“Begitu aja cantik apa lagi kalau ….” Dia menghentikan bualannya ketika kulirik tajam.
Saat ini kami sedang berada di sebuah acara pelatihan UMKM bersama mereka yang muda dan antusias mengikuti jalannya acara. Apa lagi pembawa acaranya lucu dengan banyolan segar.
“Sukses cari materi, akan mudah sukses juga cari pasangan ya, tidak …!!?” Gemuruh tepuk tangan membahana.
Pemateri kali ini adalah seorang pemuda tampan lagi mapan bernama Dio. Pengusaha yang Berjaya di bidang kuliner di usia cenderung muda. Bersahajanya di podium berbanding terbalik saat dirinya berada di luar. Tengilnya luar biasa.
Kami bertemu saat menawarkan produk minuman herbal yang coba kuproduksi belakangan ini. Karena dialah aku mengenal komunitas pelaku UMKM.
“Datang ke gedung serba guna.
Aku juga di sana.
Nanti kukirimkan jadwal harinya,” katanya waktu itu.
Tak menyangka dirinya termasuk pemateri favorite yang handal. Sebelum naik mimbar, lelaki berperawakan tinggi itu selalu menyempatkan diri menggodaku. Awalnya aku tak merasa terganggu tapi belakangan candanya mulai keterlaluan. Dia tak lagi formal memperlakukanku sebagai seorang ibu yang lebih tua darinya.
“Perlakuanmu itu akan semakin membuat image status jandaku semakin buruk,” kataku ketus sambil meninggalkannya.
Janda selalu saja dipandang buruk. Jika tak waspada bertindak ada saja yang mengira aku bisa dibawa siapa saja bahkan ada pula yang terang terangan mengajak cek in hotel bersama. Busana yang tertutup rupanya belum membuat mereka paham bahwa kami menjaga diri. Terlalu.
Mengingat berbagai kejadian di komunitas itu aku memilih tak meneruskannya saja. Pagi ini aku memilih berkutat dengan berbagai resep untuk kukombinasikan menjadi sebuah resep menu yang unik. Orang kebanyakan mudah bosan dengan menu yang itu-itu saja hingga pengusaha kuliner harus kreatif menyiasatinya.
Getar ponsel membawaku melangkah di antara kertas yang berserak menuju nakas. Tanpa melihat dulu siapa yang memanggil kugeser icon terima sambil mata masih focus ke kertas yang kupegang.
“Assalamualaikum,” ucapku memberi salam.
‘Datang ke pertemuan sekarang atau kujemput segera!’ Sambutan di seberang sana membuatku menjauhkan ponsel dari telinga. Ada apa dengannya?
Kuletakkan kembali benda kotak warna putih itu asal. Siapa dia bisa mengaturku seenaknya? Belum lagi aku kembali duduk notifikasi pesan berbunyi. Kembali bangkit kubuka pesan itu.
‘Memangnya ada apa dengan statusmu? Kau terlalu merasa rendah diri. Banyak janda bermartabat dan kuharap kau salah satunya. Untuk sukses kau harus tangguh. Jangan terlalu baperan.’
Ya ampun ini bocah kurang akhlak. Aku mengelus dada. Kembali duduk dan melupakan semuanya. Baru sadar kalau belum sarapan, aku kembali beranjak keruang makan. Masakan ibu yang sarat bumbu rempah dan santan terhidang di meja. Aku memilih roti dan mengolesinya dengan selai kacang. Baru kugigit setengah ketika ibu datang tergopoh.
“Nduk ada tamu sudah ibu suruh nunggu di ruang tamu, ya.” Aku mengangguk dan menyambar jilbab instan lalu memakainya sambil berjalan. Tak menyangka ancamannya benarbenar dilakukan.
Pria itu duduk dengan tenang. Nampak gagah dengan pakaian semi formal, Celana bahan berwarna hitam dan kemeja biru langit lengan panjang yang digulung hampir ke siku membuatnya tampak dewasa. Usianya baru dua puluh delapan tahun. Begitu yang kutahu.
