‘Bos, kau keterlaluan menyuruhku bekerja sendirian.
Mertuamu … aku tak bisa berbuat apa-apa ketika polisi meringkusnya di tempat persembunyian.
Ibu mertuamu terus histeris akhirnya jatuh sakit.
Istrimu murung sepanjang waktu mengakibatkan anaknya takut mendekat dan menghabiskan waktu dengan pengasuh.’
Laporan panjang dari ujung telephon membuat kepala Dio berdenyut nyeri.
”Sudah cukup dulu, Bro, kepalaku sakit.
Coba temui ayahku atau Pak Amir di rumah Rindi dan bilang kalau kau temanku.
Besok aku pulang ke sana tapi tak usah kau bilang sama istriku.”
‘Baiklah!
Jaga diri jangan sampai sakit.’
Pesan Rony dari ujung sana lalu sambungan terputus. Aku masih memijit kepala yang makin berdenyut. Kuputuskan memejamkan mata sejenak.
~
*Kediaman keluarga Rindi*
“Jangan terus murung seperti itu, Nyonya, kasih
“Dalam hidup ini kita pasti akan diberi cobaan baik dengan rasa sakit, sedih, ataupun kecewa. Cobaan itu bisa melalui pasangan, anak, orang tua. Saudara bahkan tetangga.”Wanita berkerudung panjang berwarna hitam dengan gamis sar’i coklat tua tidak mengurangi kesan tegas dan elegan Bu Salamah dalam memberikan petuah dakwah bagi Rindi yang sekarang hanya duduk terpekur mendengarkan guru pembimbing yang diberikan oleh suaminya.Jadwal mengaji sepekan sekali yang dijadwalkan adalah siksaan bagi Rindi di masa lalu tapi sekarang serasa oase di padang tandus. Cobaan demi cobaan yang dihadapkan pada keluarganya sungguh memukul jiwanya yang muda lan labil. Mama dan papa yang menjadi patokan setiap langkahnya sekarang membuatnya sungguh kehilangan arah.Bu Salamah menyentuh jemari wanita muda di depannya dengan lembut. Cahaya mata Rindi yang sayu hanya menatap kosong. Sesekali tangannya yang putih
Aku pergi meninggalkan rumah dengan berbagai rasa berperang dalam batin. Satu sisi aku ingin bebas melangkah dan tetap waras menghadapi hidup dan masa depan diusia masih dua puluh tahun yang belum genap.“Ma, ma, ma.” Kata pertama Azka hampir mengurungkan langkah ini tapi mengingat ini juga demi dirinya aku mantap melangkah.Menjadi ibu bagi Azka aku harus kuat juga cerdas. Kalau tidak aku tak akan bisa membimbingnya kelak. Mengingat betapa keluargaku sangat ambisi menguasai harta keluarga suamiku melalui cucunya maka kukeraskan hati meninggalkannya.“Ini semua demi kamu, Sayang …,” gumamku dengan rasa tercekik.Aku tak akan membawa fasilitas apa pun kecuali ATM untuk membiayai hidup dan pendidikanku nanti. Lebih baik kembali hidup sederhana agar aku tak lupa daratan dan meneruskan sifat kedua orang tuaku.Bagaimana kabar mereka sekarang?
*Rindi*“Tubuh wanita semuanya adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan jadi sebaiknya ditutupi bukan dipertontonkan.” Begitu kata Bu Salamah yang masih kuingat dengan jelas.Kelak kalau aku sudah jadi seorang desaigner akan kubuat kombinasi busana modern yang syari. Niat ini sudah bulat juga untuk hidupku ke depan aku akan memperbaiki busana yang kukenakan. Aku akan memulainya dari memanjangkan baju dan menutup rambut. Memang belum sempurna tapi biarlah pelan saja. Tekad mandiri akan membuktikan bahwa aku mampu dan cukup kuat.“Kenapa harus keluar?Kenapa harus Paris?” tanya Kak Dio kemarin.“Kalau ada kesempatan pasti semua wanita suka negara itu yang identic dengan fashion dan cantic. Negara yang indah.”Aku menjawab dengan menerawang pandang. Biarlah dia hanya tahu aku ingin bebas dan bersenang-senang di negara yang indah.
