Mendung yang sekian lama menghantui Enjang telah berganti pelangi. Senyumnya merekah menyambut pagi dengan berjalan-jalan menghirup udara segar. Memenuhi parunya dengan O2 sebanyak mungkin.
“Selamat pagi Bu Enjang,” sapa pegawaai D’café yang datang di awal waktu.
“Selamat pagi,” sambutnya ramah. Enjang sangat menghargai para pegawai hingga D’café harmonis layaknya keluarga.
Pagi kali ini Enjang bersama lelaki tampan yang setia mengekor ke manapun dirinya melangkah. Ikut pula tersenyum pada siapa saja yang Enjang sapa dan senyumi. Itu membuat para wanita muda penghuni D’café meleleh. Beberapa yang masih baru belum mengenal suami bos D’café.
“Jangan senyumin sembarang orang, dong,” kata Enjang menegur Sang Suami.
Bukan marah lelaki tampan di depannya justru memperhatikan setiap polah istrinya de
*Rindi*Sejak pulang dari rumah mertuanya Rindi tampak murung dan lebih banyak mengurung diri di dalam kamarnya. Sikap Sang Suami yang baru saja dirasa miliknya utuh karena hilang ingatan kini kembali buruk. Kata pedasnya terngiang di kepala membuatnya frustasi.“Kau sama saja mendzolimi sudaramu, dengan mencoba menguasaiku sendirian, Rindi!”“Kak! Itu semua bukan salah Rindi. Ayahmu yang minta semua merahasiakan wanita itu,” kata Rindi dengan suara tak kalah tinggi.“O, baiklah. Kalau begitu aku yakin kau tidak keberatan mengembalikan jatah waktu Enjang bersamaku, kan?”“Maksud, Kakak?”“Aku bersamamu hampir delapan bulan, jadi waktu Enjang yang kau ambil adalah empat bulan ditambah jatah miliknya sendiri.Hanya saja karena keadaanku yang memang sakit, aku minta empat bulan saja full menemaninya hi
“Dok tolong selamatkan keduanya, saya mohon,” kataku menangkup tangan.Ini pilihan berat. Aku tak bisa memilih. Dalam tak sadar Enjang selalu bergumam, “Selamatkan mereka.”“Pak tolong tanda tangi segera. Kalau, Bapak tak bisa ambil keputusan bisa membuat prosesnya lebih lama. Kita tak punya waktu banyak!” kata dokter dengan suara tinggi.“Ya Allah!! Bismillah.” Kutanda tangani segera berkas yang di sodorkan dokter dengan tangan gemetar. Maafka aku Enjang. Kau boleh menghukumku nanti jadi tetaplah hidup.Aku mondar-mandir di depan ruang operasi dengan hati yang kalut. Ibu mertua tampak terisak pelan dalam pelukan bapak. Mama dan Ayah dalam perjalanan menuju ke sini. Kukabari juga Rindi agar ikhlas saat aku sedang bersama Enjang. Tak lupa aku meminta maaf atas kekasaranku kemarin. Aku ingin tak ada suatu hal yang menghalangi kelancaran operasinya.
“Saya Lita, dokter kandungannya. Tapi sekarang saya di sini sebagai teman bukan dokter. Berkas riwayat pemeriksaan sudah kulimpahkan. Enjang sudah bersama dokter ahli yang terbaik di dalam sana,” katanya sambil menunduk menyembunyikan air mata. Aku jadi menyesal telah keras padanya. Mereka begitu dekat pantas dia marah.“Aamiin. Terima kasih,” gumamku pelan lalu kami saling diam dalam pikiran masing-masing.Petugas tampak bingung menyaksikan kami justru berdebat sengit entah soal apa lalu tersenyum saat aku kembali mengarahkan pandangan padanya.“Lakukan yang terbaik, Pak. Saya akan kirim orang untuk membantu.”“Baik, Pak. Terima kasih.”Pintu ruang operasi masih tertutup dengan angkuh. Lampu berkedip warna merah membuat tegang siapa saja yang melihatnya. Lebih baik turun saja, aku merasa tercekik di sini.
