Mata ini sungguh berat. Beberapa malam susah terpejam hingga terpaksa aku memintanya pulang sekedar dapat menghidu khas keringatnya untuk mengantarku terlelap. Lebay. Itu benar tapi sungguh bukan kepura-puraan.
Rentang waktu yang teramat panjang kulalui penuh perjuangan dan kelelahan. Menyerah untuk terus memasang tameng ‘tangguh’ sudah terjadi. Di sinilah akhirnya. Dalam pangkuan suami belia di usia tidak muda sebagai istri kedua Mas Dio. Aku baru saja merasa melayang setengah lelap ketika suara kecil memanggil.
“Bunda.”
“Sssttt.” Tepukan lembut kembali melenakanku. Lelap.
Samar mulai kudengar lagi sebuah obrolan. Tak terlalu jelas kukumpulkan keeping-keping kesadaran hingga kembali utuh. Mata tak lagi penat dan kepalaku di atas bantal. Reflek tangan ini meraba-raba.
“Udah bangun?”
Senyum terbingkai wajah tampan membuat mata mengerjab. Kuraih dan menikmatinya sekilas.
Cup!
“Ih genit banget, Bunda!” Netra ini membesar kaget juga syok karena malu.
“Sayang! Kapan datang? Sama siapa?” berondongku sambil bergegas bangun dan memeluknya erat. Kangen.
“Pas banget, Bunda baru tidur. Dua jam yang lalu.”
“Dua jam? Perasaan baru lep.” Kami tertawa bersama hingga seseorang yang merasa terabaikan berdehem menghentikan drama kami.
Kami melangkah bersama menghampirinya yang duduk berdua di kursi kayu mengelilingi meja oval dengan beberapa camilan dan minuman di atasnya. Celoteh Syifa terus saja terdengar.
“Ayah gak kasih izin mau Syifa bangunin Bunda.”
“Bunda suka pusing kalau baru lep bangun lagi, Sayang … lagian beberapa hari kurang istirahat. Nanti sakit gimana?” Aku tersenyum melihat bibir putri kecilku mengerucut.
Melirik interaksi suami dan Syifa membuatku kurang nyaman padanya. Mas Marwan. Papa Syifa, mantan suamiku yang tengah menatap dengan ekspresi sulit diartikan. Dian, sang istri duduk canggung di sampingnya tanpa suara.
“Maaf, Mas, Dik.” Aku meyalami Dian dan menangkupkan tangan ke dada pada Mas Marwan.
“Ayo silakan diteruskan.” Aku berbasa-basi.
“Mas, udah pesan makanan. Kita makan siang bersama aja langsung.” Mas Dio merapihkan meja agar hidangan yang dibawa pramusaji bisa tertampung di hadapan kami.
“Terbaik.” Aku mengacungkan jempol padanya sambil pamer senyum.
Meski sedikit canggung kami makan siang dengan lahab. Menu ayam asap penyet andalan resto yang kudirikan memang selera kami bersama. Diselingi tingkah posesif suamiku yang mengingatkan banyak hal tak urung membuat wajah mas Marwan masam. Terlihat berlebihan di matanya yang dulu tak pernah peduli hal kecil tentangku saat Mas Dio mengelap keringat di dahi, menuangkan air minum atau menjejalkan wortel rebus kemulutku.
Resto tersebut ada di atas termpat pertemuan ini. Karena lantai dasar memang sengaja kupakai untuk tinggal dan produksi produk yang kujual. Dibantu Mas Dio dan beberapa tenaga usaha yang kurintis sejak prahara mulai menerpa keluargaku bersama Mas Marwan ini berkembang cukup pesat.
Keasyikan kami terusik oleh gaduh dari luar. “Ayah! Katanya ….” Kata-katanya putus dan berganti cengiran rasa bersalah.
“Eh, ada Papa.”
“Salamnya gak kedengeran, Kak?’ tanyaku padanya.
Pemuda tanggung yang sedang menghabiskan waktu mendalami Bahasa di Kampung Inggris itu, Royyan anak pertamaku bersama Mas Marwan. Syifa sendiri sudah menghambur memeluk kakak kesayangannya.
