*Dio Pratama*
Lima tahun telah berlalu sejak Rindi pergi dari hidupku dan Azka. Mengingat Azka, anak itu menyadarku bahwa telah berhutang banyak pada Enjang, istriku yang lain. Wanita yang begitu aku cintai melebihi segala kepentinganku. Pengorbanannya melahirkan anak kembar kami, rela bertaruh nyawa membuatku semakin mencintainya. Rasanya aku sanggup menukar apa saja untuk kebahagiaannya.
Sementara Rindi, aku menyayanginya karena Allah. Wanita yang menjadi jodohku bagaimanapun caranya itu pasti karena takdir yang harus kuterima dengan lapang dada. Terlebih ada Azka sebagai pengikat kami. Perasaanku padanya tak akan membatalkan kewajiban sebagai suami atas seorang istri. Seperti perjanjian suci saat akhad.
“Taka da sesuatu apa pun yang terjadi tanpa ijin Allah, sedang daun yang jatuh dari dahan adalah ketentuanNya apa lagi hal besar seperti jodoh.” Nasihat seorang sahabat yang terus kuingat.
Memasuki ruang kantor yang sejuk dengan tatanan cantic berselera tinggi aku berdecak kagum. Sesuai karakter Sang Pemilik ruangan itu sungguh nyaman untuk mencari inspirasi. Ruangan ini ada di lantai tiga bangunan ini. Digunakan hanya sebagian dan bagian lainnya didesain dengan ruang agak terbuka menampilkan pemandangan di luar sana.Kuedarkan pandangan tampak di ujung ruang seperti meja panjang dengan box berbahan acrilik tebal di sepanjang pinggiran menampilkan berbagai koleksi model yang mungkin akan atau baru louncing.“Kau tampak sudah berhasil. Kenapa tidak pulang?” tanyaku untuk mengurai kebisuan di antara kami.Bagaimanapun kami adalah dua orang yang lama tidak bertemu dan status kami adalah suami istri dengan kisah yang tidak biasa sehingga kecanggungan mendominasi pertemuan ini. Aku baik Rindi sama-sama berhati-hati dalam interaksi. Entahlah aku sendiri bingung harus bersikap bagaimana?
*Rindi*Punggung Kak Dio menghilang di balik pintu butik. Tanpa menengok lagi dia lebih memilih mengejar Kak Enjang yang tampak marah. Kenapa harus marah? Aku juga istri sah dan pertama pula. Lalu apa yang salah? Sepertinya tak perlu kupertahankan pernikahan ini jika suamiku saja tak peduli perasaanku.“Bu.” Aku tergagap.“Sedang apa kalian berkumpul di sini?” tanyaku melihat karyawanku mematung memperhatikanku sementara sebagian dari mereka tampak berbisik-bisik.“Dengar semua!Jangan pernah berpikir bahwa saya perebut suami orang hanya karena kalian melihat insident tadi.Kalian salah!Meski terlihat jauh lebih muda, sayalah istri pertamanya dan sekarang masih kusandang sah secara hukum dan agama karena suami kami tak pernah menalakku.Ini hanyalah salah paham jadi jika kalian sampai menyebar gossip murahan, maka saya tak segan memutuskan ke
Wajah Kak Enjang tampak sedih. Tulus atau sandiwara?Biarlah apapun yang dia simpan dalam hatinya aku tak peduli. Sikap Kak Dio yang cenderung membelanya sudah cukup untukku mengambil keputusan untuk menyerah saja. Kata adil dalam pernikahan poligami kami tak kurasakan.“Kak Enjang tenang saja karena sebentar lagi akan kuserahkan, Kak Dio seutuhnya untukmu secara resmi.Kepergianku selama lima tahun ini mungkin telah menumbuhkan harapan, Kakak untuk memiliki suami seutuhnya.Sekarang aku kabulkan harapan itu.”Wajah wanita yang tetap cantic meski telah melahirkan lima anak ini menegang dan mematung di hadapanku. Aku terkejut ketika pipinya telah basah oleh air mata tanpa isak yang kudengar.“Aku memang salah, Rindi tapi bisakah kau dengarkan aku dulu sebelum menuduhku begitu hina? Aku minta maaf karena terburu emosi melihat kalian bersama.Aku hanya berharap kita baik-baik sa