“Ehem!”
Menyadari kehadiranku yang tengah memperhatikannya, dia berdehem membuatku jadi kikuk. Tapi aku segera mengatasi keadaan. Kupasang wajah tegas padanya dengan kata sambutan formal sebagai andalan.
“Apa yang bisa saya bantu, Pak Dio?”
“Enjang ….”
“Bu Enjang!” Aku mengoreksi panggilannya.
“Maaf.”
“Untuk?”
“Aku ingin mengkhitbahmu,” katanya mantap. Aku tertegun kehilangan kata.
“Aku memang tengil. Tapi itu hanya padamu agar aku punya keberanian mendekat. Aku suka padamu sejak awal kita ketemu. Status dan perbedaan usia bukan masalah bagiku.”
“Tapi masalah bagiku,” kataku pelan setelah lama diam. Memilah kata agar tak membuatnya tersinggung,
“Ada masyarakat yang menilai. Restu keluargamu juga hati anakanakku. Ini tidak mudah, percayalah!”
“Tak perlu dengarkan kata orang, kita yang menjalani. Soal keluarga aku pasti bisa mengatasinya.”
“Sudahlah. Cari saja seorang gadis yang cantik lagi baik, temui walinya jika sudah niat menikah. Kau hanya terobsesi padaku.”
“Aku tidak mau. Maunya kamu, sama kamu. Mau ya …,“ katanya sambai menangkup tangan.
Kau masih muda, tampan dan kaya. Akan mudah mencari gadis sholihah untuk dijadikan istri.” Aku jadi tak focus bicara karena tatapannya yang intens. Apa ada yang aneh dengan penampilanku?
Setelan piyama tidur berbahan kaus celana dan lengan panjang yang kukenakan cukup tebal. Dipadu kerudung bergo warna senada yang terjulur panjang menutupi dada biasa jadi busana rumahanku karena sangat nyaman.
“Tampan, muda, kaya?
Apa sesempurna itu menurutmu?
Apa cukup sepadan denganmu?
Berarti tak ada alasan kau menolak, kan?” Senyum tengilnya kambuh membuat aku reflek memanyunkan bibir.
“Jangan manyun begitu, jadi pingin cium.”
“Dio!” Aku mulai gusar. Dia malah tertawa pelan. Manis, eh.
“Pulanglah! Jangan bikin aku di posisi sulit.” Aku berusaha mengusirnya dengan halus. Keberadaannya di sini sungguh berbahaya. Kami hanya berdua di ruangan ini.
Ibu entah kemana. Semua orang di rumah ini sibuk sendirisendiri karena biasanya tamuku tak lebih dari rekanan pedagang dan urusan yang tidak makan waktu lama. Pasti tak menyangka jika ini ada urusannya dengan sebuah rasa. Hatiku berkhianat untuk bersikap anggun. Aku menyukainya. Setan pasti bersorak padaku. Sungguh aku malu sama umur.
“Sebenarnya apa yang membuatmu tertarik sama aku?
Kurang kasih sayang emak, kah?”
“Kau tangguh dan menjaga diri juga semangat menjalani hidup. Tidak jatuh terpuruk seperti orang lain menghadapi kemelut. Lagian kamu cantik. Apa yang salah?” katanya sambil nyengir.
“Kau tak tahu kan kalau aku punya bujang yang bahkan usianya tak beda jauh darimu?” Aku merasa menemukan ide untuk membuatnya mundur. Entahlah bahasa kami justru jadi intim. Pria berkulit sawo matang itu sungguh pintar merubah suasana.
“Apa kau akan menerimaku kalau putramu merestui?” tanyanya antusias.
Namun aku yakin Royyan tak akan membiarkan ibunya jatuh di tangan brondong itu. Apalagi Dio akan tampak seperti kakaknya timbang ayahnya. Aku sangat yakin anak sulungku itu akan malu kalau punya ayah tiri yang begitu muda.
