*Enjang Wuni Safitri*
Sampai di depan sebuah ruang rawatan VIP yang ditunjukkan seorang perawat aku melihat seorang lelaki tengak duduk tepekur di sebuah kursi. Semakin dekat aku bisa mengenali sososknya. Dia adalah Pak Agus, Ayah Rindi.
“Kenapa menunggu di luar, Pak?” sapaku.
Reaksi bapak tiga anak yang tak beda jauh usianya denganku itu terperanjat kaget. Mungkin tadi dia sedang melamunkan sesuatu. Matanya merah menandakan kalau kurang tidur semalam. Mulutnya terbuka sedikit seperti mau mengatakan sesuatu tapi menutup kembali dengan terus melihat ke arahku.
“Kenapa melihat saya begitu, Pak?” tanyaku sambil mendudukkan diri di sampingnya berjarak satu kursi.
“Anu, siapa yang mengabari?” katanya gugup.
“Kenapa kalian sengaja tak mengabari keluarga, bahkan orang tuanya? Kalau terjadi apa-apa bagaimana?”
&l
“Kenapa papa izinkan dia masuk? Sakitnya Dio itu parah kalau sampai dia mati cepat dan sempat berwasiat sama istinya yang tua itu kita rugi, Pa!” Kata-kata ibunya Rindi benar-benar membuatku kaget.“Apa yang kalian rencanaka!” Mereka berbalik bersamaan.“Sebaiknya kamu pulang saja! Kau istri tak berguna yang suaminya sakit saja tak tahu saat bersamamu. Sekarang biarkan kami keluarga Rindi yang mengurus sampai sembuh,” kata wanita itu arogan.“Dokter! Dokter sebentar.” Bu Ratih mencegat dokter yang akan masuk ruangan memeriksa Mas Dio.“Ya, Bu.”“Ini, Dok. Sebaiknya dia dilarang saja bertemu menantu saya. Takutnya nanti malah membuat pasien tambah parah.”“Maaf ini siapanya pasien ya?”“Dia orang ketiga ….”
Semilir angin sore dari jendela kamar rawat ini membawa aroma melati dari taman. Aku lebih baik focus ke luar meski kuping terganggu oleh suara semacam radio rusak yang menyakiti telinga. Berdenging.“Minum susunya itu kuat sekali, Nak. ASI Rindi sampai kering kau tahu? Terpaksa mama kasih formula, kalau tidak ya, nangis terus. Itu harus tiap dua jam lho mama bangun buat bikin susu.” Bu Ratih terus berceloteh menceritakan setiap polah Sang Cucu.Semula Mas Dio antusias mendengarkan tetapi seperti halnya aku lama-lama jenuh juga. Matanya tampak sayu karena mengantuk. Mungkin obat dari dokter yang membuatnya agar bisa beristirahat. Pandangannya sesekali mengarah padaku sambil berusaha menaggapi cerita mertua sekedarnya.“Mama pulang saja. Bukannya Rindi perlu bantuan kasihan sendirian,” kata Mas Dio sopan.“Rindi sekarang sudah panggil pengasuh anak, jadi tak masalah, Nak?
Aku sedih melihat suami mudaku yang biasa gagah dan tegas terbaring tak berdaya. Matanya menutup sempurna dengan napas mengalir teratur. Mas Dio tertidur dengan tangan menggenggam ujung bajuku. Tampak seperti bayi besar takut kehilangan ibunya. Senyumku terbit menyadarinya.Teringat pesan dokter tadi aku menghentikan belaian di pucuk kepalanya dan mencoba melepaskan tangan Mas Dio dari bajuku. Membetulkan letak selimut dan melangkah keluar ruangan mencari ruang dokter yang menangani suamiku.Rasa tegang tib- tiba hadir begitu berhadapan dengan wanita berjas putih dengan nametag Dr. Marta di bagian dada.“Jadi begini, Bu Enjang. Dari pemeriksaan kami di kepala Pak Dio ada semacam sumbatan kecil di syaraf otaknya.Setelah melakukan serangkaian tes, baru akan diketahui apakah sumbatan itu berbahaya atau tidak. Kami harap itu bukan sejenis tumor.Gejolak perasaan terlalu senang atau ketegangan yang berula
