Sikap diam Dio membuat kedua orangtuanya resah. Putra kebanggaan satu satunya itu tak lagi mempan dibujuk sang ibu. Pramudya Dio Pratama jadi pemurung dan lebih gila kerja dari biasanya.
“Biarkan saja Dio menikahi janda itu, Mah! Dari pada dia kehilangan gairah hidup begitu kan malah bahaya, “kata sang ayah saat sedang sarapan bersama keluarga termasuk putranya yang hanya mengaduk aduk makanan di piringnya.
“Tidak bisa, Pa! Enjang itu sudah berumur.
Kita hanya punya Dio sekarang sebagai harapan kita meneruskan generasi Pratama.
Kalau saja putri kita ….” Pipi wanita itu telah basah sebelum menyelesaikan kalimatnya.
“Sudahlah, Ma … jangan diingat lagi,” kata Pak Bayu sambil mendesah pelan.
Diletakkannya sendok dan garpu mengakhiri sarapan yang belum lagi separo disantap selera makannya menguap.
Anak kedua mereka mening
Menghadiri arisan ibu komplek membuat Bu Salma bersemangat. Pasalnya selain untuk melupakan masalah pelik di rumah, banyak anak-anak di sana yang membuatnya terhibur dari suasana sepi rumahnya.Bagaimana tidak, rumah besar berlantai dua itu hanya berpenghuni empat orang termasuk seorang asisten rumah tangga. Dua pria yang ada hanya menemaninya saat pagi dan malam. Terkadang malah terlalu malam hingga tak sempat bertegur sapa karena dirinya telah berpeluk bantal.“Jeng Salma, mari sini cicipi hidangannya dulu sambil menunggu yang lain tiba,” kata tuan rumah ramah.Bu Darma adalah tetangga satu blok yang hanya terpisah beberapa rumah saja. Mereka menjadi lebih dekat satu sama lain karena sama-sama lebih banyak diam di rumah dari pada berkegiatan di luar sehingga kerap bertemu. Sifat keibuan dan keramahan yang tak dibuat-buat membuat pertemanan mereka selayaknya saudara. Dio bahkan terb
Pov; Rindi Aku heran melihat tetangga Budhe Darma terus saja mencuri curi pandang padaku. Seperti cowok lihat perempuan cantic saja membuatku bergidik. Tanpa sadar aku menepuk dahi, pikiran ini sudah traveling tak tentu arah. Tidak sopan pada orang tua. “Kenapa, Rindi?” rupanya mama memperhatikanku. “Ah, tidak,” kataku sambil tersenyum. “Rindi, sini duduk, Nak! Sama kamu, Tih. Kakak mau bicara.” Serius sekali kakak mamaku itu, seperti ada yang sangat penting. “Kudengar kamu tidak akan kuliah tahun ini, Rindi?” “Iya, Mbak. Makanya kuantar kemari maksudnya siapa tahu bisa cari pekerjaan. Ayah Rindi kembali nganggur karena pandemic. Apa lagi anak anakku yang lain masih pada kecil.” Dengar uraian panjang mama bikin aku ingat lagi rasa kesal karena ayah tak kasih izin buat daftar kuliah. Zaman sekarang lulusan SMA
Gaun putih tulang membalut tubuh ini menjadikannya tampak mewah. Dengan tenang aku mengikuti prosesi acara demi acara tanpa sedikit pun perasaan canggung atau tegang seperti pengantin pada umumnya yang kudengar. Entahlah seperti sedang berlakon saja seolah ini bukanlah hal penting dalam hidupku.Tanpa banyak drama pernikahan sederhanaku dengan kak Dio Pratama yang digelar di gedung cukup megah berjalan lancar. Hanya sedikit undangan yang menghadiri. Beberapa keluarga dan teman dekat dan juga kolega keluarga calon suamiku. Ah iya, sudah sah sebagai suami sekarang.“Biar terjaga sakralnya.”Begitu alasan lelaki yang tak banyak suara selama bersamaku ketika ditanya soal sedikitnya undangan. Sejujurnya aku sendiri tak begitu peduli seberapa banyak tamu yang hadir toh bukan keluargaku yang menyelenggarakan acara. Banyak atau sedikit itu pun tetap kolega mereka.Tanpa sadar ta
Aku tahu pernikahan bukanlah hal untuk dipermainkan. Begitu pun pernikahan ini, meski bukan pernikahan impian tapi aku melakukannya dengan sepenuh hati. Kuanggap sudah menjadi takdir si anak ingusan yang dulu kerap kujahili sekarang jadi istri. Kubuang sejauh mungkin pikiran bahwa dia sekedar jalan agar bisa menikahi Enjang. Wanita yang tak pernah bisa lepas dari pelupuk mata.“Kuterima Nikahnya Rindi Mustika binti Agus Suryadi dengan mas kawin tersebut tunai!”“Sah!” Serempak para hadirin yang menjadi saksi akhad yang lancar kuucapkan sekali tarikan napas.Aku berusaha focus. Pernikahan adalah perjanjian berat dengan Sang Kholik. Mempermainkannya jelas akan membuatku menanggung dosa. Hal yang sebisa mungkin kuhindari.“Sayang istrimu sudah datang,” bisik mama ditelingaku. Aku tergagap dari lamunan.Kuulurkan tangan ag
