Aku melihat wanita berambut ikal sebahu itu menyeringai senang. Mungkin dikira aku sangat menginginkan tubuhnya segera, dan akan membujuknya mati matian. Jangan harap! Sikapnya justru menyelamatkan diriku yang tak siap menyentuhnya sekarang.
Melihat responku wanita berkulit putih itu menghentakkan kaki sambil cemberut. Kuakui istriku ini cukup cantic. Hanya saja aku belum tertarik padanya. Masa bodoh aku ngantuk. Segera kubenamkan kepala di bantal. Bukan masalah bagiku tidur di tempat sempit sekali pun.
“Kak, Dio!”
Kuhiraukan suaranya. Anganku justru menyambangi wajah ayu di sudut ruang hati. Sosok dewasa yang kalem dan teduh. Apa kabarnya dia? Apa sudah dengar kabar pernikahan ini? Bagaimana perasaannya? Apa puas dia sekarang? Aku mendesah. Aku sengaja tak memberinya kabar apa lagi mengundangnya.
Dadaku berdenyut nyeri. Selama ini setiap keinginan selalu bisa di dapat tapi dia meno
Bu Salma pusing bukan main menghadapi ulah putranya yang kurang bertanggung jawab. Harapan bahagia setelah kehadiran menantu di rumahnya buyar seketika. Seseorang yang diharap menerangi sisi gelap dan harapan mendapatkan penerus keluarga sungguh membuat Ibunda Dio Pratama meradang.“Gimana sih! seenaknya ninggalin aku gitu aja di hotel? Brengsek bener jadi laki!” Bu Salma dan suami saling pandang.Rindi mondar-mandir sambil terus meluapkan kemarahan dengan sumpah serapah. Tangannya menunjuk-nunjuk kearah dua orang yang seharusnya dihormati. Rasa malu menjadi tontonan orang ketika mengadu pada mertua dengan maksud agar dapat menguasai suaminya menjadi boomerang. Dio tak kembali dan dirinya dicibir sebagai wanita yang ditinggalkan suami di malam pertama.“Sabar, Nduk … Dio pasti ada alasan.”“Sabar! Sabar! Nggak ada yang ngerti perasaanku emang,” sembur
Dio masih menghabiskan waktu dengan bermalasan. Semua pekerjaan telah diserahkan pada asisten yang dipercaya. Jadwal mentoring juga di cancel semua tercatat cuti menikah. Dibolak-balik ponsel di tangan. Menyscrol keatas bawah berhenti pada sebuah nama lalu kembali meletakkan benda itu di kasur sambil mendesah berat. “Apa yang harus kulakukan?” katanya bicara sendiri. Membolak-balik tubuh yang memenuhi ranjang bed single di kamarnya Dio kembali meraih benda kotak pintarnya. “Assalamualaikum, Ustadz … bisa ketemu hari ini?” katanya menelphon seseorang. <….> “Baik. Nanti bada zuhur?” Percakapan lewat sambungan ponsel diakhiri setelah mengucap salam. Wajahnya tampak tak kusut lagi. Semangat telah tumbuh dalam dirinya. Dio segera bergegas masuk ke kamar mandi bersama handuk di tangan. ~/~ Pondok Pesantren Al Huda tampak sepi
Sepekan sudah Dio kembali kerumah orang tuanya. Ada istri juga tentu saja di sana. Sayangnya hubungan mereka belum juga ada perkembangan. Meski dalam satu kamar mereka tidur terpisah. Dio merelakan ranjang king sizenya ditempati Rindi sementara dirinya sendiri meringkuk di karpet berbalut selimut tebal.“Sampai kapan kita akan begini, Kak?”Dio menyembulkan kepalanya dari balik selimut beludru berwarna jingga. Membuang napas lalu kembali membenamkan diri. Dia berpikir membahas masalah mereka hanya akan menimbulkan emosi karena Rindi seperti kurang memahami perkataannya.“Kak!”Dio akhirnya bangkit dan duduk di sofa menghadap pada wanita berbusana santai yang cukup menarik di hadapannya. Atasan berbahan kaos gombrong seatas paha berwarna biru dipadu hotpant hitam yang melekat pas memamerkan kaki jenjangnya membuatnya jengah dan mengalihkan pandangan.
