penasaran.“Iya, Mah. Tadi Selena berhasil mengambil foto yang bagus, lalu mengirim pada Sarah. Tau nggak Mah, Sarah langsung nelpon setelah Selena kirim foto itu,pasti dia sakit hati,” cerita Selena sembari membagi cerita dengan penuh semangat.“Dia tidak kenal suara kamu?” tanya Lena dengan nada penasaran.“Nggak, Mah. Sudah Selena filter, jadi nggak akan Sarah kenal,” jelas Selena sambil menjelaskan dengan penuh semangat.Lena menggelengkan kepala, meresapi kata-kata putrinya dengan ekspresi serius. “Baguslah, kalau mama malah nggak berhasil