Enjang duduk termenung setelah semua orang pergi beraktifitas. Pertemuan dengan Bu Salamah kemarin membuatnya banyak berpikir. Obrolan mereka masih saja terngiang di telinga.
“Mbak Rindi meninggalkan putranya demi menghindarkan Azka dari kakek dan neneknya. Mereka menjadikan cucu sebagai alat untuk memeras keluarga Pratama.”
“Bagaimana Ibu tahu?”
Wajah Enjang menegang. Dirinya tidak pernah tahu jika dalam keluarga suaminya bersama istri pertama adamengalami hal seperti itu. Dio tidak pernah sedikitpun membukanya dalam rumah Enjang.
“Mbak Rindi yang cerita karena kalut bingung mau bertindak bagaiman jadi meminta saran pada saya.
Maaf seharusnya saya tidak boleh lancang membuka hal ini, hanya saja saya tidak tega jika pernikahan mereka kandas karena kepergiannya itu,” kata wanita berusia sekitar empat puluh tahun itu dengan wajah menyesal.
Butik itu ada di jajaran toko cukup elit di tengah kota. Bangunan berlantai dua dengan tatanan minimalis yang anggun. Persis jiwa Rindi yang praktis dan enerjik.“Kau berada begitu dekat dengan kantor Mas Dio hanya dari arah yang lain dari rute perjalan antara kantor danrumah kami.Apa benar kalian tak pernah saling bertemu?” Hati Enjang kembali tercubit.Sebuah prasangka tak nyaman hadir. Kalau benar mereka saling bertemu di belakang tanpa sepengetahuannya, jelas itu sama saja sebuah penghianatan. Tanpa sadar Enjang mengepalkan tangan dengan rahang mengeras.Mereka suami istri yang masih sah baik dalam agama maupun negara. Namun secara etika jelas dirinya merasa dilecehkan jika suami istri itu saling bertemu di belakang sementara selama ini Enjang mencemaskan kakak madunya itu juga sangat mencintai anak mereka.Suami dan madu.“Kenapa aku marah pada hal yang sama seka
“Kak Enjang!“Sayang!Mereka memanggil bersamaan. Tampak rasa kikuk seperti seorang pencuri tertangkap basah jelas melanda. Enjang tak peduli. Dadanya terasa sesak dengan napas tersengal karena ingin menangis yang ditahan sekuat tenaga. Enjang hanya ingin segera pergi dari hadapan mereka berdua dengan terus beristighfar agar amarahnya mereda.“Aku mau pulang silakan ambil saja waktu kalian. Hanya saja aku tak suka cara kalian.” Suara wanita itu datar saja.Dio tampak ingin mengatakan sesuatu mungkin sejenis penjelasan tapi mengingat sifat tegas istrinya dia tahu ucapan apa pun sia-sia untuk sekarang. Hanya waktu sendiri yang istri ke duanya itu inginkan untuk saat ini.Mendinginkan kepala.Sampai di rumah Enjang membersihkan diri lalu memasuki kamar dan menguncinya. Terdengar seseorang melangkah mendekat dan mengetuk sebentar. Dia merasa itu adalah
*Dio Pratama*Lima tahun telah berlalu sejak Rindi pergi dari hidupku dan Azka. Mengingat Azka, anak itu menyadarku bahwa telah berhutang banyak pada Enjang, istriku yang lain. Wanita yang begitu aku cintai melebihi segala kepentinganku. Pengorbanannya melahirkan anak kembar kami, rela bertaruh nyawa membuatku semakin mencintainya. Rasanya aku sanggup menukar apa saja untuk kebahagiaannya.Sementara Rindi, aku menyayanginya karena Allah. Wanita yang menjadi jodohku bagaimanapun caranya itu pasti karena takdir yang harus kuterima dengan lapang dada. Terlebih ada Azka sebagai pengikat kami. Perasaanku padanya tak akan membatalkan kewajiban sebagai suami atas seorang istri. Seperti perjanjian suci saat akhad.“Taka da sesuatu apa pun yang terjadi tanpa ijin Allah, sedang daun yang jatuh dari dahan adalah ketentuanNya apa lagi hal besar seperti jodoh.” Nasihat seorang sahabat yang terus kuingat.