“Apa!Cuma koma!?Bodoh!”Rindi dan Sang Mama saling pandang mendengar papanya memaki demiakian kasar. Perangai yang sudah sangat jarang didengar sejak tak lagi ada kendala keuangan selepas pernikannya.“Jadi papa yang melakukannya?” tanya Rindi memicingkan mata.“Kita harus bertindak. Wanita itu mengancam kedudukanmu, Rindi! Jangan jadi lemah.”“Tapi jangan sampai mencelakai orang, Pa! Papa bisa masuk penjara kalau ketahuan!” Bu Ratih ikut histeris.“Jangan keraskan suara! Orangku pasti sudah antisipasi. Papa minta bersih. Mereka kubayar mahal.”Ketegangan melingkupi rumah Rindi. Suara dering ponsel Pak Agus menambah rasa takut dan tegang dan suasana itu menjadi-jadi.“Brengsek! Bagaimana mereka bisa curiga!?” teriak Pak Agus dengan
Sementara seorang lelaki tua yang mendengarkan dengan seksama di balik tembok samping rumah Rindi bergegas pergi ke belakang sambil menentang sampah yang telah dikumpulkan. Pikirannya kalut.“Apa yang harus kulalukan?”Dia adalah Pak Amir. Lelaki setengah abad yang sejak bujang mengabdi di keluarga Pratama. Pak Bayu menyuruh Pak Amir membantu Sang Putra sambil menjaga rumah serta penghuninya. Pembawaan sederhana membuat orang tak mengira bahwa Pak Amir sangat bisa diandalkan untuk menjaga keamanan lebih baik dari bodyguard yang sempat Rindi sewa sebelum suaminya mamanggil dirinya kembali setelah dipecat Sang Nyonya Muda. Bukan, tepatnya ibu sang nyonya yang memecatnya.“Pak! Bapak!”“Eh, apa, Bu? Ngagetin lho.”“Bapak itu kenapa? Sampahnya ndak jadi di buang di luar, kok dibawa masuk lagi?”“O, ini? Dibaka
Sepasang bayi sangat mungil tertidur pulas dalam incubator. Mereka lahir kurang bulan hingga ditempatkan dalam ruang khusus. Dio menatap mereka lekat dari balik kaca. Mata ayah muda itu berkilauan oleh cairan yang mengambang di pelupuk.“Sayang … maafkan Ayah.Bukan tak memilih kalian tapi ayah belum sanggup melepas bunda kalian.Bisa, kah bantu ayah untuk membujuk Allah agar membangunkan bunda?” Bulir menetes sudah. Lelaki berrahang kokoh itu geming mengabaikannya. Sedikit pun tak gentar di juluki si cengeng.“Jangan selalu menyalahkan diri, Nak. Mama mohon, jaga juga kondisi badanmu.” Dio memandang ibunya sendu.“Maaf, Pak. Bisa bicara sebentar?” Seorang petugas menghampiri ibu dan anak itu.“Kenapa polisi masih saja meminta keterangan, Nak? Apa telah terjadi sesuatu?” tanya Bu Salma sambil melirik lelaki berseragam dinas di
“Ayah. Kita perlu bicara,” kata Dio sambil menghampiri ayahnya yang duduk terkatuk-kantuk.Mereka duduk dengan wajah yang sama sama serius. Dio sudah menceritakan hasil penyelidikan petugas juga Rony rekan sekaligus sahabatnya yang berprovesi sebagai intel di jajaran kepolisisan.Ada kemarahan terlihat dari wajah tua yang masih sangat sehat itu. Tangannya mengepal hingga bukunya memutih. Mulutnya tak henti melafaldkan istighfar agar emosinya mereda.“Kurang apa ayah memberi mereka? Putrinya kuutamakan agar bisa terus dalam penjagaan keluarga.Sebentar.” Ayah Dio seperti mengingat sesuatu.~Pak Amir sedang menyantap sarapan yang terlambat. Panas sudah tinggi tapi hatinya yang sedikit resah membuat napsu makannya hilang, Sang Istri yang khawatir sakit mag Sang Suami kambuh memaksanya untuk makan pagi menjelang siang.Dering telep
Dian Masih termangu di depan gerbang pagar rumahnya. Suami dan anak angkatnya baru saja pergi ke luar kota untuk menjenguk sang Bunda. Terbayang sikap Marwan yang begitu panic saat mendengar kabar mantan istrinya koma membuat Dian sungguh nelangsa. Bukan. Bukan dirinya tak peduli. Sebagai sikap pada sesama yang bisa ikut merasakan sedih atas duka sebagian orang, Dian pun merasakannya. Namun suaminya sungguh keterlaluan. Apa pun tentang mantan istrinya disikapi seolah masih menjadi tanggung jawabnya. “Apa kabar perasaanku?” gumam Dian lirih. “Bu Dian tidak ikut?” sapa tetangga sebelah yang biasa kepo kalau ada tetangga keluar rumah . “Tidak, Bu.” Dian bermaksud meninggalkan tetangganya dan segera masuk kembali. “Eh, Bu Dian. Seharusnya Pak Marwan itu dikawal kalau mau ketemu mantan. Nanti kalau mereka CLBK ibu yang rugi.” Dian hanya tersenyum kecil menanggapi tetangganya itu. “Maaf ya, Bu saya sedang tanggung memasak di dalam. Pamit dulu.” Dian bisa menghindari tetangga julidnya