“Semua sudah rapi, Neng,” kata Mak Sumi sambil meletakkan koper kecil di samping sofa yang kududuki.
Mak Sumi adalah seorang wanita tanpa anak yang tinggal di perkampungan dekat rumahku bersama Mas Dio. Beliau tinggal berdua saja dengan Sang Suami yang bekerja menarik becak tua untuk kehidupan sehari-hari. Mak Sumi sendiri di rumah membantu sambil memanfaatkan lahan kecil samping rumah menanam sayuran untuk dimasak dan sisanya dijual sebelum bekerja padaku.
“Terima kasih, Mak … sini duduk dulu.”
Perempuan seusia ibuku ini duduk menatapku dan bertanya, ”Ada apa, Neng seperti serius sekali?”
“Mak, tinggallah di sini saja bareng saya. Ajak Pak Imam juga untuk merawat halaman dan tanamannya.”
“Gubug kami, Neng?”
“Rumah, Emak kan belum permanen dan kondisinya kurang baik juga untuk tinggal ka
Kunikmati hari dengan kesibukan dan kesepian seperti biasanya. Bukan berarti tak ada orang di rumah. Bapak, ibu dan hiruk pikuk di bagian depan bangunan ini sudah terasa sejak pagi. Hanya saja anak-anak sudah kembali beraktivitas. Syifa sudah dijemput ayahnya dan Mas Dio sedang jatahnya bersama Rindi.Ah, tepatnya masih di sana padahal jatahnya sudah lewat dari sepekan yang lalu. Dia mengambil seminggu jatahku. Mungkin Mas Marwan benar. Setelah mendapatkan anak dari wanita lain kemungkinan bahagianya tak perlu dicari di tempat ini lagi. Benarkah lama-lama aku akan tersingkir?Teringat percakapanku bersama Mas Marwan sore kemarin membuatku sedikit kehilangan kepercayaan diri. Tapi mengingat jalan panjang yang kulalui bersamanya juga bukanlah hal yang bisa membuat sesal mengambil keputusan. Mengingatnya membuat rasa sedikit tenang.Poligami atau monogami tetap tergantung pelakunya apakah akan menuai bahagia ataukah malah m
Pipiku menghangat mengingat perlakuan suamiku saat itu. Kerinduan ini kemudian membuncah tak terkendali. Tekadku harus kuat bahwa apapun pasti akan menemukan jalan terbaik. Cukup pasrahkan padaNya yang memiliki jalan hidup kami.Lega rasanya berhasil menyelesaikan masalah rumah. Hadiah berharga yang harus kujaga seperti titipan di rahim ini. Kelak, merekalah yang akan membantu menentukan nasib hubungan kami orang tuanya. Bukan menyesali takdir jodoh, rasa ini sungguh berat kutanggung. Rasa diabaikan.Bus yang membawaku pulang ke rumah Ibu, Bapak melaju di jalan tanpa hambatan. Entah kenapa jadi sangat ingin melakukan perjalanan dengan kendaraan yang besar. Sepertinya mereka suka bertualang. Aku tersenyum menyentuh perutku.“Tetaplah kuat, Sayang,” gumamku membuat penumpang sebelah menoleh dan mengarahkan pandangan pada tanganku di atas perut.“Sedang mengandung, ya?” Sapa seor
Kandunganku telah berusia empat bulan. Berukuran lebih besar dari kehamilanku sebelumnya. Mual muntah sangat jarang kualami. Persis kehamilan pertama mengandung Royyan dulu. Ngebo kata orang jawa bilang kalau hamil tak banyak kendala. Hanya nafsu makanku yang luar biasa meningkat membuat bobot tubuh melesat drastic.“Tidak apa, kau butuh tiga porsi sekarang,” kata Dokter Lita special kandungan yang kupilih di kotaku saat berkonsultasi.Dokter yang name tagnya bertulis Maulita itu adalah teman SMAku dulu yang pindah ke luar negeri bersama ayahnya yang asli Singapura. Ibunya yang suku jawa adalah seorang koki sebuah hotel yang mempertemukannya dengan Sang Suami. Mereka pindah mukim di negara singa itu dan melanjutkan pendidikan di sana.Seorang mahasiwa asal Indonesia bertemu dengannya di tempat perkuliahan yang sama dan mereka memutuskan menikah lalu pulang ke tanah air setelah gelar Doktor disandang dan membu
Pulang control kandungan aku bertemu Mas Marwan yang mengantar Syifa putriku di jadwal berkunjung. Mereka melewatkan beberapa bulan karena kesibukan sekolahnya. Tampak Syifa sedang bermanja dengan kakeknya. Bergelayut sambil tertawa renyah. Kutangkupkan tangan memberi salam pada mantan suamiku.Putriku berlari ingin memelukku tapi tertegun meneliti tubuh yang semakin membengkak. Aku merentangkan tangan lalu memeluknya erat.Memeluknya serasa sebagian beban pikiranku menyusut setengahnya, terima kasih ya Allah… kau hadirkan orang-orang terkasih di waktu yang selalu tepat. Monolog hatiku.“Bunda dari mana kok lama banget?” Belum lagi kujawab pertanyaan Syifa, Bapak menimpali dengan pertanyaan.“Bagaimana kandunganmu?” Semua memandangku termasuk Mas Marwan yang tampak kurang senang.“Bunda mau punya bayi lagi? Yeeeyy…!! Syifa