Memasuki ruang kantor yang sejuk dengan tatanan cantic berselera tinggi aku berdecak kagum. Sesuai karakter Sang Pemilik ruangan itu sungguh nyaman untuk mencari inspirasi. Ruangan ini ada di lantai tiga bangunan ini. Digunakan hanya sebagian dan bagian lainnya didesain dengan ruang agak terbuka menampilkan pemandangan di luar sana.Kuedarkan pandangan tampak di ujung ruang seperti meja panjang dengan box berbahan acrilik tebal di sepanjang pinggiran menampilkan berbagai koleksi model yang mungkin akan atau baru louncing.“Kau tampak sudah berhasil. Kenapa tidak pulang?” tanyaku untuk mengurai kebisuan di antara kami.Bagaimanapun kami adalah dua orang yang lama tidak bertemu dan status kami adalah suami istri dengan kisah yang tidak biasa sehingga kecanggungan mendominasi pertemuan ini. Aku baik Rindi sama-sama berhati-hati dalam interaksi. Entahlah aku sendiri bingung harus bersikap bagaimana?
*Rindi*Punggung Kak Dio menghilang di balik pintu butik. Tanpa menengok lagi dia lebih memilih mengejar Kak Enjang yang tampak marah. Kenapa harus marah? Aku juga istri sah dan pertama pula. Lalu apa yang salah? Sepertinya tak perlu kupertahankan pernikahan ini jika suamiku saja tak peduli perasaanku.“Bu.” Aku tergagap.“Sedang apa kalian berkumpul di sini?” tanyaku melihat karyawanku mematung memperhatikanku sementara sebagian dari mereka tampak berbisik-bisik.“Dengar semua!Jangan pernah berpikir bahwa saya perebut suami orang hanya karena kalian melihat insident tadi.Kalian salah!Meski terlihat jauh lebih muda, sayalah istri pertamanya dan sekarang masih kusandang sah secara hukum dan agama karena suami kami tak pernah menalakku.Ini hanyalah salah paham jadi jika kalian sampai menyebar gossip murahan, maka saya tak segan memutuskan ke
Wajah Kak Enjang tampak sedih. Tulus atau sandiwara?Biarlah apapun yang dia simpan dalam hatinya aku tak peduli. Sikap Kak Dio yang cenderung membelanya sudah cukup untukku mengambil keputusan untuk menyerah saja. Kata adil dalam pernikahan poligami kami tak kurasakan.“Kak Enjang tenang saja karena sebentar lagi akan kuserahkan, Kak Dio seutuhnya untukmu secara resmi.Kepergianku selama lima tahun ini mungkin telah menumbuhkan harapan, Kakak untuk memiliki suami seutuhnya.Sekarang aku kabulkan harapan itu.”Wajah wanita yang tetap cantic meski telah melahirkan lima anak ini menegang dan mematung di hadapanku. Aku terkejut ketika pipinya telah basah oleh air mata tanpa isak yang kudengar.“Aku memang salah, Rindi tapi bisakah kau dengarkan aku dulu sebelum menuduhku begitu hina? Aku minta maaf karena terburu emosi melihat kalian bersama.Aku hanya berharap kita baik-baik sa
“Dio sudah tahu kamu pulang?Mereka berencana ke sini hari ini dan anak-anak sudah menginap dari semalam,” kata mertuaku menjelaskan.Sepertinya kemunculanku menimbulkan gejolak di keluarga, Kak Dio dan keluarga besarnya. Apa Mama Salma sebenarnya sudah tahu kalau aku akan datang? Mungkin Kak Dio sengaja menitipkan mereka karena sedang bermasalah dengan adik maduku dan memberitahukan pada mamanya. Apa perlu juga orang tua ini berpura-pura? Tanpa sadar aku mengeraskan rahang tetapi segera memperbaiki ekspresi melihat wanita ini masih menatapku intens sehingga aku hanya bisa menutupi perasaan tak nyaman dengan mencoba tersenyum lebar.“Iya, Ma, sudah.Kami memang sengaja janjian di sini.O, ya, Ayah kemana, Ma?” tanyaku mengalihkan perhatian sambil memandang berkeliling.Ruangan ini belum berubah sejak aku terakhir datang ke sini. Ketika kembali mengarahkan pandangan pada Mama M
