Dulu Mas Marwan seorang yang gila kerja. Tidak bisa menghargai istri apa lagi berterima kasih saat dibantu banting tulang mencukupi kebutuhan keluarga. Pantang minta maaf dan mengaku salah. Terlebih kikir hingga akhirnya bahtera kandas meski telah dibangun selama lebih dari 15 tahun. Tiga anak tak membuatnya mau menurunkan ego dan menyayangi seorang istri yang mendampinginya sejak susah.
Aku mundur setelah mencoba bersabar, tapi justru mendapatkan tekanan berat saat diri berada di titik sangat lemah. Mengandung anaknya.
“Tak perlu periksa kandungan segala buang duit!”
“Mas! Ini anak ke tiga lho. Apa masih belum tahu cara merawat ibu hamil?” Sakit rasanya mendengar kalimat itu. Airmata sudah banjir di pipi.
“Yang penting, kan tak ada keluhan,” katanya ngeyel.
“Jadi tak mau mengurusku? Kembalikan aku ke orang tua saat bayi ini sudah lahir,” kataku sambil menyusut air mata. Rasanya tak ada gunanya bicara dengan suami seperti itu. Hanya melukai hati.
“Ya kalau sudah ada bayi masa tidak diurus?” Ya Allah … aku mengurut dada sesak.
Karena sifat kikirnya, aku menjadi kreatif. Apapun kulakukan asal bisa mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhan. Tanpa sadar rezeki tak putus hingga tabungan pun kumiliki. Mas Marwan tahu karena sengaja kuberi tahu agar sadar istrinya menafkahi diri dan anaknya. Namun bukannya sadar malah keenakan lalu mengandalkan.
Mas Marwan juga picik dalam berpikir. Ketika aku mulai berani melawan sikap menindasnya, dia menyuruhku hamil lagi. Beralasan ingin anak perempuan. Kehamilanku ternyata tak sekuat dulu saat mengandung kedua kakaknya. Dalam keadaan lemah dia pun tetap tega menekanku. Karena itulah rasa sabarku seperti habis tak tersisa.
Kalau dulu aku selalu bisa menghasilkan rupiah, selama kehamilan ketiga aku justru menguras tabungan. Ditambah ayah bayi ini tak mau keluar uang control kehamilan ke Dr, dompetku makin terpuruk. Besar syukurku masih bisa lulus hingga melahirkan meski harus lewat jalan operasi.
“Alhamdulillah … akhirnya dapat yang cantik.” Binar di mata Mas Marwan tak bisa disembunyikan. Dia tampak sungguh bahagia. Mata teduh itu muncul setelah aku lupa kapan terakhir menemukannya. Sepertinya saat dirinya melamarku untuk jadi istrinya belasan tahun lalu. Aku terharu.
“Mau kubelikan sesuatu?
Kepingin makan apa?” tanya Mas Marwan saat aku sudah pindah ke kamar rawatan. Sesuatu yang langka kudapatkan. Hanya saja aku tidak ingin apa pun untuk saat ini. Aku hanya ingin tidur.
Drama kekikiran Mas Marwan kembali muncul saat berada di depan loket pembayaran rumah sakit. Komplin tentang jumlah tagihan yang berbeda dengan pasien lain dengan tindakan sama membuatku sangat malu dan sakit hati. Sepanjang jalan menuju rumah aku menangis sambil mendekap erat bayiku.
“Memangnya kenapa?
Aku kan Cuma tanya takut salah total.
Ternyata kerena beda keluhan beda obat.
Obatmu lebih mahal dari yang lain itu,” celotehnya tanpa rasa bersalah.
Pingin rasanya kutimpuk kepalanya kalau tak ingat dia tengah menyetir. Bukan minta maaf masih saja bicara nyelekit. Sampai rumah aku masih diam. Bicaranya tak sekalipun kutanggapi. Mungkin rasa bersalah atau saking senangnya kuberi anak perempuan membuatnya sangat baik. Pekerjaan rumah, anak, juga hidangan tersaji oleh tangannya. Aku bersyukur untuk itu, hanya saja luka yang dia berikan belum sembuh di hatiku.
“Lihat, Bu anakku cantik banget,” kata Mas Marwan memamerkan Syifa, putri kami yang habis dimandikan. Aku tertegun menatapnya. Anak perempuan ini, benarkah telah merubahnya begitu banyak?
