Rindi menerobos masuk kamar mandi begitu aku keluar. Mungkin dia merasa tidak nyaman dengan penampilannya yang hanya berbalut handuk hotel. Kantong loundri penuh baju kotor kami sudah tak ada. Mungkin petugas telah mengambilnya.
“Semoga lekas beres.” Aku bicara sendiri.
Kami harus menunggu baju itu siap dipakai lagi baru bisa keluar hotel. Belanja pakaian ganti dulu jelas tak mungkin buat keadaan kami tadi. Online juga perlu waktu pengiriman. Hanya cara ini yang terbaik. Sementara kami bisa pakai baju mandi berbahan handuk yang disediakan pihak hotel sambil menunggu pakaian kami siap dipakai kembali.
Menunggu Rindi mandi serasa lama sekali. Dasar perempuan. Apa saja sih yang dilakukannya di dalam sana? Hatiku terus ngedumel. Ada yang harus kulampiaskan pada wanita itu. Pelik ini jelas dia penyebabnya.
“Datang tak diundang dan menerobos kamar? Apa yang kamu pikirkan? Hah!&rdquo
“Nduk … apa semua baik-baik saja?”“Nggih, Bu. Kenapa bertanya begitu?”Aku tersenyum pada wanita istimewa ini. Menutupi gundah dalam hati walau beliau selalu tahu jika anaknya ini sedang banyak memikirkan sesuatu. Filingnya sebagai ibu sungguh tajam. Menghambur kepelukannya adalah hal paling mampu memberikan ketenangan.“Kamu itu bukan anak kecil lagi. Asam garam kehidupan bukan sebentar kita rasakan. Berusahalah untuk bertanggung jawab akan segala resiko setiap keputusan yang kita ambil.”“Inggih, Bu.”“Sekarang temui suamimu sana! Kalau ada masalah, segera selesaikan dengan kepala dingin. Ibu tahu Enjang pengalaman dalam hal ini lebih dari, Nak Dio. Jangan membuatnya kebingungan.”Mendengar suaranya disebut segera saja adegan itu berkelebat di pelupuk. Syarafku kembali tegang.
“Apa! Dirubah lagi, Bu?” Pekikan bapak setengah baya itu membuatku merasa tak enak hati.Aku tak mungkin terus mengingatnya. Semua harus dilupakan. Tak menyangka hal seperti itu akan membuatku merasa trauma bahkan pada suamiku sendiri. Tak mungkin sebuah kesalahan kemudian membuatku menyerah akan pernikahan yang baru seumur jagung. Tidak. Itu bukan Enjang yang gampang menyerah. Akan kuatasi trauma ini. Menghilangkan segala jejak tak menyenangkan dan menggantinya dengan suasana baru pasti membantu.“Dirubah lagi, Bu?” tanya Rina pegawaiku takut-takut.Wanita yang kuserahi untuk mengurus proses setiap perubahan di wilayah usahaku mematung. Dahinya Nampak berkerut karena pekerjaan itu belum lama serah terima dan aku sudah berkata puas akan hasilnya kemarin. Selang tiga hari saja aku minta merubahnya.“Tiba-tiba aku tak suka, Mbak.”&
“Apa! Hamil?” Bu Ratih mengguncang bahu anak permpuannya keras.Dengan wajah kusut masai Rindi sama sekali tak bereaksi. Membiarkan badannya terantuk-antuk ke depan dan belakang. Perutnya kembali bergejolak. Dengan lemah melepaskan diri dari pegangan ibunya berlari ke arah wastafel.“Hueeekk!!”“Ya ampun, Rindi!” Sang mama kembali memekik gemas.“Kamu gimana sih, belum bisa kuliah dan sukses, status istri yang dimadu, malah sekarang hamil. Pinter banget sih kamu jadi perempuan?” Bu Ratih terus merutuk kesal.“Sudahlah, Ma … mau gimana lagi? Hueekk!”“Kamu saja yang bodoh!” Bu Ratih mendelik menatap suaminya yang ikut campur masalah perempuan.“Apa sih maksudmu, Mas?”“Kau jaga anakmu itu. Tak perlu kuliah susah-susah dia s