Kak Enjang menatapku lama. Kami saling memandang karena aku tak mau terintimidasi olehnya. Sekarang diri ini bukan Rindi yang lemah seperti dulu. Pendidikan, karier dan uang telah kumiliki melampauinya. Aku tahu adik madu yang lebih tua dariku itu hanyalah seorang ibu rumah tangga di tahun-tahun terakhir sejak kelahiran putra-putri kembarnya.Tiba-tiba dia berekspresi datar dan wajah itu tampak dingin. Tengkukku merinding seketika tapi sekuat tenaga menenangkan diri. Tak ada yang perlu kutakuti karena tak ada kesalahan yang kubuat. Kurasa dia terlalu percaya diri hanya karena Kak Dio teramat mencintainya dan berharap selalu menang dari siapapun. Dia salah menilaiku jika berharap aku juga akan menyanjungnya.Jangan harapAkhirnya dia kalah beradu pandang padaku dan berbalik pergi. Aku menghiraukan
Prosesi pemakaman papa berjalan lancar dihadiri segelintir tetangga yang mengenal keluarga mama. Rumah yang ditinggali sekarang memang rumah warisan nenek untuk anak perempuannya itu dan keluarga nenek dulu termasuk orang baik di lingkungan.Kak Dio dan keluarga besar Pratama juga hadir termasuk Azka dan … Enjang.Aku mengabari Kak Dio berharap mendapatkan simpatinya tak menyangka mereka datang rombongan termasuk wanita itu.Mama Salma memelukku dengan tangis lirih. Aku tahu beliaulah yang paling menerimaku dalam keluarga itu. Ayah mertua yang dulu juga sangat mendukung aku dan putranya menjadi keluarga utuh monogamy sekarang acuh tak acuh karena kepercayaannya telah ternodai oleh perbuatan jahat orang tuaku di masa lalu.“Mama … ayo pulang.”Mama masih bergeming menatap kosong pada gundukan tanah merah di mana jasad papa beristirahat untuk selamanya. Wanita itu seperti punya naluri bahwa keluarganya tengah berkabung. Meski tidak menangis tapi terus-terusn berwajag sendu. Sangat penu
Hari sudah malam ketika aku berjalan lunglai menuju pintu rumah. Lampu ruang tamu masih menyala seperti saat kutinggalkan mengikuti Kak Dio tadi. Dari balik kaca aku masih bisa melihat dengan jelas tubuh kurus Papa yang terduduk membisu di depan TV. Aku tahu beliau tidak sedang menonton karena layar datar di depannya terlihat gelap.Apakah yang sedang dipikirkannya?Kalah oleh tubuh ringkihnya pikiran papa masih normal untuk memahami banyak hal. Tentu itu penyiksaan tersendiri bagi beliau. Beda dengan mama yang sekarang bahkan tak mengingat aku sebagai putrinya.“Papa ….”Rupanya papa duduk sambil memejamkan mata. Mungkin tertidur saat menungguku pulang karena sejak aku datang lelaki yang dulu selalu lembut pada keluarga itu tak melepas pandangan dari putri kesayangannya ini. Bagaimanapun jahatnya papa di luar sana dia tetap seorang suami dan ayah terbaik.Aku tersentak mendapati tubuh papa yang sangat panas. Kuraba dahi untuk memastikan dan ternyata benar kalau papa demam tinggi. Su
