Riska, mamanya Zavar wanita berusia 55 tahun, dengan lembut memanggil nama Sarah, yang sedang larut dalam pemikirannya yang mendalam. Suara Riska terdengar lembut namun penuh perhatian, “Sarah, kamu sedang memikirkan apa, Nak?”Mendengar panggilannya, Sarah segera tersadarkan dari dunianya yang abstrak. Matanya perlahan-lahan mengangkat pandangannya dari titik fokus pikirannya, dan dia memandang Riska dengan ekspresi sedikit terkejut.“Ah, nggak ada, Tante,” jawab Sarah dengan cepat, mencoba menyembunyikan fakta bahwa dia benar-benar tenggelam dalam pemikirannya.Namun, Riska bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Sarah. Dengan penuh kelembutan, dia mencoba membuka komunikasi, “Jangan panggil, Tante. Panggil saja mama.”Senyum hangat terukir di wajah Riska, menunjukkan keinginannya untuk menciptakan suasana yang nyaman dan akrab.Sarah merespons senyuman itu dengan canggung namun hangat. Dia merasa dihadapkan pada kehangatan seorang ibu, meskipun panggilan ‘mama’ ter
"Maksud Ayah?" tanya Selena, mengernyitkan keningnya, mencermati ekspresi Ayahnya yang tampak serius. Ruangan itu terasa hening, hanya terdengar bisikan ketidak pastian di udara. Ayah Bagas memandang Selena dengan pandangan penuh tanda tanya. "Kamu nggak tau kemana perginya mamamu?" tanya Bagas pada Selena, suaranya penuh rasa ingin tahu.Selena mengerutkan dahinya. "Nggak, Yah. Soalnya kemarin saat Selena pergi, mama masih ada di rumah," jelasnya dengan nada heran. Ruangan itu semakin terasa tegang, seperti kabut misteri yang menyelimuti."Oh, ayah pikir kamu tahu kemana mamamu," ungkap Bagas, mencoba mengurai kebingungan yang terpampang di wajah Selena. Namun, jawabannya tak menghilangkan kegelisahan yang terus tumbuh di dalam hati Bagas.Selena mengangguk, tetapi matanya masih mencermati setiap ekspresi di wajah Ayah tirinya. "Ada yang mau ditanya lagi, Yah?" tanya Selena dengan suara lembut, mencoba meredakan kecemasan yang menguar di ruangan itu.Bagas menggeleng, tetapi terliha
"Benarkah?" tanya Sarah dengan raut wajah yang memerah, matanya mencari kepastian dari Zavar. Perkataan Zavar sebelumnya membuat hatinya berdegup kencang, dan keheningan di antara mereka seolah-olah meminta sebuah jawaban.Zavar tersenyum, mencermati ekspresi malu-malu Sarah. "Apakah aku terlihat berbohong?" balas Zavar, mencoba membaca reaksi di wajah Sarah. Percakapan ini seperti sebuah tarian emosi, di mana kebingungan dan ketidakpastian bergandengan tangan.Sarah merasakan hatinya berdesir, tetapi dia tidak bisa menahan senyuman malu-malu. "Tidak tahu, yang kutahu semua lelaki suka menggombal," jelas Sarah, mencoba menyamarkan ketidaknyamanannya dengan sedikit humor.Zavar terkekeh, dan ekspresi heran tergambar di wajahnya. "Apa? Tidak! Jangan-jangan samakan aku dengan lelaki lain," ucap Zavar dengan sedikit kejutan. Ada keinginan untuk membersihkan nama baiknya dari tuduhan tak berdasar."Mirip lagu dangdut aja," celetuk Sarah dengan nada ringan, mencoba meredakan ketegangan. Sua
“Sepertinya belum tahu, Mah. Ada apa?” tanya Selena ingin tahu sambil menatap mamanya, Lena, dengan rasa penasaran yang menggelayut di mata. Ruangan itu penuh dengan ketegangan, dan Selena merasa bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Lena menarik nafas dalam-dalam sebelum memberikan jawaban. “Kalau bisa, jangan sampai ayah kamu tahu pernikahan Sarah ini,” pinta Lena, suaranya penuh dengan harap dan kekhawatiran. Selena mengangkat alisnya, terkejut dengan permintaan tersebut. “Loh, kenapa Mah? Gimana Ayah nggak tahu. Acaranya diliput di semua stasiun televisi. Mau disembunyikan pun, ayah bakalan tahu dengan sendirinya,” papar Selena, mencoba memahami alasan di balik permintaan mamanya. Lena menggeleng pelan, ekspresinya serius. “Mama nggak mau kalau sampai Mas Bagas kepikiran Sarah lagi. Lihatlah sekarang ini, ayah kamu sedang sakit. Jika kepikiran dengan Sarah, takutnya penyakitnya semakin parah,” ungkap Lena panjang lebar, mencoba menjelaskan alasan di balik keputusannya. Selena m
