“Saya Lita, dokter kandungannya. Tapi sekarang saya di sini sebagai teman bukan dokter. Berkas riwayat pemeriksaan sudah kulimpahkan. Enjang sudah bersama dokter ahli yang terbaik di dalam sana,” katanya sambil menunduk menyembunyikan air mata. Aku jadi menyesal telah keras padanya. Mereka begitu dekat pantas dia marah.
“Aamiin. Terima kasih,” gumamku pelan lalu kami saling diam dalam pikiran masing-masing.
Petugas tampak bingung menyaksikan kami justru berdebat sengit entah soal apa lalu tersenyum saat aku kembali mengarahkan pandangan padanya.
“Lakukan yang terbaik, Pak. Saya akan kirim orang untuk membantu.”
“Baik, Pak. Terima kasih.”
Pintu ruang operasi masih tertutup dengan angkuh. Lampu berkedip warna merah membuat tegang siapa saja yang melihatnya. Lebih baik turun saja, aku merasa tercekik di sini.
“Apa!Cuma koma!?Bodoh!”Rindi dan Sang Mama saling pandang mendengar papanya memaki demiakian kasar. Perangai yang sudah sangat jarang didengar sejak tak lagi ada kendala keuangan selepas pernikannya.“Jadi papa yang melakukannya?” tanya Rindi memicingkan mata.“Kita harus bertindak. Wanita itu mengancam kedudukanmu, Rindi! Jangan jadi lemah.”“Tapi jangan sampai mencelakai orang, Pa! Papa bisa masuk penjara kalau ketahuan!” Bu Ratih ikut histeris.“Jangan keraskan suara! Orangku pasti sudah antisipasi. Papa minta bersih. Mereka kubayar mahal.”Ketegangan melingkupi rumah Rindi. Suara dering ponsel Pak Agus menambah rasa takut dan tegang dan suasana itu menjadi-jadi.“Brengsek! Bagaimana mereka bisa curiga!?” teriak Pak Agus dengan
Sementara seorang lelaki tua yang mendengarkan dengan seksama di balik tembok samping rumah Rindi bergegas pergi ke belakang sambil menentang sampah yang telah dikumpulkan. Pikirannya kalut.“Apa yang harus kulalukan?”Dia adalah Pak Amir. Lelaki setengah abad yang sejak bujang mengabdi di keluarga Pratama. Pak Bayu menyuruh Pak Amir membantu Sang Putra sambil menjaga rumah serta penghuninya. Pembawaan sederhana membuat orang tak mengira bahwa Pak Amir sangat bisa diandalkan untuk menjaga keamanan lebih baik dari bodyguard yang sempat Rindi sewa sebelum suaminya mamanggil dirinya kembali setelah dipecat Sang Nyonya Muda. Bukan, tepatnya ibu sang nyonya yang memecatnya.“Pak! Bapak!”“Eh, apa, Bu? Ngagetin lho.”“Bapak itu kenapa? Sampahnya ndak jadi di buang di luar, kok dibawa masuk lagi?”“O, ini? Dibaka
Sepasang bayi sangat mungil tertidur pulas dalam incubator. Mereka lahir kurang bulan hingga ditempatkan dalam ruang khusus. Dio menatap mereka lekat dari balik kaca. Mata ayah muda itu berkilauan oleh cairan yang mengambang di pelupuk.“Sayang … maafkan Ayah.Bukan tak memilih kalian tapi ayah belum sanggup melepas bunda kalian.Bisa, kah bantu ayah untuk membujuk Allah agar membangunkan bunda?” Bulir menetes sudah. Lelaki berrahang kokoh itu geming mengabaikannya. Sedikit pun tak gentar di juluki si cengeng.“Jangan selalu menyalahkan diri, Nak. Mama mohon, jaga juga kondisi badanmu.” Dio memandang ibunya sendu.“Maaf, Pak. Bisa bicara sebentar?” Seorang petugas menghampiri ibu dan anak itu.“Kenapa polisi masih saja meminta keterangan, Nak? Apa telah terjadi sesuatu?” tanya Bu Salma sambil melirik lelaki berseragam dinas di