*Dio*“Minum obat dulu, Kak! Sini Azka sama Rindi,” katanya sambil menyambut putranya dari gendonganku.Sepulang dari rumah sakit aku tinggal bersamanya. Terkadang mama dan ayah datang menjenguk melihat kondisiku. Aku merasa baik-baik saja, juga tubuh yang setiap hari semakin segar. Hanya terasa aneh saja tib- tiba aku punya istri dan anak. Saking anehnya perasaan ini aku pun jarang memberi nafkah batin padanya.Ketika Rindi memancingku untuk menyentuh aku pun melakukan dengan awal kaku dan sekedarnya. Rasanya sulit saja untuk membangun rasa padanya, tapi mengingat kenyataan dia adalah seorang istri yang wajib kunafkahi lahir mau pun batin membawa naluri berjalan dengan sendirinya.Pada akhirnya aku tetap seorang lelaki normal yang dengan sentuhan sudah menghidupkan sisi lelakiku terdalam. Kalau sudah begitu bukan jadi masalah berlawan dengan siapa. Jiwa muda Rindi yang lepas dengan desahan agresif sud
“Dijodohkan?” tebakku. Dia mengangguk ragu.Sudah kuduga, ada sesuatu yang tak beres dengan pernikahanku dengannya. Aku menyukai wanita yang kalem, keibuan dan kuharap juga shalihah ditandai kerudung di kepala. Tak kutemukan semua itu pada Rindi selain cantic. Dia model wanita agak keras kepala dan berjiwa bebas tapi juga manja.“Aku akan berubah seperti yang Kakak mau,” katanya dengan mata sudah berkaca-kaca.Tumben sekali anak ini mudah menangis? Apa status ibu menjadikannya berubah kalem? Menarik. Aku akan terus menggali dan mengenali istri dadakan ini. Aku bisa gila kalau sampai tak dapat mengingat sebagian memoriku kembali. Banyak hal mengejutkan terjadi dan tak semua kuinginkan. Kenapa aku bisa begitu bertolak belakan antara keinginan dan yang kulakukan di masa sehat?“Memangnya aku minta Rindi berubah seperti apa?” Aku merasa dia terjebak kata-katanya sendir
*Marwan*Perasaanku mendidih melihat brondong tengik itu bersenang-senang dengan istrinya yang masih belia juga anak lelaki kebanggaannya. Bagaimanapun Enjang pernah ada dalam kehidupanku. Lebih dari lima belas tahun kami bersama. Rasaku padanya hampir tak berkurang. Kalau saja kebodohan tak kulakukan sekarang wanita lembut itu masih bersamaku.Cinta yang masih terpendam membuatku sangat ingin melindunginya. Sayang lelaki itu telah merampas kesempatan yang kumiliki. Harapanku besar untuk bisa merujuknya dengan pertimbangan anak sebagai pengikat. Bukan satu tapi tiga.Namun lelaki muda itu mengacaukan segalanya. Bahkan sekarang justru menanamkan benih kembar di rahim mantan istriku yang dulu bertekat berhenti mengandung karena resiko tinggi setelah usianya menginjak empat puluh tahun dengan riwayat tekanan darah tinggi.“Maaf, Syifa … ayah tak jadi beli mainan yang kau pesan. Besok saja belinya kalau s
“Amnesia!?Maaf aku tidak tahu dan kalian cuma bilang sakit dan akan menjalani operasi.Taka da yang bilang kalau sampai amnesia.” Aku tulus sangat menyesal kali ini. Sepertinya aku berbuat sesuatu yang fatal.“Bagaimanapun keluarga tetap harus ditunjukkan, Bu … jangan hanya sebagiannya saja atau hanya mengikuti memeori yang tertinggal saja. Peran keluarga juga biar penderita amnesia bisa sembuh meski perlu waktu,” kataku. Enjang tampak menunduk menyusut air mata.“Aku ke kamar dulu, Mas,” pungkasnya sambil bangkit dan tertatih berjalan ke arah dalam.Melihat keadaannya aku sangat ingin merengkuhnya seperti dulu. Ingatan bahwa aku juga telah menorehkan luka dalam saat kami bersama mebuatku kembali merasa buruk. Takdir selalu memberinya cobaan berat. Andai saja Allah memberiku kesempatan untuk mengulang dari awal, akan kubasuh luka lama maupun baru dalam hatin