Mobil yang membawa kami melaju perlahan menembus jalanan kota yang lumayan padat sore ini. Jam kantor usai beberapa menit yang lalu hingga jalanan ramai orang pulang dari bekerja.“Harusnya kita berangakat lebih cepat biar terhindar dari tumpahan orang kantor keluar,” gerutuku tak sabar. Mas Dio hanya tersenyum tenang.“Kau baik-baik saja?”“Iya jangan khawatir.”Kami memutuskan pulang untuk mempersiapkan diri melakukan pemeriksaan lanjutan seperti yang dijadwalkan dokter. Mas Dio kekeh minta diantar ke rumah Rindi. Mungkin kangen istrinya itu juga putra mereka. Sejak kejadian ribut di ruang rawat waktu itu kedua orang tua Rindi juga tak datang lagi ke rumah sakit.Rumah tampak sepi saat kami masuk. Pak Satpam membukakan pintu bagi kami dan mengangguk. Banyak yang berubah pada rumah ini terutama keamanannya. Kalau bukan wajah bos mereka yang mu
Selasai membersihkan diri di kamar mandi yang ada di dalam kamar ini aku merebahkan badan di pembaringan. Rasa penat langsung terasa begitu kepala menyentuh bantal. Pikirku biarlah terlelap sebentar sampai maghrib beberapa menit lagi, tapi gedoran di pintu membuatku terlonjak duduk.Pintu terbuka menampilkan sosok menyeramkan Bu Ratih yang sedang dilanda amarah yang memuncak. Ada apa? Hatiku bertanya-tanya tak mengerti.“Apa yang kau rencanakan hah!Ayo kesini!” Tanganku diseret keluar dan untungnya jilbab instan tetap terpasang di kepala.Di sebuah ruangan tampak Rindi bersimpuh di kaki suami kami yang sedang duduk di sebuah kursi dengan wajah frustasi.“Ada apa, Mas?” tanyaku bingung.Mas Dio menatapku dengan pandangan penuh kesedihan. Segera kukibaskan tangan gempal yang masih mencenggkeram pergelangan tangan dan segera menghampiri lelaki y
Kita mau kemana?”“Apartemenku.”Sepanjang perjalanan aku hanya banyak diam. Salah bicara justru akan membuat perasaanya bertambah buruk. Mas Dio membaringkan kepala di pangkuanku. Tubuhnya yang jangkung meringkuk di jok tengah mobil yang kami sewa melalui aplikasi.Turun dari mobil Mas Dio berjalan terhuyung tak stabil. Tubuh kecilku kewalahan menahan bobotnya. Beberapa orang yang mengenali menawarkan bantuan tapi ditolak. Mereka adalah tetangga kiri kanan yang kerap berjumpa saat sama-sama keluar atau masuk. Interaksi di lingkungan apartemen hanya sekedarnya saling sapa senyum saat bersitatapDengan tergesa kami mencapai pintu yang hanya beberapa blok dari lobi. Begitu mencapai ranjang Mas Dio menjatuhkan diri begitu saja dengan asal. Kaki panjangnya masih melambai di pinggir tempat tidur. Susah payah kutarik ke tengah agar lebih nyaman.“Istirahat
Saat sedang berbaring pada bantal yang sama, adalah waktu paling baik bagi suami istri untuk saling bicara. Begitupun kami sekarang. Menjadi diri yang jujur tanpa khawatir apa pun. Ceritanya mengalir tentang keluarga istrinya yang lain. Rindi.“Dia masih sangat muda, Sayang … bersabarlah,” kataku sambil membingkai wajahnya.“Justru karena dia masih muda. Cara didik yang salah membuatnya jadi buruk. Padahal masa pembentukan karakter anakku ada padanya,” ucapnya sedih.“Apa rencanamu?”“Yang pasti aku tak bisa mempercayakan anak keturunanku pada orang-orang yang tamak, rakus harta, dan enggan belajar hidup lebih baik.”“Sudah ada Azka.Jangan gegabah memutuskan, Mas … kurasa ancamanmu tadi sudah cukup.Kalian bisa menata ulang kehidupan lebih baik.Tinggallah terpisah dari orang tuanya.
Keranjang belanja yang kami dorong bersama hampir penuh, tapi Mas Dio tetap memutari rak-rak tinggi. Senyum kami tak pernah lepas. Kekonyolan suamiku ini kambuh. Ada saja yang dilakukannya. Mencuri ciuman di pipiku atau menempelkan benda dingin hingga aku berjengit. Tawanya lepas mengundang perhatian.“Mas, malu lah …,” kataku pura-pura merajuk.“Malu kenapa? Sama istri sendiri ini.” Dia manyun lucu membuatku ingin tertawa.Bisik-bisik kekaguman beberapa kaum hawa membuat dadaku panas dibuat cemburu. Jelas aku tak ingin suamiku tahu. Segera kugamit lengannya menjauhi mereka. Para perempuan yang mungkin haus kasih sayang.“Kenapa?” tanyanya bingung lalu mengikuti arah pandangku. Tawa tengilnya mencurigakan.“Hai!Lihat kalian berhasil membuat istriku cemburu,” katanya keras membuat beberapa orang terbahak semakin