“Ayah. Kita perlu bicara,” kata Dio sambil menghampiri ayahnya yang duduk terkatuk-kantuk.Mereka duduk dengan wajah yang sama sama serius. Dio sudah menceritakan hasil penyelidikan petugas juga Rony rekan sekaligus sahabatnya yang berprovesi sebagai intel di jajaran kepolisisan.Ada kemarahan terlihat dari wajah tua yang masih sangat sehat itu. Tangannya mengepal hingga bukunya memutih. Mulutnya tak henti melafaldkan istighfar agar emosinya mereda.“Kurang apa ayah memberi mereka? Putrinya kuutamakan agar bisa terus dalam penjagaan keluarga.Sebentar.” Ayah Dio seperti mengingat sesuatu.~Pak Amir sedang menyantap sarapan yang terlambat. Panas sudah tinggi tapi hatinya yang sedikit resah membuat napsu makannya hilang, Sang Istri yang khawatir sakit mag Sang Suami kambuh memaksanya untuk makan pagi menjelang siang.Dering telep
Dian Masih termangu di depan gerbang pagar rumahnya. Suami dan anak angkatnya baru saja pergi ke luar kota untuk menjenguk sang Bunda. Terbayang sikap Marwan yang begitu panic saat mendengar kabar mantan istrinya koma membuat Dian sungguh nelangsa. Bukan. Bukan dirinya tak peduli. Sebagai sikap pada sesama yang bisa ikut merasakan sedih atas duka sebagian orang, Dian pun merasakannya. Namun suaminya sungguh keterlaluan. Apa pun tentang mantan istrinya disikapi seolah masih menjadi tanggung jawabnya. “Apa kabar perasaanku?” gumam Dian lirih. “Bu Dian tidak ikut?” sapa tetangga sebelah yang biasa kepo kalau ada tetangga keluar rumah . “Tidak, Bu.” Dian bermaksud meninggalkan tetangganya dan segera masuk kembali. “Eh, Bu Dian. Seharusnya Pak Marwan itu dikawal kalau mau ketemu mantan. Nanti kalau mereka CLBK ibu yang rugi.” Dian hanya tersenyum kecil menanggapi tetangganya itu. “Maaf ya, Bu saya sedang tanggung memasak di dalam. Pamit dulu.” Dian bisa menghindari tetangga julidnya
Dian yang hidup sebatang kara sejak meninggalkan panti tempatnya dibesarkan tak memiliki siapapun selain Marwan dan keluarga besar Sang Suami untuk bergantung. Meski Enjang adalah menantu kesayangan pada saat itu tapi tak membuat Dian dibedakan saat masuk ke dalam keluarga besar mereka. Sungguh suami berasal dari keluarga yang sangat baik hingga Dian enggan menyerah dengan cepat. Selain keluarga suami, Syifa adalah salah satu yang mengikat hati Dian. Anak itu melengkapi hatinya yang kosong karena belum diberikan keturunan. Dian juga tak berharap banyak mengingat usia dan juga suaminya yang tampak tak memikirkan usaha agar istri ke duanya dapat mengandung juga tak bisa juga menuntut. Jangankan memberikan biayanya, meluangkan waktu untuk mengantar saja tak pernah bersedia. Dirinya juga tak berani mengeluh soal itu. Kalau Syifa akhirnya menetap bersama ibunya, Dian akan sangat kehilangan. Anak itu yang selalu dirasakan menyayangi Dian dengan tulus. Mengingatkan pada ayahnya jika Marwan
Kereta api malam membawa Dian dalam perjalanan menyusul Sang Suami ke rumah mantan istrinya. Hati wanita menginjak usia kepala empat itu sudah mantap ingin mengakhiri duka yang selama hampir lima tahun kebersamaan dengan Marwan merantai jiwanya.Lelah menangis sendirian Dian menyeret koper kecil dan mengisinya dengan beberapa potong pakaian lalu menyeretnya ke luar rumah. Tanpa dandanan dan pakaian layak bepergian wanita itu hanya mengenakan jilbab instan asal juga jaket di luar piyama panjang berwarna biru langit dengan list putih di setiap pinggirannya.Mobil yang dipesannya lewat aplikasi di ponsel membawa Dian menuju stasiun kereta dan memesan tiket kereta malam lintas Jawa menuju kota di mana suaminya kini berada. Duduk mencangkung dengan lebih banyak mengisi waktu untuk melamun wanita yang terlihat layu tanpa make up itu menghiraukan orang-orang yang lalu-lalang di sekitarnya.Hingga duduk di suatu gerbong dengan k
