Selasai membersihkan diri di kamar mandi yang ada di dalam kamar ini aku merebahkan badan di pembaringan. Rasa penat langsung terasa begitu kepala menyentuh bantal. Pikirku biarlah terlelap sebentar sampai maghrib beberapa menit lagi, tapi gedoran di pintu membuatku terlonjak duduk.
Pintu terbuka menampilkan sosok menyeramkan Bu Ratih yang sedang dilanda amarah yang memuncak. Ada apa? Hatiku bertanya-tanya tak mengerti.
“Apa yang kau rencanakan hah!
Ayo kesini!” Tanganku diseret keluar dan untungnya jilbab instan tetap terpasang di kepala.
Di sebuah ruangan tampak Rindi bersimpuh di kaki suami kami yang sedang duduk di sebuah kursi dengan wajah frustasi.
“Ada apa, Mas?” tanyaku bingung.
Mas Dio menatapku dengan pandangan penuh kesedihan. Segera kukibaskan tangan gempal yang masih mencenggkeram pergelangan tangan dan segera menghampiri lelaki y
Kita mau kemana?”“Apartemenku.”Sepanjang perjalanan aku hanya banyak diam. Salah bicara justru akan membuat perasaanya bertambah buruk. Mas Dio membaringkan kepala di pangkuanku. Tubuhnya yang jangkung meringkuk di jok tengah mobil yang kami sewa melalui aplikasi.Turun dari mobil Mas Dio berjalan terhuyung tak stabil. Tubuh kecilku kewalahan menahan bobotnya. Beberapa orang yang mengenali menawarkan bantuan tapi ditolak. Mereka adalah tetangga kiri kanan yang kerap berjumpa saat sama-sama keluar atau masuk. Interaksi di lingkungan apartemen hanya sekedarnya saling sapa senyum saat bersitatapDengan tergesa kami mencapai pintu yang hanya beberapa blok dari lobi. Begitu mencapai ranjang Mas Dio menjatuhkan diri begitu saja dengan asal. Kaki panjangnya masih melambai di pinggir tempat tidur. Susah payah kutarik ke tengah agar lebih nyaman.“Istirahat
Saat sedang berbaring pada bantal yang sama, adalah waktu paling baik bagi suami istri untuk saling bicara. Begitupun kami sekarang. Menjadi diri yang jujur tanpa khawatir apa pun. Ceritanya mengalir tentang keluarga istrinya yang lain. Rindi.“Dia masih sangat muda, Sayang … bersabarlah,” kataku sambil membingkai wajahnya.“Justru karena dia masih muda. Cara didik yang salah membuatnya jadi buruk. Padahal masa pembentukan karakter anakku ada padanya,” ucapnya sedih.“Apa rencanamu?”“Yang pasti aku tak bisa mempercayakan anak keturunanku pada orang-orang yang tamak, rakus harta, dan enggan belajar hidup lebih baik.”“Sudah ada Azka.Jangan gegabah memutuskan, Mas … kurasa ancamanmu tadi sudah cukup.Kalian bisa menata ulang kehidupan lebih baik.Tinggallah terpisah dari orang tuanya.
