“Amnesia!?
Maaf aku tidak tahu dan kalian cuma bilang sakit dan akan menjalani operasi.
Taka da yang bilang kalau sampai amnesia.” Aku tulus sangat menyesal kali ini. Sepertinya aku berbuat sesuatu yang fatal.
“Bagaimanapun keluarga tetap harus ditunjukkan, Bu … jangan hanya sebagiannya saja atau hanya mengikuti memeori yang tertinggal saja. Peran keluarga juga biar penderita amnesia bisa sembuh meski perlu waktu,” kataku. Enjang tampak menunduk menyusut air mata.
“Aku ke kamar dulu, Mas,” pungkasnya sambil bangkit dan tertatih berjalan ke arah dalam.
Melihat keadaannya aku sangat ingin merengkuhnya seperti dulu. Ingatan bahwa aku juga telah menorehkan luka dalam saat kami bersama mebuatku kembali merasa buruk. Takdir selalu memberinya cobaan berat. Andai saja Allah memberiku kesempatan untuk mengulang dari awal, akan kubasuh luka lama maupun baru dalam hatin
*Dio*Aku mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Berusaha terus focus tapi kejadian tadi sungguh menguras emosi dan pikiran. Bagaimana bisa keluargaku tega membiarkan seorang istri menjalani masa sulit sendirian? Kalau terjadi sesuatu padanya dan juga bayi kami jelas aku akan sangat merasa berdosa.“Kenapa kamu tak mau cerita kalau aku punya istri yang lain?” tanyaku pada Rindi saat kami keluar dari mall di mana seseorang menegurku dan mengingatkan tentang Enjang.Wanita itu sudah kuduga punya hubungan tak biasa denganku. Sikap dan perilaku ganjilnya juga wajah yang kerap hadir di pelupuk mata tanpa kutahu kenapa, kini terjawab sudah. Mimpi buruk yang kerap kualami juga melibatkan wajahnya. Aku sangat merasa bersalah pada Rindi karena hati ini telah berselingkuh bahkan dalam mimpi. Ternyata itu firasat yang tak mampu kupecahkan.Sampai di kediaman orang tuaku mereka tampak terkejut. H
*Dio*Kuparkirkan mobil di halaman D’café agak ke dalam. Entahlah seperti tidak asing dengan tempat ini dan sudah seperti kebiasaan aku melakukannya. Sesosok wanita tergopoh menghampiri.“Bu Enjang di rumah utama, Pak. Silakan lewat samping sana saja!” instruksi wanita itu kutanggapi dengan anggukan sopan.Aku melangkah menyusuri paving blok bercat merah di sepanjang koridor samping café sampai kutemukan jalan kecil memasuki pekarangan samping rumah. Gasebo bamboo dengan tatanan unik membuatku penasaran. Seorang wanita berperut buncil duduk berselonjor sambil tangannya terus mengelus. Dari bibirnya bergerak-gerak melafaldkan sholawat. Ma Sya Allah … pemandangan yang indah.“Enjang….” Dia tampak terkejut.“Mas Dio.“ Air matanya lolos begitu saja.Tak seperti saat pertama bertemu Rindi yang kaku, naluriku
Mendung yang sekian lama menghantui Enjang telah berganti pelangi. Senyumnya merekah menyambut pagi dengan berjalan-jalan menghirup udara segar. Memenuhi parunya dengan O2 sebanyak mungkin.“Selamat pagi Bu Enjang,” sapa pegawaai D’café yang datang di awal waktu.“Selamat pagi,” sambutnya ramah. Enjang sangat menghargai para pegawai hingga D’café harmonis layaknya keluarga.Pagi kali ini Enjang bersama lelaki tampan yang setia mengekor ke manapun dirinya melangkah. Ikut pula tersenyum pada siapa saja yang Enjang sapa dan senyumi. Itu membuat para wanita muda penghuni D’café meleleh. Beberapa yang masih baru belum mengenal suami bos D’café.“Jangan senyumin sembarang orang, dong,” kata Enjang menegur Sang Suami.Bukan marah lelaki tampan di depannya justru memperhatikan setiap polah istrinya de
