Pagi hari seluruh keluarga berkumpul di ruang makan dengan sarapan di hadapan. Tak ada suara kecuali denting sendok. Suasana kaku belakangan ini dipicu masalah pengantin baru di rumah itu. Masing-masing takut salah ucap yang akan mengakibatkan masalah meruncing. Kedua orang tua mereka juga tetap sabar menunggu sang anak mengambil keputusan bijak mengenai diri dan istrinya.
“E, hem.” Dio berdehem minta atensi sehingga tiga kepala mendongak padanya.
“Hari ini Rindi mau kuantar ke Mama Ratih. Biar sementara di sana untuk berpikir dan mendinginkan hati.” Dio menatap istrinya lalu mengangsurkan sebuah kartu. Mata Rindi berbinar.
“Gunakan dengan bijak,” sambungnya yang hanya diangguki wanita berbusana lumayan terbuka pagi ini. Celana pendek dan kaus oblong santai yang mengekspos paha dan kaki jenjangnya hanya berganti warna dari yang dikenakannya semalam. Sekarang giliran Sang Ayah Mer
*Enjang*Mobil Dio meluncur perlahan di jalanan padat merayap. Malam minggu membuat banyak orang keluar dengan segala kepentingan. Satu nama membuat lelaki berpakaian santai celana canvas dipadu kaus Denim berbahan adem itu mengulum senyum. Tak peduli suara klakson bersahutan tanda tak sabar di belakangnya.“Enjang,” gumamnya pelan.Hari belum lagi terang ketika aku membuka pintu rumah. Mata ini memicing melihat sebuah mobil terparkir tepat di depan pagar. Segera kusambar kunci dan membuka gembok pagar lalu mendekati mobil yang sepertinya tak asing.Kaca mobil turun menampilkan senyum terbingkai wajah lelah karena kantuk. Aku tertegun menatapnya. Tak tahu harus bilang apa sampai suara berat menyadarkan diri.“Apa boleh aku ke dapur belakang buat minta sarapan sama, Ibu?”Senyum itu … senyum yang kurindukan. Entah sejak kapan tepatnya rasa yan
Tanpa kendala pernikahan itu terlaksana. Dihadiri keluarga dan kerabat dekat keduanya. Pernikahan kedua Dio Pratama bersama Sarah berlangsung khidmat. Rindi dan keluarganya tidak hadir dalam acara tersebut meski undangan juga diberikan pada mereka sekaligus mengambil tanda tangan Rindi sebagai istri pertama.Kuelepas status janda yang telah kusandangnya selama tiga tahun. Sementara pernikahan pertamanya baru berjalan sebulan saja. Semula keraguan melingkupi mengingat drama pernikahan pertamanya, tapi apa yang disampaikan padaku masuk akal agar tak menjadi kesalah pahaman.“Suami mudaku …,”godaku pada lelaki yang menghalalkan diri ini, kedua kalinya siang tadi. Kulakukan untuk mengusir gugup sendiri.Saat ini kami telah berada di kamar pengantin. Bukan kamar hotel bertabur bunga seperti sebulan lalu yang mungkin dimasuki Dio tapi hanya kamar biasa yang kutempati di samping ruang kerjaku.
D’café masih lengang pagi ini. Para pegawainya masih hilir mudik bersiap untuk melayani pelanggan hingga malam nanti. Rindi berjalan perlahan mengamati keadaan. Sengaja diberhentikan taksi yang membawanya agak jauh dari tempat usaha adik madunya ini.“Maaf Bu, kami baru buka satu jam mendatang,” kata seorang wanita berhijab putih dengan baju khas seragam berwana biru dipadu rok panjang hitam.“O, saya mau bertemu pemilik resto ini, bisa?“O, silakan lewat pintu samping itu, Bu … ruangan yang ada itu kantor beliau. Cuma ada satu ruangan di sana. Perlu diantar?”“Tidak usah. Saya kesana sendiri saja. Terima kasih.” Wanita berseragam itu mengangguk sopan.Rindi menyusuri paving blok memanjang kearah dalam. Sepanjang kaki melangkah melewati berbagai jenis dan ukuran bonsai cantic yang berjajar rapi di bagian pinggir.