Keranjang belanja yang kami dorong bersama hampir penuh, tapi Mas Dio tetap memutari rak-rak tinggi. Senyum kami tak pernah lepas. Kekonyolan suamiku ini kambuh. Ada saja yang dilakukannya. Mencuri ciuman di pipiku atau menempelkan benda dingin hingga aku berjengit. Tawanya lepas mengundang perhatian.“Mas, malu lah …,” kataku pura-pura merajuk.“Malu kenapa? Sama istri sendiri ini.” Dia manyun lucu membuatku ingin tertawa.Bisik-bisik kekaguman beberapa kaum hawa membuat dadaku panas dibuat cemburu. Jelas aku tak ingin suamiku tahu. Segera kugamit lengannya menjauhi mereka. Para perempuan yang mungkin haus kasih sayang.“Kenapa?” tanyanya bingung lalu mengikuti arah pandangku. Tawa tengilnya mencurigakan.“Hai!Lihat kalian berhasil membuat istriku cemburu,” katanya keras membuat beberapa orang terbahak semakin
Dapur nampak berantakan karena Mama Salma sedang memasak cukup banyak. Kami memang mengabari akan makan siang di sini. Mas Dio kangen masakan mamanya. Pindang mangut buatan Mama Mertua memang tak ada duanya. Santannya pas tidak terlalu kental dengan rasa khas ikan asap yang gurih mudah membangkitkan selera makan.“Dio Nampak agak kurusan, Enjang?Apa saking sibuknya karena ada Azka?Beberapa kali mama telephon selalu ada di rumah Rindi.Kalian tidak sedang bermasalah, kan?” tanya wanita yang masih sibuk mengaduk sesuatu dalam panic di atas kompor.“Kami baik baik saja, Ma,” jawabku hati-hati.“Mama tahu saat bersamamu, anak mama sangat bahagia,” kata Mama Salma sambil tersenyum menatapku.Tatapan itu sulit kuartikan maknanya jadi lebih baik diam mendengarkan sambil membaca gestur tubuh beliau sehingga bis
Matahari masih malu-malu untuk menampakkan diri karena mendung masih bergelayut meski hujan semalam telah berhenti. Bau tanah basah di pekarangan samping terasa menyejukkan. Telah Dua pekan aku dan suami pindah ke rumah ini dari apartemen yang terasa sempit.“Enjang lemes banget, Mas ….”“Saking semangatnya beberes, kelelahan ya?” katanya sambil memegang dahiku.“Agak hangat. Apa demam? Ke dokter ya ….”“Nanti sore kita ada jadwal ketemu dokter Marta mengambil hasil biopsy milikmu, sekalian saja,” kataku lemah.“Ya.Kemarin lalu aku malas mengambil hasil tiap test.Semua berkas kesehatan milikku ada di Marta,” katanya datar.Mas Dio memang tak semangat berobat sejak awal kalau saja aku dan dokternya tak berusaha membujuk dengan sabar. Dokter Marta memang berteman den
Rangkaian pengobatan Mas Dio telah dimulai. Pemeriksaan ulang dan lain-lain membuat kami bolak balik rumah sakit. Untunglah kehamilanku kali ini tidak terlalu bermasalah. Hanya mual pagi hari yang tidak parah. Bisa masuk makanan dan susu hal yang sangat kusyukuri.“Baiklah.Besok jadwal operasinya ya, Pak … boleh datang siang atau sore.Puasa dulu minimal enam jam sebelum tindakan.Jadwal tindakan jam delapan malam jadi jangan datang mepet waktu karena harus observasi terlebih dulu,” intruksi dokter panjang lebar.“Baik, Dok,” jawabku.Mas Dio hanya diam dan tak bersemangat. Tangannya terus membelit jemari ini membuatku merasa sedikit tidak nyaman oleh tatapan orang-orang yang berpapasan juga para suster dan dokter.“Datang agak awal biar proses observasi sebelum tindakan tidak terburu-buru,” pesannya sekali lagi ketika kami telah