“Di-Dian kamu sadar yang barusan diucapkan?” tanya Marwan tergagap.“Sangat sadar, Mas.Selama lima tahun ini sebenarnya aku hanya pelengkap dalam hidupmu.Memenuhi kebutuhan batinmu, keutuhan sebuah keluarga untukmu dalam rumah kita bersama Syifa.Selebihnya tak ada.Hatimu?Bahkan aku tak tahu kau tempatkan di mana namaku di dalam sana,” kata Dian sambil menyentuh dada dengan ujung telunjuknya.“Kau tak bisa mempermainkan pernikahan, Dian.Kalau merasa tak nyaman bisa bubar begitu saja?Itu kekanakan namanya,” kata Marwan sok bijak. Dian terkekeh pelan dalam tangis.“Kau sudah gagal sekali, Mas … dan sekarang kau mengulanginya lagi padaku.Laki-laki payah!” Kata-kata Dian tidak keras tetapi ditekan dalam. Itu terdengar sangat tidak enak bagi Marwan.Lelaki yang masih berbalut sarung itu me
Prosesi pemakaman papa berjalan lancar dihadiri segelintir tetangga yang mengenal keluarga mama. Rumah yang ditinggali sekarang memang rumah warisan nenek untuk anak perempuannya itu dan keluarga nenek dulu termasuk orang baik di lingkungan.Kak Dio dan keluarga besar Pratama juga hadir termasuk Azka dan … Enjang.Aku mengabari Kak Dio berharap mendapatkan simpatinya tak menyangka mereka datang rombongan termasuk wanita itu.Mama Salma memelukku dengan tangis lirih. Aku tahu beliaulah yang paling menerimaku dalam keluarga itu. Ayah mertua yang dulu juga sangat mendukung aku dan putranya menjadi keluarga utuh monogamy sekarang acuh tak acuh karena kepercayaannya telah ternodai oleh perbuatan jahat orang tuaku di masa lalu.“Mama … ayo pulang.”Mama masih bergeming menatap kosong pada gundukan tanah merah di mana jasad papa beristirahat untuk selamanya. Wanita itu seperti punya naluri bahwa keluarganya tengah berkabung. Meski tidak menangis tapi terus-terusn berwajag sendu. Sangat penu
Hari sudah malam ketika aku berjalan lunglai menuju pintu rumah. Lampu ruang tamu masih menyala seperti saat kutinggalkan mengikuti Kak Dio tadi. Dari balik kaca aku masih bisa melihat dengan jelas tubuh kurus Papa yang terduduk membisu di depan TV. Aku tahu beliau tidak sedang menonton karena layar datar di depannya terlihat gelap.Apakah yang sedang dipikirkannya?Kalah oleh tubuh ringkihnya pikiran papa masih normal untuk memahami banyak hal. Tentu itu penyiksaan tersendiri bagi beliau. Beda dengan mama yang sekarang bahkan tak mengingat aku sebagai putrinya.“Papa ….”Rupanya papa duduk sambil memejamkan mata. Mungkin tertidur saat menungguku pulang karena sejak aku datang lelaki yang dulu selalu lembut pada keluarga itu tak melepas pandangan dari putri kesayangannya ini. Bagaimanapun jahatnya papa di luar sana dia tetap seorang suami dan ayah terbaik.Aku tersentak mendapati tubuh papa yang sangat panas. Kuraba dahi untuk memastikan dan ternyata benar kalau papa demam tinggi. Su
