Hamparan permadani di depan ruang keluarga tampak lengang. Hanya ada suara siaran TV yang menampilkan seorang wanita sedang menyampaikan berita dunia. Padahal ada tiga orang yang seperti sedang focus pada benda kotak berwarna hitam yang menempel pada bagian tengah dinding ruang.
“Istrimu sudah tidur?” tanya Bu Salma.
“Ayah tebak. Kalau belum tidur dia tak mungkin bertingkah manja begitu sama kamu, Ma.”
Dio yang tengah menikmati belaian tangan lembut di pangkuan Sang Ibu mencibir. “Bilang aja, Ayah cemburu.”
Percakapan mereka yang akrab dan hangat sedikit membuat Dio lega karena kedua orang tuanya tak menanyakan kapan dirinya berbaikan dengan Rindi hingga membuatnya hamil. Pasalnya sejak kejadian di hotel, mama dan ayahnya hanya tahu menantu pertamanya dititipkan pada orang tua di Solo sementara anak semata wayangnya ini justru ke Yogja untuk menikah lagi.
&n
Pagi ini Dio sengaja menghabiskan waktu di rumah bersama Rindi. Sore nanti jatahnya kembali ke rumah Sarah. Kedua orang tuanya pergi mengunjungi kerabat jauh yang sedang mengadakan acara keluarga.Rindi menuruni anak tangga dengan wajah masih kusut. Dio yang tengah menyiapkan sarapan bagi mereka berdua tersenyum menyadari kehadiran istrinya.“Sudah bangun? Kenapa tak merapikan diri sedikit dulu? Ke kamar mandi cuci muka, gosok gigi, terus turun lagi sarapan, ya … aku tungguin,” perintah Dio sambil mengedipkan sebelah mata.Rindi tersenyum malu lalu kembali ke atas. Saat turun wajahnya telah segar terbasuh air dan sapuan bedak tipis. Pasangan muda itu lalu duduk menghadap sarapannya masing-masing. Dio membuat omelet sayur untuk menu sarapan.“Cobalah, apa bisa makan ini?” katanya menyodorkan sendok miliknya.Rindi mencoba membuka mulut dan mengecapny
“Sayang, ada yang mau Mas bicarakan.”“Soal apa?”“Apa usahaku cukup berhasil?” Aku mengerutkan kening.Belakangan sikap Mas Dio jadi banyak diam. Usilnya berkurang banyak, apa lagi tengilnya saat bersamaku. Predikat Ayah yang sebentar lagi akan disandang mungkin yang membuatnya jadi berubah. Istri muda eh, pertama yang masih muda sekarang sedang hamil.Aku lega karena suami mudaku bakal punya keturunan meski bukan dari rahimku sendiri. Rindi cukup bisa diandalkan walaupun masih sangat muda. Usianya Sembilan belas tahun sekarang ini. Sebaya anakku Royyan. Begitu yang kudengar.“Malah melamun.” Aku tergagap mendapat sentilan di dahi.‘Tentu saja. Istri mudamu sedang hamil, kan? Kau tak mau berbagi bahagia denganku?’“Sebenarnya apa yang ada di kepalamu sekarang
Aku merasa bersalah sekali. Mas Dio sangat menerima anak-anakku. Kasih sayangnya tulus membuat jiwa polos mereka mudah menerima sampai dalam hati berdampingan dengan ayah kandung. Keresahan seorang ayah yang ketakutan anaknya tak akan diterima membuatku sungguh kerdil sebagai istri dan ibu. Hanya karena rasa cemburu.“Maafkan aku.” Kupeluk suamiku erat.“Berapa bulan kandungannya?” Mas Dio diam saja menatapku.“Kenapa?”“Namanya Rindi. Apa aku egois kalau berharap kalian saling menerima?””Hanya dengan legowo menerima, kalian bisa berhubungan baik dalam batasan yang kalian inginkan. Sikap kalian akan terlihat oleh anak-anak kita, Sayang.”“Apa, dia ….”“Rindi!”“Iya! Iya, Rindi. Apa bisa juga menerimaku
Suasana rumah besar dengan halaman luas itu terlihat mewah. Cat putih bersih menandakan bahwa rumah ini masih baru di bangun. Ini istana Mas Dio bersama Rindi istri pertamanya.“Rumahmu sangat nyaman, Sayang …,” bisik Mama Rindi.“Rindi yang mint, Ma. Lagi pula aku sedang mengandung anaknya.Rumah dan tanah yang sangat luas, bukan apa-apa buat keluarga Kak Dio.Aku memberi keturunan yang suamiku inginkan bahkan jika kuminta apa saja yang lebih mahal kelak pasti dikabulkan kalau memang aku butuh.Sekarang ini sudah cukup.” Sang mama mengangguk-angguk mengerti.Sebenarnya aku tak bermaksud menguping. Suara mereka cukup keras dan jelas terdengar dari sini. Dari pintu samping, rencananya masuk dapur untuk mengambil keranjang sampah yang diminta Mas Dio tapi percakapan mereka menghentikan langkahku.“Siapa saja yang diundang?”
