Pulang control kandungan aku bertemu Mas Marwan yang mengantar Syifa putriku di jadwal berkunjung. Mereka melewatkan beberapa bulan karena kesibukan sekolahnya. Tampak Syifa sedang bermanja dengan kakeknya. Bergelayut sambil tertawa renyah. Kutangkupkan tangan memberi salam pada mantan suamiku.
Putriku berlari ingin memelukku tapi tertegun meneliti tubuh yang semakin membengkak. Aku merentangkan tangan lalu memeluknya erat.
Memeluknya serasa sebagian beban pikiranku menyusut setengahnya, terima kasih ya Allah… kau hadirkan orang-orang terkasih di waktu yang selalu tepat. Monolog hatiku.
“Bunda dari mana kok lama banget?” Belum lagi kujawab pertanyaan Syifa, Bapak menimpali dengan pertanyaan.
“Bagaimana kandunganmu?” Semua memandangku termasuk Mas Marwan yang tampak kurang senang.
“Bunda mau punya bayi lagi? Yeeeyy…!! Syifa
*Dio*“Minum obat dulu, Kak! Sini Azka sama Rindi,” katanya sambil menyambut putranya dari gendonganku.Sepulang dari rumah sakit aku tinggal bersamanya. Terkadang mama dan ayah datang menjenguk melihat kondisiku. Aku merasa baik-baik saja, juga tubuh yang setiap hari semakin segar. Hanya terasa aneh saja tib- tiba aku punya istri dan anak. Saking anehnya perasaan ini aku pun jarang memberi nafkah batin padanya.Ketika Rindi memancingku untuk menyentuh aku pun melakukan dengan awal kaku dan sekedarnya. Rasanya sulit saja untuk membangun rasa padanya, tapi mengingat kenyataan dia adalah seorang istri yang wajib kunafkahi lahir mau pun batin membawa naluri berjalan dengan sendirinya.Pada akhirnya aku tetap seorang lelaki normal yang dengan sentuhan sudah menghidupkan sisi lelakiku terdalam. Kalau sudah begitu bukan jadi masalah berlawan dengan siapa. Jiwa muda Rindi yang lepas dengan desahan agresif sud
“Dijodohkan?” tebakku. Dia mengangguk ragu.Sudah kuduga, ada sesuatu yang tak beres dengan pernikahanku dengannya. Aku menyukai wanita yang kalem, keibuan dan kuharap juga shalihah ditandai kerudung di kepala. Tak kutemukan semua itu pada Rindi selain cantic. Dia model wanita agak keras kepala dan berjiwa bebas tapi juga manja.“Aku akan berubah seperti yang Kakak mau,” katanya dengan mata sudah berkaca-kaca.Tumben sekali anak ini mudah menangis? Apa status ibu menjadikannya berubah kalem? Menarik. Aku akan terus menggali dan mengenali istri dadakan ini. Aku bisa gila kalau sampai tak dapat mengingat sebagian memoriku kembali. Banyak hal mengejutkan terjadi dan tak semua kuinginkan. Kenapa aku bisa begitu bertolak belakan antara keinginan dan yang kulakukan di masa sehat?“Memangnya aku minta Rindi berubah seperti apa?” Aku merasa dia terjebak kata-katanya sendir
*Marwan*Perasaanku mendidih melihat brondong tengik itu bersenang-senang dengan istrinya yang masih belia juga anak lelaki kebanggaannya. Bagaimanapun Enjang pernah ada dalam kehidupanku. Lebih dari lima belas tahun kami bersama. Rasaku padanya hampir tak berkurang. Kalau saja kebodohan tak kulakukan sekarang wanita lembut itu masih bersamaku.Cinta yang masih terpendam membuatku sangat ingin melindunginya. Sayang lelaki itu telah merampas kesempatan yang kumiliki. Harapanku besar untuk bisa merujuknya dengan pertimbangan anak sebagai pengikat. Bukan satu tapi tiga.Namun lelaki muda itu mengacaukan segalanya. Bahkan sekarang justru menanamkan benih kembar di rahim mantan istriku yang dulu bertekat berhenti mengandung karena resiko tinggi setelah usianya menginjak empat puluh tahun dengan riwayat tekanan darah tinggi.“Maaf, Syifa … ayah tak jadi beli mainan yang kau pesan. Besok saja belinya kalau s
