Lena merespons dengan suara yang penuh keyakinan, matanya terlihat terasa pilu. “Saya sangat yakin, Roy,” ujarnya sambil menatap dengan penuh perasaan.Roy langsung menanggapi, “Tentu saja, saya akan segera menyelesaikan permintaan Nyonya.” Pemuda itu, terbiasa dengan situasi seperti ini, tidak akan pernah menolak, terutama ketika ada dorongan dari Lena.Lena memerinci rencananya dengan suara rendah pada Roy, “Baiklah, siapkan dirimu. Kita akan menyewa sebuah kamar di hotel. Aku tidak ingin ada yang mengetahui aktivitas kita. Jika dilakukan di rumah, akan banyak yang melihat kita, tak terkecuali Bagas.” Bisikannya terdengar jelas meski pelan.“Baik, saya akan segera siap,” jawab Roy. Tanpa menunggu lama, pria berusia 35 tahun itu bergerak cepat, seketika menghilang dari taman dan bergegas masuk ke dalam rumah untuk mengganti pakaiannya.Tidak butuh waktu lama, keduanya segera berangkat. Lena sudah menunggu di dalam mobil sejak lama, begitu Roy masuk, mereka melaju dengan cepat menuju
Bagas mendongak, wajahnya mencerminkan rasa penasaran yang tak tersembunyi.“Itu apa?” tanyanya, mata menyipit seolah mencoba memahami objek yang menjadi fokus pembicaraan.Lena menghela nafas, berusaha menjelaskan dengan ekspresi wajah yang gugup. Otaknya berpikir keras mencari alasan yang logis dan masuk akal sebagai penjelasan.“Itu, anu. Tadi aku minta diurutkan sama asisten kamu di kantor, soalnya leherku sakit banget. Mungkin gara-gara salah bantal,” ujarnya, mencoba mencari alasan di balik ketidaknyamanan yang dialaminya.“Oh,” jawab Bagas singkat, sepertinya belum sepenuhnya terfokus pada pembicaraan. Dengan rasa ingin tahu yang masih membayangi, mencoba memecah keheningan, dan mengalihkan topik. “Iya. Lagian Mas ngapain jam segini belum tidur!” tanyanya, berusaha mengalihkan perhatian Bagas.“Nggak tau, mataku sulit sekali untuk terpejam,” jawab Bagas, menunjukkan bahwa mungkin ada hal lain yang mengganggunya.“Tidurlah, sudah larut. Aku juga sudah mengantuk, esok aku mau ke
Setelah Sarah selesai mandi, dia merasa segar dan siap. Di ruang rias, Ina dengan penuh antusias membantu Sarah untuk merias wajahnya. Ina dengan telaten mengaplikasikan berbagai macam make up, menonjolkan kecantikan alami Sarah tanpa membuatnya terlihat berlebihan. Setiap gerakan kuas dan sentuhan tangan Ina terasa begitu presisi, menambahkan sentuhan glamor yang sesuai dengan gaya Sarah.Ketika semua selesai, sebuah senyuman puas terukir di wajah Ina. “Perfect!” ucapnya dengan bangga melihat hasil akhir dari riasan yang telah dibuatnya. Dengan percaya diri, Sarah memandang cermin. Dia terpesona melihat transformasi wajahnya yang semakin bersinar.“Nona Sarah cantik, Tuan pasti akan terkesima melihat Nona,” ucap Ina dengan penuh keyakinan, memberikan semangat pada Sarah.“Tapi mau ke mana?” tanya Sarah dengan ekspresi bingung yang masih terpancar di wajahnya, mencerminkan ketidakpastian akan acara yang akan dihadiri.Sebelum Ina sempat memberikan jawaban atau Zavar merespon, suara k
Riska, mamanya Zavar wanita berusia 55 tahun, dengan lembut memanggil nama Sarah, yang sedang larut dalam pemikirannya yang mendalam. Suara Riska terdengar lembut namun penuh perhatian, “Sarah, kamu sedang memikirkan apa, Nak?”Mendengar panggilannya, Sarah segera tersadarkan dari dunianya yang abstrak. Matanya perlahan-lahan mengangkat pandangannya dari titik fokus pikirannya, dan dia memandang Riska dengan ekspresi sedikit terkejut.“Ah, nggak ada, Tante,” jawab Sarah dengan cepat, mencoba menyembunyikan fakta bahwa dia benar-benar tenggelam dalam pemikirannya.Namun, Riska bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Sarah. Dengan penuh kelembutan, dia mencoba membuka komunikasi, “Jangan panggil, Tante. Panggil saja mama.”Senyum hangat terukir di wajah Riska, menunjukkan keinginannya untuk menciptakan suasana yang nyaman dan akrab.Sarah merespons senyuman itu dengan canggung namun hangat. Dia merasa dihadapkan pada kehangatan seorang ibu, meskipun panggilan ‘mama’ ter