“Dio sudah tahu kamu pulang?Mereka berencana ke sini hari ini dan anak-anak sudah menginap dari semalam,” kata mertuaku menjelaskan.Sepertinya kemunculanku menimbulkan gejolak di keluarga, Kak Dio dan keluarga besarnya. Apa Mama Salma sebenarnya sudah tahu kalau aku akan datang? Mungkin Kak Dio sengaja menitipkan mereka karena sedang bermasalah dengan adik maduku dan memberitahukan pada mamanya. Apa perlu juga orang tua ini berpura-pura? Tanpa sadar aku mengeraskan rahang tetapi segera memperbaiki ekspresi melihat wanita ini masih menatapku intens sehingga aku hanya bisa menutupi perasaan tak nyaman dengan mencoba tersenyum lebar.“Iya, Ma, sudah.Kami memang sengaja janjian di sini.O, ya, Ayah kemana, Ma?” tanyaku mengalihkan perhatian sambil memandang berkeliling.Ruangan ini belum berubah sejak aku terakhir datang ke sini. Ketika kembali mengarahkan pandangan pada Mama M
Kak Enjang menatapku lama. Kami saling memandang karena aku tak mau terintimidasi olehnya. Sekarang diri ini bukan Rindi yang lemah seperti dulu. Pendidikan, karier dan uang telah kumiliki melampauinya. Aku tahu adik madu yang lebih tua dariku itu hanyalah seorang ibu rumah tangga di tahun-tahun terakhir sejak kelahiran putra-putri kembarnya.Tiba-tiba dia berekspresi datar dan wajah itu tampak dingin. Tengkukku merinding seketika tapi sekuat tenaga menenangkan diri. Tak ada yang perlu kutakuti karena tak ada kesalahan yang kubuat. Kurasa dia terlalu percaya diri hanya karena Kak Dio teramat mencintainya dan berharap selalu menang dari siapapun. Dia salah menilaiku jika berharap aku juga akan menyanjungnya.Jangan harapAkhirnya dia kalah beradu pandang padaku dan berbalik pergi. Aku menghiraukan
"Azka, mau tambah ikan, Nak?Mama buangkan durinya, ya," kataku selembut mungkin sambil menggeser kursi mendekati putraku."Terima kasih, Mama.Sudah cukup ikannya." Bahasa formal Azka membuatku sakit hati."Ini enak lho, Nak … bagus juga buat pertumbuhan otak kamu."Aku ingin menunjukkan pada anak itu kalau dirinya memiliki ibu yang cerdas dan tahu banyak hal. Dia harus mengenalku lebih baik dari Kak Enjang yang hanya istri ayahnya yang lain. Tak kupedulikan banyak tatapan mata di ruangan ini. Tak ada yang salah dengan seorang ibu yang memberikan perhatian pada anak di meja makan."...."
Suasana rumah keluarga Pratama menjadi kacau. Azka yang ketakutan akan dibawa oleh ibu kandungnya memberontak dari pelukan neneknya."Tenang, sayang … ini Oma.Kamu mau ke mana?Ayo masuk," bujuk Bu Salma dengan suara serak karena tangis.Hati wanita itu sungguh sedih menyaksikan ketakutan cucunya. Kedatangan Rindi bukan membuat Azka bahagia tapi justru menimbulkan ketakutan dan trauma."Azka mau ke Bunda, Oma … mau Bunda!"Tangis Azka semakin keras dan memegang jeruji pagar dengan sangat erat. Kulit putih di tangannya menjadi memerah. Tengah hari yang terik membuat kepala Bu Salma mulai berkunang-kunang.
“Apa, Kak Azka akan dibawa tante itu pergi?” tanya Vina dengan mimik wajah sedih.“Namanya Rindi, Dek. Itu memang ibunya, Kak Azka,” kata Vino yang membuat Azka semakin mengkerut di kasur bersama guling yang dipeluk erat.Airmata sudah membasahi bantal tapi sekuat tenaga menahan isak. Orang dewasa yang selalu mengatakan anak lelaki tak boleh menangis membuat Azka menyembunyikan wajah hingga kulitnya yang putih menjadi merah bergesekan dengan sarung guling.“Tapi, Kak Azka tetap kakak kita soalnya ayahnya sama jadi Tante itu gak bisa bawa begitu saja!” pekik Vina.“Tapi ibunya lain sama kita, Dek! Dia bukan anak Bunda.”Azka tak tahan lagi. Segera dirinya menyingkirkan guling yang sedari tadi melindungi wajahnya agar tak tampak sedang menangis. Dirinya tak peduli lagi dengan mata yang mulai membengkak dan bangkit dengan nyalang menat