“Amnesia!?Maaf aku tidak tahu dan kalian cuma bilang sakit dan akan menjalani operasi.Taka da yang bilang kalau sampai amnesia.” Aku tulus sangat menyesal kali ini. Sepertinya aku berbuat sesuatu yang fatal.“Bagaimanapun keluarga tetap harus ditunjukkan, Bu … jangan hanya sebagiannya saja atau hanya mengikuti memeori yang tertinggal saja. Peran keluarga juga biar penderita amnesia bisa sembuh meski perlu waktu,” kataku. Enjang tampak menunduk menyusut air mata.“Aku ke kamar dulu, Mas,” pungkasnya sambil bangkit dan tertatih berjalan ke arah dalam.Melihat keadaannya aku sangat ingin merengkuhnya seperti dulu. Ingatan bahwa aku juga telah menorehkan luka dalam saat kami bersama mebuatku kembali merasa buruk. Takdir selalu memberinya cobaan berat. Andai saja Allah memberiku kesempatan untuk mengulang dari awal, akan kubasuh luka lama maupun baru dalam hatin
*Dio*Aku mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Berusaha terus focus tapi kejadian tadi sungguh menguras emosi dan pikiran. Bagaimana bisa keluargaku tega membiarkan seorang istri menjalani masa sulit sendirian? Kalau terjadi sesuatu padanya dan juga bayi kami jelas aku akan sangat merasa berdosa.“Kenapa kamu tak mau cerita kalau aku punya istri yang lain?” tanyaku pada Rindi saat kami keluar dari mall di mana seseorang menegurku dan mengingatkan tentang Enjang.Wanita itu sudah kuduga punya hubungan tak biasa denganku. Sikap dan perilaku ganjilnya juga wajah yang kerap hadir di pelupuk mata tanpa kutahu kenapa, kini terjawab sudah. Mimpi buruk yang kerap kualami juga melibatkan wajahnya. Aku sangat merasa bersalah pada Rindi karena hati ini telah berselingkuh bahkan dalam mimpi. Ternyata itu firasat yang tak mampu kupecahkan.Sampai di kediaman orang tuaku mereka tampak terkejut. H
*Dio*Kuparkirkan mobil di halaman D’café agak ke dalam. Entahlah seperti tidak asing dengan tempat ini dan sudah seperti kebiasaan aku melakukannya. Sesosok wanita tergopoh menghampiri.“Bu Enjang di rumah utama, Pak. Silakan lewat samping sana saja!” instruksi wanita itu kutanggapi dengan anggukan sopan.Aku melangkah menyusuri paving blok bercat merah di sepanjang koridor samping café sampai kutemukan jalan kecil memasuki pekarangan samping rumah. Gasebo bamboo dengan tatanan unik membuatku penasaran. Seorang wanita berperut buncil duduk berselonjor sambil tangannya terus mengelus. Dari bibirnya bergerak-gerak melafaldkan sholawat. Ma Sya Allah … pemandangan yang indah.“Enjang….” Dia tampak terkejut.“Mas Dio.“ Air matanya lolos begitu saja.Tak seperti saat pertama bertemu Rindi yang kaku, naluriku
Mendung yang sekian lama menghantui Enjang telah berganti pelangi. Senyumnya merekah menyambut pagi dengan berjalan-jalan menghirup udara segar. Memenuhi parunya dengan O2 sebanyak mungkin.“Selamat pagi Bu Enjang,” sapa pegawaai D’café yang datang di awal waktu.“Selamat pagi,” sambutnya ramah. Enjang sangat menghargai para pegawai hingga D’café harmonis layaknya keluarga.Pagi kali ini Enjang bersama lelaki tampan yang setia mengekor ke manapun dirinya melangkah. Ikut pula tersenyum pada siapa saja yang Enjang sapa dan senyumi. Itu membuat para wanita muda penghuni D’café meleleh. Beberapa yang masih baru belum mengenal suami bos D’café.“Jangan senyumin sembarang orang, dong,” kata Enjang menegur Sang Suami.Bukan marah lelaki tampan di depannya justru memperhatikan setiap polah istrinya de
