Tinggal di kampung kecil segala berita cepat sekali tersebar. Kabar aku dilamar brondong kaya jadi topic hangat di setiap persimpangan.
"Kok ra isin wes tuek arep mbojo bujang." Begitu nyiyiran mereka mencibir.
Aku cukup kebal menghadapi omongan tetangga. Sejak kepindahanku kembali ke rumah ini, rasanya tak ada yang lepas dari gunjingan. Status janda, anak-anak juga segala polahku dibahas. Punya banyak waktu mereka memantau hidup ini. Ma sya Allah, semoga tertempa sabarku.
Hari ini dipastikan hidupku kembali viral di kampung penghasil ubi kayu ini. Pasalnya ketika matahari baru naik menghangatkan dinginnya cuaca, kampung Legok kedatangan tamu agung. Agung di sini identik dengan harta, ukuran derajat seseorang.
"Mobile apik." Bisik-bisik mereka yang mengikuti sampai halaman dengan dalih menunjukan jalan.
"Terima kasih ya, bapak-bapak sudah diantar," kata seorang ibu berbusana glam
Duduk berhadapan dengan suasana kaku, aku masih menunggu wanita kaya itu meneyelesaikan maksud kedatangannya. Entah mengapa dia tampak bingung dan ragu akan apa yang akan disampaikan. "Ya, sekalipun begitu, maksudnya biarpun memang penampilan bisa menipu, kamu tetap saja janda berumur yang sudah banyak anak. Apa pantas merayu Dio anakku!?" Deg! Syok dengan pernyataannya aku terdiam dan tanpa sadar pipiku sudah basah. Tatapannya tampak kaget tapi itu hanya sekejapan mata. Dia pandai mengendalikan diri dan perasaan. Namun aku sedikitnya tahu bahwa dia sebenarnya tetap seorang ibu yang berhati cukup lembut. Mungkin rasa khawatir Pada putranya membuatnya begitu garang dan menjunjung tinggi martabatnya tapi tanpa sengaja menurunkan gaya formilnya dengan menyebutku ‘kamu’ dari sebutan ‘ibu’. "Eh, kenapa nangis? Apa saya salah bicara? Setidaknya kamu kan juga seorang ibu pasti tahu bagaimana saya k
“Berita itu tidak benar, Bu … yang datang itu hanya bertanya soal hubungan kami.Putranya meminta agar melamarku pada bapak dan ibu .Sarah dan Dio tak menjalin hubungan selain hanya kenal saja.” Aku terus menceracau agar ibu percaya.“Ya, Allah, Nduk … sadar!”Aku semakin pusing karena segala hal di sekitarku berputar sangat kencang tapi ibu seperti tak terganggu sama sekali. Ini sangat berbahaya kenapa ibu hanya sibuk memelukku sambil berkata yang tak begitu jelas kudengar?“Ibu. Itu tak penting ayo sekarang kita keluar.Goncangannya makin kencang, Bu!” pekikku karena ibuku menghiraukan peringatanku.Ini gempa dan sangat berbahaya kalau tetap di dalam rumah. Aku mencoba terus menggapai tangan ibu meski putaran ini semakin hebat. Kupejamkan rapat-rapat mata agar mengurangi pusing yang melanda. Aku mulai merasa mual.
Aku mendengarkan kepanikan dari seberang sana dengan rasa yang datar saja, tak ingin menanggapi apa lagi peduli tentang apa yang dia rasakan. Tidak juga merasa senang karena dikhawatirkan. Semua juga karena kegilaannya.‘Kemarin ibuku menemuimu?Apa yang beliau lakukan padamu?Kau baik baik saja kan?Aku minta maaf Enjang.’Suaranya beruntun seperti petasan.Aku hanya bisa mendengus sebal. Segera kuloudspeker dan meletakkannya di Kasur. Biarka dia puas bicara sendiri, aku tak mau ambil pusing.‘Aku pasti akan bisa mengatasinya. Tak perlu khawatir, putramu juga sudah memberi restu.Hallo Enjang! Kau masih di sana?Jangan bilang kau berubah pikiran karena kedatangan ibuku!Enjang!Enjang!Kau dengar aku?’“Iya,” kataku lemah.‘Apa, kau sakit?’ Suaranya terdengar mere
Jaman sekarang akan sulit mendapatkan wanita yang mau berbagi suami. Apa lagi seorang gadis muda. Tak masalah. Kalau Dio sudah menikah nanti, aku yakin perasaannya padaku mungkin akan berubah. Menyiapkan hati saja untuk itu.Sejak saat itu hubungan kami menggantung. Tak pernah lagi saling sapa lewat pesan apa lagi bersua. Aku mulai melupakannya dengan berbagai kesibukan. Menghindari acara yang kami ikuti bersama sebelumnya dan juga menghindari pembahasan tentangnya di mana pun.Hingga kabar pernikahannya kudengar. Tak ada undangan untuk keluargaku mau pun untukku pribadi. Dio seperti menghilang dan melepaskan diriku. Lega tapi ada sisi kecil hatiku tercubit. Sakit.“Ra popo, Nduk. Udu jodo sing apik,”kata ibu membesarkan hatiku.Pasti beliau juga mendengar tetangga nyiyir soal gagalnya pinangan pemuda tampan lagi kaya pada seorang janda. Entah siapa biang gossip yang tahu saja