*Rindi*“Apa yang kau lakukan!?” bentaknya begitu aku muncul dari kamar mandi.“Datang tak diundang dan menerobos kamar? Apa yang kamu pikirkan? Hah!”Aku hanya bisa diam mematung dengan berlinang airmata, hal yang tak urung membuatnya terdiam. Aku tahu sejak dulu dia paling tak tahan melihat orang menangis apa lagi wanita. Rasa sayang pada ibu membuatnya selalu mengalah pada perempuan.“Sudahlah. Tinggallah di sini dulu. Kita pulang nanti malam setelah aku menemui Enjang.”Enjang. Wanita itu, aku sungguh ingin protes tapi tatapan tajam Dio membuatku bungkam. Kesalahanku kali ini memang sedikit fatal. Membuat suami harus bercinta di depan istri yang lain benar-benar tak terpikirkan sebejad apa pun diri ini. Aku bahkan merasa menjadi orang lain yang pendiam tak sanggup berdebat seperti biasa.Mengingat pengalaman perta
*Dio. Darah Perawan*Kepalaku berdenyut nyeri. Ketika hasrat memuncak mencari muara, Enjang justru beranjak. Apa dia mempermainkanku?“Kak Dio.” Sayup kedengar suara memanggil.Kuikuti arak gerakan mata Enjang ke sebuah sudut. Sesosok perempuan berdiri di depan pintu ruangan ini yang … terbuk? Kutarik kain yang terjangkau tangan menutupi tubuhku. Ketegangan di bawah sana menyakitiku. Aku bergelung karenanya, sampai suara istriku berbisik lembut.“Dia juga milikmu. Halal. Sampaikan hasratmu padanya,” katanya sambil menarik tanganku menyentuhkan pada sesuatu.Respont tubuhku menjadi jadi. Otakku buntu tak sanggup lagi berpikir. Kutarik tubuh itu mencari suatu yang lain untuk kuraih dengan bibirku yang bergetar. Dapat. Balasannya membuat pusatku bergelora.Kusingkirkan segala penghalang. Napasku memburu mendapatkan hal berbeda. Tak
Rindi menerobos masuk kamar mandi begitu aku keluar. Mungkin dia merasa tidak nyaman dengan penampilannya yang hanya berbalut handuk hotel. Kantong loundri penuh baju kotor kami sudah tak ada. Mungkin petugas telah mengambilnya.“Semoga lekas beres.” Aku bicara sendiri.Kami harus menunggu baju itu siap dipakai lagi baru bisa keluar hotel. Belanja pakaian ganti dulu jelas tak mungkin buat keadaan kami tadi. Online juga perlu waktu pengiriman. Hanya cara ini yang terbaik. Sementara kami bisa pakai baju mandi berbahan handuk yang disediakan pihak hotel sambil menunggu pakaian kami siap dipakai kembali.Menunggu Rindi mandi serasa lama sekali. Dasar perempuan. Apa saja sih yang dilakukannya di dalam sana? Hatiku terus ngedumel. Ada yang harus kulampiaskan pada wanita itu. Pelik ini jelas dia penyebabnya.“Datang tak diundang dan menerobos kamar? Apa yang kamu pikirkan? Hah!&rdquo
“Nduk … apa semua baik-baik saja?”“Nggih, Bu. Kenapa bertanya begitu?”Aku tersenyum pada wanita istimewa ini. Menutupi gundah dalam hati walau beliau selalu tahu jika anaknya ini sedang banyak memikirkan sesuatu. Filingnya sebagai ibu sungguh tajam. Menghambur kepelukannya adalah hal paling mampu memberikan ketenangan.“Kamu itu bukan anak kecil lagi. Asam garam kehidupan bukan sebentar kita rasakan. Berusahalah untuk bertanggung jawab akan segala resiko setiap keputusan yang kita ambil.”“Inggih, Bu.”“Sekarang temui suamimu sana! Kalau ada masalah, segera selesaikan dengan kepala dingin. Ibu tahu Enjang pengalaman dalam hal ini lebih dari, Nak Dio. Jangan membuatnya kebingungan.”Mendengar suaranya disebut segera saja adegan itu berkelebat di pelupuk. Syarafku kembali tegang.
“Apa! Dirubah lagi, Bu?” Pekikan bapak setengah baya itu membuatku merasa tak enak hati.Aku tak mungkin terus mengingatnya. Semua harus dilupakan. Tak menyangka hal seperti itu akan membuatku merasa trauma bahkan pada suamiku sendiri. Tak mungkin sebuah kesalahan kemudian membuatku menyerah akan pernikahan yang baru seumur jagung. Tidak. Itu bukan Enjang yang gampang menyerah. Akan kuatasi trauma ini. Menghilangkan segala jejak tak menyenangkan dan menggantinya dengan suasana baru pasti membantu.“Dirubah lagi, Bu?” tanya Rina pegawaiku takut-takut.Wanita yang kuserahi untuk mengurus proses setiap perubahan di wilayah usahaku mematung. Dahinya Nampak berkerut karena pekerjaan itu belum lama serah terima dan aku sudah berkata puas akan hasilnya kemarin. Selang tiga hari saja aku minta merubahnya.“Tiba-tiba aku tak suka, Mbak.”&