*Rindi*Sejak pulang dari rumah mertuanya Rindi tampak murung dan lebih banyak mengurung diri di dalam kamarnya. Sikap Sang Suami yang baru saja dirasa miliknya utuh karena hilang ingatan kini kembali buruk. Kata pedasnya terngiang di kepala membuatnya frustasi.“Kau sama saja mendzolimi sudaramu, dengan mencoba menguasaiku sendirian, Rindi!”“Kak! Itu semua bukan salah Rindi. Ayahmu yang minta semua merahasiakan wanita itu,” kata Rindi dengan suara tak kalah tinggi.“O, baiklah. Kalau begitu aku yakin kau tidak keberatan mengembalikan jatah waktu Enjang bersamaku, kan?”“Maksud, Kakak?”“Aku bersamamu hampir delapan bulan, jadi waktu Enjang yang kau ambil adalah empat bulan ditambah jatah miliknya sendiri.Hanya saja karena keadaanku yang memang sakit, aku minta empat bulan saja full menemaninya hi
Prosesi pemakaman papa berjalan lancar dihadiri segelintir tetangga yang mengenal keluarga mama. Rumah yang ditinggali sekarang memang rumah warisan nenek untuk anak perempuannya itu dan keluarga nenek dulu termasuk orang baik di lingkungan.Kak Dio dan keluarga besar Pratama juga hadir termasuk Azka dan … Enjang.Aku mengabari Kak Dio berharap mendapatkan simpatinya tak menyangka mereka datang rombongan termasuk wanita itu.Mama Salma memelukku dengan tangis lirih. Aku tahu beliaulah yang paling menerimaku dalam keluarga itu. Ayah mertua yang dulu juga sangat mendukung aku dan putranya menjadi keluarga utuh monogamy sekarang acuh tak acuh karena kepercayaannya telah ternodai oleh perbuatan jahat orang tuaku di masa lalu.“Mama … ayo pulang.”Mama masih bergeming menatap kosong pada gundukan tanah merah di mana jasad papa beristirahat untuk selamanya. Wanita itu seperti punya naluri bahwa keluarganya tengah berkabung. Meski tidak menangis tapi terus-terusn berwajag sendu. Sangat penu
Hari sudah malam ketika aku berjalan lunglai menuju pintu rumah. Lampu ruang tamu masih menyala seperti saat kutinggalkan mengikuti Kak Dio tadi. Dari balik kaca aku masih bisa melihat dengan jelas tubuh kurus Papa yang terduduk membisu di depan TV. Aku tahu beliau tidak sedang menonton karena layar datar di depannya terlihat gelap.Apakah yang sedang dipikirkannya?Kalah oleh tubuh ringkihnya pikiran papa masih normal untuk memahami banyak hal. Tentu itu penyiksaan tersendiri bagi beliau. Beda dengan mama yang sekarang bahkan tak mengingat aku sebagai putrinya.“Papa ….”Rupanya papa duduk sambil memejamkan mata. Mungkin tertidur saat menungguku pulang karena sejak aku datang lelaki yang dulu selalu lembut pada keluarga itu tak melepas pandangan dari putri kesayangannya ini. Bagaimanapun jahatnya papa di luar sana dia tetap seorang suami dan ayah terbaik.Aku tersentak mendapati tubuh papa yang sangat panas. Kuraba dahi untuk memastikan dan ternyata benar kalau papa demam tinggi. Su