“Kakak! Syifa kangen.”
“Sudah salam, Bunda sayang …tadi lewat samping ada, Embah,” katanya sambil menyambut adiknya dan memutarnya dalam dekapan,
“Tambah endut.” Semua tergelak. Putriku kembali manyun sambil melepaskan diri. Kakaknya tertawa renyah sambal menghampiri papa dan juga ibu tirinya. Salim lalu mencium tangan mereka takjim.
“Kakak, mah!” kata Syifa sewot.
Bukan duduk bersama, Royyan justru berlalu ke ruang dalam. Anak bujangku selalu begitu enggan bergabung saat ada ibu dan papanya sepaket dengan pasangan kami. Mungkin itu terasa janggal sebagai keluarga baginya.
Sejujurnya ada rasa kasihan di hatiku pada mantan suami. Setelah resmi berpisah anak-anak tetap dekat denganku meski hak asuh ada padanya. Kami sendiri tidak saling membatasi untuk berintaraksi dengan anak.
Ketika kuputuskan menerima Mas Dio, suami yang sepuluh tahun lebih muda dariku justru mampu mengambil hati mereka dengan sempurna. Kesamaan hobi dan kemampuan menyayangi yang melimpah membuat Mas Dio memikat seluruh keluarga. Terutama hatiku yang membuncah bahagia.
Aku masih saja menekuri piring ketika Mas Dio beranjak mengikuti Royyan untuk suatu urusan. Sepertinya untuk itu bujangku pulang dari tempat kost dekat kampusnya sana, bukan karena papa dan adiknya datang jauh-jauh dari kota yang berbeda.
Dian sendiri memilih menyibukkan diri melihat-lihat koleksi bonsai yang kusebar di seputar halaman bersama Syifa setelah pamit padaku untuk menyudahi makannya.
Serasa memberi kami waktu dan Mas Marwan tak menyiakan kesempatan untuk menyerangku dengan kata pedasnya.
“Sepertinya brondong itu perhatian banget sama kamu, Bu?”
Bahasanya persis saat kami masih bersama. Aku tak keberatan asal masih saling menjaga batas. Bagaimanapun kami punya banyak hati polos untuk dijaga. Pengikat kami yang tidak bisa diputus begitu saja.Selamanya.
Untuk itulah kami saling menyisihkan ego dan tetap menjaga silaturahim.Menjadikan anak sebagai prioritas. Kebahagiaan mereka yang utama.
“Lah, dia suamiku sekarang. Masa iya dirimu yang perhatian sama aku?”
“Halah! Karena masih baru aja,” katanya sinis.
“Apa saat kita baru menikah, Mas perhatian sama aku? Bahkan saat aku kepayahan tengah mengandung anakmu?” Aku mulai emosi.
Mengingat perlakuannya padaku saat masih berstatus istri, tanpa sadar air mataku menetes.
“Yang!” Mas Dio memergokiku tengah mengusap mata.
Entah sejak kapan dia memasuki ruangan ini. Mungkinkah perdebatan kami didengarnya?
“Pedes.”
“Sudah kubilang cukup! Jangan suka masukan segala yang pedes klo Cuma bikin kamu nangis. Baik ke mulut maupun ke hati,” katanya sarkas sambil menyeretku ke arah wastafel. Mencuci tanganku dan menariknya lebih cepat membawa kekamar meninggalkan Mas Marwan yang terpaku.
Seharusnya bukan begini. Kami harus saling bertukar informasi tentang ketiga anak kami. Membahas banyak hal tentang perkembangan mereka. Sayangnya Mas Marwan merusak moment itu dengan kecemburuan buta.
Selalu begitu. Entahlah seperti menyesal melepasku dan tidak senang aku nampak bahagia dengan yang lain. Meski kemudian meminta maaf dan urusan kami soal anak terselesaikan melalui sambungan telephon. Tatap muka membuat kami tak bisa mengontrol emosi.
