Kereta api malam membawa Dian dalam perjalanan menyusul Sang Suami ke rumah mantan istrinya. Hati wanita menginjak usia kepala empat itu sudah mantap ingin mengakhiri duka yang selama hampir lima tahun kebersamaan dengan Marwan merantai jiwanya.
Lelah menangis sendirian Dian menyeret koper kecil dan mengisinya dengan beberapa potong pakaian lalu menyeretnya ke luar rumah. Tanpa dandanan dan pakaian layak bepergian wanita itu hanya mengenakan jilbab instan asal juga jaket di luar piyama panjang berwarna biru langit dengan list putih di setiap pinggirannya.
Mobil yang dipesannya lewat aplikasi di ponsel membawa Dian menuju stasiun kereta dan memesan tiket kereta malam lintas Jawa menuju kota di mana suaminya kini berada. Duduk mencangkung dengan lebih banyak mengisi waktu untuk melamun wanita yang terlihat layu tanpa make up itu menghiraukan orang-orang yang lalu-lalang di sekitarnya.
Hingga duduk di suatu gerbong dengan k
“Di-Dian kamu sadar yang barusan diucapkan?” tanya Marwan tergagap.“Sangat sadar, Mas.Selama lima tahun ini sebenarnya aku hanya pelengkap dalam hidupmu.Memenuhi kebutuhan batinmu, keutuhan sebuah keluarga untukmu dalam rumah kita bersama Syifa.Selebihnya tak ada.Hatimu?Bahkan aku tak tahu kau tempatkan di mana namaku di dalam sana,” kata Dian sambil menyentuh dada dengan ujung telunjuknya.“Kau tak bisa mempermainkan pernikahan, Dian.Kalau merasa tak nyaman bisa bubar begitu saja?Itu kekanakan namanya,” kata Marwan sok bijak. Dian terkekeh pelan dalam tangis.“Kau sudah gagal sekali, Mas … dan sekarang kau mengulanginya lagi padaku.Laki-laki payah!” Kata-kata Dian tidak keras tetapi ditekan dalam. Itu terdengar sangat tidak enak bagi Marwan.Lelaki yang masih berbalut sarung itu me
*Syifa*Aku senang sekali ada Mama Dian menyusul ke rumah kakek dan nenek. Walaupun mama kelihatan jadi pendiam itu tak apa-apa. Syifa tak mau banyak tanya karena mungkin saja mama sedang lelah. Beliau juga tak banyak bicara sama ayah bahkan kelihatan mereka saling menghindar.“Apa Mama marahan sama Ayah?” tanyaku.Mama Dian diam sebentar dengan wajah seperti gugup. Ada apa, ya? Pasti ada rahasia tapi senyumnya merekah sebelum menjawab. Aku jadi lega melihatnya.“Tidak, Sayang … mama cuma capek.”Orang dewasa selalu begitu. Kalau marahan tidak mengaku tapi Syifa tahu kalau mereka lagi marahan. Suasana jadi seram biarpun ada mereka berdua suasana jadi kaku. Syifa tidak suka.“Sudah jangan marahan lagi! Syifa nggak suka. Ayo salaman!” Mereka menurut saja. Lucu jadi pingin tertawa.“Ha, ha, ha
Aku bingung melihat sikap semua orang. Mereka semua aneh, Mama Dian mencubitku tapi waktu kutanya kenapa malah nyengir doang sambil bilang ‘maaf’. Sebenarnya tidak sakit soalnya dicubil pelan tapi kaget. Salah apa Syifa?“Ayah sedang bingung karena bunda sakit. Syifa sama mama saja sini.” Mama Dian menarik tangan Syifa lembut.Papa tampak bicara dengan Ayah Dio dan mengangguk-angguk. Sepertinya ada masalah yang sangat besar.“Ayo pakai ini dulu, kita akan masuk melihat Bunda.”Mama Dian memakaikan baju rumah sakit warna biru padaku juga dirinya sendiri. Lalu menarik tanganku memasuki ruangan. Ayah Dio ikut masuk mendampingi kami. Di dalam Bunda tertidur dengan banyak selang. Syifa takut dan memeluk Mama.“Jangan menangis ya … nanti Bunda sedih.Panggil Bunda lembut.Beliau pasti bisa mendengarnya.Bilangin Bund