Hamparan permadani di depan ruang keluarga tampak lengang. Hanya ada suara siaran TV yang menampilkan seorang wanita sedang menyampaikan berita dunia. Padahal ada tiga orang yang seperti sedang focus pada benda kotak berwarna hitam yang menempel pada bagian tengah dinding ruang.“Istrimu sudah tidur?” tanya Bu Salma.“Ayah tebak. Kalau belum tidur dia tak mungkin bertingkah manja begitu sama kamu, Ma.”Dio yang tengah menikmati belaian tangan lembut di pangkuan Sang Ibu mencibir. “Bilang aja, Ayah cemburu.”Percakapan mereka yang akrab dan hangat sedikit membuat Dio lega karena kedua orang tuanya tak menanyakan kapan dirinya berbaikan dengan Rindi hingga membuatnya hamil. Pasalnya sejak kejadian di hotel, mama dan ayahnya hanya tahu menantu pertamanya dititipkan pada orang tua di Solo sementara anak semata wayangnya ini justru ke Yogja untuk menikah lagi.&n
Pagi ini Dio sengaja menghabiskan waktu di rumah bersama Rindi. Sore nanti jatahnya kembali ke rumah Sarah. Kedua orang tuanya pergi mengunjungi kerabat jauh yang sedang mengadakan acara keluarga.Rindi menuruni anak tangga dengan wajah masih kusut. Dio yang tengah menyiapkan sarapan bagi mereka berdua tersenyum menyadari kehadiran istrinya.“Sudah bangun? Kenapa tak merapikan diri sedikit dulu? Ke kamar mandi cuci muka, gosok gigi, terus turun lagi sarapan, ya … aku tungguin,” perintah Dio sambil mengedipkan sebelah mata.Rindi tersenyum malu lalu kembali ke atas. Saat turun wajahnya telah segar terbasuh air dan sapuan bedak tipis. Pasangan muda itu lalu duduk menghadap sarapannya masing-masing. Dio membuat omelet sayur untuk menu sarapan.“Cobalah, apa bisa makan ini?” katanya menyodorkan sendok miliknya.Rindi mencoba membuka mulut dan mengecapny
“Sayang, ada yang mau Mas bicarakan.”“Soal apa?”“Apa usahaku cukup berhasil?” Aku mengerutkan kening.Belakangan sikap Mas Dio jadi banyak diam. Usilnya berkurang banyak, apa lagi tengilnya saat bersamaku. Predikat Ayah yang sebentar lagi akan disandang mungkin yang membuatnya jadi berubah. Istri muda eh, pertama yang masih muda sekarang sedang hamil.Aku lega karena suami mudaku bakal punya keturunan meski bukan dari rahimku sendiri. Rindi cukup bisa diandalkan walaupun masih sangat muda. Usianya Sembilan belas tahun sekarang ini. Sebaya anakku Royyan. Begitu yang kudengar.“Malah melamun.” Aku tergagap mendapat sentilan di dahi.‘Tentu saja. Istri mudamu sedang hamil, kan? Kau tak mau berbagi bahagia denganku?’“Sebenarnya apa yang ada di kepalamu sekarang
Aku merasa bersalah sekali. Mas Dio sangat menerima anak-anakku. Kasih sayangnya tulus membuat jiwa polos mereka mudah menerima sampai dalam hati berdampingan dengan ayah kandung. Keresahan seorang ayah yang ketakutan anaknya tak akan diterima membuatku sungguh kerdil sebagai istri dan ibu. Hanya karena rasa cemburu.“Maafkan aku.” Kupeluk suamiku erat.“Berapa bulan kandungannya?” Mas Dio diam saja menatapku.“Kenapa?”“Namanya Rindi. Apa aku egois kalau berharap kalian saling menerima?””Hanya dengan legowo menerima, kalian bisa berhubungan baik dalam batasan yang kalian inginkan. Sikap kalian akan terlihat oleh anak-anak kita, Sayang.”“Apa, dia ….”“Rindi!”“Iya! Iya, Rindi. Apa bisa juga menerimaku
Suasana rumah besar dengan halaman luas itu terlihat mewah. Cat putih bersih menandakan bahwa rumah ini masih baru di bangun. Ini istana Mas Dio bersama Rindi istri pertamanya.“Rumahmu sangat nyaman, Sayang …,” bisik Mama Rindi.“Rindi yang mint, Ma. Lagi pula aku sedang mengandung anaknya.Rumah dan tanah yang sangat luas, bukan apa-apa buat keluarga Kak Dio.Aku memberi keturunan yang suamiku inginkan bahkan jika kuminta apa saja yang lebih mahal kelak pasti dikabulkan kalau memang aku butuh.Sekarang ini sudah cukup.” Sang mama mengangguk-angguk mengerti.Sebenarnya aku tak bermaksud menguping. Suara mereka cukup keras dan jelas terdengar dari sini. Dari pintu samping, rencananya masuk dapur untuk mengambil keranjang sampah yang diminta Mas Dio tapi percakapan mereka menghentikan langkahku.“Siapa saja yang diundang?”