Telah satu jam lebih lamanya kami tetap duduk berhadapan terhalang sebuah meja kecil dan saling membisu. Di meja itu terdapat dua gelas minuman dingin yang es batunya telah mencair juga sebuah map yang tergeletak begitu saja.Setelah ketegangan di rumah mama dan papa tadi kami sepakat untuk bicara berdua secara pribadi. Café inilah yang dipilih Kak Dio. Lelaki yang kulihat semakin tampan diusia matang itu setia menekuri lantai dibawahnya. Wajah cantic istrinya ini yang telah lima tahun berpisah pun bahkan tak menarik minatnya. Justru lembaran berkas perceraian yang disodorkan di depanku.Keterlaluan!“Sampai kapan kau akan bersikap begitu, Rindi?” tanya, Kak Dio menatapku lelah.Haruskah aku mengalah?“Pikirkan baik-baik. Uang dan waktumu bisa kau gunakan untuk mengurus keluargamu yang sekarang keadaannya memprihatinkan. Juga adik yang perlu perhatianmu. Aku tak mungkin terus mengurus mereka apalagi kau sudah kembali.” Uraian panjang itu justru membuat emosiku menanjak.“Semua itu ka
“Benar, Pak. Bu Rindi datang ke rumah lama Pak Amir lalu pergi lagi setelah mendapati rumah berpindah pemilik.” “Apa kau tahu ke mana lagi dia pergi setelahnya?” “Ya. Pak. Kami terus mengikutinya dan perkiraan kita tepat sekali. Bu Rindi kemudian mengunjungi rumah lama orang tuanya. Seperti perintah Pak Dio, pengurus rumah tidak bekerja di hari sebelumnya hingga keadaan mereka menjadi sangat menyedihkan.” “Baik. Terus awasi dia! Saya meluncur kesana,” kataku mengakhiri panggilan telephon orang suruhan yang bekerja mengikuti pergerakan Rindi. Aku tak boleh kembali kecolongan. Sikap polos istri pertamaku itu telah melenceng jauh dari harapan agar menjadi wanita yang pantas untuk Azka putra pertamaku bersamanya. Rindi merusak semuanya. Menyakiti anaknya sendiri demi ego, juga bertindak keterlaluan pada Enjang yang nota bene seseorang yang telah menolongnya bertahun-tahun mengasuh seorang anak dari suami dengan wanita lain meski itu adalah istri pertama suaminya. Aku memiliki anak-a
Rindi melesat membelah jalanan bersama limousine hitam yang kendarainya. Bentuknya yang panjang sebenarnya sedikit merepotkan mengingat di Indonesia begitu banyak daerah macet lalu lintas dan juga sangat repot ketika mendatangi wilayah padat penduduk dengan gang-gang sempit seperti kota J. “Aku harus segera ganti mobil,” gerutu Rindi sambil berjuang keras mengendalikan kendaraannya. Limousine itu dibelinya menghabiskan tabungan nafkah yang selalu dikirimkan oleh sang suami tetapi tidak terpakai. Dengan harapan menaikkan status social di depan Enjang ketika kembali dari luar negeri. Sayangnya mencari sopir pribadi untuk layaknya pemilik sebuah limousine tidaklah mudah apa lagi dulu Rindi selalu tergantung suami, mama atau papanya untuk segala urusan hidup. Bahkan ketika dirinya telah berstatus istri Dio, peran orang tuanya tetap besar menyetir hidup Rindi. Rindi kesulitan hidup mandiri di Negara ini yang memang armada umum tak sebaik kota terakhir dirinya tinggal di luar sana. Setel
Dio melajukan mobil dengan kecepatan sedang ke arah timur kota. Melewati pemukiman yang cukup padat kemudian lurus naik mengarah ke tanah luas berbukit. Suasana asri segera terpampang memanjakan penglihatan. Pepohonan rindang berjejer rapi di kanan kiri jalan. Hingga sampailah pada sebuah gerbang yang lengkap dengan post penjagaan.Bimm!!!Seorang lelaki berseragam biru tua dengan topi di kepala bergegas keluar memeriksa. Setelah dipastikan mengenal mobil dan pengendaranya, kemudian dia bergegas membuka gerbang.Dio melesat masuk bersama kendaraannya menyusuri taman yang cukup luas untuk mencapai rumahnya bersama Rindi.Tampak di kejauhan petugas yang membuka gerbang tengah bicara dengan seseorang.“Benar, Pak Amir. Pak Dio datang sendirian.”“....”“Baik, Pak.”🍀“Ada apa, Pak?” tanya Bu Amir melihat ketegangan di wajah suaminya.“ Den Dio datang sendirian tanpa memberi kabar terlebih dahulu.”“Kita tidak pernah membuat masalah, Pak ... Kenapa harus khawatir?” tanya istrinya lagi de