*Rindi*Sejak pulang dari rumah mertuanya Rindi tampak murung dan lebih banyak mengurung diri di dalam kamarnya. Sikap Sang Suami yang baru saja dirasa miliknya utuh karena hilang ingatan kini kembali buruk. Kata pedasnya terngiang di kepala membuatnya frustasi.“Kau sama saja mendzolimi sudaramu, dengan mencoba menguasaiku sendirian, Rindi!”“Kak! Itu semua bukan salah Rindi. Ayahmu yang minta semua merahasiakan wanita itu,” kata Rindi dengan suara tak kalah tinggi.“O, baiklah. Kalau begitu aku yakin kau tidak keberatan mengembalikan jatah waktu Enjang bersamaku, kan?”“Maksud, Kakak?”“Aku bersamamu hampir delapan bulan, jadi waktu Enjang yang kau ambil adalah empat bulan ditambah jatah miliknya sendiri.Hanya saja karena keadaanku yang memang sakit, aku minta empat bulan saja full menemaninya hi
“Dok tolong selamatkan keduanya, saya mohon,” kataku menangkup tangan.Ini pilihan berat. Aku tak bisa memilih. Dalam tak sadar Enjang selalu bergumam, “Selamatkan mereka.”“Pak tolong tanda tangi segera. Kalau, Bapak tak bisa ambil keputusan bisa membuat prosesnya lebih lama. Kita tak punya waktu banyak!” kata dokter dengan suara tinggi.“Ya Allah!! Bismillah.” Kutanda tangani segera berkas yang di sodorkan dokter dengan tangan gemetar. Maafka aku Enjang. Kau boleh menghukumku nanti jadi tetaplah hidup.Aku mondar-mandir di depan ruang operasi dengan hati yang kalut. Ibu mertua tampak terisak pelan dalam pelukan bapak. Mama dan Ayah dalam perjalanan menuju ke sini. Kukabari juga Rindi agar ikhlas saat aku sedang bersama Enjang. Tak lupa aku meminta maaf atas kekasaranku kemarin. Aku ingin tak ada suatu hal yang menghalangi kelancaran operasinya.
“Saya Lita, dokter kandungannya. Tapi sekarang saya di sini sebagai teman bukan dokter. Berkas riwayat pemeriksaan sudah kulimpahkan. Enjang sudah bersama dokter ahli yang terbaik di dalam sana,” katanya sambil menunduk menyembunyikan air mata. Aku jadi menyesal telah keras padanya. Mereka begitu dekat pantas dia marah.“Aamiin. Terima kasih,” gumamku pelan lalu kami saling diam dalam pikiran masing-masing.Petugas tampak bingung menyaksikan kami justru berdebat sengit entah soal apa lalu tersenyum saat aku kembali mengarahkan pandangan padanya.“Lakukan yang terbaik, Pak. Saya akan kirim orang untuk membantu.”“Baik, Pak. Terima kasih.”Pintu ruang operasi masih tertutup dengan angkuh. Lampu berkedip warna merah membuat tegang siapa saja yang melihatnya. Lebih baik turun saja, aku merasa tercekik di sini.
“Apa!Cuma koma!?Bodoh!”Rindi dan Sang Mama saling pandang mendengar papanya memaki demiakian kasar. Perangai yang sudah sangat jarang didengar sejak tak lagi ada kendala keuangan selepas pernikannya.“Jadi papa yang melakukannya?” tanya Rindi memicingkan mata.“Kita harus bertindak. Wanita itu mengancam kedudukanmu, Rindi! Jangan jadi lemah.”“Tapi jangan sampai mencelakai orang, Pa! Papa bisa masuk penjara kalau ketahuan!” Bu Ratih ikut histeris.“Jangan keraskan suara! Orangku pasti sudah antisipasi. Papa minta bersih. Mereka kubayar mahal.”Ketegangan melingkupi rumah Rindi. Suara dering ponsel Pak Agus menambah rasa takut dan tegang dan suasana itu menjadi-jadi.“Brengsek! Bagaimana mereka bisa curiga!?” teriak Pak Agus dengan
Sementara seorang lelaki tua yang mendengarkan dengan seksama di balik tembok samping rumah Rindi bergegas pergi ke belakang sambil menentang sampah yang telah dikumpulkan. Pikirannya kalut.“Apa yang harus kulalukan?”Dia adalah Pak Amir. Lelaki setengah abad yang sejak bujang mengabdi di keluarga Pratama. Pak Bayu menyuruh Pak Amir membantu Sang Putra sambil menjaga rumah serta penghuninya. Pembawaan sederhana membuat orang tak mengira bahwa Pak Amir sangat bisa diandalkan untuk menjaga keamanan lebih baik dari bodyguard yang sempat Rindi sewa sebelum suaminya mamanggil dirinya kembali setelah dipecat Sang Nyonya Muda. Bukan, tepatnya ibu sang nyonya yang memecatnya.“Pak! Bapak!”“Eh, apa, Bu? Ngagetin lho.”“Bapak itu kenapa? Sampahnya ndak jadi di buang di luar, kok dibawa masuk lagi?”“O, ini? Dibaka