“Tidak, Yah.
Memang Rindi memintanya tapi Dio lebih memilih memberinya waktu untuk meraih yang dia inginkan.
Dia benar kalau masih muda dan berat menjalani pernikahan rumit ini ditambah beban kehadiran seorang anak. Sikap orang tua juga menambah beban yang tidak ringan baginya.”
Pak Bayu menghela napas panjang lalu berkata,” Lalu apa rencanamu?”
“Dio berharap sembuh dari amnesia dan mengambil keputusan yang tepat. Untuk saat ini biar kami saling memberi waktu saja, Yah.”
“Sabar ya, Sayang,” kata Bu Salma dengan mata berkaca.
“Ayah juga salah dalam hal ini.
Kuasa Allah sungguh besar.
Wanita yang kukira tak bakal bisa memberimu keturunan justru bertaruh nyawa dengan dua orang cucuku sekaligus.
Ayah bersalah pada kalian.” Dio menatap ayahnya sejenak lalu mengalihkan pandangan pada ruang kosong.
“Bagaimana, Dok?”“Pak Dio terlalu lelah lahir batin.Apakah sedang menghadapi masalah berat?Sebaiknya jangan aktif di kantor dulu takutnya akan memperparah penyakit yang sudah ada.”“Baik, Dok.”“Satu lagi, Bu.Pak Dio sepertinya tidak meminum obat yang saya berikan dengan benar jadi ini saya resepkan kembali.Obat yang kemarin jangan dipakai lagi saja mengingat perkembangannya saya rasa lebih baik ganti obat,” kata Dokter Wiranata sambil mengangsurkan sehelai kertas pada Bu Salma.Dio masih tertidur di sofa ruang keluarga ketika dokter berpamitan. Obat penenang yang disuntikkan pada tubuhnya masih bereaksi sementara untuk memindahkan tubuh tinggi yang cukup besar itu sulit bagi ayah dan mamanya.“Biarkan sampai terbangun sendiri saja.” Begitu pesan dokter sebelum pergi.
Sejak beberapa tahun belakangan lelaki berusia hampir enam puluh tahun itu tak selalu terjun ke ladang sendiri. Perkebunan diserahkan pada pengelola yang sudah sangat terpercaya. Hanya sesekali saja memantau jika masa tanam untuk memastikan tanaman bagus dan jelang panen. Waktunya sering dihabiskan untuk menghadiri kajian dan juga menemani istri di rumah. Saat panen bapak yang terlihat sehat beraktifitas ini baru sibuk.Brruggg!!Pak Bayu dan Bu Salma dikejutkan dengan suara berdebam. Mereka serempak berlari menuju asal suara.“Dio!” Bu Salma berteriak histeris mendapati tubuh putranya tergeletak di lantai dengan darah mengalir di lantai yang putih.“Cepat panggil ambulans!” Dengan tangan bergetar Bu Salma meraih ponsel dan menekan nomot darurat.Mobil ambulans datang lima belas menit kemudian. Dio sama sekali tidak tersadar ketika team memeriksa dan segera memasukkan k
“En-Enjang …,” kata Dio lemah.Bu Salma yang tertidur di kursi samping ranjang sambil memegang tangan Sang Putra terbangun mendapati pergerakan di tangan. Matanya mengerjab mendapati Dio gelisah sambil memejamkan mata. Bibirnya terus memanggil nama Enjang, menantu yang terabaikan selama ini.“Dio, Sayang.Bangunlah, Nak … ini mama.Apa yang kamu rasakan hem?”Mata itu terbuka perlahan dengan lemah. Bibirnya yang kering bergerak-gerak mengucapkan sesuatu dengn lemah. Bu Salma mendekatkan wajah agar bisa mendengar apa yang dikatakan putranya.“Mama … Enjang mana?”Belum sempat menjawab pertanyaan Dio, Bu Salma melihat pergerakan suaminya yang ikut terbangun.“Dio sadar, ya Ma?Ayah panggil dokter dulu,” kata Pak Bayu sambil beranjak menuju pintu.Kantu