Ruang operasi masih tertutup rapat dengan lampu merah menyala di atas pintu. Keluarga Pratama berkumpul di luar ruangan dengan gelisah. Ayah dan ibunya saling menguatkan. Rindi juga tampak gelisah didampingi orang tuanya. Aku duduk di kursi pojok memisahkan diri dari yang lain. Sendirian sambil terus menunduk memanjatkan doa.Bapak dan ibuku juga dikabari soal menantunya yang hari ini menjalani operasi, untuk meminta doa, tapi keluarga sepakat melarang agar jangan ikut ke rumah sakit karena rawan usia juga jarak yang jauh.‘Semoga operasi Ayah Dio lancar, Bunda. Segera pulih dan tidak meninggalkan sakit yang lain. Syafakallah’Pesan dari Royyan di ponsel membuatku terharu. Begitu pun Syifa, Mas Marwan dan Dian istrinya juga mengirimkan doa dan dorongan semangat untuk Mas Dio lewat pesan WA. Aku jadi merasa tak sendirian. Masih banyak orang-orang yang menyayangi kami.“Mbak Enjang, a
“Ma, sepertinya Kak Dio mengira ini kecelakaan motor waktu Rindi masih SMP dulu,” kata wanita berambut lurus sebahu itu membuat tubuh luruh ke sofa di belakangku berdiri.Mama Salma menutup mulut dengan tangan. Pak Bayu juga mengalihkan pandangan dengan menyeka ujung mata. Aku bingung harus bagaimana tanpa sadar aku mengelus perut yang masih rata. Semoga tidak amnesia permanent.Mas Dio mulai memegangi kepalanya sambil merintih pelan. Sang Mama segera sadar dan memegangi tangn putranya menenangkan sambil menatap tajam menantu perempuannya itu sebagai tanda agar tak mengucapkan kata-kata yang memberatkan pikiran untuk mengingat.“Jangan pikirkan apapun. Masih banyak waktu sampai kamu pulih, Nak.”“Kenapa, Ma?Jangan sedih.Apa luka di kepalaku parah?Ini sakit kalau digerakkan,” katanya sambil mendesah kesakitan.“Suda
Prosesi pemakaman papa berjalan lancar dihadiri segelintir tetangga yang mengenal keluarga mama. Rumah yang ditinggali sekarang memang rumah warisan nenek untuk anak perempuannya itu dan keluarga nenek dulu termasuk orang baik di lingkungan.Kak Dio dan keluarga besar Pratama juga hadir termasuk Azka dan … Enjang.Aku mengabari Kak Dio berharap mendapatkan simpatinya tak menyangka mereka datang rombongan termasuk wanita itu.Mama Salma memelukku dengan tangis lirih. Aku tahu beliaulah yang paling menerimaku dalam keluarga itu. Ayah mertua yang dulu juga sangat mendukung aku dan putranya menjadi keluarga utuh monogamy sekarang acuh tak acuh karena kepercayaannya telah ternodai oleh perbuatan jahat orang tuaku di masa lalu.“Mama … ayo pulang.”Mama masih bergeming menatap kosong pada gundukan tanah merah di mana jasad papa beristirahat untuk selamanya. Wanita itu seperti punya naluri bahwa keluarganya tengah berkabung. Meski tidak menangis tapi terus-terusn berwajag sendu. Sangat penu
Hari sudah malam ketika aku berjalan lunglai menuju pintu rumah. Lampu ruang tamu masih menyala seperti saat kutinggalkan mengikuti Kak Dio tadi. Dari balik kaca aku masih bisa melihat dengan jelas tubuh kurus Papa yang terduduk membisu di depan TV. Aku tahu beliau tidak sedang menonton karena layar datar di depannya terlihat gelap.Apakah yang sedang dipikirkannya?Kalah oleh tubuh ringkihnya pikiran papa masih normal untuk memahami banyak hal. Tentu itu penyiksaan tersendiri bagi beliau. Beda dengan mama yang sekarang bahkan tak mengingat aku sebagai putrinya.“Papa ….”Rupanya papa duduk sambil memejamkan mata. Mungkin tertidur saat menungguku pulang karena sejak aku datang lelaki yang dulu selalu lembut pada keluarga itu tak melepas pandangan dari putri kesayangannya ini. Bagaimanapun jahatnya papa di luar sana dia tetap seorang suami dan ayah terbaik.Aku tersentak mendapati tubuh papa yang sangat panas. Kuraba dahi untuk memastikan dan ternyata benar kalau papa demam tinggi. Su
