Tubuh Sarah, yang sebelumnya terbungkus dalam ketegangan, mendadak merasakan getaran halus yang mengusik ketenangan. Dalam keheningan malam yang memenuhi kamar, sentuhan tak terduga merayap perlahan, membangunkannya dari alam mimpi yang melingkari pikirannya. Upaya kerasnya untuk memeluk tidur segera diganggu oleh sebuah kejutan. Sebuah tangan, lembut dan hangat, melingkar dengan penuh kelembutan di sekitar pinggangnya. Sarah, yang terkejut, memekik pelan dan matanya terbuka dengan cepat, mencari sumber sentuhan itu dalam kegelapan. “Ka-kamu belum tidur?” tanya Sarah, suara gemetar mencoba menyelinap keluar dari kejutan yang masih menguasai dirinya. “Hm, belum,” jawab Zavar dengan nada tenang yang tak menggoyahkan, “Aku menunggumu.” Ungkapan itu terlontar dari bibirnya, memancarkan kehangatan yang seolah-olah membawa kabar baik dalam kegelapan malam. Dada Sarah mulai berdetak lebih cepat, memenuhi ruangan dengan irama yang tak teratur. Glek! Suaranya tenggelam dalam keheningan mal
“Iya, Mah. Masih cuti,” jawab Zavar dengan nada lembut. Zavar mengangkat cangkir berisi minuman buatan mamanya, aroma herbal yang kuat menyeruak dari dalamnya. Rasa pahit menyengat lidahnya, membuatnya sedikit mengernyitkan dahi. Zavar merasa seolah-olah ada rasa yang tidak biasa, sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.“Hm, baguslah,” jawab mamanya dengan nada gembira, senyumnya lebar dan mata berbinar-binar. Di seberang meja, Sarah hanya diam, matanya terus memperhatikan setiap ekspresi di wajah mereka. Sarah tampak penasaran dengan rasa minuman yang dibawakan oleh mertuanya.“Ini apa sih, Mah? Kok pait begini?” tanya Zavar, matanya memicing saat meneguk air tersebut. Zavar mencoba menemukan alasan di balik rasa aneh di lidahnya.“Ramuan tradisional. Baik untuk kesehatan,” jawab Riska dengan nada tenang. Dia tersenyum lembut pada mereka berdua, seolah-olah dia tahu sesuatu yang mereka tidak tahu. “Sarah, coba juga, baik untuk tubuhmu.”“I-iya, mah,” jawab Sarah dengan geme
Sarah mendengus ringan saat mendengar rengekan suaminya. Matanya melotot, mencerminkan keheranan yang terpampang jelas di wajahnya. "Ingin lagi?" desisnya, suaranya terdengar samar.Zavar mengangguk pelan. "Hm, ya," jawabnya dengan tenang, wajahnya mencoba menahan senyum. "Tadi kita melakukannya secara tak sadar karena pengaruh obat gila dari mama. Sekarang aku memintanya secara sadar," jelas Zavar dengan penuh pengertian.Sarah meraba-raba kata-kata suaminya. Ekspresi heran berubah menjadi sedikit lega, tapi masih terbaca keraguan di wajahnya. Dia mengangguk perlahan, mencoba memahami alasan di balik permintaan tersebut. "Jadi, kamu memang benar-benar ingin ini sekarang?" tanyanya dengan nada ragu.Zavar mengangguk mantap. "Iya, benar. Tapi kali ini, ini adalah keinginanku yang sadar," ucapnya mantap, mencoba meyakinkan Sarah tentang kesungguhannya.Mereka berdua terdiam sejenak, suasana terasa tegang. Sarah memandang Zavar dengan penuh pertimbangan, mencoba memilah pikiran dan peras
Dengan langkah gesit dan hati yang berdebar, Lena membuka pintu kamar dengan cepat, merasa penasaran dengan siapa yang tadi mungkin saja mendengarkan pembicaraannya. Langsung ia memeriksa setiap sudut ruangan, tetapi tak ada tanda-tanda keberadaan orang lain. Namun, di lantai terlihat vas bunga terjatuh, memberikan bukti bahwa ada yang benar-benar mendengarkan. Tapi siapa?“Selena, mungkin?” bisiknya, bibirnya bergerak tanpa suara ketika ia menutup pintu kamarnya perlahan, berusaha memendam perasaan keheranan. Bergegas Lena melangkah ke arah kamar mandi, merasa lengket dan ingin segera membersihkan diri, tanpa mempedulikan ekspresi kesal yang terpancar dari wajah Bagas, yang tampaknya kesal padanya.“Kesalahan besar kalau itu Selena! Menguping-nguping urusan orang tua,” gumam Lena sambil menyalakan keran air dingin untuk mencuci tubuhnya yang terasa lengket, mencoba untuk mengalihkan perhatian dari ekspresi kesal Bagas yang semakin menunjukkan kecurigaannya.“Sial, Bagas semakin curig