“Kalau mama Ratih mau merusak acara kami lebih baik Pak Maman biar mengantar mama pulang!” Suara rendah tapi tegas mengagetkan kami berdua terutama Bu Ratih.Wajah berdadan menor itu tak bisa menyembunyikan semburat ketakutan di wajahnya. Begitupun Sang Putri yang mematung di samping pintu sambil memegangi perut seolah menunjukkan itu adalah kekuatan terbesarnya saat ini.“Eh, nak Dio. Kami hanya ngobrol. Iya kan?” katanya sambil menggamit lenganku. Pandai sekali wanita ini.“Ayo!” Mas Dio merangkul tubuh ini sehingga terlepas dari pegangan. Aku mengikutinya sementara mertuanya melirik tak suka.“Mari ikut saya, Ma!” katanya kemudian. Mungkin dia menyadari lirikan itu.Dengan mengeraskan suara, Mas Dio mengumpulkan semua orang. Mau tak mau semua yang hadir berkumpul memutari sebuah meja oval besar di tengah area. Mata me
Berputar mematut diri di depan cermin sudah kulakukan berulang kali. Hari ini jatahku bersama Mas Dio. Aku ingin terlihat segar saat menyambutnya nanti. Beberapa waktu lalu saat jatahku tiba, suami mudaku tak bergairah seperti biasa. Aku takut sudah tak menarik lagi.‘Enjang, Rindi melahirkan. Maaf, aku tak jadi datang.’Aku mendesah kecewa. Pesan singkat yang masuk di aplikasi hijau dari Mas Dio membuat semangat yang tadi membara luruh. Aku hanya membalasnya singkat.‘Ya. Semoga lancar.’‘Aamiin.’Tanda online di ponsel mati. Aku mengerti hanya saja kenapa sekarang, saat hatiku sedang mellow? Kusibukkan diri bekerja lebih giat. Mangupdate menu baru, mengganti tata ruang, memangkas dan membentuk koleksi bonsai di halaman dan banyak lagi. Kelelahan akan membuatku cepat tidur dan tak sempat lagi melamunkan keberadaan suami yang sedang jauh
Selepas menunaikan kewajiban seorang hamba pagi ini aku segera bersiap ke luar kota. Beberapa memo kubuat untuk Mbak Rina asisten pribadiku. Menyerahkan tanggung jawab D’café sepenuhnya selama aku tidak ada.“Pagi begini sudah gendong tas mau kemana, Nduk?” Ibu menyambutku di ruang makan dengan pandangan heran.“Mau menyusul Mas Dio, Bu keluar kota. Ada yang harus kami kerjakan bersama.”Terpaksa aku kembali berbohong agar orang tua itu tak khawatir. Ibu hanya mengangguk ragu. Ini terlalu mendadak tak seperti kebiasaanku yang telah memberitahukan setiap rencana jauh-jauh hari. Kami sarapan bersama tanpa banyak suara. Selesaai sarapan aku kembali ke kamar mengingat akan melakukan sesuatu.Kamarku kedap suara. Sebelum ke rumah sakit, aku ingin memastikan apakah semua keluarganya tahu keadaan suamiku? Mengingat hal itu segera kugulir layar mencari kontak bertulis &ls
*Enjang Wuni Safitri*Sampai di depan sebuah ruang rawatan VIP yang ditunjukkan seorang perawat aku melihat seorang lelaki tengak duduk tepekur di sebuah kursi. Semakin dekat aku bisa mengenali sososknya. Dia adalah Pak Agus, Ayah Rindi.“Kenapa menunggu di luar, Pak?” sapaku.Reaksi bapak tiga anak yang tak beda jauh usianya denganku itu terperanjat kaget. Mungkin tadi dia sedang melamunkan sesuatu. Matanya merah menandakan kalau kurang tidur semalam. Mulutnya terbuka sedikit seperti mau mengatakan sesuatu tapi menutup kembali dengan terus melihat ke arahku.“Kenapa melihat saya begitu, Pak?” tanyaku sambil mendudukkan diri di sampingnya berjarak satu kursi.“Anu, siapa yang mengabari?” katanya gugup.“Kenapa kalian sengaja tak mengabari keluarga, bahkan orang tuanya? Kalau terjadi apa-apa bagaimana?”&l