Telah satu jam lebih lamanya kami tetap duduk berhadapan terhalang sebuah meja kecil dan saling membisu. Di meja itu terdapat dua gelas minuman dingin yang es batunya telah mencair juga sebuah map yang tergeletak begitu saja.Setelah ketegangan di rumah mama dan papa tadi kami sepakat untuk bicara berdua secara pribadi. Café inilah yang dipilih Kak Dio. Lelaki yang kulihat semakin tampan diusia matang itu setia menekuri lantai dibawahnya. Wajah cantic istrinya ini yang telah lima tahun berpisah pun bahkan tak menarik minatnya. Justru lembaran berkas perceraian yang disodorkan di depanku.Keterlaluan!“Sampai kapan kau akan bersikap begitu, Rindi?” tanya, Kak Dio menatapku lelah.Haruskah aku mengalah?“Pikirkan baik-baik. Uang dan waktumu bisa kau gunakan untuk mengurus keluargamu yang sekarang keadaannya memprihatinkan. Juga adik yang perlu perhatianmu. Aku tak mungkin terus mengurus mereka apalagi kau sudah kembali.” Uraian panjang itu justru membuat emosiku menanjak.“Semua itu ka
“Benar, Pak. Bu Rindi datang ke rumah lama Pak Amir lalu pergi lagi setelah mendapati rumah berpindah pemilik.” “Apa kau tahu ke mana lagi dia pergi setelahnya?” “Ya. Pak. Kami terus mengikutinya dan perkiraan kita tepat sekali. Bu Rindi kemudian mengunjungi rumah lama orang tuanya. Seperti perintah Pak Dio, pengurus rumah tidak bekerja di hari sebelumnya hingga keadaan mereka menjadi sangat menyedihkan.” “Baik. Terus awasi dia! Saya meluncur kesana,” kataku mengakhiri panggilan telephon orang suruhan yang bekerja mengikuti pergerakan Rindi. Aku tak boleh kembali kecolongan. Sikap polos istri pertamaku itu telah melenceng jauh dari harapan agar menjadi wanita yang pantas untuk Azka putra pertamaku bersamanya. Rindi merusak semuanya. Menyakiti anaknya sendiri demi ego, juga bertindak keterlaluan pada Enjang yang nota bene seseorang yang telah menolongnya bertahun-tahun mengasuh seorang anak dari suami dengan wanita lain meski itu adalah istri pertama suaminya. Aku memiliki anak-a
Rindi melesat membelah jalanan bersama limousine hitam yang kendarainya. Bentuknya yang panjang sebenarnya sedikit merepotkan mengingat di Indonesia begitu banyak daerah macet lalu lintas dan juga sangat repot ketika mendatangi wilayah padat penduduk dengan gang-gang sempit seperti kota J. “Aku harus segera ganti mobil,” gerutu Rindi sambil berjuang keras mengendalikan kendaraannya. Limousine itu dibelinya menghabiskan tabungan nafkah yang selalu dikirimkan oleh sang suami tetapi tidak terpakai. Dengan harapan menaikkan status social di depan Enjang ketika kembali dari luar negeri. Sayangnya mencari sopir pribadi untuk layaknya pemilik sebuah limousine tidaklah mudah apa lagi dulu Rindi selalu tergantung suami, mama atau papanya untuk segala urusan hidup. Bahkan ketika dirinya telah berstatus istri Dio, peran orang tuanya tetap besar menyetir hidup Rindi. Rindi kesulitan hidup mandiri di Negara ini yang memang armada umum tak sebaik kota terakhir dirinya tinggal di luar sana. Setel