“Ok! Coba saja kau tak akan berhasil.” Aku tersenyum mengejek. Sementara matanya justru berbinar seperti seorang anak mendapat mainan atau ice cream rasa baru. Terlalu.
“Kita lihat nanti,” katanya sambal tersenyum misterius.
“Kalau begitu aku pamit ya. Tunggu aku, Baby. Assalamualaikum.” Dia beranjak pergi tanpa menunggu balasan salam dariku. Aku sendiri sampai lupa menutup mulut yang terbuka. Baby katanya?
Ya ampun aku menutup wajah dengan telapak tangan. Keringat dingin membanjiri punggung. Ada apa denganku. Menghadapi pria tengil itu bikin aku jadi lapar.
Pagi masih basah sisa hujan semalam saat sebuah motor masuk pagar halaman.Aku yang tengah memberi makan ayam di pekarangan samping jadi bergegas takut ada sesuatu yang penting."Ada apa, Nak?" Tak sabar sampai duduk kucecar tanya.Sekarang bukan hari libur tapi putraku tiba-tiba datang ke rumah dengan penampilan dan gaya yang berbeda dari biasanya. Sungguh aku sangat khawatir dia terpengaruh pergaulan yang salah."Assalamualaikum, Bunda.""Waalaikumusalam warahmatullah."Royyan nyengir menyadari tatapan intensku pada motor vixion yang dikendarainya. Seakan tahu tanda tanya besar di kepala ibunya. Aku tak pernah membelikan kendaraan apa lagi yang model begitu. Kendaraan khas anak muda. Mungkinkah Mas Marwan yang membelikannya?"Nanti kujelasin, Bun ... masuk yuk. Pasti udah ada sarapan enak," katanya sambil merangkulku masuk ke dalam.
Aku seperti tak mengenal anak sendiri. Serasa lingluing sekejab aku terduduk di kursi kayu dekat ibu berada. Wajah tua itu tampak sama terkejutnya denganku. Sedikit banyak beliau tahu permasalahanku dengan lelaki bernama Dio yang disebutkan cucunya. "Tolong jangan diputus dulu ya, Bund ... Kami sudah kenal cukup lama. Om Dio Maha Santri di Pondok Royyan dulu. Jadi in sya Allah kenal baik dengan beliau. Motor itu hadiah karena Royyan mencapai target dari ustadz hanya Om Dio donaturnya." Aku hanya melongo mendengar penjelasan putraku. Kuteliti wajah itu untuk mencari ketidak jujurannya tapi nihil. Kemarahan entah lenyap kemana, sekarang. Perlahan kugeser kursi mendekat padanya. Aku mencoba bicara dengan suara yang rendah. "Tapi, Nak ... Om Dio itu terlalu muda buat bunda. Tak jauh lho selisih usia sama kamu," kataku sambil mengelus bahunya lembut. Cara ini biasanya jarang gagal u
Tinggal di kampung kecil segala berita cepat sekali tersebar. Kabar aku dilamar brondong kaya jadi topic hangat di setiap persimpangan."Kok ra isin wes tuek arep mbojo bujang." Begitu nyiyiran mereka mencibir.Aku cukup kebal menghadapi omongan tetangga. Sejak kepindahanku kembali ke rumah ini, rasanya tak ada yang lepas dari gunjingan. Status janda, anak-anak juga segala polahku dibahas. Punya banyak waktu mereka memantau hidup ini. Ma sya Allah, semoga tertempa sabarku.Hari ini dipastikan hidupku kembali viral di kampung penghasil ubi kayu ini. Pasalnya ketika matahari baru naik menghangatkan dinginnya cuaca, kampung Legok kedatangan tamu agung. Agung di sini identik dengan harta, ukuran derajat seseorang."Mobile apik." Bisik-bisik mereka yang mengikuti sampai halaman dengan dalih menunjukan jalan."Terima kasih ya, bapak-bapak sudah diantar," kata seorang ibu berbusana glam