“Kamu kenapa?” Zavar menyorot ekspresi gugup Sarah dengan tajam, tatapan matanya merayapi setiap rona kekhawatiran yang tergambar di wajahnya.Mendengar suara tegas Zavar, gelombang kejut melanda Sarah, membuatnya berjingkrak kaget seolah tersentak dari dunia mimpinya yang damai. Dadanya naik turun dengan cepat, mencerminkan ketegangan yang meliputi dirinya.“Nggak apa-apa kok,” jawab Sarah dengan cobaan tersenyum, tetapi getaran kecil pada suaranya mengisyaratkan ketidakyakinan yang mendalam. Dengan gemetar, ia berusaha menyembunyikan kecemasannya.“Oh ya, ka-kamu akan tidur di kamar ini?” tanya Sarah, suaranya terputus-putus oleh kegugupan yang semakin terasa. Tatapannya berdesir ragu saat menatap Zavar, mencari jawaban yang mungkin tersirat di balik kata-katanya.Zavar, dengan sikap tenangnya, menjawab dengan anggukan kepala yang mantap. “Iya, kan aku suamimu, sudah lama kita pisah ranjang, saatnya kita tidur bersama,” ucapnya dengan kelembutan, tetapi kepastian dalam suaranya meng
Suara berdering yang tiba-tiba menggema di sekitar ruangan membuat Zavar tersentak dari lamunannya yang mendalam. Tatapan matanya yang semula terfokus pada Sarah seketika beralih ke arah ponsel yang duduk di seberangnya. “Ponsel kamu berdering tuh!” ujar Sarah dengan suara lantang, memberi tahu untuk mengalihkan perhatian Zavar yang sejak tadi terus menatapnya dalam jarak yang begitu dekat sehingga membuat Sarah berdebar kencang.Dengan refleks cepat, Zavar menoleh ke arah meja nakas tempat ponselnya diletakkan. Langkah-langkahnya tergesa-gesa saat ia bangkit. Matanya menatap layar ponsel yang terangkat, mencari tahu siapa yang sedang menghubunginya.“Siapa sih yang berani menelponku? Mengganggu saja,” gumam Zavar dalam hati, kesal akan gangguan yang merusak fokusnya. Namun, ia tetap meraih ponselnya dengan gerakan cepat, mengabaikan sedikit rasa ketidaknyamanannya.Pandangan Zavar terpaku pada layar ponsel yang menampilkan nama yang tidak terlalu diharapkannya. “Fando? Ngapain dia n
Tubuh Sarah, yang sebelumnya terbungkus dalam ketegangan, mendadak merasakan getaran halus yang mengusik ketenangan. Dalam keheningan malam yang memenuhi kamar, sentuhan tak terduga merayap perlahan, membangunkannya dari alam mimpi yang melingkari pikirannya. Upaya kerasnya untuk memeluk tidur segera diganggu oleh sebuah kejutan. Sebuah tangan, lembut dan hangat, melingkar dengan penuh kelembutan di sekitar pinggangnya. Sarah, yang terkejut, memekik pelan dan matanya terbuka dengan cepat, mencari sumber sentuhan itu dalam kegelapan. “Ka-kamu belum tidur?” tanya Sarah, suara gemetar mencoba menyelinap keluar dari kejutan yang masih menguasai dirinya. “Hm, belum,” jawab Zavar dengan nada tenang yang tak menggoyahkan, “Aku menunggumu.” Ungkapan itu terlontar dari bibirnya, memancarkan kehangatan yang seolah-olah membawa kabar baik dalam kegelapan malam. Dada Sarah mulai berdetak lebih cepat, memenuhi ruangan dengan irama yang tak teratur. Glek! Suaranya tenggelam dalam keheningan mal
“Iya, Mah. Masih cuti,” jawab Zavar dengan nada lembut. Zavar mengangkat cangkir berisi minuman buatan mamanya, aroma herbal yang kuat menyeruak dari dalamnya. Rasa pahit menyengat lidahnya, membuatnya sedikit mengernyitkan dahi. Zavar merasa seolah-olah ada rasa yang tidak biasa, sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.“Hm, baguslah,” jawab mamanya dengan nada gembira, senyumnya lebar dan mata berbinar-binar. Di seberang meja, Sarah hanya diam, matanya terus memperhatikan setiap ekspresi di wajah mereka. Sarah tampak penasaran dengan rasa minuman yang dibawakan oleh mertuanya.“Ini apa sih, Mah? Kok pait begini?” tanya Zavar, matanya memicing saat meneguk air tersebut. Zavar mencoba menemukan alasan di balik rasa aneh di lidahnya.“Ramuan tradisional. Baik untuk kesehatan,” jawab Riska dengan nada tenang. Dia tersenyum lembut pada mereka berdua, seolah-olah dia tahu sesuatu yang mereka tidak tahu. “Sarah, coba juga, baik untuk tubuhmu.”“I-iya, mah,” jawab Sarah dengan geme