Sepasang bayi sangat mungil tertidur pulas dalam incubator. Mereka lahir kurang bulan hingga ditempatkan dalam ruang khusus. Dio menatap mereka lekat dari balik kaca. Mata ayah muda itu berkilauan oleh cairan yang mengambang di pelupuk.
“Sayang … maafkan Ayah.
Bukan tak memilih kalian tapi ayah belum sanggup melepas bunda kalian.
Bisa, kah bantu ayah untuk membujuk Allah agar membangunkan bunda?” Bulir menetes sudah. Lelaki berrahang kokoh itu geming mengabaikannya. Sedikit pun tak gentar di juluki si cengeng.
“Jangan selalu menyalahkan diri, Nak. Mama mohon, jaga juga kondisi badanmu.” Dio memandang ibunya sendu.
“Maaf, Pak. Bisa bicara sebentar?” Seorang petugas menghampiri ibu dan anak itu.
“Kenapa polisi masih saja meminta keterangan, Nak? Apa telah terjadi sesuatu?” tanya Bu Salma sambil melirik lelaki berseragam dinas di
“Ayah. Kita perlu bicara,” kata Dio sambil menghampiri ayahnya yang duduk terkatuk-kantuk.Mereka duduk dengan wajah yang sama sama serius. Dio sudah menceritakan hasil penyelidikan petugas juga Rony rekan sekaligus sahabatnya yang berprovesi sebagai intel di jajaran kepolisisan.Ada kemarahan terlihat dari wajah tua yang masih sangat sehat itu. Tangannya mengepal hingga bukunya memutih. Mulutnya tak henti melafaldkan istighfar agar emosinya mereda.“Kurang apa ayah memberi mereka? Putrinya kuutamakan agar bisa terus dalam penjagaan keluarga.Sebentar.” Ayah Dio seperti mengingat sesuatu.~Pak Amir sedang menyantap sarapan yang terlambat. Panas sudah tinggi tapi hatinya yang sedikit resah membuat napsu makannya hilang, Sang Istri yang khawatir sakit mag Sang Suami kambuh memaksanya untuk makan pagi menjelang siang.Dering telep
Dian Masih termangu di depan gerbang pagar rumahnya. Suami dan anak angkatnya baru saja pergi ke luar kota untuk menjenguk sang Bunda. Terbayang sikap Marwan yang begitu panic saat mendengar kabar mantan istrinya koma membuat Dian sungguh nelangsa. Bukan. Bukan dirinya tak peduli. Sebagai sikap pada sesama yang bisa ikut merasakan sedih atas duka sebagian orang, Dian pun merasakannya. Namun suaminya sungguh keterlaluan. Apa pun tentang mantan istrinya disikapi seolah masih menjadi tanggung jawabnya. “Apa kabar perasaanku?” gumam Dian lirih. “Bu Dian tidak ikut?” sapa tetangga sebelah yang biasa kepo kalau ada tetangga keluar rumah . “Tidak, Bu.” Dian bermaksud meninggalkan tetangganya dan segera masuk kembali. “Eh, Bu Dian. Seharusnya Pak Marwan itu dikawal kalau mau ketemu mantan. Nanti kalau mereka CLBK ibu yang rugi.” Dian hanya tersenyum kecil menanggapi tetangganya itu. “Maaf ya, Bu saya sedang tanggung memasak di dalam. Pamit dulu.” Dian bisa menghindari tetangga julidnya
Dian yang hidup sebatang kara sejak meninggalkan panti tempatnya dibesarkan tak memiliki siapapun selain Marwan dan keluarga besar Sang Suami untuk bergantung. Meski Enjang adalah menantu kesayangan pada saat itu tapi tak membuat Dian dibedakan saat masuk ke dalam keluarga besar mereka. Sungguh suami berasal dari keluarga yang sangat baik hingga Dian enggan menyerah dengan cepat. Selain keluarga suami, Syifa adalah salah satu yang mengikat hati Dian. Anak itu melengkapi hatinya yang kosong karena belum diberikan keturunan. Dian juga tak berharap banyak mengingat usia dan juga suaminya yang tampak tak memikirkan usaha agar istri ke duanya dapat mengandung juga tak bisa juga menuntut. Jangankan memberikan biayanya, meluangkan waktu untuk mengantar saja tak pernah bersedia. Dirinya juga tak berani mengeluh soal itu. Kalau Syifa akhirnya menetap bersama ibunya, Dian akan sangat kehilangan. Anak itu yang selalu dirasakan menyayangi Dian dengan tulus. Mengingatkan pada ayahnya jika Marwan