“Kenapa?” Aku berpaling saat dia bertanya bingung oleh sikap diamku. Aku memang lebih banyak diam untuk menimbang. Apakah aku benar akan pergi? Sementara Syifa begitu nyaman bersama ayahnya meski masih merah. Ikatan anak perempuan dengan cinta pertamanya tumbuh melalui ikatan batin sejak dini. Aku sedih memikirkannya.
“Bu … ada apa? Kau tak bahagia punya Syifa?”
“Bapak dan ibuku akan kesini besok, Mas.”
“Ya bagus, kan? Pasti tak sabar mau lihat putri kita. Lagian cutiku sudah mau habis. Aku akan tenang ninggalin kalian buat mulai kerja Senin nanti.”
“Bapak akan menjemputku, Mas …,”kataku ragu.
Mas Marwan nenatapku lama. Sinyal waspada tampak di kepalanya. Seperti saat aku mulai mendebatnya. Hanya untuk kali ini berbeda. Kecemasan mendominasi.
“Kenapa?”
Emosiku beranjak naik hingga menantang tatapannya dan mendesis, “Kenapa?” Aku mengulang pertanyaannya.
“Saat mulai hamil aku perlu dana banyak untuk mengurus diri.
Karena Mas tidak mau memberi anggaran ongkos dokter, vitamin dan lainnya uang tabunganku habis.
Terpaksa aku minta pada mereka.” Menekan emosi aku merendahkan suara saat bercerita tapi menekan setiap kata agar dia tahu aku marah.
“Kenapa tak bilang?”
“Bilang apa? Uang dokter jelas, Mas gak mau kan? Ngapain ngemis klo tahu tak bakal ada hasil?”
Mas Marwan luruh terduduk, lalu bergumam, ”Bapak ibu tahu soal kita?”
“Soal apa?”
“Itu, anu ….” Dia bingung dengan perkataannya sendiri.
“Bapak tanya saat aku minta kiriman uang sementara suamiku bukan seorang yang miskin. Terpaksa kuceritakan yang kualami. Bapak ibuku marah.”
Kupasang mimik seolah takut, tapi tidak. Aku hanya ingin tahu ekspresinya. Ternyata bukan puas yang kudapat, tapi kasihan. Ayah anakku kini berwajah sangat keruh. Matanya berkaca menatap bayi mungil dalam dekapannya.
Ayahku seorang yang tegas dan disiplin tapi bijak. Mas Marwan selalu segan sejak awal menjadi menantunya. Aku tahu ini tak akan mudah. Banyak hati akan tersakiti. Namun … apakah boleh aku juga mencari bahagia? Atau tetap bertahan demi anak? Bahagiakah mereka jika tahu ibunya tertekan? Bagaimana aku mengurus mereka dengan hati patah ? Ya Allah beri aku jalan terbaik.
Hari kemudian hubunganku dan Mas Marwan jadi dingin. Tak ada tegur sapa apa lagi canda bahkan senyum Syifa tak sanggup mencairkan suasana. Hingga malam itu, ….
‘Entahlah, Dian … Mas juga bingung.’
Mas Marwan tengah menelphon. Dian? Siapa dia kok telphon larut malam?
‘Iya. Sampai ketemu.’
Kepalaku penuh prasangka. Jika benar dugaanku maka semua tak perlu dipikirkan lagi. Dua hari lagi bapak, ibu datang menjemput. Aku akan bersiap untuk berbagai kemungkinan. Mungkin ini adalah jawaban setiap doa dan istiqarahku selama ini. Allah menyingkap sebuah rahasia sebagai jawaban. Bismillah ya Allah … ampuni hamba.
Tak ingin kubahas apapun di depan lelaki yang menghalalkanku dengan sederhana dulu. Aku ikhlas dan sedikitpun tak ingin kusesali. Dua lelaki hebat dan seorang bidadari cantik darinya untukku sangat kusyukuri, tapi kedepan jika aku tak sanggup lagi, mereka yang kusayang tak akan kujadikan alasan untuk bertahan jika tidak bahagia.
Kebahagiaan ini bukan tentang kepuasan batin lelaki dan perempuan dalam ikatan pernikahan tapi ketenangan batin menjalani hiduplah yang kucari. Pernikahan sebagai ibadah, hingga tercipta sakinah, mawaddah, waramah.