Kutatap dua wanita beda usia yang sedang terlelap sambil berpelukan. Baru kusadari betapa Dian begitu menyayangi Syifa dengan tulus meski bukan anak kandungnya. Dian tak pernah bermasalah dengan keluarga besar juga anak-anakku yang lain.Seharusnya aku bersyukur dan berusaha muve on dari Enjang setelah mendapatkannya. Belajar mengikhlaskan karena semua juga salahku sendiri bukan justru rasa bersalah ini berkepanjangan dan kembali menyakiti orang lain.Aku benar-benar naif. Semoga belum terlambat untuk memperbaiki semuanya. Entah apa yang kupikirkan sehingga bisa melakukan begitu banyak hal untuk Enjang. Ingin menunjukkan bahwa diri sudah berubah? Untuk apa? Bahkan kembali padanya, sekarang jelas sudah tidak mungkin apa pun alasannya. Batinku terus berperang.“Kenapa aku begini bodoh,” kataku sendirian sambil menepuk dahi.Perasaan yang kalut membuatku tak sadar seseorang sed
“Syifa terluka kalau sampai kita berpisah, Dian.Dia sangat menyayangimu jadi kau tidak akan menggugat, Mas ke pengadilan agama, kan?” Kulihat Dian tak sedikitpun bergerak. Aku mulai kesal.“Aku kan sudah minta maaf! Memangnya aku harus apa!?” tanyaku keras.“Ssstt. Nanti Syifa terbangun, Mas.” Kini Dian telah duduk menghadapku dengan wajah cemberut.Dian wanita yang sebenarnya tak kalah cantic dan shalihah dari Enjang. Tetap menarik meski dengan wajah tanpa polesan. Hanya aku saja yang jarang memperhatikannya setelah menjadikannya istri karena terlalu menyesali keputusan melepas ibu dari anak-anak. Aku memang sedikit brengsek kurasa. Bukankah seharusnya aku banyak bersyukur diberi anugrah oran- orang baik di sekitarku?Dian Nampak jengah terus kutatap intens. Aku mendekat dan merengkuhnya dalam pelukan. Awalnya istriku yang ke dua ini memberot
“Sayang, bereskan barang kita juga punya Syifa.Kita pulang setelah menemui keluarga Enjang di rumah sakit sekali lagi.”“Iya, Mas. Tapi tanya Syifa dulu takutnya mau nunggu bundanya sampai sadar.”“Kamu bicaralah.Syifa juga harus sekolah dan lagi pula semua orang di sini masih focus ke ibu juga perkembangan dua adiknya.Takutnya Syifa merasa tersisih kalau di sini sendirian.”“Ya, Mas.” Aku mengelus kepalanya lembut sebelum meninggalkannya untuk bersiap diri.Dian istri yang penurut juga ibu yang handal dalam membujuk seorang anak. Dengan mudah Dian bisa memberikan pengertian pada putriku hingga sekarang Syifa sudah duduk manis di antara kami dalam mobil menuju rumah sakit.“Nanti lihat adek bayi dulu ya, Pa.”“Siap Tuan Putri,” kataku samb
“Sayang, bereskan barang kita juga punya Syifa.Kita pulang setelah menemui keluarga Enjang di rumah sakit sekali lagi.”“Iya, Mas. Tapi tanya Syifa dulu takutnya mau nunggu bundanya sampai sadar.”“Kamu bicaralah.Syifa juga harus sekolah dan lagi pula semua orang di sini masih focus ke ibu juga perkembangan dua adiknya.Takutnya Syifa merasa tersisih kalau di sini sendirian.”“Ya, Mas.” Aku mengelus kepalanya lembut sebelum meninggalkannya untuk bersiap diri.Dian istri yang penurut juga ibu yang handal dalam membujuk seorang anak. Dengan mudah Dian bisa memberikan pengertian pada putriku hingga sekarang Syifa sudah duduk manis di antara kami dalam mobil menuju rumah sakit.“Nanti lihat adek bayi dulu ya, Pa.”“Siap Tuan Putri,” kataku samb
Genap sudah satu bulan Enjang berada di rumah sakit. Anak kembarku juga sudah cukup kuat jantungnya hingga berbagai peralatan di tubuhnya sudah dilepas oleh dokter yang menangani. Jantung kedua bayi itu belum cukup kuat sewaktu dilahirkan karena masih kurang bulan. Lahir premature.“Kita sudah bisa pulang hari ini, Sayang,” kataku pada istri dengan suara selembut mungkin.“Enjang nunggu saja sampai bayi kita bisa keluar juga, Mas … biar ASInya tidak terlewat,” jawabnya lesu.“Alhamdulillah si kembar juga sudah bisa kita bawa,” kataku tersenyum.Kulihat binar di matanya. Kehangatan itu menulari dada ini. Sungguh aku merasa damai dan bahagia melihat kebahagiaan wanita yang juga mengalirkan ketenangan saat menatap wajahnya saja. Tekad yang kuat dalam diriku untuk berusaha mengembalikan sebagian ingatanku yang hilang. Kehilangan ini membuatku juga menderita kare