Selena menghembuskan napas panjang, kecewa dengan reaksi mamanya yang dingin. “Mah!” teriaknya dengan suara penuh keputusasaan. Lena menoleh dengan tatapan tegas, “Apa lagi sekarang?” Dengan suara penuh kekhawatiran, Selena mencoba menjelaskan kembali, “Kenapa Mama menolak membantu Alex? Dia benar-benar butuh bantuan, Mah. Perusahaannya sedang mengalami kesulitan keuangan dan dia membutuhkan suntikan dana.” Lena menggeleng, “Itu urusan dia sendiri. Kenapa aku harus repot-repot terlibat dalam masalahnya?” “Ma, Alex itu bukan sembarang orang. Dia calon suami Selena, calon menantu Mama juga. Seharusnya Mama bangga memiliki calon menantu sekelas CEO seperti Alex. Dia satu-satunya pewaris bisnis keluarga, Mah! Jika Mama membantu dia, kita semua akan merasakan manfaatnya di masa depan setelah kami menikah,” Selena berusaha meyakinkan mamanya. Lena masih mempertahankan pendiriannya, “Tapi apakah Alex benar-benar mampu menjalankan bisnis ayahnya? Jika dia terus seperti ini, perusahaan yan
Zavar mengeluarkan perintah dengan sikap tegas, “Buka dong,” suaranya terdengar lugas saat ia memberi instruksi kepada Sarah yang memperlihatkan senyum manis sejak tadi. Membuat suasana menjadi tegang namun hangat.Dengan ekspresi yang penuh keceriaan, Sarah menatap Zavar, ingin memastikan arah yang benar, “Sekarang?” tanyanya sambil berusaha memperjelas petunjuk yang diberikan.“Iya,” sahut Zavar dengan tegas, tidak menyisakan keraguan sedikit pun, disertai dengan anggukan kepala yang meyakinkan.Tanpa ragu, Sarah pun membuka kotak tersebut sesuai dengan instruksi yang telah diberikan. Saat tutup kotak terbuka, alisnya sedikit terangkat, menandakan keheranan melihat isi di dalamnya yang tidak sesuai dengan ekspektasinya.“Kunci? Kunci apa ini?” tanya Sarah dengan rasa penasaran yang memenuhi setiap kata yang terucap dari bibirnya.Zavar menoleh ke arah sebuah bangunan butik tak jauh dari tempat mobilnya diparkirkan, “Itu kunci untuk bangunan itu, hadiah kecilku untuk istriku tercinta
“Sarah!” seru seseorang, memaksa Sarah menghentikan langkahnya yang tak lain adalah dari Selena. Sarah membalas dengan tatapan heran saat melihat sosok yang berdiri tidak jauh darinya. “Apa kabar, Sarah?” tanya Selena pada saudara tirinya dengan keingintahuan yang jelas terpancar dari mata wanita itu. Sikapnya yang acuk tak acuk pada Sarah seketika berubah menjadi manis. “Waw, ada apa ini?” batin Sarah merasa janggal melihat sikap Selena yang beramah tama padanya. Sampai-sampai menanyakan kabar segala. “Apa karena rekaman waktu itu?” lanjutnya menerka-nerka. Sarah menjawab dengan tenang, “Aku baik-baik saja.” “Oh, baguslah,” ucap Selena dengan senyum yang terdengar canggung. “Tentu saja kamu akan baik-baik saja setelah menikah dengan Zavar. Aku nggak nyangka kalau suami kamu ini ternyata bukan orang sembarangan,” lanjut Selena, mencoba menyembunyikan ketidaknyamanannya. Sarah menangkap ketegangan di udara. “Kenapa? Apa tak sesuai dengan yang kamu harapkan, Selena?” balas Sarah de
“Selena! Kamu bikin kaget mama saja,” ucap Lena pada putrinya dengan nada terkejut sembari menunduk memunguti kembali obat-obatan yang terjatuh dari tangannya. Untung isinya tak sampai berhamburan sebab botolnya plastik. Lena merasa lega, ia tak ingin putrinya tahu apa yang sebenarnya ia lakukan.“Mama aneh, kenapa sampai kaget segala. Padahal Selena cuma mau duduk di sini. Mama ngapain emangnya?” tanya Selena pada mamanya dengan rasa penasaran sembari meletakkan bokongnya di ranjang. Ia melihat mamanya dengan tatapan curiga, ada sesuatu yang aneh dengan sikapnya.“Nggak ngapa-ngapain, mama cuma kaget tiba-tiba ada kamu. Kayak hantu, datang tiba-tiba,” kilah Lena, sengaja tak memberi tahu yang sebenarnya pada putrinya.Lena berusaha menutupi rasa bersalahnya dengan tersenyum tipis. Ia ingat betapa liciknya dirinya saat menjebak Sarah dan Zavar pada waktu itu, semua berjalan lancar tanpa ada yang mengetahui selain dirinya sendiri serta orang suruhannya.Lantas, tak mungkin ia memberita