Dapur nampak berantakan karena Mama Salma sedang memasak cukup banyak. Kami memang mengabari akan makan siang di sini. Mas Dio kangen masakan mamanya. Pindang mangut buatan Mama Mertua memang tak ada duanya. Santannya pas tidak terlalu kental dengan rasa khas ikan asap yang gurih mudah membangkitkan selera makan.
“Dio Nampak agak kurusan, Enjang?
Apa saking sibuknya karena ada Azka?
Beberapa kali mama telephon selalu ada di rumah Rindi.
Kalian tidak sedang bermasalah, kan?” tanya wanita yang masih sibuk mengaduk sesuatu dalam panic di atas kompor.
“Kami baik baik saja, Ma,” jawabku hati-hati.
“Mama tahu saat bersamamu, anak mama sangat bahagia,” kata Mama Salma sambil tersenyum menatapku.
Tatapan itu sulit kuartikan maknanya jadi lebih baik diam mendengarkan sambil membaca gestur tubuh beliau sehingga bis
Matahari masih malu-malu untuk menampakkan diri karena mendung masih bergelayut meski hujan semalam telah berhenti. Bau tanah basah di pekarangan samping terasa menyejukkan. Telah Dua pekan aku dan suami pindah ke rumah ini dari apartemen yang terasa sempit.“Enjang lemes banget, Mas ….”“Saking semangatnya beberes, kelelahan ya?” katanya sambil memegang dahiku.“Agak hangat. Apa demam? Ke dokter ya ….”“Nanti sore kita ada jadwal ketemu dokter Marta mengambil hasil biopsy milikmu, sekalian saja,” kataku lemah.“Ya.Kemarin lalu aku malas mengambil hasil tiap test.Semua berkas kesehatan milikku ada di Marta,” katanya datar.Mas Dio memang tak semangat berobat sejak awal kalau saja aku dan dokternya tak berusaha membujuk dengan sabar. Dokter Marta memang berteman den
Rangkaian pengobatan Mas Dio telah dimulai. Pemeriksaan ulang dan lain-lain membuat kami bolak balik rumah sakit. Untunglah kehamilanku kali ini tidak terlalu bermasalah. Hanya mual pagi hari yang tidak parah. Bisa masuk makanan dan susu hal yang sangat kusyukuri.“Baiklah.Besok jadwal operasinya ya, Pak … boleh datang siang atau sore.Puasa dulu minimal enam jam sebelum tindakan.Jadwal tindakan jam delapan malam jadi jangan datang mepet waktu karena harus observasi terlebih dulu,” intruksi dokter panjang lebar.“Baik, Dok,” jawabku.Mas Dio hanya diam dan tak bersemangat. Tangannya terus membelit jemari ini membuatku merasa sedikit tidak nyaman oleh tatapan orang-orang yang berpapasan juga para suster dan dokter.“Datang agak awal biar proses observasi sebelum tindakan tidak terburu-buru,” pesannya sekali lagi ketika kami telah
Ruang operasi masih tertutup rapat dengan lampu merah menyala di atas pintu. Keluarga Pratama berkumpul di luar ruangan dengan gelisah. Ayah dan ibunya saling menguatkan. Rindi juga tampak gelisah didampingi orang tuanya. Aku duduk di kursi pojok memisahkan diri dari yang lain. Sendirian sambil terus menunduk memanjatkan doa.Bapak dan ibuku juga dikabari soal menantunya yang hari ini menjalani operasi, untuk meminta doa, tapi keluarga sepakat melarang agar jangan ikut ke rumah sakit karena rawan usia juga jarak yang jauh.‘Semoga operasi Ayah Dio lancar, Bunda. Segera pulih dan tidak meninggalkan sakit yang lain. Syafakallah’Pesan dari Royyan di ponsel membuatku terharu. Begitu pun Syifa, Mas Marwan dan Dian istrinya juga mengirimkan doa dan dorongan semangat untuk Mas Dio lewat pesan WA. Aku jadi merasa tak sendirian. Masih banyak orang-orang yang menyayangi kami.“Mbak Enjang, a
“Ma, sepertinya Kak Dio mengira ini kecelakaan motor waktu Rindi masih SMP dulu,” kata wanita berambut lurus sebahu itu membuat tubuh luruh ke sofa di belakangku berdiri.Mama Salma menutup mulut dengan tangan. Pak Bayu juga mengalihkan pandangan dengan menyeka ujung mata. Aku bingung harus bagaimana tanpa sadar aku mengelus perut yang masih rata. Semoga tidak amnesia permanent.Mas Dio mulai memegangi kepalanya sambil merintih pelan. Sang Mama segera sadar dan memegangi tangn putranya menenangkan sambil menatap tajam menantu perempuannya itu sebagai tanda agar tak mengucapkan kata-kata yang memberatkan pikiran untuk mengingat.“Jangan pikirkan apapun. Masih banyak waktu sampai kamu pulih, Nak.”“Kenapa, Ma?Jangan sedih.Apa luka di kepalaku parah?Ini sakit kalau digerakkan,” katanya sambil mendesah kesakitan.“Suda