Duduk berhadapan dengan suasana kaku, aku masih menunggu wanita kaya itu meneyelesaikan maksud kedatangannya. Entah mengapa dia tampak bingung dan ragu akan apa yang akan disampaikan. "Ya, sekalipun begitu, maksudnya biarpun memang penampilan bisa menipu, kamu tetap saja janda berumur yang sudah banyak anak. Apa pantas merayu Dio anakku!?" Deg! Syok dengan pernyataannya aku terdiam dan tanpa sadar pipiku sudah basah. Tatapannya tampak kaget tapi itu hanya sekejapan mata. Dia pandai mengendalikan diri dan perasaan. Namun aku sedikitnya tahu bahwa dia sebenarnya tetap seorang ibu yang berhati cukup lembut. Mungkin rasa khawatir Pada putranya membuatnya begitu garang dan menjunjung tinggi martabatnya tapi tanpa sengaja menurunkan gaya formilnya dengan menyebutku ‘kamu’ dari sebutan ‘ibu’. "Eh, kenapa nangis? Apa saya salah bicara? Setidaknya kamu kan juga seorang ibu pasti tahu bagaimana saya k
“Berita itu tidak benar, Bu … yang datang itu hanya bertanya soal hubungan kami.Putranya meminta agar melamarku pada bapak dan ibu .Sarah dan Dio tak menjalin hubungan selain hanya kenal saja.” Aku terus menceracau agar ibu percaya.“Ya, Allah, Nduk … sadar!”Aku semakin pusing karena segala hal di sekitarku berputar sangat kencang tapi ibu seperti tak terganggu sama sekali. Ini sangat berbahaya kenapa ibu hanya sibuk memelukku sambil berkata yang tak begitu jelas kudengar?“Ibu. Itu tak penting ayo sekarang kita keluar.Goncangannya makin kencang, Bu!” pekikku karena ibuku menghiraukan peringatanku.Ini gempa dan sangat berbahaya kalau tetap di dalam rumah. Aku mencoba terus menggapai tangan ibu meski putaran ini semakin hebat. Kupejamkan rapat-rapat mata agar mengurangi pusing yang melanda. Aku mulai merasa mual.
Aku mendengarkan kepanikan dari seberang sana dengan rasa yang datar saja, tak ingin menanggapi apa lagi peduli tentang apa yang dia rasakan. Tidak juga merasa senang karena dikhawatirkan. Semua juga karena kegilaannya.‘Kemarin ibuku menemuimu?Apa yang beliau lakukan padamu?Kau baik baik saja kan?Aku minta maaf Enjang.’Suaranya beruntun seperti petasan.Aku hanya bisa mendengus sebal. Segera kuloudspeker dan meletakkannya di Kasur. Biarka dia puas bicara sendiri, aku tak mau ambil pusing.‘Aku pasti akan bisa mengatasinya. Tak perlu khawatir, putramu juga sudah memberi restu.Hallo Enjang! Kau masih di sana?Jangan bilang kau berubah pikiran karena kedatangan ibuku!Enjang!Enjang!Kau dengar aku?’“Iya,” kataku lemah.‘Apa, kau sakit?’ Suaranya terdengar mere
Jaman sekarang akan sulit mendapatkan wanita yang mau berbagi suami. Apa lagi seorang gadis muda. Tak masalah. Kalau Dio sudah menikah nanti, aku yakin perasaannya padaku mungkin akan berubah. Menyiapkan hati saja untuk itu.Sejak saat itu hubungan kami menggantung. Tak pernah lagi saling sapa lewat pesan apa lagi bersua. Aku mulai melupakannya dengan berbagai kesibukan. Menghindari acara yang kami ikuti bersama sebelumnya dan juga menghindari pembahasan tentangnya di mana pun.Hingga kabar pernikahannya kudengar. Tak ada undangan untuk keluargaku mau pun untukku pribadi. Dio seperti menghilang dan melepaskan diriku. Lega tapi ada sisi kecil hatiku tercubit. Sakit.“Ra popo, Nduk. Udu jodo sing apik,”kata ibu membesarkan hatiku.Pasti beliau juga mendengar tetangga nyiyir soal gagalnya pinangan pemuda tampan lagi kaya pada seorang janda. Entah siapa biang gossip yang tahu saja