Pagi hari seluruh keluarga berkumpul di ruang makan dengan sarapan di hadapan. Tak ada suara kecuali denting sendok. Suasana kaku belakangan ini dipicu masalah pengantin baru di rumah itu. Masing-masing takut salah ucap yang akan mengakibatkan masalah meruncing. Kedua orang tua mereka juga tetap sabar menunggu sang anak mengambil keputusan bijak mengenai diri dan istrinya.“E, hem.” Dio berdehem minta atensi sehingga tiga kepala mendongak padanya.“Hari ini Rindi mau kuantar ke Mama Ratih. Biar sementara di sana untuk berpikir dan mendinginkan hati.” Dio menatap istrinya lalu mengangsurkan sebuah kartu. Mata Rindi berbinar.“Gunakan dengan bijak,” sambungnya yang hanya diangguki wanita berbusana lumayan terbuka pagi ini. Celana pendek dan kaus oblong santai yang mengekspos paha dan kaki jenjangnya hanya berganti warna dari yang dikenakannya semalam. Sekarang giliran Sang Ayah Mer
*Enjang*Mobil Dio meluncur perlahan di jalanan padat merayap. Malam minggu membuat banyak orang keluar dengan segala kepentingan. Satu nama membuat lelaki berpakaian santai celana canvas dipadu kaus Denim berbahan adem itu mengulum senyum. Tak peduli suara klakson bersahutan tanda tak sabar di belakangnya.“Enjang,” gumamnya pelan.Hari belum lagi terang ketika aku membuka pintu rumah. Mata ini memicing melihat sebuah mobil terparkir tepat di depan pagar. Segera kusambar kunci dan membuka gembok pagar lalu mendekati mobil yang sepertinya tak asing.Kaca mobil turun menampilkan senyum terbingkai wajah lelah karena kantuk. Aku tertegun menatapnya. Tak tahu harus bilang apa sampai suara berat menyadarkan diri.“Apa boleh aku ke dapur belakang buat minta sarapan sama, Ibu?”Senyum itu … senyum yang kurindukan. Entah sejak kapan tepatnya rasa yan
Tanpa kendala pernikahan itu terlaksana. Dihadiri keluarga dan kerabat dekat keduanya. Pernikahan kedua Dio Pratama bersama Sarah berlangsung khidmat. Rindi dan keluarganya tidak hadir dalam acara tersebut meski undangan juga diberikan pada mereka sekaligus mengambil tanda tangan Rindi sebagai istri pertama.Kuelepas status janda yang telah kusandangnya selama tiga tahun. Sementara pernikahan pertamanya baru berjalan sebulan saja. Semula keraguan melingkupi mengingat drama pernikahan pertamanya, tapi apa yang disampaikan padaku masuk akal agar tak menjadi kesalah pahaman.“Suami mudaku …,”godaku pada lelaki yang menghalalkan diri ini, kedua kalinya siang tadi. Kulakukan untuk mengusir gugup sendiri.Saat ini kami telah berada di kamar pengantin. Bukan kamar hotel bertabur bunga seperti sebulan lalu yang mungkin dimasuki Dio tapi hanya kamar biasa yang kutempati di samping ruang kerjaku.
D’café masih lengang pagi ini. Para pegawainya masih hilir mudik bersiap untuk melayani pelanggan hingga malam nanti. Rindi berjalan perlahan mengamati keadaan. Sengaja diberhentikan taksi yang membawanya agak jauh dari tempat usaha adik madunya ini.“Maaf Bu, kami baru buka satu jam mendatang,” kata seorang wanita berhijab putih dengan baju khas seragam berwana biru dipadu rok panjang hitam.“O, saya mau bertemu pemilik resto ini, bisa?“O, silakan lewat pintu samping itu, Bu … ruangan yang ada itu kantor beliau. Cuma ada satu ruangan di sana. Perlu diantar?”“Tidak usah. Saya kesana sendiri saja. Terima kasih.” Wanita berseragam itu mengangguk sopan.Rindi menyusuri paving blok memanjang kearah dalam. Sepanjang kaki melangkah melewati berbagai jenis dan ukuran bonsai cantic yang berjajar rapi di bagian pinggir.