"Maksud Ayah?" tanya Selena, mengernyitkan keningnya, mencermati ekspresi Ayahnya yang tampak serius. Ruangan itu terasa hening, hanya terdengar bisikan ketidak pastian di udara. Ayah Bagas memandang Selena dengan pandangan penuh tanda tanya. "Kamu nggak tau kemana perginya mamamu?" tanya Bagas pada Selena, suaranya penuh rasa ingin tahu.Selena mengerutkan dahinya. "Nggak, Yah. Soalnya kemarin saat Selena pergi, mama masih ada di rumah," jelasnya dengan nada heran. Ruangan itu semakin terasa tegang, seperti kabut misteri yang menyelimuti."Oh, ayah pikir kamu tahu kemana mamamu," ungkap Bagas, mencoba mengurai kebingungan yang terpampang di wajah Selena. Namun, jawabannya tak menghilangkan kegelisahan yang terus tumbuh di dalam hati Bagas.Selena mengangguk, tetapi matanya masih mencermati setiap ekspresi di wajah Ayah tirinya. "Ada yang mau ditanya lagi, Yah?" tanya Selena dengan suara lembut, mencoba meredakan kecemasan yang menguar di ruangan itu.Bagas menggeleng, tetapi terliha
"Benarkah?" tanya Sarah dengan raut wajah yang memerah, matanya mencari kepastian dari Zavar. Perkataan Zavar sebelumnya membuat hatinya berdegup kencang, dan keheningan di antara mereka seolah-olah meminta sebuah jawaban.Zavar tersenyum, mencermati ekspresi malu-malu Sarah. "Apakah aku terlihat berbohong?" balas Zavar, mencoba membaca reaksi di wajah Sarah. Percakapan ini seperti sebuah tarian emosi, di mana kebingungan dan ketidakpastian bergandengan tangan.Sarah merasakan hatinya berdesir, tetapi dia tidak bisa menahan senyuman malu-malu. "Tidak tahu, yang kutahu semua lelaki suka menggombal," jelas Sarah, mencoba menyamarkan ketidaknyamanannya dengan sedikit humor.Zavar terkekeh, dan ekspresi heran tergambar di wajahnya. "Apa? Tidak! Jangan-jangan samakan aku dengan lelaki lain," ucap Zavar dengan sedikit kejutan. Ada keinginan untuk membersihkan nama baiknya dari tuduhan tak berdasar."Mirip lagu dangdut aja," celetuk Sarah dengan nada ringan, mencoba meredakan ketegangan. Sua
“Sepertinya belum tahu, Mah. Ada apa?” tanya Selena ingin tahu sambil menatap mamanya, Lena, dengan rasa penasaran yang menggelayut di mata. Ruangan itu penuh dengan ketegangan, dan Selena merasa bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Lena menarik nafas dalam-dalam sebelum memberikan jawaban. “Kalau bisa, jangan sampai ayah kamu tahu pernikahan Sarah ini,” pinta Lena, suaranya penuh dengan harap dan kekhawatiran. Selena mengangkat alisnya, terkejut dengan permintaan tersebut. “Loh, kenapa Mah? Gimana Ayah nggak tahu. Acaranya diliput di semua stasiun televisi. Mau disembunyikan pun, ayah bakalan tahu dengan sendirinya,” papar Selena, mencoba memahami alasan di balik permintaan mamanya. Lena menggeleng pelan, ekspresinya serius. “Mama nggak mau kalau sampai Mas Bagas kepikiran Sarah lagi. Lihatlah sekarang ini, ayah kamu sedang sakit. Jika kepikiran dengan Sarah, takutnya penyakitnya semakin parah,” ungkap Lena panjang lebar, mencoba menjelaskan alasan di balik keputusannya. Selena m
“Kamu kenapa?” Zavar menyorot ekspresi gugup Sarah dengan tajam, tatapan matanya merayapi setiap rona kekhawatiran yang tergambar di wajahnya.Mendengar suara tegas Zavar, gelombang kejut melanda Sarah, membuatnya berjingkrak kaget seolah tersentak dari dunia mimpinya yang damai. Dadanya naik turun dengan cepat, mencerminkan ketegangan yang meliputi dirinya.“Nggak apa-apa kok,” jawab Sarah dengan cobaan tersenyum, tetapi getaran kecil pada suaranya mengisyaratkan ketidakyakinan yang mendalam. Dengan gemetar, ia berusaha menyembunyikan kecemasannya.“Oh ya, ka-kamu akan tidur di kamar ini?” tanya Sarah, suaranya terputus-putus oleh kegugupan yang semakin terasa. Tatapannya berdesir ragu saat menatap Zavar, mencari jawaban yang mungkin tersirat di balik kata-katanya.Zavar, dengan sikap tenangnya, menjawab dengan anggukan kepala yang mantap. “Iya, kan aku suamimu, sudah lama kita pisah ranjang, saatnya kita tidur bersama,” ucapnya dengan kelembutan, tetapi kepastian dalam suaranya meng