Dio melajukan mobil dengan kecepatan sedang ke arah timur kota. Melewati pemukiman yang cukup padat kemudian lurus naik mengarah ke tanah luas berbukit. Suasana asri segera terpampang memanjakan penglihatan. Pepohonan rindang berjejer rapi di kanan kiri jalan. Hingga sampailah pada sebuah gerbang yang lengkap dengan post penjagaan.Bimm!!!Seorang lelaki berseragam biru tua dengan topi di kepala bergegas keluar memeriksa. Setelah dipastikan mengenal mobil dan pengendaranya, kemudian dia bergegas membuka gerbang.Dio melesat masuk bersama kendaraannya menyusuri taman yang cukup luas untuk mencapai rumahnya bersama Rindi.Tampak di kejauhan petugas yang membuka gerbang tengah bicara dengan seseorang.“Benar, Pak Amir. Pak Dio datang sendirian.”“....”“Baik, Pak.”🍀“Ada apa, Pak?” tanya Bu Amir melihat ketegangan di wajah suaminya.“ Den Dio datang sendirian tanpa memberi kabar terlebih dahulu.”“Kita tidak pernah membuat masalah, Pak ... Kenapa harus khawatir?” tanya istrinya lagi de
Denting sendok terdengar berirama di meja makan rumah Enjang dan Dio. Meja oval dengan enam kursi yang mengelilingi telah terisi lima dan menyisakan satu yang kosong. Biasanya kursi itu akan digunakan seorang pengasuh untuk membantu anak-anak. Hanya saja sejak si kembar tiga tahun Enjang memutuskan untuk mengasuh mereka dengan tangannya sendiri. Azka berusia menjelang empat tahun saat itu. Usia pra sekolah adalah masa penting anak banyak belajar dan meniru orang terdekat hingga dirinya rela bersusah payah karena tak ingin anak-anaknya salah didikan. Enjang sangat protektif akan perkembangan anaknya termasuk anak Sang Suami dengan wanita lain sekalipun. “Pergi ke kamar kalian dan kerjakan tugas seperti biasa. Jam sembilan bunda naik untuk memastikan kalian sudah bersiap untuk tidur. Besok sekolah,” kata Enjang begitu ketiga anak itu sudah menyelesaikan makan malam. Mereka bergegas beranjak meninggalkan ruang makan menuju lantai dua di mana kamar mereka berada. Sang ayah membuat sebu
“Bagaimana sebenarnya Ibu menyampaikan pesan Rindi sama perempuan itu?” tanyaku langsung tanpa basa-basi. Tampak dahi wanita berbusana serba hitam itu mengerenyit dalam. Aku tak peduli karena saat ini hati tidak sedang dalam mode baik-baik saja. Hatiku sakit karena ulah mereka semua. Bahkan guru mengaji pribadi yang selalu koar-koar padaku agar menjaga keutuhan keluarga demi surga ini tidak becus mengemban tugas kecil. Menyampaikan pada wanita itu bahwa aku pergi bukan karena tak mencintai suami. Aku dan Kak Dio saling mencintai. “Sepertinya Mak Rindi datang dengan rasa marah. Ada apa?” tanyanya dengan suara lembut. Tak pengaruh bagiku dengan kelembutannya karena hati sedang panas. “Ada apa? Ibu yang kenapa?” Aku menunjuk dengan jemari lentik berhena coklat ini tepat ke arah wajahnya. Dia mundur dengan secara reflek. Kerutan di dahinya semakin bertumpuk. “Rindi minta tolong untuk menyampaikan pesan bahwa kami saling mencintai agar wanita tua itu tidak songong, bukan suruh dia
Rindi tertegun menyaksikan ruang kerjanya sangat berantakan. Perlahan dirinya bangkit dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Tak lama kemudian penampilannya telah rapi dan segar dengan busana muslim simple melekat ditubuh langsingnya.Rindi melangkah anggun keluar dari ruangan pribadinya melewati para pegawai butik yang segera menyibukkan diri masing-masing.Tak tampak kekacauan yang baru saja terjadi pada dirinya.“Tolong bereskan ruangan atas, ya.Saya mau keluar jadi selesaikan segera sebelum saya kembali.” Perintahnya lugas layaknya bos.“Baik, Bu.”Rindi memang menjadikan lantai dua butiknya sebagai kantor dan tempat tinggal sementara. Dirinya belum kembali ke rumah kediamannya bersama Dio karena cukup jauh dari kantor Sang Suami.Niatnya sebelum kembali ke rumah itu, Rindi akan memantau kehidupan suami bersama madu dan juga anaknya yang dalam pengasuhan istri kedua suaminya itu.Sayang, se