*Rindi*“Apa yang kau lakukan!?” bentaknya begitu aku muncul dari kamar mandi.“Datang tak diundang dan menerobos kamar? Apa yang kamu pikirkan? Hah!”Aku hanya bisa diam mematung dengan berlinang airmata, hal yang tak urung membuatnya terdiam. Aku tahu sejak dulu dia paling tak tahan melihat orang menangis apa lagi wanita. Rasa sayang pada ibu membuatnya selalu mengalah pada perempuan.“Sudahlah. Tinggallah di sini dulu. Kita pulang nanti malam setelah aku menemui Enjang.”Enjang. Wanita itu, aku sungguh ingin protes tapi tatapan tajam Dio membuatku bungkam. Kesalahanku kali ini memang sedikit fatal. Membuat suami harus bercinta di depan istri yang lain benar-benar tak terpikirkan sebejad apa pun diri ini. Aku bahkan merasa menjadi orang lain yang pendiam tak sanggup berdebat seperti biasa.Mengingat pengalaman perta
Prosesi pemakaman papa berjalan lancar dihadiri segelintir tetangga yang mengenal keluarga mama. Rumah yang ditinggali sekarang memang rumah warisan nenek untuk anak perempuannya itu dan keluarga nenek dulu termasuk orang baik di lingkungan.Kak Dio dan keluarga besar Pratama juga hadir termasuk Azka dan … Enjang.Aku mengabari Kak Dio berharap mendapatkan simpatinya tak menyangka mereka datang rombongan termasuk wanita itu.Mama Salma memelukku dengan tangis lirih. Aku tahu beliaulah yang paling menerimaku dalam keluarga itu. Ayah mertua yang dulu juga sangat mendukung aku dan putranya menjadi keluarga utuh monogamy sekarang acuh tak acuh karena kepercayaannya telah ternodai oleh perbuatan jahat orang tuaku di masa lalu.“Mama … ayo pulang.”Mama masih bergeming menatap kosong pada gundukan tanah merah di mana jasad papa beristirahat untuk selamanya. Wanita itu seperti punya naluri bahwa keluarganya tengah berkabung. Meski tidak menangis tapi terus-terusn berwajag sendu. Sangat penu
Hari sudah malam ketika aku berjalan lunglai menuju pintu rumah. Lampu ruang tamu masih menyala seperti saat kutinggalkan mengikuti Kak Dio tadi. Dari balik kaca aku masih bisa melihat dengan jelas tubuh kurus Papa yang terduduk membisu di depan TV. Aku tahu beliau tidak sedang menonton karena layar datar di depannya terlihat gelap.Apakah yang sedang dipikirkannya?Kalah oleh tubuh ringkihnya pikiran papa masih normal untuk memahami banyak hal. Tentu itu penyiksaan tersendiri bagi beliau. Beda dengan mama yang sekarang bahkan tak mengingat aku sebagai putrinya.“Papa ….”Rupanya papa duduk sambil memejamkan mata. Mungkin tertidur saat menungguku pulang karena sejak aku datang lelaki yang dulu selalu lembut pada keluarga itu tak melepas pandangan dari putri kesayangannya ini. Bagaimanapun jahatnya papa di luar sana dia tetap seorang suami dan ayah terbaik.Aku tersentak mendapati tubuh papa yang sangat panas. Kuraba dahi untuk memastikan dan ternyata benar kalau papa demam tinggi. Su