Telah satu jam lebih lamanya kami tetap duduk berhadapan terhalang sebuah meja kecil dan saling membisu. Di meja itu terdapat dua gelas minuman dingin yang es batunya telah mencair juga sebuah map yang tergeletak begitu saja.Setelah ketegangan di rumah mama dan papa tadi kami sepakat untuk bicara berdua secara pribadi. Café inilah yang dipilih Kak Dio. Lelaki yang kulihat semakin tampan diusia matang itu setia menekuri lantai dibawahnya. Wajah cantic istrinya ini yang telah lima tahun berpisah pun bahkan tak menarik minatnya. Justru lembaran berkas perceraian yang disodorkan di depanku.Keterlaluan!“Sampai kapan kau akan bersikap begitu, Rindi?” tanya, Kak Dio menatapku lelah.Haruskah aku mengalah?“Pikirkan baik-baik. Uang dan waktumu bisa kau gunakan untuk mengurus keluargamu yang sekarang keadaannya memprihatinkan. Juga adik yang perlu perhatianmu. Aku tak mungkin terus mengurus mereka apalagi kau sudah kembali.” Uraian panjang itu justru membuat emosiku menanjak.“Semua itu ka
“Benar, Pak. Bu Rindi datang ke rumah lama Pak Amir lalu pergi lagi setelah mendapati rumah berpindah pemilik.” “Apa kau tahu ke mana lagi dia pergi setelahnya?” “Ya. Pak. Kami terus mengikutinya dan perkiraan kita tepat sekali. Bu Rindi kemudian mengunjungi rumah lama orang tuanya. Seperti perintah Pak Dio, pengurus rumah tidak bekerja di hari sebelumnya hingga keadaan mereka menjadi sangat menyedihkan.” “Baik. Terus awasi dia! Saya meluncur kesana,” kataku mengakhiri panggilan telephon orang suruhan yang bekerja mengikuti pergerakan Rindi. Aku tak boleh kembali kecolongan. Sikap polos istri pertamaku itu telah melenceng jauh dari harapan agar menjadi wanita yang pantas untuk Azka putra pertamaku bersamanya. Rindi merusak semuanya. Menyakiti anaknya sendiri demi ego, juga bertindak keterlaluan pada Enjang yang nota bene seseorang yang telah menolongnya bertahun-tahun mengasuh seorang anak dari suami dengan wanita lain meski itu adalah istri pertama suaminya. Aku memiliki anak-a
Rindi melesat membelah jalanan bersama limousine hitam yang kendarainya. Bentuknya yang panjang sebenarnya sedikit merepotkan mengingat di Indonesia begitu banyak daerah macet lalu lintas dan juga sangat repot ketika mendatangi wilayah padat penduduk dengan gang-gang sempit seperti kota J. “Aku harus segera ganti mobil,” gerutu Rindi sambil berjuang keras mengendalikan kendaraannya. Limousine itu dibelinya menghabiskan tabungan nafkah yang selalu dikirimkan oleh sang suami tetapi tidak terpakai. Dengan harapan menaikkan status social di depan Enjang ketika kembali dari luar negeri. Sayangnya mencari sopir pribadi untuk layaknya pemilik sebuah limousine tidaklah mudah apa lagi dulu Rindi selalu tergantung suami, mama atau papanya untuk segala urusan hidup. Bahkan ketika dirinya telah berstatus istri Dio, peran orang tuanya tetap besar menyetir hidup Rindi. Rindi kesulitan hidup mandiri di Negara ini yang memang armada umum tak sebaik kota terakhir dirinya tinggal di luar sana. Setel
Dio melajukan mobil dengan kecepatan sedang ke arah timur kota. Melewati pemukiman yang cukup padat kemudian lurus naik mengarah ke tanah luas berbukit. Suasana asri segera terpampang memanjakan penglihatan. Pepohonan rindang berjejer rapi di kanan kiri jalan. Hingga sampailah pada sebuah gerbang yang lengkap dengan post penjagaan.Bimm!!!Seorang lelaki berseragam biru tua dengan topi di kepala bergegas keluar memeriksa. Setelah dipastikan mengenal mobil dan pengendaranya, kemudian dia bergegas membuka gerbang.Dio melesat masuk bersama kendaraannya menyusuri taman yang cukup luas untuk mencapai rumahnya bersama Rindi.Tampak di kejauhan petugas yang membuka gerbang tengah bicara dengan seseorang.“Benar, Pak Amir. Pak Dio datang sendirian.”“....”“Baik, Pak.”🍀“Ada apa, Pak?” tanya Bu Amir melihat ketegangan di wajah suaminya.“ Den Dio datang sendirian tanpa memberi kabar terlebih dahulu.”“Kita tidak pernah membuat masalah, Pak ... Kenapa harus khawatir?” tanya istrinya lagi de