***
Dio. Bersamanya aku melupakan segala pahitnya hidup. Meski takdir mengirimnya menjadikanku pada posisi tak pernah terbayangkan. Berbagi suami. Namun aku bahagia. Tak ada sekat usia saat dia mencumbuku seperti saat ini. Tak peduli kata orang di luar sana, pun seseorang di luar kamar saat ini.Banyak drama sebelum kuputuskan menerimanya. Semula, jelas kuragukan niat baik itu. Janda tak muda beranak tiga bersama brondong tampan? Apa kata dunia? Namun, siapa yang tahu rahasia jodoh, rezeki dan mati? Akupun tak bisa menolak takdir indah ini.Syarat sulit yang kuajukan agar menikahi seorang gadis yang mau melakukan perjanjian pranikah, berisi siap dipoligami, tak membuatnya surut langkah. Tak menyangka dia akan dengan cepat mendapatkannya. Kami menikah setelah sebulan pernikahan pertamanya.Aku merasa istimewa karena perlakuannya. Jiwaku bergejolak liar di dunia sempit kamar kami. Dia selalu tahu ca
Dulu Mas Marwan seorang yang gila kerja. Tidak bisa menghargai istri apa lagi berterima kasih saat dibantu banting tulang mencukupi kebutuhan keluarga. Pantang minta maaf dan mengaku salah. Terlebih kikir hingga akhirnya bahtera kandas meski telah dibangun selama lebih dari 15 tahun. Tiga anak tak membuatnya mau menurunkan ego dan menyayangi seorang istri yang mendampinginya sejak susah.Aku mundur setelah mencoba bersabar, tapi justru mendapatkan tekanan berat saat diri berada di titik sangat lemah. Mengandung anaknya.“Tak perlu periksa kandungan segala buang duit!”“Mas! Ini anak ke tiga lho. Apa masih belum tahu cara merawat ibu hamil?” Sakit rasanya mendengar kalimat itu. Airmata sudah banjir di pipi.“Yang penting, kan tak ada keluhan,” katanya ngeyel.“Jadi tak mau mengurusku? Kembalikan aku ke orang tua saat bayi ini sudah lahir,&rd
"Pakai uangmu dulu ya,” kataku untuk menghindar dari memberikan uang nafkah.Bukan tanpa alasan. Sarah istriku itu punya tabungan banyak. Apapun di tangannya bisa jadi uang. Masakannya, barang yang dipakainya, kosmetiknya, semua dijadikan iklan. Bahkan saat dia main ke tetangga tangannya tak pernah kosong. Ada saja bawaan karena Sarah orang yang ringan tangannya untuk membantu siapa saja jika mampu.“Tapi, Mas ….” Aku sungguh sebal lihat mimik wajah yang selalu terlihat tak berdaya. Merasa terzolimi padahal makanan tak pernah kurang di meja makan. Ya meskipun bukan beli dari uangku kan sama saja sekeluarga tak pernah kekurangan. Itu saja intinya.Rumah kami cukup besar. Dua lantai dengan banyak kamar. Tak sedikit uang terkuras untuk membangunnya dulu. Seharusnya Sarah banyak bersyukur. Di lingkungan kami banyak orang masih mengontrak.“Kamu itu harusnya bersyukur,
“Istriku sangat boros. Uang berapa pun habis di tangannya. Kalau ada urusan dengan suaminya ini maka itu dipastikan hanya soal uang dan uang.” Begitu cerita Pak Marwan rekan kerjaku.Keprihatinanku bertambah tambah saat melihatnya berbusana lusuh. Pendapatannya bukan sedikit. Dirinya termasuk senior di kantor dengan bonus hampir sejumlah gaji bulananku. Jarang jajan, lebih senang makan siang di kaki lima ketimbang kantin kantor yang katanya lebih mahal. Padahal seharusnya Pak Marwan bisa makan setiap hari di resto favorite kalau memang ada niat.Rupanya masalah ada pada istrinya yang katanya boros. Mungkin tidak bisa mengatur keuangan. Menurut sang suami, Bu Enjang juga berpendidikan rendah. Aku mengenalnya saat ada family day di kantor.Penampilan Bu Enjang waktu itu tidak terlalu glamour tapi elegant menurutku. Busana muslim dengan jilbab panjang hingga ke bawah lutut yang lumaya