Telah satu jam lebih lamanya kami tetap duduk berhadapan terhalang sebuah meja kecil dan saling membisu. Di meja itu terdapat dua gelas minuman dingin yang es batunya telah mencair juga sebuah map yang tergeletak begitu saja.Setelah ketegangan di rumah mama dan papa tadi kami sepakat untuk bicara berdua secara pribadi. Café inilah yang dipilih Kak Dio. Lelaki yang kulihat semakin tampan diusia matang itu setia menekuri lantai dibawahnya. Wajah cantic istrinya ini yang telah lima tahun berpisah pun bahkan tak menarik minatnya. Justru lembaran berkas perceraian yang disodorkan di depanku.Keterlaluan!“Sampai kapan kau akan bersikap begitu, Rindi?” tanya, Kak Dio menatapku lelah.Haruskah aku mengalah?“Pikirkan baik-baik. Uang dan waktumu bisa kau gunakan untuk mengurus keluargamu yang sekarang keadaannya memprihatinkan. Juga adik yang perlu perhatianmu. Aku tak mungkin terus mengurus mereka apalagi kau sudah kembali.” Uraian panjang itu justru membuat emosiku menanjak.“Semua itu ka
“Benar, Pak. Bu Rindi datang ke rumah lama Pak Amir lalu pergi lagi setelah mendapati rumah berpindah pemilik.” “Apa kau tahu ke mana lagi dia pergi setelahnya?” “Ya. Pak. Kami terus mengikutinya dan perkiraan kita tepat sekali. Bu Rindi kemudian mengunjungi rumah lama orang tuanya. Seperti perintah Pak Dio, pengurus rumah tidak bekerja di hari sebelumnya hingga keadaan mereka menjadi sangat menyedihkan.” “Baik. Terus awasi dia! Saya meluncur kesana,” kataku mengakhiri panggilan telephon orang suruhan yang bekerja mengikuti pergerakan Rindi. Aku tak boleh kembali kecolongan. Sikap polos istri pertamaku itu telah melenceng jauh dari harapan agar menjadi wanita yang pantas untuk Azka putra pertamaku bersamanya. Rindi merusak semuanya. Menyakiti anaknya sendiri demi ego, juga bertindak keterlaluan pada Enjang yang nota bene seseorang yang telah menolongnya bertahun-tahun mengasuh seorang anak dari suami dengan wanita lain meski itu adalah istri pertama suaminya. Aku memiliki anak-a
Rindi melesat membelah jalanan bersama limousine hitam yang kendarainya. Bentuknya yang panjang sebenarnya sedikit merepotkan mengingat di Indonesia begitu banyak daerah macet lalu lintas dan juga sangat repot ketika mendatangi wilayah padat penduduk dengan gang-gang sempit seperti kota J. “Aku harus segera ganti mobil,” gerutu Rindi sambil berjuang keras mengendalikan kendaraannya. Limousine itu dibelinya menghabiskan tabungan nafkah yang selalu dikirimkan oleh sang suami tetapi tidak terpakai. Dengan harapan menaikkan status social di depan Enjang ketika kembali dari luar negeri. Sayangnya mencari sopir pribadi untuk layaknya pemilik sebuah limousine tidaklah mudah apa lagi dulu Rindi selalu tergantung suami, mama atau papanya untuk segala urusan hidup. Bahkan ketika dirinya telah berstatus istri Dio, peran orang tuanya tetap besar menyetir hidup Rindi. Rindi kesulitan hidup mandiri di Negara ini yang memang armada umum tak sebaik kota terakhir dirinya tinggal di luar sana. Setel
Dio melajukan mobil dengan kecepatan sedang ke arah timur kota. Melewati pemukiman yang cukup padat kemudian lurus naik mengarah ke tanah luas berbukit. Suasana asri segera terpampang memanjakan penglihatan. Pepohonan rindang berjejer rapi di kanan kiri jalan. Hingga sampailah pada sebuah gerbang yang lengkap dengan post penjagaan.Bimm!!!Seorang lelaki berseragam biru tua dengan topi di kepala bergegas keluar memeriksa. Setelah dipastikan mengenal mobil dan pengendaranya, kemudian dia bergegas membuka gerbang.Dio melesat masuk bersama kendaraannya menyusuri taman yang cukup luas untuk mencapai rumahnya bersama Rindi.Tampak di kejauhan petugas yang membuka gerbang tengah bicara dengan seseorang.“Benar, Pak Amir. Pak Dio datang sendirian.”“....”“Baik, Pak.”🍀“Ada apa, Pak?” tanya Bu Amir melihat ketegangan di wajah suaminya.“ Den Dio datang sendirian tanpa memberi kabar terlebih dahulu.”“Kita tidak pernah membuat masalah, Pak ... Kenapa harus khawatir?” tanya istrinya lagi de