"Pakai uangmu dulu ya,” kataku untuk menghindar dari memberikan uang nafkah.Bukan tanpa alasan. Sarah istriku itu punya tabungan banyak. Apapun di tangannya bisa jadi uang. Masakannya, barang yang dipakainya, kosmetiknya, semua dijadikan iklan. Bahkan saat dia main ke tetangga tangannya tak pernah kosong. Ada saja bawaan karena Sarah orang yang ringan tangannya untuk membantu siapa saja jika mampu.“Tapi, Mas ….” Aku sungguh sebal lihat mimik wajah yang selalu terlihat tak berdaya. Merasa terzolimi padahal makanan tak pernah kurang di meja makan. Ya meskipun bukan beli dari uangku kan sama saja sekeluarga tak pernah kekurangan. Itu saja intinya.Rumah kami cukup besar. Dua lantai dengan banyak kamar. Tak sedikit uang terkuras untuk membangunnya dulu. Seharusnya Sarah banyak bersyukur. Di lingkungan kami banyak orang masih mengontrak.“Kamu itu harusnya bersyukur,
“Istriku sangat boros. Uang berapa pun habis di tangannya. Kalau ada urusan dengan suaminya ini maka itu dipastikan hanya soal uang dan uang.” Begitu cerita Pak Marwan rekan kerjaku.Keprihatinanku bertambah tambah saat melihatnya berbusana lusuh. Pendapatannya bukan sedikit. Dirinya termasuk senior di kantor dengan bonus hampir sejumlah gaji bulananku. Jarang jajan, lebih senang makan siang di kaki lima ketimbang kantin kantor yang katanya lebih mahal. Padahal seharusnya Pak Marwan bisa makan setiap hari di resto favorite kalau memang ada niat.Rupanya masalah ada pada istrinya yang katanya boros. Mungkin tidak bisa mengatur keuangan. Menurut sang suami, Bu Enjang juga berpendidikan rendah. Aku mengenalnya saat ada family day di kantor.Penampilan Bu Enjang waktu itu tidak terlalu glamour tapi elegant menurutku. Busana muslim dengan jilbab panjang hingga ke bawah lutut yang lumaya
Bau tanah basah sisa hujan semalam kuhidu kuat demi mengisi penuh paruku dengan sebanyak mungkin hawa segar pagi ini. Aku harus terus berusaha waras menghadapi segala rasa yang berperang dalam batin. Karamnya mahligaiku bersama Mas Marwan meninggalkan luka dalam bagi buah hati kami terutama Syifa. Bagaimanapun tak akan pernah kukotori hati putihnya dengan rasaku pada sang ayah. Demi mereka harus kukesampingkan sejauh mungkin ego yang bercokol di hati. Membenci mantan suamiku.“Mas kita harus kerja sama untuk menjaga hati Syifa. Biarkan dia ikut dulu bersamaku biarpun hak asuh ada padamu, “ pintaku sambil menangkup tangan memohon.“Sampai kapan.”“Enjang tidak tahu. Mungkin baik kalau Syifa mendapatkan apa yang dia ingin saja,” kataku ragu.Mendengar ucapanku percikan amarah berpendar dari mata yang dulu sangat kusukai karena begitu teduh. Sayang sekarang keteduhan
“Begitu aja cantik apa lagi kalau ….” Dia menghentikan bualannya ketika kulirik tajam. Saat ini kami sedang berada di sebuah acara pelatihan UMKM bersama mereka yang muda dan antusias mengikuti jalannya acara. Apa lagi pembawa acaranya lucu dengan banyolan segar. “Sukses cari materi, akan mudah sukses juga cari pasangan ya, tidak …!!?” Gemuruh tepuk tangan membahana. Pemateri kali ini adalah seorang pemuda tampan lagi mapan bernama Dio. Pengusaha yang Berjaya di bidang kuliner di usia cenderung muda. Bersahajanya di podium berbanding terbalik saat dirinya berada di luar. Tengilnya luar biasa. Kami bertemu saat menawarkan produk minuman herbal yang coba kuproduksi belakangan ini. Karena dialah aku mengenal komunitas pelaku UMKM. “Datang ke gedung serba guna. Aku juga di sana. Nanti kukirimkan jadwal harinya,” katanya wa
Pagi masih basah sisa hujan semalam saat sebuah motor masuk pagar halaman.Aku yang tengah memberi makan ayam di pekarangan samping jadi bergegas takut ada sesuatu yang penting."Ada apa, Nak?" Tak sabar sampai duduk kucecar tanya.Sekarang bukan hari libur tapi putraku tiba-tiba datang ke rumah dengan penampilan dan gaya yang berbeda dari biasanya. Sungguh aku sangat khawatir dia terpengaruh pergaulan yang salah."Assalamualaikum, Bunda.""Waalaikumusalam warahmatullah."Royyan nyengir menyadari tatapan intensku pada motor vixion yang dikendarainya. Seakan tahu tanda tanya besar di kepala ibunya. Aku tak pernah membelikan kendaraan apa lagi yang model begitu. Kendaraan khas anak muda. Mungkinkah Mas Marwan yang membelikannya?"Nanti kujelasin, Bun ... masuk yuk. Pasti udah ada sarapan enak," katanya sambil merangkulku masuk ke dalam.