Sikap diam Dio membuat kedua orangtuanya resah. Putra kebanggaan satu satunya itu tak lagi mempan dibujuk sang ibu. Pramudya Dio Pratama jadi pemurung dan lebih gila kerja dari biasanya.“Biarkan saja Dio menikahi janda itu, Mah! Dari pada dia kehilangan gairah hidup begitu kan malah bahaya, “kata sang ayah saat sedang sarapan bersama keluarga termasuk putranya yang hanya mengaduk aduk makanan di piringnya.“Tidak bisa, Pa! Enjang itu sudah berumur.Kita hanya punya Dio sekarang sebagai harapan kita meneruskan generasi Pratama.Kalau saja putri kita ….” Pipi wanita itu telah basah sebelum menyelesaikan kalimatnya.“Sudahlah, Ma … jangan diingat lagi,” kata Pak Bayu sambil mendesah pelan.Diletakkannya sendok dan garpu mengakhiri sarapan yang belum lagi separo disantap selera makannya menguap.Anak kedua mereka mening
Prosesi pemakaman papa berjalan lancar dihadiri segelintir tetangga yang mengenal keluarga mama. Rumah yang ditinggali sekarang memang rumah warisan nenek untuk anak perempuannya itu dan keluarga nenek dulu termasuk orang baik di lingkungan.Kak Dio dan keluarga besar Pratama juga hadir termasuk Azka dan … Enjang.Aku mengabari Kak Dio berharap mendapatkan simpatinya tak menyangka mereka datang rombongan termasuk wanita itu.Mama Salma memelukku dengan tangis lirih. Aku tahu beliaulah yang paling menerimaku dalam keluarga itu. Ayah mertua yang dulu juga sangat mendukung aku dan putranya menjadi keluarga utuh monogamy sekarang acuh tak acuh karena kepercayaannya telah ternodai oleh perbuatan jahat orang tuaku di masa lalu.“Mama … ayo pulang.”Mama masih bergeming menatap kosong pada gundukan tanah merah di mana jasad papa beristirahat untuk selamanya. Wanita itu seperti punya naluri bahwa keluarganya tengah berkabung. Meski tidak menangis tapi terus-terusn berwajag sendu. Sangat penu
Hari sudah malam ketika aku berjalan lunglai menuju pintu rumah. Lampu ruang tamu masih menyala seperti saat kutinggalkan mengikuti Kak Dio tadi. Dari balik kaca aku masih bisa melihat dengan jelas tubuh kurus Papa yang terduduk membisu di depan TV. Aku tahu beliau tidak sedang menonton karena layar datar di depannya terlihat gelap.Apakah yang sedang dipikirkannya?Kalah oleh tubuh ringkihnya pikiran papa masih normal untuk memahami banyak hal. Tentu itu penyiksaan tersendiri bagi beliau. Beda dengan mama yang sekarang bahkan tak mengingat aku sebagai putrinya.“Papa ….”Rupanya papa duduk sambil memejamkan mata. Mungkin tertidur saat menungguku pulang karena sejak aku datang lelaki yang dulu selalu lembut pada keluarga itu tak melepas pandangan dari putri kesayangannya ini. Bagaimanapun jahatnya papa di luar sana dia tetap seorang suami dan ayah terbaik.Aku tersentak mendapati tubuh papa yang sangat panas. Kuraba dahi untuk memastikan dan ternyata benar kalau papa demam tinggi. Su