*Enjang*“Masuklah duduk di sini,” kataku tulus.Dia menghampiri dengan canggung. Penampilannya sudah banyak berubah. Tunik berbunga pink lembut dengan dasar warna gray dipadu celana panjang coklat agak lebar di bagian bawah membuatnya terlihat lebih dewasa dan anggun. Tas selempang kecil mempermanis tampilannya.“Mbak datang bareng Mas Dio?” tanyaku.Dia tertegun.Ah, benar kan cara memanggilnya begitu? Statusku adalah adik madu meski usianya jauh di bawahku. Apa panggilan ini membuatnya tak nyaman?“Tidak,” katanya sambil meraih tanganku dalam genggaman.Aku sedikit kaget karena perubahan sikapnya. Terakhir kali kami bertemu dia sangat angkuh begitu juga pesannya yang membuat dada nyeri saat memamerkan Azka putra suami kami dengannya.“Rindi titipkan Kak Dio sama Kak Enjang ya.
“Kenapa harus pergi kalau cinta?” tanyaku serak.Aku harus menyisihkan ego.Harus!“Tetaplah tinggal.Semua kisah yang ada adalah takdir yang harus kita jalani dengan sabar,” kataku mencoba membujuk.Jujur aku membujuk hatiku sendiri juga agar tetap berusaha ikhlas.“Tidak, Kak.Rindi datang ke sini untuk pamit lagi pula mencintai, Kak Dio itu mudah, kan? Seperti Kak Dio mudah mencintai Kak Enjang.Kalian orang-orang istimewa sementara Rindi hanya kebetulan terjebak di antara kalian.Rindi merasa buka apa-apa buat siapa pun.”“Kau ibunya Azka, ingat?”“Ya.Karena ibunya Azka, dia tak hanya butuh ibu seperti Rindi yang sekarang, Kak.Rindi akan belajar menjadi tangguh dan bisa mengandalkan diri agar kelak bisa membimbing Azka lebih baik agar Azka kelak tidak kecewa memilik
Bersama seorang pengasuh Dio membawa Azka ke rumah orang tuanya. Ada rasa gamang menyadari diri gagal sebagai seorang suami. Bagaimana nanti menjelaskannya? Apakah mereka akan sangat kecewa? Apakah keputusan yang kuambil sudah benar? Berbagai pertanyaan bertumpuk di kepalanya.“Assalamualaikum…,” ucapnya sambil memasuki rumah.“Waalaikumusalam warahmatullahi wabarakatuh.Ma sya Allah, Dio! Azka!Sini-sini sama Eyang Ti,” sambut Sang Mama heboh.Seorang wanita berseragam pengasuh anak dengan nama Wanti tertera di bagian dada kiri seragamnya menenteng tas dan menyeret koper lumayan besar. Semua keperluan milik Azka ada di dalamnya. Bu Salma menatapnya dengan heran.“Memang rencananya kalian menginap berapa hari kok banyak banget bawaannya?” tanya Bu Salma.Mbak Wati melirik pada bosnya untuk mendapatkan bant
“Tidak, Yah.Memang Rindi memintanya tapi Dio lebih memilih memberinya waktu untuk meraih yang dia inginkan.Dia benar kalau masih muda dan berat menjalani pernikahan rumit ini ditambah beban kehadiran seorang anak. Sikap orang tua juga menambah beban yang tidak ringan baginya.”Pak Bayu menghela napas panjang lalu berkata,” Lalu apa rencanamu?”“Dio berharap sembuh dari amnesia dan mengambil keputusan yang tepat. Untuk saat ini biar kami saling memberi waktu saja, Yah.”“Sabar ya, Sayang,” kata Bu Salma dengan mata berkaca.“Ayah juga salah dalam hal ini.Kuasa Allah sungguh besar.Wanita yang kukira tak bakal bisa memberimu keturunan justru bertaruh nyawa dengan dua orang cucuku sekaligus.Ayah bersalah pada kalian.” Dio menatap ayahnya sejenak lalu mengalihkan pandangan pada ruang kosong.
“Bagaimana, Dok?”“Pak Dio terlalu lelah lahir batin.Apakah sedang menghadapi masalah berat?Sebaiknya jangan aktif di kantor dulu takutnya akan memperparah penyakit yang sudah ada.”“Baik, Dok.”“Satu lagi, Bu.Pak Dio sepertinya tidak meminum obat yang saya berikan dengan benar jadi ini saya resepkan kembali.Obat yang kemarin jangan dipakai lagi saja mengingat perkembangannya saya rasa lebih baik ganti obat,” kata Dokter Wiranata sambil mengangsurkan sehelai kertas pada Bu Salma.Dio masih tertidur di sofa ruang keluarga ketika dokter berpamitan. Obat penenang yang disuntikkan pada tubuhnya masih bereaksi sementara untuk memindahkan tubuh tinggi yang cukup besar itu sulit bagi ayah dan mamanya.“Biarkan sampai terbangun sendiri saja.” Begitu pesan dokter sebelum pergi.