Aku seperti tak mengenal anak sendiri. Serasa lingluing sekejab aku terduduk di kursi kayu dekat ibu berada. Wajah tua itu tampak sama terkejutnya denganku. Sedikit banyak beliau tahu permasalahanku dengan lelaki bernama Dio yang disebutkan cucunya. "Tolong jangan diputus dulu ya, Bund ... Kami sudah kenal cukup lama. Om Dio Maha Santri di Pondok Royyan dulu. Jadi in sya Allah kenal baik dengan beliau. Motor itu hadiah karena Royyan mencapai target dari ustadz hanya Om Dio donaturnya." Aku hanya melongo mendengar penjelasan putraku. Kuteliti wajah itu untuk mencari ketidak jujurannya tapi nihil. Kemarahan entah lenyap kemana, sekarang. Perlahan kugeser kursi mendekat padanya. Aku mencoba bicara dengan suara yang rendah. "Tapi, Nak ... Om Dio itu terlalu muda buat bunda. Tak jauh lho selisih usia sama kamu," kataku sambil mengelus bahunya lembut. Cara ini biasanya jarang gagal u
Tinggal di kampung kecil segala berita cepat sekali tersebar. Kabar aku dilamar brondong kaya jadi topic hangat di setiap persimpangan."Kok ra isin wes tuek arep mbojo bujang." Begitu nyiyiran mereka mencibir.Aku cukup kebal menghadapi omongan tetangga. Sejak kepindahanku kembali ke rumah ini, rasanya tak ada yang lepas dari gunjingan. Status janda, anak-anak juga segala polahku dibahas. Punya banyak waktu mereka memantau hidup ini. Ma sya Allah, semoga tertempa sabarku.Hari ini dipastikan hidupku kembali viral di kampung penghasil ubi kayu ini. Pasalnya ketika matahari baru naik menghangatkan dinginnya cuaca, kampung Legok kedatangan tamu agung. Agung di sini identik dengan harta, ukuran derajat seseorang."Mobile apik." Bisik-bisik mereka yang mengikuti sampai halaman dengan dalih menunjukan jalan."Terima kasih ya, bapak-bapak sudah diantar," kata seorang ibu berbusana glam
Duduk berhadapan dengan suasana kaku, aku masih menunggu wanita kaya itu meneyelesaikan maksud kedatangannya. Entah mengapa dia tampak bingung dan ragu akan apa yang akan disampaikan. "Ya, sekalipun begitu, maksudnya biarpun memang penampilan bisa menipu, kamu tetap saja janda berumur yang sudah banyak anak. Apa pantas merayu Dio anakku!?" Deg! Syok dengan pernyataannya aku terdiam dan tanpa sadar pipiku sudah basah. Tatapannya tampak kaget tapi itu hanya sekejapan mata. Dia pandai mengendalikan diri dan perasaan. Namun aku sedikitnya tahu bahwa dia sebenarnya tetap seorang ibu yang berhati cukup lembut. Mungkin rasa khawatir Pada putranya membuatnya begitu garang dan menjunjung tinggi martabatnya tapi tanpa sengaja menurunkan gaya formilnya dengan menyebutku ‘kamu’ dari sebutan ‘ibu’. "Eh, kenapa nangis? Apa saya salah bicara? Setidaknya kamu kan juga seorang ibu pasti tahu bagaimana saya k