Telah satu jam lebih lamanya kami tetap duduk berhadapan terhalang sebuah meja kecil dan saling membisu. Di meja itu terdapat dua gelas minuman dingin yang es batunya telah mencair juga sebuah map yang tergeletak begitu saja.Setelah ketegangan di rumah mama dan papa tadi kami sepakat untuk bicara berdua secara pribadi. Café inilah yang dipilih Kak Dio. Lelaki yang kulihat semakin tampan diusia matang itu setia menekuri lantai dibawahnya. Wajah cantic istrinya ini yang telah lima tahun berpisah pun bahkan tak menarik minatnya. Justru lembaran berkas perceraian yang disodorkan di depanku.Keterlaluan!“Sampai kapan kau akan bersikap begitu, Rindi?” tanya, Kak Dio menatapku lelah.Haruskah aku mengalah?“Pikirkan baik-baik. Uang dan waktumu bisa kau gunakan untuk mengurus keluargamu yang sekarang keadaannya memprihatinkan. Juga adik yang perlu perhatianmu. Aku tak mungkin terus mengurus mereka apalagi kau sudah kembali.” Uraian panjang itu justru membuat emosiku menanjak.“Semua itu ka
“Benar, Pak. Bu Rindi datang ke rumah lama Pak Amir lalu pergi lagi setelah mendapati rumah berpindah pemilik.” “Apa kau tahu ke mana lagi dia pergi setelahnya?” “Ya. Pak. Kami terus mengikutinya dan perkiraan kita tepat sekali. Bu Rindi kemudian mengunjungi rumah lama orang tuanya. Seperti perintah Pak Dio, pengurus rumah tidak bekerja di hari sebelumnya hingga keadaan mereka menjadi sangat menyedihkan.” “Baik. Terus awasi dia! Saya meluncur kesana,” kataku mengakhiri panggilan telephon orang suruhan yang bekerja mengikuti pergerakan Rindi. Aku tak boleh kembali kecolongan. Sikap polos istri pertamaku itu telah melenceng jauh dari harapan agar menjadi wanita yang pantas untuk Azka putra pertamaku bersamanya. Rindi merusak semuanya. Menyakiti anaknya sendiri demi ego, juga bertindak keterlaluan pada Enjang yang nota bene seseorang yang telah menolongnya bertahun-tahun mengasuh seorang anak dari suami dengan wanita lain meski itu adalah istri pertama suaminya. Aku memiliki anak-a
Rindi melesat membelah jalanan bersama limousine hitam yang kendarainya. Bentuknya yang panjang sebenarnya sedikit merepotkan mengingat di Indonesia begitu banyak daerah macet lalu lintas dan juga sangat repot ketika mendatangi wilayah padat penduduk dengan gang-gang sempit seperti kota J. “Aku harus segera ganti mobil,” gerutu Rindi sambil berjuang keras mengendalikan kendaraannya. Limousine itu dibelinya menghabiskan tabungan nafkah yang selalu dikirimkan oleh sang suami tetapi tidak terpakai. Dengan harapan menaikkan status social di depan Enjang ketika kembali dari luar negeri. Sayangnya mencari sopir pribadi untuk layaknya pemilik sebuah limousine tidaklah mudah apa lagi dulu Rindi selalu tergantung suami, mama atau papanya untuk segala urusan hidup. Bahkan ketika dirinya telah berstatus istri Dio, peran orang tuanya tetap besar menyetir hidup Rindi. Rindi kesulitan hidup mandiri di Negara ini yang memang armada umum tak sebaik kota terakhir dirinya tinggal di luar sana. Setel
Dio melajukan mobil dengan kecepatan sedang ke arah timur kota. Melewati pemukiman yang cukup padat kemudian lurus naik mengarah ke tanah luas berbukit. Suasana asri segera terpampang memanjakan penglihatan. Pepohonan rindang berjejer rapi di kanan kiri jalan. Hingga sampailah pada sebuah gerbang yang lengkap dengan post penjagaan.Bimm!!!Seorang lelaki berseragam biru tua dengan topi di kepala bergegas keluar memeriksa. Setelah dipastikan mengenal mobil dan pengendaranya, kemudian dia bergegas membuka gerbang.Dio melesat masuk bersama kendaraannya menyusuri taman yang cukup luas untuk mencapai rumahnya bersama Rindi.Tampak di kejauhan petugas yang membuka gerbang tengah bicara dengan seseorang.“Benar, Pak Amir. Pak Dio datang sendirian.”“....”“Baik, Pak.”🍀“Ada apa, Pak?” tanya Bu Amir melihat ketegangan di wajah suaminya.“ Den Dio datang sendirian tanpa memberi kabar terlebih dahulu.”“Kita tidak pernah membuat masalah, Pak ... Kenapa harus khawatir?” tanya istrinya lagi de