Telah satu jam lebih lamanya kami tetap duduk berhadapan terhalang sebuah meja kecil dan saling membisu. Di meja itu terdapat dua gelas minuman dingin yang es batunya telah mencair juga sebuah map yang tergeletak begitu saja.Setelah ketegangan di rumah mama dan papa tadi kami sepakat untuk bicara berdua secara pribadi. Café inilah yang dipilih Kak Dio. Lelaki yang kulihat semakin tampan diusia matang itu setia menekuri lantai dibawahnya. Wajah cantic istrinya ini yang telah lima tahun berpisah pun bahkan tak menarik minatnya. Justru lembaran berkas perceraian yang disodorkan di depanku.Keterlaluan!“Sampai kapan kau akan bersikap begitu, Rindi?” tanya, Kak Dio menatapku lelah.Haruskah aku mengalah?“Pikirkan baik-baik. Uang dan waktumu bisa kau gunakan untuk mengurus keluargamu yang sekarang keadaannya memprihatinkan. Juga adik yang perlu perhatianmu. Aku tak mungkin terus mengurus mereka apalagi kau sudah kembali.” Uraian panjang itu justru membuat emosiku menanjak.“Semua itu ka
“Benar, Pak. Bu Rindi datang ke rumah lama Pak Amir lalu pergi lagi setelah mendapati rumah berpindah pemilik.” “Apa kau tahu ke mana lagi dia pergi setelahnya?” “Ya. Pak. Kami terus mengikutinya dan perkiraan kita tepat sekali. Bu Rindi kemudian mengunjungi rumah lama orang tuanya. Seperti perintah Pak Dio, pengurus rumah tidak bekerja di hari sebelumnya hingga keadaan mereka menjadi sangat menyedihkan.” “Baik. Terus awasi dia! Saya meluncur kesana,” kataku mengakhiri panggilan telephon orang suruhan yang bekerja mengikuti pergerakan Rindi. Aku tak boleh kembali kecolongan. Sikap polos istri pertamaku itu telah melenceng jauh dari harapan agar menjadi wanita yang pantas untuk Azka putra pertamaku bersamanya. Rindi merusak semuanya. Menyakiti anaknya sendiri demi ego, juga bertindak keterlaluan pada Enjang yang nota bene seseorang yang telah menolongnya bertahun-tahun mengasuh seorang anak dari suami dengan wanita lain meski itu adalah istri pertama suaminya. Aku memiliki anak-a
Rindi melesat membelah jalanan bersama limousine hitam yang kendarainya. Bentuknya yang panjang sebenarnya sedikit merepotkan mengingat di Indonesia begitu banyak daerah macet lalu lintas dan juga sangat repot ketika mendatangi wilayah padat penduduk dengan gang-gang sempit seperti kota J. “Aku harus segera ganti mobil,” gerutu Rindi sambil berjuang keras mengendalikan kendaraannya. Limousine itu dibelinya menghabiskan tabungan nafkah yang selalu dikirimkan oleh sang suami tetapi tidak terpakai. Dengan harapan menaikkan status social di depan Enjang ketika kembali dari luar negeri. Sayangnya mencari sopir pribadi untuk layaknya pemilik sebuah limousine tidaklah mudah apa lagi dulu Rindi selalu tergantung suami, mama atau papanya untuk segala urusan hidup. Bahkan ketika dirinya telah berstatus istri Dio, peran orang tuanya tetap besar menyetir hidup Rindi. Rindi kesulitan hidup mandiri di Negara ini yang memang armada umum tak sebaik kota terakhir dirinya tinggal di luar sana. Setel
Dio melajukan mobil dengan kecepatan sedang ke arah timur kota. Melewati pemukiman yang cukup padat kemudian lurus naik mengarah ke tanah luas berbukit. Suasana asri segera terpampang memanjakan penglihatan. Pepohonan rindang berjejer rapi di kanan kiri jalan. Hingga sampailah pada sebuah gerbang yang lengkap dengan post penjagaan.Bimm!!!Seorang lelaki berseragam biru tua dengan topi di kepala bergegas keluar memeriksa. Setelah dipastikan mengenal mobil dan pengendaranya, kemudian dia bergegas membuka gerbang.Dio melesat masuk bersama kendaraannya menyusuri taman yang cukup luas untuk mencapai rumahnya bersama Rindi.Tampak di kejauhan petugas yang membuka gerbang tengah bicara dengan seseorang.“Benar, Pak Amir. Pak Dio datang sendirian.”“....”“Baik, Pak.”🍀“Ada apa, Pak?” tanya Bu Amir melihat ketegangan di wajah suaminya.“ Den Dio datang sendirian tanpa memberi kabar terlebih dahulu.”“Kita tidak pernah membuat masalah, Pak ... Kenapa harus khawatir?” tanya istrinya lagi de