Denting sendok terdengar berirama di meja makan rumah Enjang dan Dio. Meja oval dengan enam kursi yang mengelilingi telah terisi lima dan menyisakan satu yang kosong. Biasanya kursi itu akan digunakan seorang pengasuh untuk membantu anak-anak. Hanya saja sejak si kembar tiga tahun Enjang memutuskan untuk mengasuh mereka dengan tangannya sendiri. Azka berusia menjelang empat tahun saat itu. Usia pra sekolah adalah masa penting anak banyak belajar dan meniru orang terdekat hingga dirinya rela bersusah payah karena tak ingin anak-anaknya salah didikan. Enjang sangat protektif akan perkembangan anaknya termasuk anak Sang Suami dengan wanita lain sekalipun. “Pergi ke kamar kalian dan kerjakan tugas seperti biasa. Jam sembilan bunda naik untuk memastikan kalian sudah bersiap untuk tidur. Besok sekolah,” kata Enjang begitu ketiga anak itu sudah menyelesaikan makan malam. Mereka bergegas beranjak meninggalkan ruang makan menuju lantai dua di mana kamar mereka berada. Sang ayah membuat sebu
“Bagaimana sebenarnya Ibu menyampaikan pesan Rindi sama perempuan itu?” tanyaku langsung tanpa basa-basi. Tampak dahi wanita berbusana serba hitam itu mengerenyit dalam. Aku tak peduli karena saat ini hati tidak sedang dalam mode baik-baik saja. Hatiku sakit karena ulah mereka semua. Bahkan guru mengaji pribadi yang selalu koar-koar padaku agar menjaga keutuhan keluarga demi surga ini tidak becus mengemban tugas kecil. Menyampaikan pada wanita itu bahwa aku pergi bukan karena tak mencintai suami. Aku dan Kak Dio saling mencintai. “Sepertinya Mak Rindi datang dengan rasa marah. Ada apa?” tanyanya dengan suara lembut. Tak pengaruh bagiku dengan kelembutannya karena hati sedang panas. “Ada apa? Ibu yang kenapa?” Aku menunjuk dengan jemari lentik berhena coklat ini tepat ke arah wajahnya. Dia mundur dengan secara reflek. Kerutan di dahinya semakin bertumpuk. “Rindi minta tolong untuk menyampaikan pesan bahwa kami saling mencintai agar wanita tua itu tidak songong, bukan suruh dia
Rindi tertegun menyaksikan ruang kerjanya sangat berantakan. Perlahan dirinya bangkit dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Tak lama kemudian penampilannya telah rapi dan segar dengan busana muslim simple melekat ditubuh langsingnya.Rindi melangkah anggun keluar dari ruangan pribadinya melewati para pegawai butik yang segera menyibukkan diri masing-masing.Tak tampak kekacauan yang baru saja terjadi pada dirinya.“Tolong bereskan ruangan atas, ya.Saya mau keluar jadi selesaikan segera sebelum saya kembali.” Perintahnya lugas layaknya bos.“Baik, Bu.”Rindi memang menjadikan lantai dua butiknya sebagai kantor dan tempat tinggal sementara. Dirinya belum kembali ke rumah kediamannya bersama Dio karena cukup jauh dari kantor Sang Suami.Niatnya sebelum kembali ke rumah itu, Rindi akan memantau kehidupan suami bersama madu dan juga anaknya yang dalam pengasuhan istri kedua suaminya itu.Sayang, se