Kereta api malam membawa Dian dalam perjalanan menyusul Sang Suami ke rumah mantan istrinya. Hati wanita menginjak usia kepala empat itu sudah mantap ingin mengakhiri duka yang selama hampir lima tahun kebersamaan dengan Marwan merantai jiwanya.Lelah menangis sendirian Dian menyeret koper kecil dan mengisinya dengan beberapa potong pakaian lalu menyeretnya ke luar rumah. Tanpa dandanan dan pakaian layak bepergian wanita itu hanya mengenakan jilbab instan asal juga jaket di luar piyama panjang berwarna biru langit dengan list putih di setiap pinggirannya.Mobil yang dipesannya lewat aplikasi di ponsel membawa Dian menuju stasiun kereta dan memesan tiket kereta malam lintas Jawa menuju kota di mana suaminya kini berada. Duduk mencangkung dengan lebih banyak mengisi waktu untuk melamun wanita yang terlihat layu tanpa make up itu menghiraukan orang-orang yang lalu-lalang di sekitarnya.Hingga duduk di suatu gerbong dengan k
“Di-Dian kamu sadar yang barusan diucapkan?” tanya Marwan tergagap.“Sangat sadar, Mas.Selama lima tahun ini sebenarnya aku hanya pelengkap dalam hidupmu.Memenuhi kebutuhan batinmu, keutuhan sebuah keluarga untukmu dalam rumah kita bersama Syifa.Selebihnya tak ada.Hatimu?Bahkan aku tak tahu kau tempatkan di mana namaku di dalam sana,” kata Dian sambil menyentuh dada dengan ujung telunjuknya.“Kau tak bisa mempermainkan pernikahan, Dian.Kalau merasa tak nyaman bisa bubar begitu saja?Itu kekanakan namanya,” kata Marwan sok bijak. Dian terkekeh pelan dalam tangis.“Kau sudah gagal sekali, Mas … dan sekarang kau mengulanginya lagi padaku.Laki-laki payah!” Kata-kata Dian tidak keras tetapi ditekan dalam. Itu terdengar sangat tidak enak bagi Marwan.Lelaki yang masih berbalut sarung itu me
*Syifa*Aku senang sekali ada Mama Dian menyusul ke rumah kakek dan nenek. Walaupun mama kelihatan jadi pendiam itu tak apa-apa. Syifa tak mau banyak tanya karena mungkin saja mama sedang lelah. Beliau juga tak banyak bicara sama ayah bahkan kelihatan mereka saling menghindar.“Apa Mama marahan sama Ayah?” tanyaku.Mama Dian diam sebentar dengan wajah seperti gugup. Ada apa, ya? Pasti ada rahasia tapi senyumnya merekah sebelum menjawab. Aku jadi lega melihatnya.“Tidak, Sayang … mama cuma capek.”Orang dewasa selalu begitu. Kalau marahan tidak mengaku tapi Syifa tahu kalau mereka lagi marahan. Suasana jadi seram biarpun ada mereka berdua suasana jadi kaku. Syifa tidak suka.“Sudah jangan marahan lagi! Syifa nggak suka. Ayo salaman!” Mereka menurut saja. Lucu jadi pingin tertawa.“Ha, ha, ha
Aku bingung melihat sikap semua orang. Mereka semua aneh, Mama Dian mencubitku tapi waktu kutanya kenapa malah nyengir doang sambil bilang ‘maaf’. Sebenarnya tidak sakit soalnya dicubil pelan tapi kaget. Salah apa Syifa?“Ayah sedang bingung karena bunda sakit. Syifa sama mama saja sini.” Mama Dian menarik tangan Syifa lembut.Papa tampak bicara dengan Ayah Dio dan mengangguk-angguk. Sepertinya ada masalah yang sangat besar.“Ayo pakai ini dulu, kita akan masuk melihat Bunda.”Mama Dian memakaikan baju rumah sakit warna biru padaku juga dirinya sendiri. Lalu menarik tanganku memasuki ruangan. Ayah Dio ikut masuk mendampingi kami. Di dalam Bunda tertidur dengan banyak selang. Syifa takut dan memeluk Mama.“Jangan menangis ya … nanti Bunda sedih.Panggil Bunda lembut.Beliau pasti bisa mendengarnya.Bilangin Bund
Kutatap dua wanita beda usia yang sedang terlelap sambil berpelukan. Baru kusadari betapa Dian begitu menyayangi Syifa dengan tulus meski bukan anak kandungnya. Dian tak pernah bermasalah dengan keluarga besar juga anak-anakku yang lain.Seharusnya aku bersyukur dan berusaha muve on dari Enjang setelah mendapatkannya. Belajar mengikhlaskan karena semua juga salahku sendiri bukan justru rasa bersalah ini berkepanjangan dan kembali menyakiti orang lain.Aku benar-benar naif. Semoga belum terlambat untuk memperbaiki semuanya. Entah apa yang kupikirkan sehingga bisa melakukan begitu banyak hal untuk Enjang. Ingin menunjukkan bahwa diri sudah berubah? Untuk apa? Bahkan kembali padanya, sekarang jelas sudah tidak mungkin apa pun alasannya. Batinku terus berperang.“Kenapa aku begini bodoh,” kataku sendirian sambil menepuk dahi.Perasaan yang kalut membuatku tak sadar seseorang sed