“Bagaimana keadaanmu?Tadi mertuamu juga datang tapi sudah pulang sore tadi.” Dio menatap ayahnya mengerut dahi dan Pak Bayu paham.“Pak Darmawan maksud ayah.Pak Agus sudah dibebaskan dan kembali ke rumah lamanya.Sepertinya sudah kapok lelaki itu.Istrinya juga sudah sembuh dan pulang bersamanya dan mereka dijaga agar tak selalu mencari tahu aktifitasmu jadi tak tahu kamu sakit lagi.”“Rindi sudah berangkat?”“Sudah.Istrimu itu juga jauh lebih baik setelah dipegang Bu Salamah.” Dio mengangguk membenarkan kata kata ayahnya.“Jadi tak ada yang perlu dirisaukan lagi.Sekarang tidurlah, Nak… besok kalau memungkinkan kita bisa pulang,” kata Bu Salma yang sejak tadi hanya diam memperhatikan interaksi ayah dan anak itu.“Tunggu diperiksa Dokter Wiranata, Ma. Kalau kondis
Aku merasa diperhatikan seseorang. Kulihat suster tengah sibuk membenarkan posisi si kembar. Mereka sekarang berada di stroller. Ibu tak ada lagi bersama mereka. Mungkin saja tengah menemani bapak sarapan sebab pahlawanku itu tak lagi duduk menikmati kopi di kursi serambi.“Sstt! Sayang ….” Sebuah suara teramat kukenal menggelitik telinga.Aku menoleh ke belakang dan menemukan sesosok tinggi tampan yang teramat kurindukan. Meski ketampanan itu tak sedikitpun berkurang tapi wajahnya yang terlihat lebih tirus dari terakhir kulihat sedikit mengganggu hatiku.“Mas Dio!Kapan datang?” senyumnya mengembang tanpa menjawab pertanyaanku.Setelah mendekat tangan Mas Dio melingkari badanku. Reflek aku memegangi perut. Suamiku itu langsung melepaskannya. Mungkin tahu aku takut luka jahitan ini tersentuh. Luka bekas Caesar saat melahirkan si kembar.&ldqu
“Kalian memang luar biasa.Maafkan, ayah, Enjang,” kata Ayah mertua tulus.“Tak ada yang perlu dimaafkan, Yah.Sekarang semua baik-baik saja dan semoga mereka selalu sehat.”Senyum terkembang pada wajah-wajah yang mulai bertumbuhan keriput. Senyum mereka semakin terkembang ketika sepasang putra-putriku datang bersama pengasuh mereka dalam keadaan telah rapi dan wangi.“Sini berikan padaku, Sus.” Mama Salma antusias menggendong bayi mungil itu sambil terus diciumnya.“Jangan dicium terus, Ma …nanti lecet!” seru Mas Dio membuat semua tergelak.Urat ketegangan yang beberapa hari ini dirasakan oleh para orang tua itu sepertinya telah terurai sempurna. Aku turut lega melihatnya.“Akhir pecan ini kita akan mengadakan syukuran dan memberi nama si kembar.Mas sudah hubungi kakak Royyan
LIMA TAHUN KEMUDIAN“Vino! Jangan iseng, kembalikan buku adiknya!” teriak Enjang sambil memukulkan sendok pada meja makan.“Bunda ….” Suara datar Dio mengingatkan Sang Istri.“Yah, lihat anakmu itu tiap hari bikin tensi bunda naik. Hari ini buku, kemarin sepatu, besok apa lagi? Vina nangis saja dibuatnya tiap hari,” urai Enjang pada suaminya dengan wajah kesal.“Cengeng sih.”“Ya ampun, Vino!” pekik wanita berdaster bunga-bunga biru itu lagi“Ayo, Dek berangkat. Kakak masih punya satu buku belum dipakai nanti bisa buat, Dek Vina,” bujuk Azka lembut.“Tapi buku Vina ada PR yang sudah dikerjakan, Kak,” kata Vina sedih.“Nanti minta lagi soalnya sama temanmu dan kakak bantu kerjain ulang.” Azka masih
Enjang duduk termenung setelah semua orang pergi beraktifitas. Pertemuan dengan Bu Salamah kemarin membuatnya banyak berpikir. Obrolan mereka masih saja terngiang di telinga.“Mbak Rindi meninggalkan putranya demi menghindarkan Azka dari kakek dan neneknya. Mereka menjadikan cucu sebagai alat untuk memeras keluarga Pratama.”“Bagaimana Ibu tahu?”Wajah Enjang menegang. Dirinya tidak pernah tahu jika dalam keluarga suaminya bersama istri pertama adamengalami hal seperti itu. Dio tidak pernah sedikitpun membukanya dalam rumah Enjang.“Mbak Rindi yang cerita karena kalut bingung mau bertindak bagaiman jadi meminta saran pada saya.Maaf seharusnya saya tidak boleh lancang membuka hal ini, hanya saja saya tidak tega jika pernikahan mereka kandas karena kepergiannya itu,” kata wanita berusia sekitar empat puluh tahun itu dengan wajah menyesal.