“Syifa terluka kalau sampai kita berpisah, Dian.
Dia sangat menyayangimu jadi kau tidak akan menggugat, Mas ke pengadilan agama, kan?” Kulihat Dian tak sedikitpun bergerak. Aku mulai kesal.
“Aku kan sudah minta maaf! Memangnya aku harus apa!?” tanyaku keras.
“Ssstt. Nanti Syifa terbangun, Mas.” Kini Dian telah duduk menghadapku dengan wajah cemberut.
Dian wanita yang sebenarnya tak kalah cantic dan shalihah dari Enjang. Tetap menarik meski dengan wajah tanpa polesan. Hanya aku saja yang jarang memperhatikannya setelah menjadikannya istri karena terlalu menyesali keputusan melepas ibu dari anak-anak. Aku memang sedikit brengsek kurasa. Bukankah seharusnya aku banyak bersyukur diberi anugrah oran- orang baik di sekitarku?
Dian Nampak jengah terus kutatap intens. Aku mendekat dan merengkuhnya dalam pelukan. Awalnya istriku yang ke dua ini memberot
“Sayang, bereskan barang kita juga punya Syifa.Kita pulang setelah menemui keluarga Enjang di rumah sakit sekali lagi.”“Iya, Mas. Tapi tanya Syifa dulu takutnya mau nunggu bundanya sampai sadar.”“Kamu bicaralah.Syifa juga harus sekolah dan lagi pula semua orang di sini masih focus ke ibu juga perkembangan dua adiknya.Takutnya Syifa merasa tersisih kalau di sini sendirian.”“Ya, Mas.” Aku mengelus kepalanya lembut sebelum meninggalkannya untuk bersiap diri.Dian istri yang penurut juga ibu yang handal dalam membujuk seorang anak. Dengan mudah Dian bisa memberikan pengertian pada putriku hingga sekarang Syifa sudah duduk manis di antara kami dalam mobil menuju rumah sakit.“Nanti lihat adek bayi dulu ya, Pa.”“Siap Tuan Putri,” kataku samb
“Sayang, bereskan barang kita juga punya Syifa.Kita pulang setelah menemui keluarga Enjang di rumah sakit sekali lagi.”“Iya, Mas. Tapi tanya Syifa dulu takutnya mau nunggu bundanya sampai sadar.”“Kamu bicaralah.Syifa juga harus sekolah dan lagi pula semua orang di sini masih focus ke ibu juga perkembangan dua adiknya.Takutnya Syifa merasa tersisih kalau di sini sendirian.”“Ya, Mas.” Aku mengelus kepalanya lembut sebelum meninggalkannya untuk bersiap diri.Dian istri yang penurut juga ibu yang handal dalam membujuk seorang anak. Dengan mudah Dian bisa memberikan pengertian pada putriku hingga sekarang Syifa sudah duduk manis di antara kami dalam mobil menuju rumah sakit.“Nanti lihat adek bayi dulu ya, Pa.”“Siap Tuan Putri,” kataku samb
Genap sudah satu bulan Enjang berada di rumah sakit. Anak kembarku juga sudah cukup kuat jantungnya hingga berbagai peralatan di tubuhnya sudah dilepas oleh dokter yang menangani. Jantung kedua bayi itu belum cukup kuat sewaktu dilahirkan karena masih kurang bulan. Lahir premature.“Kita sudah bisa pulang hari ini, Sayang,” kataku pada istri dengan suara selembut mungkin.“Enjang nunggu saja sampai bayi kita bisa keluar juga, Mas … biar ASInya tidak terlewat,” jawabnya lesu.“Alhamdulillah si kembar juga sudah bisa kita bawa,” kataku tersenyum.Kulihat binar di matanya. Kehangatan itu menulari dada ini. Sungguh aku merasa damai dan bahagia melihat kebahagiaan wanita yang juga mengalirkan ketenangan saat menatap wajahnya saja. Tekad yang kuat dalam diriku untuk berusaha mengembalikan sebagian ingatanku yang hilang. Kehilangan ini membuatku juga menderita kare
‘Bos, kau keterlaluan menyuruhku bekerja sendirian.Mertuamu … aku tak bisa berbuat apa-apa ketika polisi meringkusnya di tempat persembunyian.Ibu mertuamu terus histeris akhirnya jatuh sakit.Istrimu murung sepanjang waktu mengakibatkan anaknya takut mendekat dan menghabiskan waktu dengan pengasuh.’Laporan panjang dari ujung telephon membuat kepala Dio berdenyut nyeri.”Sudah cukup dulu, Bro, kepalaku sakit.Coba temui ayahku atau Pak Amir di rumah Rindi dan bilang kalau kau temanku.Besok aku pulang ke sana tapi tak usah kau bilang sama istriku.”‘Baiklah!Jaga diri jangan sampai sakit.’Pesan Rony dari ujung sana lalu sambungan terputus. Aku masih memijit kepala yang makin berdenyut. Kuputuskan memejamkan mata sejenak.~*Kediaman keluarga Rindi*“Jangan terus murung seperti itu, Nyonya, kasih