Denting sendok terdengar berirama di meja makan rumah Enjang dan Dio. Meja oval dengan enam kursi yang mengelilingi telah terisi lima dan menyisakan satu yang kosong. Biasanya kursi itu akan digunakan seorang pengasuh untuk membantu anak-anak. Hanya saja sejak si kembar tiga tahun Enjang memutuskan untuk mengasuh mereka dengan tangannya sendiri. Azka berusia menjelang empat tahun saat itu. Usia pra sekolah adalah masa penting anak banyak belajar dan meniru orang terdekat hingga dirinya rela bersusah payah karena tak ingin anak-anaknya salah didikan. Enjang sangat protektif akan perkembangan anaknya termasuk anak Sang Suami dengan wanita lain sekalipun. “Pergi ke kamar kalian dan kerjakan tugas seperti biasa. Jam sembilan bunda naik untuk memastikan kalian sudah bersiap untuk tidur. Besok sekolah,” kata Enjang begitu ketiga anak itu sudah menyelesaikan makan malam. Mereka bergegas beranjak meninggalkan ruang makan menuju lantai dua di mana kamar mereka berada. Sang ayah membuat sebu
“Bagaimana sebenarnya Ibu menyampaikan pesan Rindi sama perempuan itu?” tanyaku langsung tanpa basa-basi. Tampak dahi wanita berbusana serba hitam itu mengerenyit dalam. Aku tak peduli karena saat ini hati tidak sedang dalam mode baik-baik saja. Hatiku sakit karena ulah mereka semua. Bahkan guru mengaji pribadi yang selalu koar-koar padaku agar menjaga keutuhan keluarga demi surga ini tidak becus mengemban tugas kecil. Menyampaikan pada wanita itu bahwa aku pergi bukan karena tak mencintai suami. Aku dan Kak Dio saling mencintai. “Sepertinya Mak Rindi datang dengan rasa marah. Ada apa?” tanyanya dengan suara lembut. Tak pengaruh bagiku dengan kelembutannya karena hati sedang panas. “Ada apa? Ibu yang kenapa?” Aku menunjuk dengan jemari lentik berhena coklat ini tepat ke arah wajahnya. Dia mundur dengan secara reflek. Kerutan di dahinya semakin bertumpuk. “Rindi minta tolong untuk menyampaikan pesan bahwa kami saling mencintai agar wanita tua itu tidak songong, bukan suruh dia
Rindi tertegun menyaksikan ruang kerjanya sangat berantakan. Perlahan dirinya bangkit dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Tak lama kemudian penampilannya telah rapi dan segar dengan busana muslim simple melekat ditubuh langsingnya.Rindi melangkah anggun keluar dari ruangan pribadinya melewati para pegawai butik yang segera menyibukkan diri masing-masing.Tak tampak kekacauan yang baru saja terjadi pada dirinya.“Tolong bereskan ruangan atas, ya.Saya mau keluar jadi selesaikan segera sebelum saya kembali.” Perintahnya lugas layaknya bos.“Baik, Bu.”Rindi memang menjadikan lantai dua butiknya sebagai kantor dan tempat tinggal sementara. Dirinya belum kembali ke rumah kediamannya bersama Dio karena cukup jauh dari kantor Sang Suami.Niatnya sebelum kembali ke rumah itu, Rindi akan memantau kehidupan suami bersama madu dan juga anaknya yang dalam pengasuhan istri kedua suaminya itu.Sayang, se