Sikap diam Dio membuat kedua orangtuanya resah. Putra kebanggaan satu satunya itu tak lagi mempan dibujuk sang ibu. Pramudya Dio Pratama jadi pemurung dan lebih gila kerja dari biasanya.“Biarkan saja Dio menikahi janda itu, Mah! Dari pada dia kehilangan gairah hidup begitu kan malah bahaya, “kata sang ayah saat sedang sarapan bersama keluarga termasuk putranya yang hanya mengaduk aduk makanan di piringnya.“Tidak bisa, Pa! Enjang itu sudah berumur.Kita hanya punya Dio sekarang sebagai harapan kita meneruskan generasi Pratama.Kalau saja putri kita ….” Pipi wanita itu telah basah sebelum menyelesaikan kalimatnya.“Sudahlah, Ma … jangan diingat lagi,” kata Pak Bayu sambil mendesah pelan.Diletakkannya sendok dan garpu mengakhiri sarapan yang belum lagi separo disantap selera makannya menguap.Anak kedua mereka mening
Menghadiri arisan ibu komplek membuat Bu Salma bersemangat. Pasalnya selain untuk melupakan masalah pelik di rumah, banyak anak-anak di sana yang membuatnya terhibur dari suasana sepi rumahnya.Bagaimana tidak, rumah besar berlantai dua itu hanya berpenghuni empat orang termasuk seorang asisten rumah tangga. Dua pria yang ada hanya menemaninya saat pagi dan malam. Terkadang malah terlalu malam hingga tak sempat bertegur sapa karena dirinya telah berpeluk bantal.“Jeng Salma, mari sini cicipi hidangannya dulu sambil menunggu yang lain tiba,” kata tuan rumah ramah.Bu Darma adalah tetangga satu blok yang hanya terpisah beberapa rumah saja. Mereka menjadi lebih dekat satu sama lain karena sama-sama lebih banyak diam di rumah dari pada berkegiatan di luar sehingga kerap bertemu. Sifat keibuan dan keramahan yang tak dibuat-buat membuat pertemanan mereka selayaknya saudara. Dio bahkan terb
Pov; Rindi Aku heran melihat tetangga Budhe Darma terus saja mencuri curi pandang padaku. Seperti cowok lihat perempuan cantic saja membuatku bergidik. Tanpa sadar aku menepuk dahi, pikiran ini sudah traveling tak tentu arah. Tidak sopan pada orang tua. “Kenapa, Rindi?” rupanya mama memperhatikanku. “Ah, tidak,” kataku sambil tersenyum. “Rindi, sini duduk, Nak! Sama kamu, Tih. Kakak mau bicara.” Serius sekali kakak mamaku itu, seperti ada yang sangat penting. “Kudengar kamu tidak akan kuliah tahun ini, Rindi?” “Iya, Mbak. Makanya kuantar kemari maksudnya siapa tahu bisa cari pekerjaan. Ayah Rindi kembali nganggur karena pandemic. Apa lagi anak anakku yang lain masih pada kecil.” Dengar uraian panjang mama bikin aku ingat lagi rasa kesal karena ayah tak kasih izin buat daftar kuliah. Zaman sekarang lulusan SMA
Gaun putih tulang membalut tubuh ini menjadikannya tampak mewah. Dengan tenang aku mengikuti prosesi acara demi acara tanpa sedikit pun perasaan canggung atau tegang seperti pengantin pada umumnya yang kudengar. Entahlah seperti sedang berlakon saja seolah ini bukanlah hal penting dalam hidupku.Tanpa banyak drama pernikahan sederhanaku dengan kak Dio Pratama yang digelar di gedung cukup megah berjalan lancar. Hanya sedikit undangan yang menghadiri. Beberapa keluarga dan teman dekat dan juga kolega keluarga calon suamiku. Ah iya, sudah sah sebagai suami sekarang.“Biar terjaga sakralnya.”Begitu alasan lelaki yang tak banyak suara selama bersamaku ketika ditanya soal sedikitnya undangan. Sejujurnya aku sendiri tak begitu peduli seberapa banyak tamu yang hadir toh bukan keluargaku yang menyelenggarakan acara. Banyak atau sedikit itu pun tetap kolega mereka.Tanpa sadar ta