Bau tanah basah sisa hujan semalam kuhidu kuat demi mengisi penuh paruku dengan sebanyak mungkin hawa segar pagi ini. Aku harus terus berusaha waras menghadapi segala rasa yang berperang dalam batin. Karamnya mahligaiku bersama Mas Marwan meninggalkan luka dalam bagi buah hati kami terutama Syifa. Bagaimanapun tak akan pernah kukotori hati putihnya dengan rasaku pada sang ayah. Demi mereka harus kukesampingkan sejauh mungkin ego yang bercokol di hati. Membenci mantan suamiku.“Mas kita harus kerja sama untuk menjaga hati Syifa. Biarkan dia ikut dulu bersamaku biarpun hak asuh ada padamu, “ pintaku sambil menangkup tangan memohon.“Sampai kapan.”“Enjang tidak tahu. Mungkin baik kalau Syifa mendapatkan apa yang dia ingin saja,” kataku ragu.Mendengar ucapanku percikan amarah berpendar dari mata yang dulu sangat kusukai karena begitu teduh. Sayang sekarang keteduhan
“Begitu aja cantik apa lagi kalau ….” Dia menghentikan bualannya ketika kulirik tajam. Saat ini kami sedang berada di sebuah acara pelatihan UMKM bersama mereka yang muda dan antusias mengikuti jalannya acara. Apa lagi pembawa acaranya lucu dengan banyolan segar. “Sukses cari materi, akan mudah sukses juga cari pasangan ya, tidak …!!?” Gemuruh tepuk tangan membahana. Pemateri kali ini adalah seorang pemuda tampan lagi mapan bernama Dio. Pengusaha yang Berjaya di bidang kuliner di usia cenderung muda. Bersahajanya di podium berbanding terbalik saat dirinya berada di luar. Tengilnya luar biasa. Kami bertemu saat menawarkan produk minuman herbal yang coba kuproduksi belakangan ini. Karena dialah aku mengenal komunitas pelaku UMKM. “Datang ke gedung serba guna. Aku juga di sana. Nanti kukirimkan jadwal harinya,” katanya wa
Pagi masih basah sisa hujan semalam saat sebuah motor masuk pagar halaman.Aku yang tengah memberi makan ayam di pekarangan samping jadi bergegas takut ada sesuatu yang penting."Ada apa, Nak?" Tak sabar sampai duduk kucecar tanya.Sekarang bukan hari libur tapi putraku tiba-tiba datang ke rumah dengan penampilan dan gaya yang berbeda dari biasanya. Sungguh aku sangat khawatir dia terpengaruh pergaulan yang salah."Assalamualaikum, Bunda.""Waalaikumusalam warahmatullah."Royyan nyengir menyadari tatapan intensku pada motor vixion yang dikendarainya. Seakan tahu tanda tanya besar di kepala ibunya. Aku tak pernah membelikan kendaraan apa lagi yang model begitu. Kendaraan khas anak muda. Mungkinkah Mas Marwan yang membelikannya?"Nanti kujelasin, Bun ... masuk yuk. Pasti udah ada sarapan enak," katanya sambil merangkulku masuk ke dalam.
Aku seperti tak mengenal anak sendiri. Serasa lingluing sekejab aku terduduk di kursi kayu dekat ibu berada. Wajah tua itu tampak sama terkejutnya denganku. Sedikit banyak beliau tahu permasalahanku dengan lelaki bernama Dio yang disebutkan cucunya. "Tolong jangan diputus dulu ya, Bund ... Kami sudah kenal cukup lama. Om Dio Maha Santri di Pondok Royyan dulu. Jadi in sya Allah kenal baik dengan beliau. Motor itu hadiah karena Royyan mencapai target dari ustadz hanya Om Dio donaturnya." Aku hanya melongo mendengar penjelasan putraku. Kuteliti wajah itu untuk mencari ketidak jujurannya tapi nihil. Kemarahan entah lenyap kemana, sekarang. Perlahan kugeser kursi mendekat padanya. Aku mencoba bicara dengan suara yang rendah. "Tapi, Nak ... Om Dio itu terlalu muda buat bunda. Tak jauh lho selisih usia sama kamu," kataku sambil mengelus bahunya lembut. Cara ini biasanya jarang gagal u