“Silakan duduk, Bu,” kata dokter sambil menunjuk sebuah kursi di ruangannya.Akhirnya aku mendapatkan kesempatan menemui dokter yang menangani Mas Dio di belakang Ayah Mertua. Sambil mengangguk kududukkan diri di hadapan pria berjas putih dengan name tag Dokter Wiranata di dada kirinya.“Jadi begini.Pak Dio mengalami amnesia anterograde di mana seseorang kesulitan mengingat masa lalu.Karena peradangan sebuah jaringan sisa operasi yang lalu.Penderita amnesia jenis ini tak akan mampu mengingat kejadian setelah sakitnya yang pertama,” kata dokter menjelaskan.Aku mengerti bahwa ini bukan operasi pertama suamiku. Di waktu remaja dulu sebuah kecelakaan juga mengharuskannya menerima tindakan operasi oleh dokter. Takdir seperti begitu berperan dalam keberuntungan kakak maduku. Kecelakaan itu melibatkan dirinya.“Pantas ingatannya hanya sampai di kecelaka
“Jadi aku akhirnya menikahi cewek tengik itu? Bagaimana bisa?” tanyanya sambil menerawang pandang.“Hebat juga usahanya bisa bikin aku menyerah. Masih kecil aja udah genit dia ngejar aku,” katanya lagi sambil terkekeh.Pemandangan itu sungguh semakin menggores hati. Aku terluka apakah tak masalah bagi mertuaku itu? Kenapa sekarang lelaki itu jadi berpihak pada Rindi jika bahkan sebelumnya tak menyukai perangainya yang bar-bar? Apakah karena Azka? Apa lagi selain karena Pangeran kecil itu?“Baiknya kamu istirahat dulu.Mama akan menemanimu, ayah antar Nak Enjang pulang dulu.Mari!” kata Pak Bayu sungkan.Aku ikuti saja orang tua yang biasanya bijak ini. Apapun alasannya orang ini telah mendzolimi salah satu menantunya. Ingin sekali mengatakan bahwa ada keturunan Pratama juga di rahimku tapi urung. Biarlah mereka menyesali pada akhir
“Semua sudah rapi, Neng,” kata Mak Sumi sambil meletakkan koper kecil di samping sofa yang kududuki.Mak Sumi adalah seorang wanita tanpa anak yang tinggal di perkampungan dekat rumahku bersama Mas Dio. Beliau tinggal berdua saja dengan Sang Suami yang bekerja menarik becak tua untuk kehidupan sehari-hari. Mak Sumi sendiri di rumah membantu sambil memanfaatkan lahan kecil samping rumah menanam sayuran untuk dimasak dan sisanya dijual sebelum bekerja padaku.“Terima kasih, Mak … sini duduk dulu.”Perempuan seusia ibuku ini duduk menatapku dan bertanya, ”Ada apa, Neng seperti serius sekali?”“Mak, tinggallah di sini saja bareng saya. Ajak Pak Imam juga untuk merawat halaman dan tanamannya.”“Gubug kami, Neng?”“Rumah, Emak kan belum permanen dan kondisinya kurang baik juga untuk tinggal ka
Kunikmati hari dengan kesibukan dan kesepian seperti biasanya. Bukan berarti tak ada orang di rumah. Bapak, ibu dan hiruk pikuk di bagian depan bangunan ini sudah terasa sejak pagi. Hanya saja anak-anak sudah kembali beraktivitas. Syifa sudah dijemput ayahnya dan Mas Dio sedang jatahnya bersama Rindi.Ah, tepatnya masih di sana padahal jatahnya sudah lewat dari sepekan yang lalu. Dia mengambil seminggu jatahku. Mungkin Mas Marwan benar. Setelah mendapatkan anak dari wanita lain kemungkinan bahagianya tak perlu dicari di tempat ini lagi. Benarkah lama-lama aku akan tersingkir?Teringat percakapanku bersama Mas Marwan sore kemarin membuatku sedikit kehilangan kepercayaan diri. Tapi mengingat jalan panjang yang kulalui bersamanya juga bukanlah hal yang bisa membuat sesal mengambil keputusan. Mengingatnya membuat rasa sedikit tenang.Poligami atau monogami tetap tergantung pelakunya apakah akan menuai bahagia ataukah malah m