Aku melihat wanita berambut ikal sebahu itu menyeringai senang. Mungkin dikira aku sangat menginginkan tubuhnya segera, dan akan membujuknya mati matian. Jangan harap! Sikapnya justru menyelamatkan diriku yang tak siap menyentuhnya sekarang.Melihat responku wanita berkulit putih itu menghentakkan kaki sambil cemberut. Kuakui istriku ini cukup cantic. Hanya saja aku belum tertarik padanya. Masa bodoh aku ngantuk. Segera kubenamkan kepala di bantal. Bukan masalah bagiku tidur di tempat sempit sekali pun.“Kak, Dio!”Kuhiraukan suaranya. Anganku justru menyambangi wajah ayu di sudut ruang hati. Sosok dewasa yang kalem dan teduh. Apa kabarnya dia? Apa sudah dengar kabar pernikahan ini? Bagaimana perasaannya? Apa puas dia sekarang? Aku mendesah. Aku sengaja tak memberinya kabar apa lagi mengundangnya.Dadaku berdenyut nyeri. Selama ini setiap keinginan selalu bisa di dapat tapi dia meno
Bu Salma pusing bukan main menghadapi ulah putranya yang kurang bertanggung jawab. Harapan bahagia setelah kehadiran menantu di rumahnya buyar seketika. Seseorang yang diharap menerangi sisi gelap dan harapan mendapatkan penerus keluarga sungguh membuat Ibunda Dio Pratama meradang.“Gimana sih! seenaknya ninggalin aku gitu aja di hotel? Brengsek bener jadi laki!” Bu Salma dan suami saling pandang.Rindi mondar-mandir sambil terus meluapkan kemarahan dengan sumpah serapah. Tangannya menunjuk-nunjuk kearah dua orang yang seharusnya dihormati. Rasa malu menjadi tontonan orang ketika mengadu pada mertua dengan maksud agar dapat menguasai suaminya menjadi boomerang. Dio tak kembali dan dirinya dicibir sebagai wanita yang ditinggalkan suami di malam pertama.“Sabar, Nduk … Dio pasti ada alasan.”“Sabar! Sabar! Nggak ada yang ngerti perasaanku emang,” sembur
Dio masih menghabiskan waktu dengan bermalasan. Semua pekerjaan telah diserahkan pada asisten yang dipercaya. Jadwal mentoring juga di cancel semua tercatat cuti menikah. Dibolak-balik ponsel di tangan. Menyscrol keatas bawah berhenti pada sebuah nama lalu kembali meletakkan benda itu di kasur sambil mendesah berat. “Apa yang harus kulakukan?” katanya bicara sendiri. Membolak-balik tubuh yang memenuhi ranjang bed single di kamarnya Dio kembali meraih benda kotak pintarnya. “Assalamualaikum, Ustadz … bisa ketemu hari ini?” katanya menelphon seseorang. <….> “Baik. Nanti bada zuhur?” Percakapan lewat sambungan ponsel diakhiri setelah mengucap salam. Wajahnya tampak tak kusut lagi. Semangat telah tumbuh dalam dirinya. Dio segera bergegas masuk ke kamar mandi bersama handuk di tangan. ~/~ Pondok Pesantren Al Huda tampak sepi
Sepekan sudah Dio kembali kerumah orang tuanya. Ada istri juga tentu saja di sana. Sayangnya hubungan mereka belum juga ada perkembangan. Meski dalam satu kamar mereka tidur terpisah. Dio merelakan ranjang king sizenya ditempati Rindi sementara dirinya sendiri meringkuk di karpet berbalut selimut tebal.“Sampai kapan kita akan begini, Kak?”Dio menyembulkan kepalanya dari balik selimut beludru berwarna jingga. Membuang napas lalu kembali membenamkan diri. Dia berpikir membahas masalah mereka hanya akan menimbulkan emosi karena Rindi seperti kurang memahami perkataannya.“Kak!”Dio akhirnya bangkit dan duduk di sofa menghadap pada wanita berbusana santai yang cukup menarik di hadapannya. Atasan berbahan kaos gombrong seatas paha berwarna biru dipadu hotpant hitam yang melekat pas memamerkan kaki jenjangnya membuatnya jengah dan mengalihkan pandangan.