Denting sendok terdengar berirama di meja makan rumah Enjang dan Dio. Meja oval dengan enam kursi yang mengelilingi telah terisi lima dan menyisakan satu yang kosong. Biasanya kursi itu akan digunakan seorang pengasuh untuk membantu anak-anak. Hanya saja sejak si kembar tiga tahun Enjang memutuskan untuk mengasuh mereka dengan tangannya sendiri. Azka berusia menjelang empat tahun saat itu. Usia pra sekolah adalah masa penting anak banyak belajar dan meniru orang terdekat hingga dirinya rela bersusah payah karena tak ingin anak-anaknya salah didikan. Enjang sangat protektif akan perkembangan anaknya termasuk anak Sang Suami dengan wanita lain sekalipun. “Pergi ke kamar kalian dan kerjakan tugas seperti biasa. Jam sembilan bunda naik untuk memastikan kalian sudah bersiap untuk tidur. Besok sekolah,” kata Enjang begitu ketiga anak itu sudah menyelesaikan makan malam. Mereka bergegas beranjak meninggalkan ruang makan menuju lantai dua di mana kamar mereka berada. Sang ayah membuat sebu
“Bagaimana sebenarnya Ibu menyampaikan pesan Rindi sama perempuan itu?” tanyaku langsung tanpa basa-basi. Tampak dahi wanita berbusana serba hitam itu mengerenyit dalam. Aku tak peduli karena saat ini hati tidak sedang dalam mode baik-baik saja. Hatiku sakit karena ulah mereka semua. Bahkan guru mengaji pribadi yang selalu koar-koar padaku agar menjaga keutuhan keluarga demi surga ini tidak becus mengemban tugas kecil. Menyampaikan pada wanita itu bahwa aku pergi bukan karena tak mencintai suami. Aku dan Kak Dio saling mencintai. “Sepertinya Mak Rindi datang dengan rasa marah. Ada apa?” tanyanya dengan suara lembut. Tak pengaruh bagiku dengan kelembutannya karena hati sedang panas. “Ada apa? Ibu yang kenapa?” Aku menunjuk dengan jemari lentik berhena coklat ini tepat ke arah wajahnya. Dia mundur dengan secara reflek. Kerutan di dahinya semakin bertumpuk. “Rindi minta tolong untuk menyampaikan pesan bahwa kami saling mencintai agar wanita tua itu tidak songong, bukan suruh dia
Rindi tertegun menyaksikan ruang kerjanya sangat berantakan. Perlahan dirinya bangkit dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Tak lama kemudian penampilannya telah rapi dan segar dengan busana muslim simple melekat ditubuh langsingnya.Rindi melangkah anggun keluar dari ruangan pribadinya melewati para pegawai butik yang segera menyibukkan diri masing-masing.Tak tampak kekacauan yang baru saja terjadi pada dirinya.“Tolong bereskan ruangan atas, ya.Saya mau keluar jadi selesaikan segera sebelum saya kembali.” Perintahnya lugas layaknya bos.“Baik, Bu.”Rindi memang menjadikan lantai dua butiknya sebagai kantor dan tempat tinggal sementara. Dirinya belum kembali ke rumah kediamannya bersama Dio karena cukup jauh dari kantor Sang Suami.Niatnya sebelum kembali ke rumah itu, Rindi akan memantau kehidupan suami bersama madu dan juga anaknya yang dalam pengasuhan istri kedua suaminya itu.Sayang, se