Denting sendok terdengar berirama di meja makan rumah Enjang dan Dio. Meja oval dengan enam kursi yang mengelilingi telah terisi lima dan menyisakan satu yang kosong. Biasanya kursi itu akan digunakan seorang pengasuh untuk membantu anak-anak. Hanya saja sejak si kembar tiga tahun Enjang memutuskan untuk mengasuh mereka dengan tangannya sendiri. Azka berusia menjelang empat tahun saat itu. Usia pra sekolah adalah masa penting anak banyak belajar dan meniru orang terdekat hingga dirinya rela bersusah payah karena tak ingin anak-anaknya salah didikan. Enjang sangat protektif akan perkembangan anaknya termasuk anak Sang Suami dengan wanita lain sekalipun. “Pergi ke kamar kalian dan kerjakan tugas seperti biasa. Jam sembilan bunda naik untuk memastikan kalian sudah bersiap untuk tidur. Besok sekolah,” kata Enjang begitu ketiga anak itu sudah menyelesaikan makan malam. Mereka bergegas beranjak meninggalkan ruang makan menuju lantai dua di mana kamar mereka berada. Sang ayah membuat sebu
“Bagaimana sebenarnya Ibu menyampaikan pesan Rindi sama perempuan itu?” tanyaku langsung tanpa basa-basi. Tampak dahi wanita berbusana serba hitam itu mengerenyit dalam. Aku tak peduli karena saat ini hati tidak sedang dalam mode baik-baik saja. Hatiku sakit karena ulah mereka semua. Bahkan guru mengaji pribadi yang selalu koar-koar padaku agar menjaga keutuhan keluarga demi surga ini tidak becus mengemban tugas kecil. Menyampaikan pada wanita itu bahwa aku pergi bukan karena tak mencintai suami. Aku dan Kak Dio saling mencintai. “Sepertinya Mak Rindi datang dengan rasa marah. Ada apa?” tanyanya dengan suara lembut. Tak pengaruh bagiku dengan kelembutannya karena hati sedang panas. “Ada apa? Ibu yang kenapa?” Aku menunjuk dengan jemari lentik berhena coklat ini tepat ke arah wajahnya. Dia mundur dengan secara reflek. Kerutan di dahinya semakin bertumpuk. “Rindi minta tolong untuk menyampaikan pesan bahwa kami saling mencintai agar wanita tua itu tidak songong, bukan suruh dia
Rindi tertegun menyaksikan ruang kerjanya sangat berantakan. Perlahan dirinya bangkit dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Tak lama kemudian penampilannya telah rapi dan segar dengan busana muslim simple melekat ditubuh langsingnya.Rindi melangkah anggun keluar dari ruangan pribadinya melewati para pegawai butik yang segera menyibukkan diri masing-masing.Tak tampak kekacauan yang baru saja terjadi pada dirinya.“Tolong bereskan ruangan atas, ya.Saya mau keluar jadi selesaikan segera sebelum saya kembali.” Perintahnya lugas layaknya bos.“Baik, Bu.”Rindi memang menjadikan lantai dua butiknya sebagai kantor dan tempat tinggal sementara. Dirinya belum kembali ke rumah kediamannya bersama Dio karena cukup jauh dari kantor Sang Suami.Niatnya sebelum kembali ke rumah itu, Rindi akan memantau kehidupan suami bersama madu dan juga anaknya yang dalam pengasuhan istri kedua suaminya itu.Sayang, se