Denting sendok terdengar berirama di meja makan rumah Enjang dan Dio. Meja oval dengan enam kursi yang mengelilingi telah terisi lima dan menyisakan satu yang kosong. Biasanya kursi itu akan digunakan seorang pengasuh untuk membantu anak-anak. Hanya saja sejak si kembar tiga tahun Enjang memutuskan untuk mengasuh mereka dengan tangannya sendiri. Azka berusia menjelang empat tahun saat itu. Usia pra sekolah adalah masa penting anak banyak belajar dan meniru orang terdekat hingga dirinya rela bersusah payah karena tak ingin anak-anaknya salah didikan. Enjang sangat protektif akan perkembangan anaknya termasuk anak Sang Suami dengan wanita lain sekalipun. “Pergi ke kamar kalian dan kerjakan tugas seperti biasa. Jam sembilan bunda naik untuk memastikan kalian sudah bersiap untuk tidur. Besok sekolah,” kata Enjang begitu ketiga anak itu sudah menyelesaikan makan malam. Mereka bergegas beranjak meninggalkan ruang makan menuju lantai dua di mana kamar mereka berada. Sang ayah membuat sebu
“Bagaimana sebenarnya Ibu menyampaikan pesan Rindi sama perempuan itu?” tanyaku langsung tanpa basa-basi. Tampak dahi wanita berbusana serba hitam itu mengerenyit dalam. Aku tak peduli karena saat ini hati tidak sedang dalam mode baik-baik saja. Hatiku sakit karena ulah mereka semua. Bahkan guru mengaji pribadi yang selalu koar-koar padaku agar menjaga keutuhan keluarga demi surga ini tidak becus mengemban tugas kecil. Menyampaikan pada wanita itu bahwa aku pergi bukan karena tak mencintai suami. Aku dan Kak Dio saling mencintai. “Sepertinya Mak Rindi datang dengan rasa marah. Ada apa?” tanyanya dengan suara lembut. Tak pengaruh bagiku dengan kelembutannya karena hati sedang panas. “Ada apa? Ibu yang kenapa?” Aku menunjuk dengan jemari lentik berhena coklat ini tepat ke arah wajahnya. Dia mundur dengan secara reflek. Kerutan di dahinya semakin bertumpuk. “Rindi minta tolong untuk menyampaikan pesan bahwa kami saling mencintai agar wanita tua itu tidak songong, bukan suruh dia
Rindi tertegun menyaksikan ruang kerjanya sangat berantakan. Perlahan dirinya bangkit dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Tak lama kemudian penampilannya telah rapi dan segar dengan busana muslim simple melekat ditubuh langsingnya.Rindi melangkah anggun keluar dari ruangan pribadinya melewati para pegawai butik yang segera menyibukkan diri masing-masing.Tak tampak kekacauan yang baru saja terjadi pada dirinya.“Tolong bereskan ruangan atas, ya.Saya mau keluar jadi selesaikan segera sebelum saya kembali.” Perintahnya lugas layaknya bos.“Baik, Bu.”Rindi memang menjadikan lantai dua butiknya sebagai kantor dan tempat tinggal sementara. Dirinya belum kembali ke rumah kediamannya bersama Dio karena cukup jauh dari kantor Sang Suami.Niatnya sebelum kembali ke rumah itu, Rindi akan memantau kehidupan suami bersama madu dan juga anaknya yang dalam pengasuhan istri kedua suaminya itu.Sayang, se