“Dalam hidup ini kita pasti akan diberi cobaan baik dengan rasa sakit, sedih, ataupun kecewa. Cobaan itu bisa melalui pasangan, anak, orang tua. Saudara bahkan tetangga.”Wanita berkerudung panjang berwarna hitam dengan gamis sar’i coklat tua tidak mengurangi kesan tegas dan elegan Bu Salamah dalam memberikan petuah dakwah bagi Rindi yang sekarang hanya duduk terpekur mendengarkan guru pembimbing yang diberikan oleh suaminya.Jadwal mengaji sepekan sekali yang dijadwalkan adalah siksaan bagi Rindi di masa lalu tapi sekarang serasa oase di padang tandus. Cobaan demi cobaan yang dihadapkan pada keluarganya sungguh memukul jiwanya yang muda lan labil. Mama dan papa yang menjadi patokan setiap langkahnya sekarang membuatnya sungguh kehilangan arah.Bu Salamah menyentuh jemari wanita muda di depannya dengan lembut. Cahaya mata Rindi yang sayu hanya menatap kosong. Sesekali tangannya yang putih
Aku pergi meninggalkan rumah dengan berbagai rasa berperang dalam batin. Satu sisi aku ingin bebas melangkah dan tetap waras menghadapi hidup dan masa depan diusia masih dua puluh tahun yang belum genap.“Ma, ma, ma.” Kata pertama Azka hampir mengurungkan langkah ini tapi mengingat ini juga demi dirinya aku mantap melangkah.Menjadi ibu bagi Azka aku harus kuat juga cerdas. Kalau tidak aku tak akan bisa membimbingnya kelak. Mengingat betapa keluargaku sangat ambisi menguasai harta keluarga suamiku melalui cucunya maka kukeraskan hati meninggalkannya.“Ini semua demi kamu, Sayang …,” gumamku dengan rasa tercekik.Aku tak akan membawa fasilitas apa pun kecuali ATM untuk membiayai hidup dan pendidikanku nanti. Lebih baik kembali hidup sederhana agar aku tak lupa daratan dan meneruskan sifat kedua orang tuaku.Bagaimana kabar mereka sekarang?
*Rindi*“Tubuh wanita semuanya adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan jadi sebaiknya ditutupi bukan dipertontonkan.” Begitu kata Bu Salamah yang masih kuingat dengan jelas.Kelak kalau aku sudah jadi seorang desaigner akan kubuat kombinasi busana modern yang syari. Niat ini sudah bulat juga untuk hidupku ke depan aku akan memperbaiki busana yang kukenakan. Aku akan memulainya dari memanjangkan baju dan menutup rambut. Memang belum sempurna tapi biarlah pelan saja. Tekad mandiri akan membuktikan bahwa aku mampu dan cukup kuat.“Kenapa harus keluar?Kenapa harus Paris?” tanya Kak Dio kemarin.“Kalau ada kesempatan pasti semua wanita suka negara itu yang identic dengan fashion dan cantic. Negara yang indah.”Aku menjawab dengan menerawang pandang. Biarlah dia hanya tahu aku ingin bebas dan bersenang-senang di negara yang indah.
*Enjang*“Masuklah duduk di sini,” kataku tulus.Dia menghampiri dengan canggung. Penampilannya sudah banyak berubah. Tunik berbunga pink lembut dengan dasar warna gray dipadu celana panjang coklat agak lebar di bagian bawah membuatnya terlihat lebih dewasa dan anggun. Tas selempang kecil mempermanis tampilannya.“Mbak datang bareng Mas Dio?” tanyaku.Dia tertegun.Ah, benar kan cara memanggilnya begitu? Statusku adalah adik madu meski usianya jauh di bawahku. Apa panggilan ini membuatnya tak nyaman?“Tidak,” katanya sambil meraih tanganku dalam genggaman.Aku sedikit kaget karena perubahan sikapnya. Terakhir kali kami bertemu dia sangat angkuh begitu juga pesannya yang membuat dada nyeri saat memamerkan Azka putra suami kami dengannya.“Rindi titipkan Kak Dio sama Kak Enjang ya.